PERNYATAAN SIKAP MASYARAKAT SIPIL ATAS PENGERAHAN APARAT BERSENJATA DAN TINDAKAN BRUTAL TERHADAP MASYARAKAT ADAT POCOLEOK MANGGARAI

Jakarta, 27 November 2023 – Masyarakat Adat Poco Leok Manggarai, Nusa Tenggara Timur Kembali mendapat perlakuan semena-mena oleh aparat bersenjata (Polri dan TNI) yang bertugas mengamankan pihak PT PLN dan tim PADIATAPA (Persetujuan di Awal Tanpa Paksaan) mendatangi Poco Leok, wilayah yang menjadi target pengembangan industri penambangan Geothermal. Peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu, 25 November 2023.

 

Masyarakat Adat Poco Leok menolak kehadiran PLN geothermal dan tim PADIATAPA (Persetujuan di awal tanpa paksa) karena hal itu merupakan eksploitasi dan perampasan tanah (Wilayah Adat) Masyarakat Adat Poco Leok untuk kepentingan pembangunan pembangkit listrik tenaga (PLTP) atau Geothermal. Dengan dalih melakukan sosialisasi kepada warga, pihak PLN membawa pengamanan aparat bersenjata lengkap berjumlah ratusan orang, baik Polri maupun TNI. Tidak kurang tujuh unit mobil dan puluhan kendaraan roda dua dikerahkan melakukan pengamanan tersebut.

 

Alhasil, penolakan Masyarakat Adat Poco Leok atas kedatangan mereka dibalas dengan tindakan represif oleh aparat. Aparat secara brutal mendorong bahkan memukul warga untuk tidak menghalang-halangi kedatangan mereka. Berlindung dibalik Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam upaya liberalisasi tenaga listrik, PLN dengan menggunakan tangan aparat tak segan melukai warga. Harga diri sebagai manusia diinjak-injak dan ruang hidup Masyarakat Adat Poco Leok akan hilang demi pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal).

 

Tindakan represif aparat kepada Masyarakat Adat Poco Leok merupakan pelanggaran dan pengingkaran terhadap  hak atas kebebasan mengeluarkan dan menyampaikan pendapat sebagaimana yang dijamin dalam UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights/ICCPR);

 

Prinsip persetujuan di awal tanpa paksaan pihak PLN hanyalah jargon usang sebagai pelengkap persyaratan memuluskan pinjaman dari bank untuk pembiayaan proyek geothermal. Berkali-kali masyarakat menolak, tetapi tidak diindahkan. Jawaban atas penolakan adalah popor senjata, pitingan dan terjangan sepatu lapangan petugas.

 

Penolakan Masyarakat Adat Poco Leok, Manggarai, terkait pembangunan pembangkit listrik Geothermal di Poco Leok, merupakan UPAYA MEMPERTAHANKAN WILAYAH ADATNYA sebagaimana dijamin dalam instrumen hukum nasional dan Hukum Internasional yang mengakui dan menghormati hak-hak Masyarakat Adat, yaitu Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 Jo. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 Jo. Pasal 6 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012, Tanggal 16 Mei 2013 Jo Deklarasi Perserikatan Bangsa bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration On The Rights Of Indigenous Peoples) Jo Konvensi ILO No. 169 Tahun 1989 Mengenai Masyarakat Hukum Adat.

 

Warga Poco Leok saat lakukan penolakan kehadiran rombongan PLN beserta Aparat TNI dan Kepolisian
Warga Poco Leok saat lakukan penolakan kehadiran rombongan PLN beserta Aparat TNI dan Kepolisian

 

Atas berulangnya peristiwa kekerasa aparat terhadap Masyarakat Adat Poco Leok, maka Koalisi Advokasi Poco Leok menegaskan:

 

  1. Mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh PLN melalui aparat keamanan (TNI dan Polri);
  2. Mendesak Kapolri mencopot Kapolda NUSA Tenggra Timur dan Kapolres Manggarai karena melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia;
  3. Mendesak Kapolri dan Panglima TNI untuk memerintahkan penarikan aparat keamananan yang bertugas di Poco Leok;
  4. Mendesak Kapolri, Kapolda Nusa Tenggara Timur, dan Kapolres Manggarai agar menghentikan kriminalisasi kepada Masyarakat Adat Poco Leok, dengan cara menghentikan pemanggilan dalam bentuk apapun kepada Masyarakat Adat Poco Leok.
  5. Mendesak Menteri BUMN melakukan evaluasi terhadap jajaran Direksi PT PLN atas peristiwa di Poco Leok;
  6. Mendesak Pemerintah Indonesia dan PT PLN menghentikan sementara aktivitas apapun terkait pembangunan Geothermal di Poco Leok hingga ada pernyataan resmi akan mengikuti prinsip-prinsip yang tertuang di dalam free, prior, informed, consent (FPIC) sesuai panduan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).

 

Demikian pernyataan sikap ini kami berikan agar semua pihak terkait dapat segera menindaklanjuti dan menunjukkan itikad baik terhadap warga negara yang seharusnya dilindungi.

 

Koalisi Advokasi Poco Leok:

  1. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
  2. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
  3. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
  4. Trend Asia
  5. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  6. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar
  7. JPIC OFM
  8. Justice, Peace and Integrity of Creation- Societas Verbi Divini (JPIC-SVD)
  9. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur,
  10. Sunspirit for Justice and Peace, Labuan Bajo
  11. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Labuan Bajo

 

Narahubung:

  1. Ermelina Singereta, S.H., M.H. : 0812-1339-904
  2. Judianto Simanjuntak, S.H. : 0857-7526-0228

***

Gugatan TUN PMH Penguasa: DPR dan Pemerintah Kembali Mangkir Dari Sidang

Press Release

 

Jakarta (16/11/2023) – Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Penguasa, dalam hal ini DPR dan Presiden RI, yang dilayangkan oleh Masyarakat Adat, telah masuk dalam tahapan sidang persiapan (dismissal process) kedua. Namun, kembali pihak tergugat tidak menghadiri sidang persiapan tersebut. Mereka digugat oleh Masyarakat Adat melalui kuasa hukumnya, yakni Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), karena RUU Masyarakat Hukum Adat tersebut tak kunjung selesai dalam kurun lebih dari 15 tahun. Padahal, sejak tahun 2020 lalu,  persiapan RUU di tingkat I telah selesai tapi tak kunjung menjadi RUU Inisiatif DPR. Akibatnya, Masyarakat Adat sering menjadi objek kriminalisasi dan kehilangan ruang hidup mereka. Tidak ada perlindungan dan pengakuan yang cukup terhadap mereka. Terbukti, menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) rentang 5 tahun kebelakang, 301 kasus menimpa Masyarakat Adat. PPMAN sendiri, selama Januari – Oktober 2023 telah menangani 33 kasus di mana 12 kasus terkait kriminalisasi dan perampasan lahan.

