Masyarakat Sipil Pembela HAM dan Masyarakat Adat Sampaikan Sikap Penolakan Terhadap Pengesahan RUU KSDAHE

SIARAN PERS

 

Jakarta (19/01/2024) – Masyarakat Sipil Pembela HAM dan Masyarakat Adat menyampaikan surat terbuka kepada Panitia Kerja RUU KSDAHE dalam menyikapi
legislasi RUU KSDAHE, setelah 8 tahun lebih RUU Konservasi keluar masuk program legislasi nasional. Masyarakat sipil sebelumnya, telah menyampaikan masukan substansi RUU KSDAHE dalam bentuk policy briefs, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) juga rekomendasi kunci pasal-perpasal. Sayangnya, koalisi masyarakat sipil menilai, hingga draft terakhir yang diterima pada Desember 2023, tidak ada perubahan positif secara materil maupun formil dari proses legislasi RUU KSDAHE. Walhi, AMAN, KIARA, BRWA mewakili masyarakat sipil membedah poin-poin krusial yang masih menjadi persoalan kedalam Surat Terbuka untuk menegaskan sikap dan posisi Masyarakat sipil.

 

“Ada 3 (tiga) alasan mengapa kami menolak pengesahan dan mendesak penundaan RUU KSDAHE, dan menuntut agar pemerintah tidak tergesa-gesa dalam mengesahkan RUU KSDAHE. Pertama, Proses legislasi RUU KSDAHE tidak transparan dan partisipatif (meaningfully participated) terutama dalam perumusan pasal – pasal. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya dokumen pada situs website(dpr.go.id) terkait pembahasan legislasi. Kedua, Tidak diakomodirnya usulan kami terkait aspek partisipasi masyarakat, perlindungan dan pengakuan hak – hak masyarkata adat dan Masyarakat lokal. Ketiga, kami justru menemukan pasal-pasal yang bermasalah, dan membuka peluang lebih banyak terjadinya potensi kriminalisasi, diskriminasi, pengabaian hak terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup didalam dan sekitar kawasan konservasi” tegas Cindy Julianty (Mewakili BRWA) Permasalahan substantif RUU KSDAHE Satrio Manggala (Manager Kajian Hukum dan Kebijakan WALHI) menyampaikan “Kami melihat isu Konservasi belum menjadi concern pengambil kebijakan, padahal ini merupakan isu penting untuk menjawab tantangan perubahan iklim dan krisis ekosistem hari ini. Hal ini dapat kita lihat dari absennya isu ini dari materi debat capres 2024. Dari segi substansi, RUU KSDAHE juga menggunakan pendekatan represif untuk memastikan supaya kegiatan konservasi berjalan. Hal ini terlihat dari bentuk-bentuk sanksi dan pemidanaan yang lebih berorientasi pada pidana penjara. Padahal pidana koservasi memiliki motif ekonomi, sehingga seharusnya lebih menekankan sanksi denda dan perampasan asset, sanksi pidana ini juga bukan ditujukan untuk korporasi melainkan perorangan, sehingga membuka lebih banyak potensi
kriminalisasi”.

 

 

Lebih lanjut, Satrio menilai RUU KSDAHE memiliki paradigma konservasi yang cenderung melihat masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai ancaman bukan sebagai mitra yang berkontribusi dalam pengelolaan konservasi, alhasil pendekatan yang dilakukan negara justru kembali memunculkan konflik dan mengeksklusi masyarakat dari ruang hidupnya.

 

terlihat moderator sedang memandu jalannya diskusi dalam konferensi pers di EN Walhi
terlihat moderator sedang memandu jalannya diskusi dalam konferensi pers di EN Walhi

 

Poin kritis lain disampaikan Moehammad Arman (Direktur Adv. Kebijakan, Hukum & HAM – AMAN) “Kita tau bahwa kita menghadapi persoalan penyelenggaraan konservasi hari ini yang tidak berbasis pada hak asasi manusia dan abai terhadap hak Masyarakat adat. Kami mengamati RUU KSDAHE ini juga tidak mengubah status quo, artinya tidak ada perubahan positif. hal ini dibuktikan dengan tidak adanya partisipasi berarti dan persetujuan atas dasar tanpa paksaan di awal (Padiatapa) dalam penetapan kawasan konservasi. Kita tahu banyak dari kasus kriminalisasi terajdi akibat negara tidak memperhatikan aspek ini. Misalnya kasus di colol yang dikenal dengan Rabu Berdarah yang menyebabkan 6 orang tewas, 28 orang luka-luka dan 3 orang diantaranya cacat permanen. Sehingga menjadi kekeliruan, jika RUU tidak mengatur aspek hak dan partisipasi. Padahal ada 75% wilayah adat masuk ke dalam Kawasan hutan dimana 1,6 juta hektare wilayah yang masuk dalam konservasi memiliki populasi sekitar 2,9 juta orang”.

 

RUU ini juga memiliki pasal bermasalah terkait dengan Areal Preservasi (Pasal 8 ayat) yang tidak jelas dan tidak menjawab tuntutan untuk mengakui actor konservasi lain diluar negara. Kendati telah menyebutkan AKKM dan Daerah Perlindungan Kearifan Lokal, namun penetapan preservasi terkesan hanya berorientasi pada perluasan Kawasan konservasi semata tanpa memperhatikan aspek hak dan distribusi manfaat. Hal ini ditekankan dalam Pasal 9 ayat (1) yang mempersempit ruang lingkup areal
preservasi sebatas mempertahankan fungsi perlindungan wilayah dengan melakukan tindakan konservasi, dimana dalam hal pemegang izin diwilayah tersebut tidak melakukan tindakan konservasi, maka akan berkonsekuensi pada sanksi pelepasan hak atas tanah.

 

 

Kasmita Widodo Kepala BRWA menyoroti relevansi pengakuan dan perlindungan wilayah adat dan hutan adat dalam RUU KSDAHE. “Kami setahun lalu punya harapan (draft RUU KSDAHE Tahun 2022), ada perubahan positif yang dapat melindungi Masyarakat dan mengakui kontribusi Masyarakat atas konservasi keanekaragaman hayati. Namun alih-alih memperbaiki kebijakan konservasi agar lebih inklusif, RUU KSDAHE justru ini akan mengkebiri Putusan MK 35/2012 dan berdampak pada perjuangan
Masyarakata Adat untuk mengembalikan hak Masyarakat Adat atas wilayah dan hutan adatnya. Kita tahu bahwa kita mengalami kesulitan dalam mengusulkan hutan adat dikawasan konservasi, ketentuan mengenai larangan bagi pengurangan luasan di Kawasan Pelestarian Alam akan semakin memperkuat
kebijakan konservasi yang sentralistik”.

 

“KIARA memandang, RUU ini dapat menjadi ancaman perampasan wilayah pesisir dan laut atau Ocean Grabbing, sehingga RUU KSDAHE dapat memenuhi ambisi KKP dalam mencapai target 30 by 30 yang bertumpu pada perluasan Kawasan Konservasi yang sebenarnya tetap melanggengkan konservasi yang selama ini sebenarnya sudah gagal untuk melakukan pelestarian alam dan laut. Padahal praktik-praktik terbaik ada dimasyarakat, bukan hanya dilakukan oleh negara, justru praktik inilah yang seharusnya diakomodir dan diakui oleh negara sebagai kontribusi Masyarakat untuk pencapaian tersebut dengan cara Masyarakat sendiri. ” sambung Erwin Suryana (Deputi Program dan Pengelolaan Pengetahuan KIARA).

 

Erwin juga mengemukakan bahwa RUU KSDAHE belum mengarah pada model konservasi yang inklusif namun justru membuka ruang untuk private sector(investor) agar dapat bekerja lebih dalam di wilayah – wilayah konservasi yang dibungkus atas nama Jasa Lingkungan untuk melanggengkan proses kapitalisasi atau akumulasi modal.
Tuntutan Masyarakat Sipil “Hasil call kami bersama teman teman organisasi masyarakat sipil dan jaringan masyarakat adat dan pembela HAM menyimpulkan bahwa RUU KSDAHE gagal dalam mewujudkan transformasi kebijakan konservasi yang inklusif, adil, berbasis hak, berbudaya dan berciri-khas nusantara. Kami mempertegas
kembali posisi kami terhadap legislasi RUU KSDAHE dalam surat terbuka yang akan kami sampaikan kepada Panitia Kerja RUU KSDAHE” ungkap Cindy Julianty menyampaikan kesimpulan.

30 Orang Anak Muda PBD Ikuti Pelatihan Paralegal Untuk Penguatan Perjuangan Masyarakat Adat

SORONG – Sebanyak tiga puluh (30) anak muda dari beragam komunitas adat Moi di Sorong Papua Barat Daya mengikuti pelatihan paralegal. (28/11/2023)

 

Kegiatan yang berlangsung pada 28- 30 November 2023 di Sorong merupakan pembekalan pengetahuan soal keterampilan hukum yang difasilitasi oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) ini berkolaborasi dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.

 

Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus dalam pemaparan materinya mengatakan, pelatihan paralegal ini bertujuan agar Masyarakat Adat memiliki kemampuan untuk memahami hukum, serta mampu memahami dan melihat kondisi masalah yang ada di komunitas mereka.

 

“Termasuk agar Masyarakat Adat juga memiliki kemampuan untuk mendampingi Masyarakat Adat yang memiliki masalah hukum, karena memperjuangkan hak-haknya,” katanya.

 

Diakuinya, dalam aktivitasnya untuk memperjuangkan hak-haknya, Masyarakat Adat kerap menghadapi permasalahan hukum. Bahkan, dalam beberapa kasus berakhir dengan putusan pengadilan yang dinilai merugikan Masyarakat Adat.

 

“Tidak dapat dipungkiri, pelayanan hukum untuk masyarakat adat masih terbatas, ” ujarnya.

 

 

Koordinator PPMAN Region Papua, Jeklin Kafiar menyebutkan hampir semua Masyarakat Adat di Papua khususnya di Sorong mengalami masalah perampasan tanah ulayat sampai tindakan kriminalisasi.

 

Sementara kondisi di sini sangat sulit mencari advokat yang mau bersukarela membantu memperjuangkan Masyarakat Adat.

 

“Semoga dengan pelatihan ini bisa membantu perjuangan Masyarakat Adat di Papua Barat Daya terlebih khusus suku Moi,” kata Kafiar.

 

Ia mengakui keterlibatan pemuda terlebih khususnya perempuan dalam menjalankan advokasi sangatlah penting.

 

Katanya, perempuan bukan lagi penjaga tanah adat melainkan perempuan adalah pengerak  penjaga tanah adat.

 

“Ini awal, ke depan kami berharap lebih banyak perempuan yang terlibat kegiatan seperti ini. Perempuan harus menjadi pengerak penjaga tanah adat, ” harapnya.

 

***

LOLOS DISMISSAL PROCESS, GUGATAN MASYARAKAT ADAT TERKAIT PMH PEMERINTAH DI PTUN MASUK POKOK PERKARA

SIARAN PERS

 

Jakarta, 30/11/2023 – Setelah menjalani 4 (empat) kali sidang persiapan (dismissal process) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, akhirnya gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) oleh Pemerintah terhadap abai dan tidak dilanjutkannya pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat disetujui oleh Majelis Hakim TUN untuk masuk ke pemeriksaan pokok perkara. Pembacaan gugatan dengan nomor pokok perkara 542/G/TF/2023 dilangsungkan pada tanggal 7 Desember 2023.