 

“Tampaknya pihak Tergugat yaitu Penguasa tidak merasa penting memperhatikan Masyarakat Adat. Komitmen membentuk payung hukum, Undang-Undang untuk Masyarakat Adat cuma janji kosong rejim penguasa,” ungkap Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pengurus PPMAN.

 

Menurut Pasal 63 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986  tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang  Perubahan atas Undang-Undang  Nomor 5 tahun 1986 tentang  Peradilan Tata Usaha Negara, kehadiran pihak Tergugat dibutuhkan dalam sidang persiapan guna melengkapi data dan memberi penjelasan agar gugatan Penggugat dapat lebih lengkap.

 

“Sehingga dapat diterjemahkan bahwa ketidakhadiran kembali pihak Tergugat dalam sidang ini adalah bentuk kesengajaan dalam menghalang-halangi Masyarakat Adat menuntut hak dasar mereka untuk diakui, dilindungi dan dihormati,” jelasnya lebih lanjut.

 

DPR dan Presiden RI digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur oleh AMAN, Masyarakat Adat Ngkiong Manggarai, Tobelo Dalam Halmahera, dan Osing Banyuwangi.

 

“Sebagai warga negara wajib untuk terus mengingatkan Pemerintah agar memenuhi kewajiban konstitusionalnya, terlebih kewajiban melindungi segenap rakyat Indonesia, tanpa terkecuali” pungkasnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi :

 

Syamsul Alam Agus, S.H – 0811.8889.083

 

Fatiatulo Lazira, S.H – 0812.1387.776

Proses Hukum Janggal: Keluarga Korban Pembunuhan Desa Bangkal Mengadu Ke Lembaga Negara Indonesia

Jakarta – Perwakilan Keluarga Korban Pembunuhan Warga Desa Bangkal terus melakukan upaya untuk mencari keadilan bagi korban di Negara ini. Walaupun sebelumnya laporan mereka ditolak oleh Bareskrim Mabes Polri mereka tidak mengendurkan  semangatnya. Mereka mendatangi  sejumlah Lembaga Negara yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM), Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia (Kompolnas) dan Ombudsman Republik Indonesia untuk menuntut keadilan atas kasus penembakan yang diduga kuat dilakukan oleh Brimob Polda Kalteng yang menyebabkan kematian Almarhum Gijik dan luka berat yang dialami Sdr Taufik. Hingga kini kasus pengungkapan kasus penembakan tersebut tidak jelas dan anehnya justru warga yang dipanggil Kepolisian Polda Kalteng dengan pasal-pasal yang diduga akan mengkriminalisasi warga. (10/11/2023)

 

Keluarga korban berharap kepada keempat Lembaga negara ini menjalankan fungsi serta kewenangannya khususnya berkaitan dengan penegakan hukum dan HAM kasus pembunuhan yang ada di Desa Bangkal. Adapun harapan dari keluarga korban terhadap keempat Lembaga negara ini adalah sebagai berikut:

 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pihak keluarga korban dan saksi meminta adanya perlindungan bagi warga Desa Bangkal yang menjadi bagian peristiwa pada tanggal 07 Oktober 2023. Posisi pihak keluarga korban dan para saksi dalam keadaan kebingungan serta ketakutan. Kebingungan warga soal penegakan hukum bagi pelaku pembunuhan yang tak kunjung di proses. Warga juga mengalami ketakutan karena adanya intimidasi berupa pemanggilan dari Kepolisian. Pemanggilan tersebut berkenaan dengan perbuatan melawan aparat yang sedang bertugas. Keluarga dan warga takut akan upaya kriminalisasi dari pihak tertentu. Pada pertemuan dengan pihak Komnas Ham warga ditemui oleh Komisioner yang juga ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro.

 

Lembaga Saksi dan Korban (LPSK), diharapkan  dapat memberikan perlindungan kepada pihak keluarga korban dan menjawab kebutuhan pemulihan korban dan keluarganya. Permohonan warga pun telah disampaikan langsung kepada pihak LPSK.

 

Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia (Kompolnas), diminta oleh pihak keluarga korban untuk melakukan pengawasan dan memberikan rekomendasi terkait proses hukum yang berjalan agar imparsial dan adil meskipun diduga pelakunya adalah anggota kepolisian dan jangan sampai justru mengkriminalkan korban.

 

Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal saat di Kompolnas
Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal saat di Kompolnas

 

Ombudsman Republik Indonesia, warga Desa Bangkal melaporkan dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah dan Mabes Polri karena tidak memberikan pelayanan publik secara baik kepada warga. Hal ini terkait brutalitas aparat dalam pengamanan aksi warga, Penggunaan kekuatan aparat kepolisian yang berlebihan (excessive use of force) dan penolakan laporan pembunuhan oleh keluarga korban di Kepolisian tanpa alasan yang sah.

 

Kami dari Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal menilai bahwa kasus pembunuhan warga Desa Bangkal merupakan cerminan buruknya jaminan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan  hak asasi manusia oleh aparat penegak hukum di Republik ini. Pelanggaran-pelanggaran yang dipertontonkan oleh aparat hukum dengan cara melawan hukum terkesan sengaja dilanggengkan dengan diberikan impunitas. Tentu hal ini akan semakin memperburuk citra  Indonesia yang mengaku sebagai Negara hukum.

 

Kita ketahui bahwa Lembaga Negara seperti Komnas Ham, LPSK dan Kompolnas telah mengikuti proses kasus penembakan warga Desa Bangkal dan Lembaga ini telah melakukan investigasi lapangan. Di tengah ketidakpastian akan proses penegakan hukum yang berjalan, kami masih menaruh secercah harapan kepada lembaga-lembaga negara ini. Semoga harapan kami tidak berujung kepada ketidakpercayaan dan pembiaran terhadap praktik kesewenang-wenangan dan pelanggaran HAM oleh aparat negara dan Korporasi yang dilindungi oleh Aparat kepolisian.