 

“Kami sangat menyambut baik selesainya sidang dismissal terkait gugatan oleh Masyarakat Adat. Selanjutnya, kami berharap Pemerintah, dalam hal ini DPR dan Presiden RI mulai berpikir untuk menyiapkan jawaban atas gugatan kami,” ungkap Fatiatulo Lazira, kuasa hukum Masyarakat Adat dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Beberapa hal poin krusial terkait gugatan tersebut menyasar antara lain lemahnya pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat akibat belum adanya payung hukum nasional berupa Undang-Undang khusus mengatur Masyarakat Adat. Lainnya adalah lambannya proses pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat lebih dari 15 tahun berpotensi tidak hanya pemborosan keuangan negara tetapi membuka peluang terjadinya kriminalisasi di level akar rumput.

 

“Kita harus memahami konteks perlindungan dan pengakuan merupakan kewajiban negara terhadap warganya. Kewajiban tersebut tidak dijalankan, maka kami menuntut hak tersebut. Sudah cukup peristiwa perampasan wilayah adat dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat,” sambungnya.

 

Kuasa Hukum Masyarakat Adat saat dalam ruang persidangan
Kuasa Hukum Masyarakat Adat saat dalam ruang persidangan

 

Ketua Badan Pelaksana Sekretariat Nasional PPMAN, Syamsul Alam Agus menambahkan terkait berlanjutnya pemeriksaan pokok perkara memberi sinyal peringatan terhadap Pemerintah agar lebih serius meletakkan kepentingan warga negara di atas kepentingan kelompok tertentu. Masifnya giat eksploitasi sumber daya alam memberi pengaruh bagi meluasnya konflik atas ruang hidup.

 

“Melalui jawaban para Tergugat nantinya, kita dapat menilai sejauh mana keseriusan mereka melakukan perlindungan dan pengakuan. Jangan cuma senang eksploitasi SDA tanpa memikirkan dampak nyata aktivitas tersebut bagi pemenuhan hak konstitusi masyarakat,” imbuhnya.

 

Agenda sidang mulai dari pembacaan gugatan, jawaban, replik dan duplik akan dilaksanakan berbasis e-court (sistem online). Sedangkan khusus untuk agenda pembuktian baik surat, saksi, dan keterangan ahli dilakukan lewat tatap muka (sistem offline).

 

Untuk informasi lanjutan dapat menghubungi:

 

Syamsul Alam Agus – Ketua PPMAN        : 0811-8889-083

Fatiatulo Lazira – Advokat PPMAN            : 0812-1387-776

PERNYATAAN SIKAP MASYARAKAT SIPIL ATAS PENGERAHAN APARAT BERSENJATA DAN TINDAKAN BRUTAL TERHADAP MASYARAKAT ADAT POCOLEOK MANGGARAI

Jakarta, 27 November 2023 – Masyarakat Adat Poco Leok Manggarai, Nusa Tenggara Timur Kembali mendapat perlakuan semena-mena oleh aparat bersenjata (Polri dan TNI) yang bertugas mengamankan pihak PT PLN dan tim PADIATAPA (Persetujuan di Awal Tanpa Paksaan) mendatangi Poco Leok, wilayah yang menjadi target pengembangan industri penambangan Geothermal. Peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu, 25 November 2023.

 

Masyarakat Adat Poco Leok menolak kehadiran PLN geothermal dan tim PADIATAPA (Persetujuan di awal tanpa paksa) karena hal itu merupakan eksploitasi dan perampasan tanah (Wilayah Adat) Masyarakat Adat Poco Leok untuk kepentingan pembangunan pembangkit listrik tenaga (PLTP) atau Geothermal. Dengan dalih melakukan sosialisasi kepada warga, pihak PLN membawa pengamanan aparat bersenjata lengkap berjumlah ratusan orang, baik Polri maupun TNI. Tidak kurang tujuh unit mobil dan puluhan kendaraan roda dua dikerahkan melakukan pengamanan tersebut.

 

Alhasil, penolakan Masyarakat Adat Poco Leok atas kedatangan mereka dibalas dengan tindakan represif oleh aparat. Aparat secara brutal mendorong bahkan memukul warga untuk tidak menghalang-halangi kedatangan mereka. Berlindung dibalik Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam upaya liberalisasi tenaga listrik, PLN dengan menggunakan tangan aparat tak segan melukai warga. Harga diri sebagai manusia diinjak-injak dan ruang hidup Masyarakat Adat Poco Leok akan hilang demi pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal).

 

Tindakan represif aparat kepada Masyarakat Adat Poco Leok merupakan pelanggaran dan pengingkaran terhadap  hak atas kebebasan mengeluarkan dan menyampaikan pendapat sebagaimana yang dijamin dalam UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights/ICCPR);

 

Prinsip persetujuan di awal tanpa paksaan pihak PLN hanyalah jargon usang sebagai pelengkap persyaratan memuluskan pinjaman dari bank untuk pembiayaan proyek geothermal. Berkali-kali masyarakat menolak, tetapi tidak diindahkan. Jawaban atas penolakan adalah popor senjata, pitingan dan terjangan sepatu lapangan petugas.

 

Penolakan Masyarakat Adat Poco Leok, Manggarai, terkait pembangunan pembangkit listrik Geothermal di Poco Leok, merupakan UPAYA MEMPERTAHANKAN WILAYAH ADATNYA sebagaimana dijamin dalam instrumen hukum nasional dan Hukum Internasional yang mengakui dan menghormati hak-hak Masyarakat Adat, yaitu Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 Jo. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 Jo. Pasal 6 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012, Tanggal 16 Mei 2013 Jo Deklarasi Perserikatan Bangsa bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration On The Rights Of Indigenous Peoples) Jo Konvensi ILO No. 169 Tahun 1989 Mengenai Masyarakat Hukum Adat.

 

Warga Poco Leok saat lakukan penolakan kehadiran rombongan PLN beserta Aparat TNI dan Kepolisian
Warga Poco Leok saat lakukan penolakan kehadiran rombongan PLN beserta Aparat TNI dan Kepolisian

 

Atas berulangnya peristiwa kekerasa aparat terhadap Masyarakat Adat Poco Leok, maka Koalisi Advokasi Poco Leok menegaskan:

 

  1. Mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh PLN melalui aparat keamanan (TNI dan Polri);
  2. Mendesak Kapolri mencopot Kapolda NUSA Tenggra Timur dan Kapolres Manggarai karena melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia;
  3. Mendesak Kapolri dan Panglima TNI untuk memerintahkan penarikan aparat keamananan yang bertugas di Poco Leok;
  4. Mendesak Kapolri, Kapolda Nusa Tenggara Timur, dan Kapolres Manggarai agar menghentikan kriminalisasi kepada Masyarakat Adat Poco Leok, dengan cara menghentikan pemanggilan dalam bentuk apapun kepada Masyarakat Adat Poco Leok.
  5. Mendesak Menteri BUMN melakukan evaluasi terhadap jajaran Direksi PT PLN atas peristiwa di Poco Leok;
  6. Mendesak Pemerintah Indonesia dan PT PLN menghentikan sementara aktivitas apapun terkait pembangunan Geothermal di Poco Leok hingga ada pernyataan resmi akan mengikuti prinsip-prinsip yang tertuang di dalam free, prior, informed, consent (FPIC) sesuai panduan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).

 

Demikian pernyataan sikap ini kami berikan agar semua pihak terkait dapat segera menindaklanjuti dan menunjukkan itikad baik terhadap warga negara yang seharusnya dilindungi.

 

Koalisi Advokasi Poco Leok:

  1. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
  2. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
  3. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
  4. Trend Asia
  5. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  6. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar
  7. JPIC OFM
  8. Justice, Peace and Integrity of Creation- Societas Verbi Divini (JPIC-SVD)
  9. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur,
  10. Sunspirit for Justice and Peace, Labuan Bajo
  11. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Labuan Bajo

 

Narahubung:

  1. Ermelina Singereta, S.H., M.H. : 0812-1339-904
  2. Judianto Simanjuntak, S.H. : 0857-7526-0228

***

Gugatan TUN PMH Penguasa: DPR dan Pemerintah Kembali Mangkir Dari Sidang

Press Release

 

Jakarta (16/11/2023) – Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Penguasa, dalam hal ini DPR dan Presiden RI, yang dilayangkan oleh Masyarakat Adat, telah masuk dalam tahapan sidang persiapan (dismissal process) kedua. Namun, kembali pihak tergugat tidak menghadiri sidang persiapan tersebut. Mereka digugat oleh Masyarakat Adat melalui kuasa hukumnya, yakni Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), karena RUU Masyarakat Hukum Adat tersebut tak kunjung selesai dalam kurun lebih dari 15 tahun. Padahal, sejak tahun 2020 lalu,  persiapan RUU di tingkat I telah selesai tapi tak kunjung menjadi RUU Inisiatif DPR. Akibatnya, Masyarakat Adat sering menjadi objek kriminalisasi dan kehilangan ruang hidup mereka. Tidak ada perlindungan dan pengakuan yang cukup terhadap mereka. Terbukti, menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) rentang 5 tahun kebelakang, 301 kasus menimpa Masyarakat Adat. PPMAN sendiri, selama Januari – Oktober 2023 telah menangani 33 kasus di mana 12 kasus terkait kriminalisasi dan perampasan lahan.

 

“Tampaknya pihak Tergugat yaitu Penguasa tidak merasa penting memperhatikan Masyarakat Adat. Komitmen membentuk payung hukum, Undang-Undang untuk Masyarakat Adat cuma janji kosong rejim penguasa,” ungkap Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pengurus PPMAN.

 

Menurut Pasal 63 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986  tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang  Perubahan atas Undang-Undang  Nomor 5 tahun 1986 tentang  Peradilan Tata Usaha Negara, kehadiran pihak Tergugat dibutuhkan dalam sidang persiapan guna melengkapi data dan memberi penjelasan agar gugatan Penggugat dapat lebih lengkap.

 

“Sehingga dapat diterjemahkan bahwa ketidakhadiran kembali pihak Tergugat dalam sidang ini adalah bentuk kesengajaan dalam menghalang-halangi Masyarakat Adat menuntut hak dasar mereka untuk diakui, dilindungi dan dihormati,” jelasnya lebih lanjut.

 

DPR dan Presiden RI digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur oleh AMAN, Masyarakat Adat Ngkiong Manggarai, Tobelo Dalam Halmahera, dan Osing Banyuwangi.

 

“Sebagai warga negara wajib untuk terus mengingatkan Pemerintah agar memenuhi kewajiban konstitusionalnya, terlebih kewajiban melindungi segenap rakyat Indonesia, tanpa terkecuali” pungkasnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi :

 

Syamsul Alam Agus, S.H – 0811.8889.083

 

Fatiatulo Lazira, S.H – 0812.1387.776

Proses Hukum Janggal: Keluarga Korban Pembunuhan Desa Bangkal Mengadu Ke Lembaga Negara Indonesia

Jakarta – Perwakilan Keluarga Korban Pembunuhan Warga Desa Bangkal terus melakukan upaya untuk mencari keadilan bagi korban di Negara ini. Walaupun sebelumnya laporan mereka ditolak oleh Bareskrim Mabes Polri mereka tidak mengendurkan  semangatnya. Mereka mendatangi  sejumlah Lembaga Negara yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM), Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia (Kompolnas) dan Ombudsman Republik Indonesia untuk menuntut keadilan atas kasus penembakan yang diduga kuat dilakukan oleh Brimob Polda Kalteng yang menyebabkan kematian Almarhum Gijik dan luka berat yang dialami Sdr Taufik. Hingga kini kasus pengungkapan kasus penembakan tersebut tidak jelas dan anehnya justru warga yang dipanggil Kepolisian Polda Kalteng dengan pasal-pasal yang diduga akan mengkriminalisasi warga. (10/11/2023)

 

Keluarga korban berharap kepada keempat Lembaga negara ini menjalankan fungsi serta kewenangannya khususnya berkaitan dengan penegakan hukum dan HAM kasus pembunuhan yang ada di Desa Bangkal. Adapun harapan dari keluarga korban terhadap keempat Lembaga negara ini adalah sebagai berikut:

 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pihak keluarga korban dan saksi meminta adanya perlindungan bagi warga Desa Bangkal yang menjadi bagian peristiwa pada tanggal 07 Oktober 2023. Posisi pihak keluarga korban dan para saksi dalam keadaan kebingungan serta ketakutan. Kebingungan warga soal penegakan hukum bagi pelaku pembunuhan yang tak kunjung di proses. Warga juga mengalami ketakutan karena adanya intimidasi berupa pemanggilan dari Kepolisian. Pemanggilan tersebut berkenaan dengan perbuatan melawan aparat yang sedang bertugas. Keluarga dan warga takut akan upaya kriminalisasi dari pihak tertentu. Pada pertemuan dengan pihak Komnas Ham warga ditemui oleh Komisioner yang juga ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro.