 

Kasus Bangkal yang dilatarbelakangi oleh konflik agraria, memperpanjang daftar kekerasaan aparat penegak hukum kepada warga yang sedang mempertahankan haknya. Kasus Bangkal juga mempertebal pemahaman kita soal ketidakmampuan negara melindungi rakyatnya. Situasi seperti ini menyadarkan bahwa kekuatan kolektif rakyatlah yang dapat menyelamatkannya dari ketidakadilan dan perampasan ruang hidup. Rakyat harus bersatu sebagaimana Masyarakat Adat Laman Kinipan yang terus melawan dan mempertahankan wilayah adat mereka, Masyarakat Rempang dan masyarakat lainnya.

 

Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal

 

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia), PW AMAN Kalteng, WALHI Kalteng, PROGRESS, Yayasan Betang Borneo Indonesia (YBBI),  Save Our Borneo (SOB), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Greenpeace Indonesia, Sawit Watch, LBH Palangkaraya, dan LBH Genta Keadilan.

 

***

Laporan Keluarga Korban Penembakan Desa Bangkal di Tolak Bareskrim Polri: Negara Gagal Memenuhi Perlindungan HAM, Mewujudkan Keadilan dan Kepastian Hukum

Jakarta – Keluarga korban kasus penembakan Desa Bangkal melaporkan peristiwa yang terjadi pada tanggal 07 Oktober 2023 ke Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri bersama Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal. (09/11/2023)

 

Sejak semula pihak Kepolisian telah memberikan kesan tidak mau menerima laporan dari pihak keluarga korban dengan alasan yang dibuat-buat seperti tidak cukup bukti. Setelah terjadi perdebatan yang cukup alot antara Tim Advokasi dan penyidik terkait kewenangan penerimaan laporan polisi. Pihak penyidik pun seolah-olah melakukan koordinasi dengan pihak pimpinan untuk mendapatkan keputusan.

 

Akhirnya sekitar pada pukul 16.00 WIB, pihak keluarga korban bersama tim Advokasi diajak menemui penyidik Bareskrim Piket Konsultasi Pelaporan  dilantai 4. Pertemuan tersebut, pihak keluarga korban bersama tim advokasi menyampaikan maksud kedatangan mereka yang jauh-jauh dari Kalimantan Tengah.

 

Pertama, maksud kedatangan adalah untuk membuat laporan polisi terkait meninggalnya Gijik pada tanggal 07 Oktober 2023 dan Taufik mendapatkan luka serius yang diduga kuat dari peluru tajam yang ditembakan oleh Aparat Kepolisian saat melakukan pengamanan aksi. Kedua, mengapa mengajukan laporan ke Mabes Polri karena sebelumnya pada tanggal 30 Oktober 2023, pihak keluarga korban telah melaporkan peristiwa tersebut ke pihak Polda Kalteng namun tidak mendapatkan respon. Ketiga, alih-alih proses penegakan hukum berjalan untuk mengusut peristiwa penembakan yang menyebabkan kematian, pihak Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah malah memanggil para warga Desa Bangkal dan sekitarnya dengan total 35 orang untuk memberikan kesaksian soal peristiwa di tanggal 07 Oktober 2023 dengan Pasal melawan aparat yang sedang bertugas dan membawa senjata tajam tanpa ijin.

 

Setelah terjadi diskusi dan tanya jawab, pada akhirnya  penyidik Bareskrim Piket Konsultasi Pelaporan menyatakan menolak laporan dari keluarga korban dengan alasan bahwa proses penyidikan telah berjalan di Polda Kalteng. Keluarga korban diminta percaya kepada penyidik dan menunggu pengumuman resmi dari pihak Polda Kalimantan Tengah. Proses penolakan dari Mabes Polri yang diwakili oleh penyidik Bareskrim Piket Konsultasi Pelaporan atas adanya laporan dari pihak keluarga korban sangatlah mencederai rasa keadilan bagi pihak keluarga. Atas penolakan dari Mabes Polri ini kami memberikan kesimpulan sebagai berikut:

 

  1. Pihak Mabes Polri meminta keluarga korban untuk percaya kepada pihak kepolisian khususnya proses hukum yang sedang dijalankan oleh Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah yang mana telah 1 bulan lebih berlalu pihaknya belum menetapkan satupun tersangka dari peristiwa pembunuhan tanggal 07 Oktober 2023 di Desa Bangkal.

 

  1. Pihak Mabes Polri meminta keluarga korban untuk percaya kepada proses penegakan hukum yang dijalankan Polda Kalimantan Tengah dimana sangat berpotensi adanya konflik kepentingan karena dugaan kuat pelaku penembakan adalah satuan mereka.

.

  1. Pihak Mabes Polri meminta keluarga korban untuk percaya kepada proses penegakan hukum di Polda Kalteng walaupun pada faktanya yang di proses adalah warga sebanyak 35 orang. Kuat dugaan penanganan kasus diarahkan kepada skenario : Warga Bangkal Melawan Aparat Saat Bertugas dan Membawa Senjata Tajam- Pihak Kepolisian Melakukan Tembakan Karena Massa Tidak Bisa Di Tenangkan – Pelaku Penembakan Di Proses Hukum – Pelaku Penembakan Bebas Dari Jeratan Hukum Karena Sedang Menjalankan Tugas sebagaimana diatur dalam  Pasal 48, 49, 50 dan 51 KUHP.

 

  1. Pihak Mabes Polri telah menghalang-halangi pihak keluarga korban maupun saksi untuk mendapatkan perlindungan dari lembaga negara seperti lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) yang mensyaratkan adanya laporan polisi untuk dapat memberikan perlindungan.

 

Polri telah diberikan amanat sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, termasuk ketika warga negara memberikan informasi mengenai adanya peristiwa tindak pidana yang terjadi dengan dan dibuatkannya laporan polisi. Selain itu, dalam tataran teknis, setiap anggota Polri dilarang menolak laporan atau pengaduan dari masyarakat tanpa alasan yang sebagaimana ditegaskan dalam 13 Ayat (2) huruf a Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Atas penolakan tersebut mengakibatkan ketidakpercayaan keluarga korban terhadap proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian sehingga patut diduga terjadi rekayasa hasil atas peristiwa terbunuhnya (Alm) Gijik serta kekerasan dengan menggunakan senjata. Penolakan tersebut merupakan potret pengingkaran Kepolisian Republik Indonesia terhadap komitmen transparansi serta integritas.

 

Kami dari Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal mengajak semua elemen masyarakat untuk menyatakan ketidakpercayaan kepada institusi kepolisian khususnya Polda Kalimantan Tengah karena dugaan kuat penembak yang menyebabkan gugurnya Gijik dan terlukanya Taufik merupakan kesatuan dari mereka.

 

Kami juga mengajak Masyarakat Desa Bangkal dan sekitarnya yang terlibat dalam peristiwa ini untuk meningkatkan persatuan kesatuan dalam menghadapi segala kemungkinan yang terjadi kedepan.

 

Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal

 

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia), PW AMAN Kalteng, WALHI Kalteng, PROGRESS, YBBI,  SOB, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Greenpeace Indonesia, Sawit Watch, LBH Palangkaraya, dan LBH Genta Keadilan

 

***

Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang Mengecam Pernyataan Kapolresta Barelang Soal Papan Bunga yang Hilang Karena Tertiup Angin di Beberapa Media

Press Release

 

Batam – Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang mengecam keras pernyataan ugal-ugalan yang disampaikan oleh Kapolresta Barelang terkait dengan papan bunga di depan Pengadilan Negeri Batam yang hilang karena tertiup angin. Pernyataan ini mencerminkan ketidakprofesionalan Kepolisian sebagai aparat penegak hukum. (08/11/2023)

 

Selain tidak profesional, ucapan Kapolresta yang menyatakan bahwa papan bunga tertiup angin pun kami anggap sebagai upaya ‘cuci tangan’. Dalam beberapa kesempatan, Kepolisian memang seringkali ‘mengkambinghitamkan’ angin. Sebelumnya pada tanggal 7 September 2023 lalu, saat aparat begitu brutal menembakan gas air mata, ‘angin’ juga disalahkan karena mengarah ke sekolah.

 

Lebih jauh, kami menilai bahwa pernyataan ini merupakan bentuk sikap pengabaian masalah, di tengah perhatian nasional dan internasional terhadap isu pelanggaran HAM di Pulau Rempang. Alih-alih mencari dalang yang mencuri dan sengaja menghilangkan papan bunga tersebut, pernyataan dari Kapolres justru akan memperkeruh suasana dan semakin melukai perasaan keluarga korban khususnya keluarga masyarakat Rempang yang masih ditahan, ucap Sopandi Wakil Ketua PBH Peradi Batam.

 

Berdasarkan informasi di lapangan, tak berselang lama setelah papan bunga yang berisi solidaritas terhadap korban kriminalisasi hilang, persisnya pada senin, 6 November 2023, pagi harinya, mulai bermunculan papan bunga tandingan. Berbagai papan bunga tersebut berisikan kata-kata yang kontra dengan papan bunga sebelumnya yang menghilang secara misterius.

 

salah satu karangan bunga dari Masyarakat Rempang
salah satu karangan bunga dari Masyarakat Rempang

 

“Kami menduga bahwa ada keterlibatan pihak-pihak yang tidak terima dengan upaya permohonan praperadilan sebagai dalang dari hilangnya papan bunga yang berisi solidaritas terhadap masyarakat rempang ini. Hal ini menunjukkan watak pihak tersebut yang anti kritik dan represif terhadap ekspresi masyarakat.” Ucap Andi Wijaya Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru.

 

Andi Wijaya menambahkan bahwa papan bunga yang sebelumnya dikirimkan oleh berbagai simpul masyarakat sipil merupakan bentuk solidaritas masyarakat terhadap tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh Kepolisian. Bentuk ekspresi itu merupakan perbuatan sah dan konstitusional sehingga harus dihormati. Papan bunga tentu saja bukan sesuatu yang dapat diklasifikasikan sebagai ancaman sehingga tidak perlu untuk diamankan. Selain itu, warga yang bersolidaritas saat itu juga sempat dilarang masuk ke Pengadilan Negeri Batam dan warga yang sudah didalam Pengadilan diusir dari Pengadilan Negeri Batam padahal sidang terbuka untuk umum sehingga tidak ada yang boleh membatasi warga untuk menyaksikan persidangan.

 

Terlebih dalam perkara ini, Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang saat itu, sedang mengajukan permohonan pra peradilan kepada Pengadilan Negeri Batam atas berbagai pelanggaran prosedural dalam tindakan Kepolisian. Di tengah kriminalisasi yang sedang berjalan, wajar jika masyarakat membangun solidaritas, salah satunya dengan mengirimkan dukungan dan doanya salah satunya lewat medium papan bunga dengan tuntutan hakim agar menghadirkan keadilan.

 

“Sudah seharusnya Kepolisian mencari dalang di balik pencurian papan bunga ucapan daripada masyarakat terkait dukungan dan doa melalui papan bunga agar hakim mengadili perkara praperadilan tersebut secara adil, yang pada intinya isi papan bunga positif semua kata-katanya. Sebab tindakan pencurian seperti ini dapat menimbulkan kegaduhan di publik nantinya dan ketidaknyamanan masyarakat. Untuk itu, Kepolisian harus segera melakukan penyelidikan atas kasus ini dan mengungkap siapa pelaku dan motifnya agar terang dan tidak jadi isu liar di masyarakat.” Kata Mangara Sijabat Direktur LBH Mawar Saron Batam.

 

Mangara menambahkan, bahwa selain itu, kami menilai upaya menghilangkan dan mencuri papan bunga yang berisi ucapan doa dan dukungan masyarakat terhadap hakim dalam mengadili perkara praperadilan ini merupakan bentuk pembatasan kebebasan berekspresi. Hal tersebut tentu saja melanggar berbagai instrumen nasional maupun internasional seperti halnya yang diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hingga Kovenan Hak Sipil dan Politik.

 

Even Sembiring Direktur Eksekutif Walhi Riau mengungkapkan, “hal ini juga kami anggap sebagai upaya menggembosi gerakan masyarakat yang bersolidaritas bersama warga Rempang yang mengalami kriminalisasi. Upaya memanipulasi narasi pun terus dilakukan untuk mengaburkan fakta sebenarnya. Semua ini tentu tidak terlepas dari arus investasi yang masuk dengan memaksakan kehendak sehingga berimplikasi pada terlanggarnya hak-hak masyarakat. Jika nyata-nyata peristiwa pembatasan kebebasan sipil ini diintervensi kekuatan yang besar, maka kami meminta Presiden Jokowi untuk memberikan perhatiannya pada persoalan yang kami yakini tidak bisa diselesaikan oleh Kepolisian Republik Indonesia. Sebab ini merupakan ancaman serius terhadap demokrasi di Indonesia.”

 

Untuk diketahui, Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang terdiri atas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), YLBHI-LBH Pekanbaru; Eksekutif Nasional WALHI; Eksekutif Daerah WALHI Riau; LBH Mawar Saron Batam; PBH Peradi Batam; Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN); Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA); Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Trend Asia.