 

Lembaga Saksi dan Korban (LPSK), diharapkan  dapat memberikan perlindungan kepada pihak keluarga korban dan menjawab kebutuhan pemulihan korban dan keluarganya. Permohonan warga pun telah disampaikan langsung kepada pihak LPSK.

 

Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia (Kompolnas), diminta oleh pihak keluarga korban untuk melakukan pengawasan dan memberikan rekomendasi terkait proses hukum yang berjalan agar imparsial dan adil meskipun diduga pelakunya adalah anggota kepolisian dan jangan sampai justru mengkriminalkan korban.

 

Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal saat di Kompolnas
Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal saat di Kompolnas

 

Ombudsman Republik Indonesia, warga Desa Bangkal melaporkan dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah dan Mabes Polri karena tidak memberikan pelayanan publik secara baik kepada warga. Hal ini terkait brutalitas aparat dalam pengamanan aksi warga, Penggunaan kekuatan aparat kepolisian yang berlebihan (excessive use of force) dan penolakan laporan pembunuhan oleh keluarga korban di Kepolisian tanpa alasan yang sah.

 

Kami dari Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal menilai bahwa kasus pembunuhan warga Desa Bangkal merupakan cerminan buruknya jaminan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan  hak asasi manusia oleh aparat penegak hukum di Republik ini. Pelanggaran-pelanggaran yang dipertontonkan oleh aparat hukum dengan cara melawan hukum terkesan sengaja dilanggengkan dengan diberikan impunitas. Tentu hal ini akan semakin memperburuk citra  Indonesia yang mengaku sebagai Negara hukum.

 

Kita ketahui bahwa Lembaga Negara seperti Komnas Ham, LPSK dan Kompolnas telah mengikuti proses kasus penembakan warga Desa Bangkal dan Lembaga ini telah melakukan investigasi lapangan. Di tengah ketidakpastian akan proses penegakan hukum yang berjalan, kami masih menaruh secercah harapan kepada lembaga-lembaga negara ini. Semoga harapan kami tidak berujung kepada ketidakpercayaan dan pembiaran terhadap praktik kesewenang-wenangan dan pelanggaran HAM oleh aparat negara dan Korporasi yang dilindungi oleh Aparat kepolisian.

 

Kasus Bangkal yang dilatarbelakangi oleh konflik agraria, memperpanjang daftar kekerasaan aparat penegak hukum kepada warga yang sedang mempertahankan haknya. Kasus Bangkal juga mempertebal pemahaman kita soal ketidakmampuan negara melindungi rakyatnya. Situasi seperti ini menyadarkan bahwa kekuatan kolektif rakyatlah yang dapat menyelamatkannya dari ketidakadilan dan perampasan ruang hidup. Rakyat harus bersatu sebagaimana Masyarakat Adat Laman Kinipan yang terus melawan dan mempertahankan wilayah adat mereka, Masyarakat Rempang dan masyarakat lainnya.

 

Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal

 

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia), PW AMAN Kalteng, WALHI Kalteng, PROGRESS, Yayasan Betang Borneo Indonesia (YBBI),  Save Our Borneo (SOB), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Greenpeace Indonesia, Sawit Watch, LBH Palangkaraya, dan LBH Genta Keadilan.

 

***

Laporan Keluarga Korban Penembakan Desa Bangkal di Tolak Bareskrim Polri: Negara Gagal Memenuhi Perlindungan HAM, Mewujudkan Keadilan dan Kepastian Hukum

Jakarta – Keluarga korban kasus penembakan Desa Bangkal melaporkan peristiwa yang terjadi pada tanggal 07 Oktober 2023 ke Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri bersama Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal. (09/11/2023)

 

Sejak semula pihak Kepolisian telah memberikan kesan tidak mau menerima laporan dari pihak keluarga korban dengan alasan yang dibuat-buat seperti tidak cukup bukti. Setelah terjadi perdebatan yang cukup alot antara Tim Advokasi dan penyidik terkait kewenangan penerimaan laporan polisi. Pihak penyidik pun seolah-olah melakukan koordinasi dengan pihak pimpinan untuk mendapatkan keputusan.

 

Akhirnya sekitar pada pukul 16.00 WIB, pihak keluarga korban bersama tim Advokasi diajak menemui penyidik Bareskrim Piket Konsultasi Pelaporan  dilantai 4. Pertemuan tersebut, pihak keluarga korban bersama tim advokasi menyampaikan maksud kedatangan mereka yang jauh-jauh dari Kalimantan Tengah.

 

Pertama, maksud kedatangan adalah untuk membuat laporan polisi terkait meninggalnya Gijik pada tanggal 07 Oktober 2023 dan Taufik mendapatkan luka serius yang diduga kuat dari peluru tajam yang ditembakan oleh Aparat Kepolisian saat melakukan pengamanan aksi. Kedua, mengapa mengajukan laporan ke Mabes Polri karena sebelumnya pada tanggal 30 Oktober 2023, pihak keluarga korban telah melaporkan peristiwa tersebut ke pihak Polda Kalteng namun tidak mendapatkan respon. Ketiga, alih-alih proses penegakan hukum berjalan untuk mengusut peristiwa penembakan yang menyebabkan kematian, pihak Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah malah memanggil para warga Desa Bangkal dan sekitarnya dengan total 35 orang untuk memberikan kesaksian soal peristiwa di tanggal 07 Oktober 2023 dengan Pasal melawan aparat yang sedang bertugas dan membawa senjata tajam tanpa ijin.

 

Setelah terjadi diskusi dan tanya jawab, pada akhirnya  penyidik Bareskrim Piket Konsultasi Pelaporan menyatakan menolak laporan dari keluarga korban dengan alasan bahwa proses penyidikan telah berjalan di Polda Kalteng. Keluarga korban diminta percaya kepada penyidik dan menunggu pengumuman resmi dari pihak Polda Kalimantan Tengah. Proses penolakan dari Mabes Polri yang diwakili oleh penyidik Bareskrim Piket Konsultasi Pelaporan atas adanya laporan dari pihak keluarga korban sangatlah mencederai rasa keadilan bagi pihak keluarga. Atas penolakan dari Mabes Polri ini kami memberikan kesimpulan sebagai berikut:

 

  1. Pihak Mabes Polri meminta keluarga korban untuk percaya kepada pihak kepolisian khususnya proses hukum yang sedang dijalankan oleh Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah yang mana telah 1 bulan lebih berlalu pihaknya belum menetapkan satupun tersangka dari peristiwa pembunuhan tanggal 07 Oktober 2023 di Desa Bangkal.

 

  1. Pihak Mabes Polri meminta keluarga korban untuk percaya kepada proses penegakan hukum yang dijalankan Polda Kalimantan Tengah dimana sangat berpotensi adanya konflik kepentingan karena dugaan kuat pelaku penembakan adalah satuan mereka.

.

  1. Pihak Mabes Polri meminta keluarga korban untuk percaya kepada proses penegakan hukum di Polda Kalteng walaupun pada faktanya yang di proses adalah warga sebanyak 35 orang. Kuat dugaan penanganan kasus diarahkan kepada skenario : Warga Bangkal Melawan Aparat Saat Bertugas dan Membawa Senjata Tajam- Pihak Kepolisian Melakukan Tembakan Karena Massa Tidak Bisa Di Tenangkan – Pelaku Penembakan Di Proses Hukum – Pelaku Penembakan Bebas Dari Jeratan Hukum Karena Sedang Menjalankan Tugas sebagaimana diatur dalam  Pasal 48, 49, 50 dan 51 KUHP.

 

  1. Pihak Mabes Polri telah menghalang-halangi pihak keluarga korban maupun saksi untuk mendapatkan perlindungan dari lembaga negara seperti lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) yang mensyaratkan adanya laporan polisi untuk dapat memberikan perlindungan.

 

Polri telah diberikan amanat sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, termasuk ketika warga negara memberikan informasi mengenai adanya peristiwa tindak pidana yang terjadi dengan dan dibuatkannya laporan polisi. Selain itu, dalam tataran teknis, setiap anggota Polri dilarang menolak laporan atau pengaduan dari masyarakat tanpa alasan yang sebagaimana ditegaskan dalam 13 Ayat (2) huruf a Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Atas penolakan tersebut mengakibatkan ketidakpercayaan keluarga korban terhadap proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian sehingga patut diduga terjadi rekayasa hasil atas peristiwa terbunuhnya (Alm) Gijik serta kekerasan dengan menggunakan senjata. Penolakan tersebut merupakan potret pengingkaran Kepolisian Republik Indonesia terhadap komitmen transparansi serta integritas.

 

Kami dari Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal mengajak semua elemen masyarakat untuk menyatakan ketidakpercayaan kepada institusi kepolisian khususnya Polda Kalimantan Tengah karena dugaan kuat penembak yang menyebabkan gugurnya Gijik dan terlukanya Taufik merupakan kesatuan dari mereka.

 

Kami juga mengajak Masyarakat Desa Bangkal dan sekitarnya yang terlibat dalam peristiwa ini untuk meningkatkan persatuan kesatuan dalam menghadapi segala kemungkinan yang terjadi kedepan.

 

Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal

 

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia), PW AMAN Kalteng, WALHI Kalteng, PROGRESS, YBBI,  SOB, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Greenpeace Indonesia, Sawit Watch, LBH Palangkaraya, dan LBH Genta Keadilan

 

***

Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang Mengecam Pernyataan Kapolresta Barelang Soal Papan Bunga yang Hilang Karena Tertiup Angin di Beberapa Media

Press Release

 

Batam – Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang mengecam keras pernyataan ugal-ugalan yang disampaikan oleh Kapolresta Barelang terkait dengan papan bunga di depan Pengadilan Negeri Batam yang hilang karena tertiup angin. Pernyataan ini mencerminkan ketidakprofesionalan Kepolisian sebagai aparat penegak hukum. (08/11/2023)

 

Selain tidak profesional, ucapan Kapolresta yang menyatakan bahwa papan bunga tertiup angin pun kami anggap sebagai upaya ‘cuci tangan’. Dalam beberapa kesempatan, Kepolisian memang seringkali ‘mengkambinghitamkan’ angin. Sebelumnya pada tanggal 7 September 2023 lalu, saat aparat begitu brutal menembakan gas air mata, ‘angin’ juga disalahkan karena mengarah ke sekolah.

 

Lebih jauh, kami menilai bahwa pernyataan ini merupakan bentuk sikap pengabaian masalah, di tengah perhatian nasional dan internasional terhadap isu pelanggaran HAM di Pulau Rempang. Alih-alih mencari dalang yang mencuri dan sengaja menghilangkan papan bunga tersebut, pernyataan dari Kapolres justru akan memperkeruh suasana dan semakin melukai perasaan keluarga korban khususnya keluarga masyarakat Rempang yang masih ditahan, ucap Sopandi Wakil Ketua PBH Peradi Batam.

 

Berdasarkan informasi di lapangan, tak berselang lama setelah papan bunga yang berisi solidaritas terhadap korban kriminalisasi hilang, persisnya pada senin, 6 November 2023, pagi harinya, mulai bermunculan papan bunga tandingan. Berbagai papan bunga tersebut berisikan kata-kata yang kontra dengan papan bunga sebelumnya yang menghilang secara misterius.