 

***

PPMAN: KETIDAKHADIRAN DPR DAN PRESIDEN DI PERSIDANGAN, PRESEDEN BURUK KETIDAKPATUHAN TERHADAP PROSES HUKUM

Press Release

 

Jakarta, (02/11/2023) – Sidang gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), dengan agenda pemeriksaan persiapan yang dilangsungkan di PTUN Jakarta, tidak dihadiri oleh DPR dan Presiden sebagai pihak tergugat.

 

Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) sekaligus sebagai kuasa hukum Para Penggugat menilai ketidakhadiran DPR dan Presiden di persidangan mengkonfirmasi ketidakberpihakan kedua lembaga negara itu terhadap Masyarakat Adat di Indonesia.

 

“Kami menyesalkan sikap DPR dan Presiden yang tidak menghargai proses hukum. Ketidakhadiran mereka di persidangan adalah contoh buruk ketidakpatuhan negara yang tidak patut dicontoh”, ujarnya.

 

Menurut Alam, sikap abai DPR dan Presiden sudah ditunjukkan sejak RUU Masyarakat Hukum Adat masuk dalam prolegnas pada tahun 2004 sampai dengan sekarang.

 

“DPR dan Presiden bersikap abai dan melakukan tindakan penundaan berlarut pada proses pembentukan UU Masyakarat Hukum Adat, yang merupakan kewajiban konstitusional kedua lembaga itu. Akibatnya, praktik perampasan wilayah adat, penggusuran masyarakat adat dari wilayah adat, diskriminasi dan kriminalisasi serta hilangnya identitas yang melekat pada Masyarakat Adat yang mempertahankan wilayah adatnya, terus berlanjut” jelas Alam.

 

Kuasa Hukum Masyarakat Adat saat menyerahkan berkas perkara
Kuasa Hukum Masyarakat Adat saat menyerahkan berkas perkara

 

Ia pun berharap, pengadilan dapat menjadi ruang bagi Para Penggugat untuk menuntut keadilan atas wilayah adatnya.

 

Adapun pihak penggugat adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), beserta 9 (sembilan) orang Perwakilan Masyarakat Adat. Mereka berasal dari Komunitas Masyarakat Adat Kasepuhan Cisungsang Jawa Barat, Komunitas Masyarakat Adat Osing Banyuwangi, Komunitas Masyarakat Adat Gendang Ngkiong Manggarai dan Komunitas Masyarakat Adat Tobelo Dalam Halmahera.

 

Permohonan Para Penggugat disebabkan karena DPR dan Presiden tidak menindaklanjuti proses pembentukan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat sehingga berimbas negatif terhadap pemenuhan hak-hak konstitusional para penggugat.

 

6 orang Masyarakat Adat Tobelo Dalam dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan 20 tahun penjara. Pada tingkat banding, mereka malah dijatuhi pidana hukuman mati dan penjara seumur hidup. Mikael Ane sendiri dipidana dengan hukuman penjara 1,5 tahun.

 

6 orang Masyarakat Adat Tobelo Dalam dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan 20 tahun penjara. Pada tingkat banding, mereka malah dijatuhi pidana hukuman mati dan penjara seumur hidup. Mikael Ane sendiri dipidana dengan hukuman penjara 1,5 tahun.

RUU Masyarakat Adat Tak Kunjung Disahkan, Masyarakat Adat Gugat DPR RI dan Presiden

SIARAN PERS Untuk segera diberitakan
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)

 

Jakarta (25/10/2023) – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendaftarkan gugatan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Presiden Republik Indonesia ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, pada 25 Oktober 2023. Gugatan tersebut berdasarkan pada perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).

 

Gugatan tersebut diajukan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang tidak kunjung dibahas oleh DPR dan Presiden RI. Meskipun RUU Masyarakat Adat telah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas Prioritas) DPR RI. RUU tersebut mandeg dan tidak pernah naik ke tingkat II (Paripurna) untuk menjadi RUU inisiatif DPR yang kemudian dibahas bersama Pemerintah.

 

“Sejak 2009, RUU Masyarakat Adat berproses tanpa ada kepastian. Situasi tersebut yang mendorong perwakilan kelompok Masyarakat Adat mengajukan gugatan,” ujar Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana Nasional Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Alam menjelaskan, pihak penggugat sebanyak sepuluh orang, satu mewakili organisasi Masyarakat Adat, yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Sementara tujuh di antara penggugat ada di dalam penjara yang diduga mengalami kriminalisasi.

 

“Ini menjadi poin penting. Karena tidak adanya UU perlindungan dan pengakuan Masyarakat Adat, mereka menjadi rentan mengalami kriminalisasi,” tegasnya.

 

Adapun pihak Penggugat yakni Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Adat Kasepuhan Karang Lebak Banten, Masyarakat Adat Ngkiong Manggarai Timur, Masyarakat Adat Osing Banyuwangi, dan Masyarakat Adat Tobelo Dalam Halmahera Maluku Utara.

 

 

Pendaftaran gugatan terhadap DPR dan Presiden RI telah diterima oleh PTUN dengan nomor perkara 542/G/TF/2023/PTUN Jakarta.

 

“Melalui gugatan ini kami ingin mengingatkan kepada pemerintah bahwa tanpa adanya payung hukum nasional yang secara khusus mengatur Masyarakat Adat, maka konflik di level komunitas Masyarakat Adat ke depan berpotensi semakin tinggi. Kami berharap pemerintah serius sehingga data kasus tidak sekedar menjadi angka statistik,” sambung Fatiatulo Lazira S.H, salah seorang tim kuasa hukum dari PPMAN.

 

Pembentukan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat sebagaimana amanat Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, merupakan kewajiban konstitusional DPR dan Presiden sebagai penyelenggara negara. Ketiadaan payung hukum khusus mengatur Masyarakat Adat membawa sejumlah konsekuensi negatif terhadap mereka, antara lain ancaman kriminalisasi atas akses pengelolaan hutan, hilangnya wilayah adat, bahkan lebih jauh, hilangnya eksistensi dan identitas adat itu sendiri.

 

AMAN mencatat selama 5 tahun belakang, terjadi 301 kasus perampasan wilayah adat. PPMAN juga mendata selama Januari hingga September 2023 telah terjadi 12 kasus kriminalisasi yang terkait dengan konflik pengakuan atas pengelolaan wilayah adat.

 

Pendaftaran gugatan TUN terkait perbuatan melawan hukum yang dilayangkan Masyarakat Adat mempertimbangkan banyak hal, salah satunya adalah momentum tahun politik 2024. Dalam konteks kontestasi pemilu, isu Masyarakat Adat kerap dijadikan bahan kampanye. Namun, setelah calon tersebut berkuasa, isu tersebut redup dan tak tersentuh.

 

 

Dampak Tidak Disahkannya RUU Masyarakat Adat

 

RUU Masyarakat Hukum Adat telah selesai diharmonisasi tetapi tidak pernah berlanjut untuk ditetapkan. Berkali-kali pula AMAN dan perwakilan Masyarakat Adat lainnya terus mengingatkan agar pembahasan dilanjutkan sehingga tersedianya kepastian hukum.

 

Rukka Sombolingi, Sekjen AMAN mengatakan bahwa pihaknya telah mengirimkan permohonan resmi untuk pembahasan RUU Masyarakat Adat, tepatnya pada 31 Juli 2023 ke DPR RI dan 1 Agustus 2023 ke presiden, tapi hingga saat ini tidak ada tanggapan dari para pembuat kebijakan.

 

“Karena tidak ada tanggapan, maka hari ini kami mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta,” ungkapnya.

 

Lebih lanjut, Rukka mengatakan bahwa RUU Masyarakat Adat yang tak kunjung disahkan, menujukan bahwa DPR dan pemerintah tidak bersungguh-sungguh untuk memberikan pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat.

 

Ia mencontohkan berbagai berdampak buruk bagi Masyarakat Adat di tingkat tapak akibat dari tidak adanya paying hukum nasional yang melindungi Masyarakat Adat. Misalnya, tentang mitigasi perubahan iklim dan transisi energi.

 

“Bendungan, PLTA, geothermal, dll, saat ini semua dibangun dengan merampas wilayah adat. Hutan-hutan terbaik yang selama ini dijaga oleh Masyarakat Adat, diklaim oleh pemerintah dalam urusan perdagangan karbon,” ujarnya.

 

Hal lain yang ia contohkan adalah Kawasan hutan lindung, konservasi, taman nasional, tambang, telah merugikan Masyarakat Adat karena diusir dari kampung halamannya, bahkan dikriminalisasi.

 

“Orang Tobelo Dalam yang mengalami stigma, bahkan dipenjara seumur hidup. Mikael Ane dihukum 1,5 tahun penjara karena hidup di wilayah adatnya yang diklaim oleh pemerintah sebagai kawasan hutan taman wisata alam. Ini dampak buruk dan membuat Masyarakat Adat rentan karena tidak adanya perlindungan dan kepastian hukum,” pungkasnya.

 

Narahubung
Syamsul Alam Agus, S.H – Ketua Badan Pelaksana PPMAN (0811-8889-083)
Fati Lazira, S.H – Kuasa Hukum Masyarakat Adat (0812-1387-776)

SUKU MOI MELAWAN GUGATAN PT SORONG AGRO SAWITINDO

Siaran Pers Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua

 

Jakarta, 20 Oktober 2023 – Perusahaan PT Sorong Agro Sawitindo  (SAS) sebelumnya pemegang konsensi perkebunan kelapa sawit seluas 40.000 ribu hektar yang terletak di Kabupaten Sorong, Papua Barat. Awal tahun 2022 melalui SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2012 pemerintah mencabut izin pelepasan kawasan hutan yang dipegang PT SAS. BKPM kemudian mencabut izin  usaha  PT SAS melalui keputusan Nomor : 20221227-21-0006 tanggal 22 Desember 2022. Perusahaan tidak terima atas keputusan tersebut lalu mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta dengan perkara 368/G/2023/PTUN.JKT meminta pembatalan.

 

Sebelumnya Bupati Sorong tahun 2021 mencabut izin lokasi, izin lingkungan dan izin usaha PT SAS, tindakan bupati ini disambut baik masyarakat Suku Moi, dalam kasus ini perusahaan menggugat dan membatalkan keputusan bupati.

 

Suku Moi adalah Orang Asli Papua yang mewarisi, menguasai dan memiliki tanah dan hutan adat sudah sejak turun temurun hingga saat ini. Keberadaan  Suku Moi telah diakui Pemerintah  melalui Peraturan Daerah (perda) Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong, sebagaimana termuat dalam Pasal (2) yang berbunyi: “Dengan Peraturan Daerah ini Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong memberikan Pengakuan dan Perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong”. 

 

Suku Moi telah bersikap menjaga tanah dan hutan adat, mereka menolak perkebunan kelapa sawit PT Sorong Agro Sawitindo beroperasi diwilayah adatnya. Alasannya, perkebunan kelapa sawit merampas hak atas tanah dan/ hutan adat dan berpotensi menghilangkan sumber kehidupan masyarakat, dan mendatangkan malapetaka sosial dan lingkungan, sebagaimana dialami saudara mereka di daerah ini. Mereka memutuskan untuk mengelola sendiri tanah dan hutan adat di wilayah adatnya sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki dan diwariskan secara turun temurun.

 

Suku Moi khawatir Gugatan PT SAS akan menghilangkan hak-hak dan mata pencaharian masyarakat yang bersumber dari hutan, tanah, sungai dan kekayaan alam sekitarnya. Mereka  memutuskan untuk melawan Gugatan PT SAS dengan mengajukan permohonan Intervensi di PTUN Jakarta.

 

Permohonan intervensi ini kami lakukan untuk mempertahankan hak dan kepentingan kami sebagai masyarakat adat Suku Moi. Kami ingin Majelis hakim secara hati-hati memeriksa Gugatan ini karena kami akan dirugikan jika perusahaan memenangkan gugatan ini. Hakim harus lebih memperhatikan keberadaan dan hak kami “ujar Edison Sede (masyarakat adat suku Moi dari kampung Gisim)

 

Saya perempuan adat suku Moi keberatan gugatan Perusahaan, kami tidak mau kehilangan sumber penghidupan keluarga dari tanah dan hutan, kami Perempuan berkebun, mengambil sagu menjadi makanan, menjaga obat-obatan tradisional semua dari hutan. Jika Perusahaan masuk kami akan hilang. Ujar Solvina Klawom (perempuan adat suku Moi)  

 

Ayup Paa, pendamping masyarakat adat suku Moi mengatakan Tindakan pencabutan Izin Usaha PT SAS yang dilakukan oleh BPKM sudah seharusnya dilakukan, ada banyak pelanggaran yang dilakukan.  Selain ada penolakan masyarakat juga berdampak kepada lingkungan hidup. Akan lebih tepat jika BKPM mendorong kepada instansi lain seperti KLHK dan Pemda untuk segera mengakui hutan adat masyarakat. Masyarakat dapat mengembangkan sendiri kehidupan ekonominya tanpa harus memfasilitasi perkebunan skala besar yang membawa dampak negatif besar.