 

salah satu karangan bunga dari Masyarakat Rempang
salah satu karangan bunga dari Masyarakat Rempang

 

“Kami menduga bahwa ada keterlibatan pihak-pihak yang tidak terima dengan upaya permohonan praperadilan sebagai dalang dari hilangnya papan bunga yang berisi solidaritas terhadap masyarakat rempang ini. Hal ini menunjukkan watak pihak tersebut yang anti kritik dan represif terhadap ekspresi masyarakat.” Ucap Andi Wijaya Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru.

 

Andi Wijaya menambahkan bahwa papan bunga yang sebelumnya dikirimkan oleh berbagai simpul masyarakat sipil merupakan bentuk solidaritas masyarakat terhadap tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh Kepolisian. Bentuk ekspresi itu merupakan perbuatan sah dan konstitusional sehingga harus dihormati. Papan bunga tentu saja bukan sesuatu yang dapat diklasifikasikan sebagai ancaman sehingga tidak perlu untuk diamankan. Selain itu, warga yang bersolidaritas saat itu juga sempat dilarang masuk ke Pengadilan Negeri Batam dan warga yang sudah didalam Pengadilan diusir dari Pengadilan Negeri Batam padahal sidang terbuka untuk umum sehingga tidak ada yang boleh membatasi warga untuk menyaksikan persidangan.

 

Terlebih dalam perkara ini, Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang saat itu, sedang mengajukan permohonan pra peradilan kepada Pengadilan Negeri Batam atas berbagai pelanggaran prosedural dalam tindakan Kepolisian. Di tengah kriminalisasi yang sedang berjalan, wajar jika masyarakat membangun solidaritas, salah satunya dengan mengirimkan dukungan dan doanya salah satunya lewat medium papan bunga dengan tuntutan hakim agar menghadirkan keadilan.

 

“Sudah seharusnya Kepolisian mencari dalang di balik pencurian papan bunga ucapan daripada masyarakat terkait dukungan dan doa melalui papan bunga agar hakim mengadili perkara praperadilan tersebut secara adil, yang pada intinya isi papan bunga positif semua kata-katanya. Sebab tindakan pencurian seperti ini dapat menimbulkan kegaduhan di publik nantinya dan ketidaknyamanan masyarakat. Untuk itu, Kepolisian harus segera melakukan penyelidikan atas kasus ini dan mengungkap siapa pelaku dan motifnya agar terang dan tidak jadi isu liar di masyarakat.” Kata Mangara Sijabat Direktur LBH Mawar Saron Batam.

 

Mangara menambahkan, bahwa selain itu, kami menilai upaya menghilangkan dan mencuri papan bunga yang berisi ucapan doa dan dukungan masyarakat terhadap hakim dalam mengadili perkara praperadilan ini merupakan bentuk pembatasan kebebasan berekspresi. Hal tersebut tentu saja melanggar berbagai instrumen nasional maupun internasional seperti halnya yang diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hingga Kovenan Hak Sipil dan Politik.

 

Even Sembiring Direktur Eksekutif Walhi Riau mengungkapkan, “hal ini juga kami anggap sebagai upaya menggembosi gerakan masyarakat yang bersolidaritas bersama warga Rempang yang mengalami kriminalisasi. Upaya memanipulasi narasi pun terus dilakukan untuk mengaburkan fakta sebenarnya. Semua ini tentu tidak terlepas dari arus investasi yang masuk dengan memaksakan kehendak sehingga berimplikasi pada terlanggarnya hak-hak masyarakat. Jika nyata-nyata peristiwa pembatasan kebebasan sipil ini diintervensi kekuatan yang besar, maka kami meminta Presiden Jokowi untuk memberikan perhatiannya pada persoalan yang kami yakini tidak bisa diselesaikan oleh Kepolisian Republik Indonesia. Sebab ini merupakan ancaman serius terhadap demokrasi di Indonesia.”

 

Untuk diketahui, Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang terdiri atas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), YLBHI-LBH Pekanbaru; Eksekutif Nasional WALHI; Eksekutif Daerah WALHI Riau; LBH Mawar Saron Batam; PBH Peradi Batam; Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN); Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA); Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Trend Asia.

 

***

PPMAN: KETIDAKHADIRAN DPR DAN PRESIDEN DI PERSIDANGAN, PRESEDEN BURUK KETIDAKPATUHAN TERHADAP PROSES HUKUM

Press Release

 

Jakarta, (02/11/2023) – Sidang gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), dengan agenda pemeriksaan persiapan yang dilangsungkan di PTUN Jakarta, tidak dihadiri oleh DPR dan Presiden sebagai pihak tergugat.

 

Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) sekaligus sebagai kuasa hukum Para Penggugat menilai ketidakhadiran DPR dan Presiden di persidangan mengkonfirmasi ketidakberpihakan kedua lembaga negara itu terhadap Masyarakat Adat di Indonesia.

 

“Kami menyesalkan sikap DPR dan Presiden yang tidak menghargai proses hukum. Ketidakhadiran mereka di persidangan adalah contoh buruk ketidakpatuhan negara yang tidak patut dicontoh”, ujarnya.

 

Menurut Alam, sikap abai DPR dan Presiden sudah ditunjukkan sejak RUU Masyarakat Hukum Adat masuk dalam prolegnas pada tahun 2004 sampai dengan sekarang.

 

“DPR dan Presiden bersikap abai dan melakukan tindakan penundaan berlarut pada proses pembentukan UU Masyakarat Hukum Adat, yang merupakan kewajiban konstitusional kedua lembaga itu. Akibatnya, praktik perampasan wilayah adat, penggusuran masyarakat adat dari wilayah adat, diskriminasi dan kriminalisasi serta hilangnya identitas yang melekat pada Masyarakat Adat yang mempertahankan wilayah adatnya, terus berlanjut” jelas Alam.