 

Berdasarkan hal tersebut kami Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua Bersama Masyarakat Adat Suku Moi menyatakan :

 

  1. Majelis Hakim Hakim Perkara 368/G/2023/PTUN.JKT menerima Permohonan Intervensi yang dilakukan Masyarakat Adat Suku Moi dan dalam memeriksa perkara mengutamakan keadilan bagi masyarakat adat suku moi sebagai pemilik tanah dan hutan adat ;
  2. Pihak Tergugat yakni BKPM melakukan tindakan lanjutan bersama lembaga pemerintahan lainnya (KHLK dan Pemerintah Daerah) segera melakukan pengakuan hutan adat masyarakat Suku Moi dengan tujuan melindungi hak-hak masyarakat ;
  3. BKPM dan KLHK membuka seluruh informasi pencabutan perizinan di Tanah Papua sebagai bentuk kewajiban yang telah diatur didalam berbagai peraturan perundang-undangan.

 

Kontak Person:

Ayub Paa (0812-4021-6526)

Judianto Simanjuntak (0857-7526-0228)

Tigor Hutapea (0812-8729-6684)

MASYARAKAT ADAT POCO LEOK LAPOR KOMNAS HAM KARENA ALAMI KRIMINALISASI OLEH KEPOLISIAN RESOR MANGGARAI

Jakarta, 20 Oktober 2023 – Adanya Tindakan Kekerasan, kesewenangan, ancaman dan intimidasi yang telah dilakukan oleh anggota Kepolisian Polres Manggarai, Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) terhadap Masyarakat Adat Poco Leok.

 

Tindakan intimidasi dan kriminalisasi yang telah dilakukan oleh Kepolisian Polres Manggarai merupakan tindakan pelanggaran hukum sebagaimana mandat dari Undang-undang Dasar 1945 yang terdapat pada Pasal 28 D ayat 1 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

 

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 3 ayat (3) “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Pasal 5 ayat (3) “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”. Hal ini merupakan pengingkaran terhadap fungsi kepolisian dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada Masyarakat sebagaimana amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 

Polres Manggarai telah melayangkan surat panggilan terhadap Masyarakat Adat Poco Leok terkait dengan dugaan tindak pidana dengan sengaja menghalangi atau merintangi Pembangunan Pengusahaan Panas Bumi dan/atau barang siapa dengan kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah yang terletak di Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai sebagaimana dimamksud dalam Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi.

 

Masyarakat Adat Poco Leok tidak mengetahui alasan Kepolisian Polres Manggarai melakukan pemanggilan tersebut. Masyarakat Adat menilai bahwa pemanggilan tersebut sangat tidak beralasan.

 

“Jika ada orang yang masuk ke wilayah tempat tinggal kami dan kami tidak kenal apalagi tahu tujuannya, wajar jika kami mempertahankan tanah tempat tinggal kami, kami tidak melakukan apapun, hanya mempertahankan tanah yang menjadi milik kami yang telah diwariskan oleh leluhur kami” ujar salah seorang warga yang enggan di sebut namanya dengan alasan keamanan dirinya.

 

Pemanggilan terhadap Masyarakat Adat Poco Leok tersebut merupakan tindakan kesewenang-wenangan Polres Manggarai dengan menggunakan kekuasaannya. Ini MERUPAKAN KRIMINALISASI TERHADAP MASYARAKAT ADAT POCO LEOK untuk membungkam perjuangan masyarakat adat Poco Leok dalam mempertahankan wilayah adatnya.

 

Menyoroti masalah ini, KOALISI ADVOKASI POCO LEOK menyampaikan bahwa tindakan Kepolisian Resort (Polres) Manggarai yang melakukan Kekerasan, kesewenangan, ancaman dan intimidasi merupakan tindakan pelanggaran hukum. Untuk ini Koalisi Advokasi Poco Leok mengambil langkah hukum atas sikap dan tindakan dari Kepolisian Polres Manggarai.

 

Koalisi Advokasi Poco Leok telah mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk melaporkan tindakan Kepolisian Polres Manggarai yang telah melakukan kekerasan, kesewenangan, ancaman dan intimidasi terhadap Masyarakat Adat Poco Leok dengan melakukan pemanggilan dan meminta keterangan.

 

Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN,) Syamsul Alam Agus menyampaikan bahwa tindakan intimidasi, tekanan dan ancaman dengan cara memanggil Masyarakat Adat yang memiliki hak penuh atas tanah ulayatnya dan wilayah yang berpotensi terkena dampak dari rencana pembagunan geotermal telah melanggar Pasal 11 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang pelaksanaan Peraturan Kapolri nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 

“Pihak Kepolisian tidak memahami konteks persoalan Masyarakat Adat, melihat aturan hanya dari sisi sempit. Pihak Kepolisian sebaiknya menggali terlebih dahulu perihal konsep kepemilikan tanah komunal atau Ulayat dan Hak Asasi yang telah dijamin oleh undang-undang semisal Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan UU HAM. Peraturan Kapolri (Perkap) juga mengadopsi konsep HAM tersebut”, jelasnya.

 

Syamsul Alam Agus juga menambahkan, bahwa seharusnya Kepolisan Polres Manggarai memberikan perlindungan kepada Masyarakat Adat yang memiliki kerentanan, karena tanahnya diambil oleh orang tanpa persetujuan dari Masyarakat Adat. Namun kehadiran pihak Kepolisian tidak melindungi masyarakat tapi melindungi orang-orang atau perusahaan yang datang merusak tanah Masyarakat Adat.

 

“Konsep perlindungan itu kepada yang lemah, bukan kepada yang berkuasa dan kuat. Jangan di balik konsepnya,” tegasnya.

 

Sementara itu, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, mengatakan bahwa sejak awal rencana pembangunan geotermal di Poco Leok telah mendapat penolakan terkait rencana Pembangunan pembangkit listrik Geothermal (PLTP Ulumbu) di Poco Leok. namun Pemerintah tetap tidak menghiraukan penolakan tersebut dan malah mengerahkan Kepolisian untuk melakukan tindakan represif dan intimidasi terhadap Masyarakat Adat Poco Leok.

 

“Atas nama Proyek Strategis Nasional yang dibuat tanpa konsultasi terlebih dahulu, rakyat kecil rentan terusir dari wilayah mereka seperti yang dialami oleh Masyarakat Adat Poco Leok”, ujar Melky.

 

Erasmus Cahyadi, Deputi II Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menambahkan bahwa Koalisi melakukan pengaduan ke Komnas HAM agar Komnas HAM segera memberikan perlindungan kepada Masyarakat Adat Poco Leok dan memantau atas tindakan represif dan intimidasi yang telah dilakukan oleh Kepolisian Polres Manggarai, Erasmus Cahyadi juga mengharapkan Komnas HAM memberikan rekomendasi kepada Polres Manggarai agar menghentikan kriminalisasi kepada Masyarakat Adat Poco Leok.

 

Pria kelahiran Poco Leok ini juga menambahkan meminta kepada Komnas HAM untuk turun ke Poco Leok untuk bertemu dengan masyarakat dan menerima secara langsung pengaduan, serta meninjau lokasi pembangunan pembangkit listrik Geothermal (PLTP Ulumbu) di Poco Leok.

 

“Kunjungan Komnas HAM ke Poco Leok menjadi krusial tidak hanya bagi masyarakat akan tetapi juga bagi Komnas HAM menggali fakta sesungguhnya atas apa yang terjadi di lapangan,” jelas Erasmus.

 

Dihubungi melalui telephone, Komisioner Komnas HAM Bapak Hari Kurniawan, menyampaikan bahwa Komnas HAM akan melakukan rapat bersama untuk mengambil keputusan terkait dengan pengaduan dari Koalisi Advokasi Poco Leok, dan juga Komnas HAM akan segera memberikan perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat Poco Leok.

 

Kedepannya, Koalisi Advokasi Poco Leok akan terus melakukan pengaduan ke berbagai lembaga negara atas tindakan dan sikap Kepolisian yang tidak berpihak pada masyarakat dan juga akan meminta dukungan dari berbagai pihak baik nasional maupun internasional terkait dengan masalah yang menimpa Masyarakat Adat Poco Leok khususnya terkait dengan pembangunan Geotermal.

 

KOALISI ADVOKASI POCO LEOK

 

1. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
2. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
3. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
4. Trend Asia
5. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
6. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makasar
7. JPIC OFM
8. Justice, Peace and Integrity of Creation- Societas Verbi Divini (JPIC-SVD)
9. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur,
10. SUNSPIRIT for justice and peace is a civil society organization working in the area of social justice and peace in Indonesia.
11. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Labuan Bajo

 

Narahubung:
1. Ermelina Singereta (08121339904)
2. Muh. Jamil (082165470477)

PERNYATAAN SIKAP ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN) DAN PERHIMPUNAN PEMBELA MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (PPMAN) ATAS TINDAKAN BRUTAL POLISI MENEMBAKI KOMUNITAS MASYARAKAT ADAT BANGKAL KABUPATEN SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Bogor, 7 Oktober 2023

 

Hari ini kembali kita menyaksikan brutalitas aparat kepolisian dalam melakukan penanganan konflik ketika Komunitas Masyarakat Adat berhadapan dengan perusahaan. 1 (satu) nyawa melayang dan 2 (dua) lainnya terluka akibat peluru senjata pihak kepolisian. Puluhan orang lainnya turut ditangkap. Untuk menjawab tuntutan Masyarakat Adat atas lahan plasma yang puluhan tahun tak juga diberikan oleh PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) I, sebuah entitas bisnis milik Best Group, Polisi tak segan menembaki Masyarakat Adat yang seharusnya mereka lindungi.

 

Pihak Kepolisian telah mengetahui bahwa konflik antara Masyarakat Adat dan perusahaan adalah akumulasi sikap perusahaan yang tidak tunduk pada sebuah proses perjanjian. Pihak Kepolisian juga mengetahui bahwa Masyarakat Adat Bangkal di Seruyan mayoritas merupakan Masyarakat Adat Dayak Temuan dan Kuhin. Akan tetapi, sepertinya pihak kepolisian lebih berpihak ke perusahaan, bukan menjadi pihak netral dalam melakukan pengamanan. Pihak Kepolisian diduga melanggar hak asasi manusia serta peraturan kepolisian terutama yang terkait prosedur penembakan, penanganan konflik sosial dan pedoman penanganan unjuk rasa.

 

Menyikapi brutalitas aparat kepolisian terhadap masyarakat sehingga menyebabkan 1 orang anggota Komunitas Masyarakat Adat meninggal dunia dan 2 lainnya terluka , Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyatakan beberapa hal sebagai berikut:

 

  1. Mengecam keras tindakan brutal (excessive power) aparat Kepolisian dalam melakukan penanganan konflik sosial dan unjuk rasa yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Bangkal, Seruyan, Kalimantan Tengah dengan melakukan penembakan dan penangkapan;
  2. Mengecam tindakan aparat Kepolisian melakukan pemblokiran akses keluar masuk kampung dan Desa Bangkal. Tindakan yang kami nilai telah melanggar konstitusi dan hak asasi manusia terutama hak dasar Masyarakat Adat atas akses ekonomi, sosial, politik dan budaya.
  3. Mendesak pihak Kepolisian membebaskan sejumlah Masyarakat Adat yang ditangkap ketika berunjuk rasa memprotes perusahaan;
  4. Mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk memberikan dan memenuhi hak-hak hukum Masyarakat Adat di Desa Bangkal, baik yang tertembak dan juga yang ditahan;
  5. Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar memerintahkan penarikan pasukan pengamanan perusahaan dan mengedepankan upaya dialog bersama semua pemangku kepentingan di Desa Bangkalan, Seruyan;
  6. Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar melakukan penyidikan terhadap pelaku penembakan di Desa Bangkal serta menonaktifkan Kapolres Seruyan dan Kapolda Kalteng sebagai pertanggung jawaban komando wilayah (command responsibility) sehingga terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia;
  7. Mendorong Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) membentuk Tim Pencari Fakta Independen agar melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Komunitas Adat Bangkal Seruyan sehingga hasil tersebut dapat digunakan sebagai bahan proses yudisial sebagai bentuk upaya selanjutnya;
  8. Mendesak agar dilakukan uji balistik oleh pihak independen agar peristiwa penembakan terhadap Komunitas Masyarakat Adat Bangkal dapat dijelaskan secara objektif
  9. Demikian pernyataan sikap ini disampaikan, agar menjadi masukan dan perhatian bagi Kepolisian Republik Indonesia dalam melakukan penanganan konflik di Komunitas Adat Bangkal, Seruyan, Kalimantan Tengah.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

 

Erasmus Cahyadi, S.H – Deputi II Sekjen AMAN bidang Politik dan Hukum (0812-8428-0644)
Syamsul Alam Agus, S.H – Ketua Badan Pelaksana PPMAN (0811-8889-083)