 

Kuasa Hukum Masyarakat Adat saat menyerahkan berkas perkara
Kuasa Hukum Masyarakat Adat saat menyerahkan berkas perkara

 

Ia pun berharap, pengadilan dapat menjadi ruang bagi Para Penggugat untuk menuntut keadilan atas wilayah adatnya.

 

Adapun pihak penggugat adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), beserta 9 (sembilan) orang Perwakilan Masyarakat Adat. Mereka berasal dari Komunitas Masyarakat Adat Kasepuhan Cisungsang Jawa Barat, Komunitas Masyarakat Adat Osing Banyuwangi, Komunitas Masyarakat Adat Gendang Ngkiong Manggarai dan Komunitas Masyarakat Adat Tobelo Dalam Halmahera.

 

Permohonan Para Penggugat disebabkan karena DPR dan Presiden tidak menindaklanjuti proses pembentukan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat sehingga berimbas negatif terhadap pemenuhan hak-hak konstitusional para penggugat.

 

6 orang Masyarakat Adat Tobelo Dalam dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan 20 tahun penjara. Pada tingkat banding, mereka malah dijatuhi pidana hukuman mati dan penjara seumur hidup. Mikael Ane sendiri dipidana dengan hukuman penjara 1,5 tahun.

 

6 orang Masyarakat Adat Tobelo Dalam dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan 20 tahun penjara. Pada tingkat banding, mereka malah dijatuhi pidana hukuman mati dan penjara seumur hidup. Mikael Ane sendiri dipidana dengan hukuman penjara 1,5 tahun.

RUU Masyarakat Adat Tak Kunjung Disahkan, Masyarakat Adat Gugat DPR RI dan Presiden

SIARAN PERS Untuk segera diberitakan
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)

 

Jakarta (25/10/2023) – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendaftarkan gugatan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Presiden Republik Indonesia ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, pada 25 Oktober 2023. Gugatan tersebut berdasarkan pada perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).

 

Gugatan tersebut diajukan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang tidak kunjung dibahas oleh DPR dan Presiden RI. Meskipun RUU Masyarakat Adat telah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas Prioritas) DPR RI. RUU tersebut mandeg dan tidak pernah naik ke tingkat II (Paripurna) untuk menjadi RUU inisiatif DPR yang kemudian dibahas bersama Pemerintah.

 

“Sejak 2009, RUU Masyarakat Adat berproses tanpa ada kepastian. Situasi tersebut yang mendorong perwakilan kelompok Masyarakat Adat mengajukan gugatan,” ujar Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana Nasional Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Alam menjelaskan, pihak penggugat sebanyak sepuluh orang, satu mewakili organisasi Masyarakat Adat, yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Sementara tujuh di antara penggugat ada di dalam penjara yang diduga mengalami kriminalisasi.

 

“Ini menjadi poin penting. Karena tidak adanya UU perlindungan dan pengakuan Masyarakat Adat, mereka menjadi rentan mengalami kriminalisasi,” tegasnya.

 

Adapun pihak Penggugat yakni Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Adat Kasepuhan Karang Lebak Banten, Masyarakat Adat Ngkiong Manggarai Timur, Masyarakat Adat Osing Banyuwangi, dan Masyarakat Adat Tobelo Dalam Halmahera Maluku Utara.

 

 

Pendaftaran gugatan terhadap DPR dan Presiden RI telah diterima oleh PTUN dengan nomor perkara 542/G/TF/2023/PTUN Jakarta.

 

“Melalui gugatan ini kami ingin mengingatkan kepada pemerintah bahwa tanpa adanya payung hukum nasional yang secara khusus mengatur Masyarakat Adat, maka konflik di level komunitas Masyarakat Adat ke depan berpotensi semakin tinggi. Kami berharap pemerintah serius sehingga data kasus tidak sekedar menjadi angka statistik,” sambung Fatiatulo Lazira S.H, salah seorang tim kuasa hukum dari PPMAN.

 

Pembentukan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat sebagaimana amanat Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, merupakan kewajiban konstitusional DPR dan Presiden sebagai penyelenggara negara. Ketiadaan payung hukum khusus mengatur Masyarakat Adat membawa sejumlah konsekuensi negatif terhadap mereka, antara lain ancaman kriminalisasi atas akses pengelolaan hutan, hilangnya wilayah adat, bahkan lebih jauh, hilangnya eksistensi dan identitas adat itu sendiri.

 

AMAN mencatat selama 5 tahun belakang, terjadi 301 kasus perampasan wilayah adat. PPMAN juga mendata selama Januari hingga September 2023 telah terjadi 12 kasus kriminalisasi yang terkait dengan konflik pengakuan atas pengelolaan wilayah adat.

 

Pendaftaran gugatan TUN terkait perbuatan melawan hukum yang dilayangkan Masyarakat Adat mempertimbangkan banyak hal, salah satunya adalah momentum tahun politik 2024. Dalam konteks kontestasi pemilu, isu Masyarakat Adat kerap dijadikan bahan kampanye. Namun, setelah calon tersebut berkuasa, isu tersebut redup dan tak tersentuh.

 

 

Dampak Tidak Disahkannya RUU Masyarakat Adat

 

RUU Masyarakat Hukum Adat telah selesai diharmonisasi tetapi tidak pernah berlanjut untuk ditetapkan. Berkali-kali pula AMAN dan perwakilan Masyarakat Adat lainnya terus mengingatkan agar pembahasan dilanjutkan sehingga tersedianya kepastian hukum.

 

Rukka Sombolingi, Sekjen AMAN mengatakan bahwa pihaknya telah mengirimkan permohonan resmi untuk pembahasan RUU Masyarakat Adat, tepatnya pada 31 Juli 2023 ke DPR RI dan 1 Agustus 2023 ke presiden, tapi hingga saat ini tidak ada tanggapan dari para pembuat kebijakan.

 

“Karena tidak ada tanggapan, maka hari ini kami mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta,” ungkapnya.

 

Lebih lanjut, Rukka mengatakan bahwa RUU Masyarakat Adat yang tak kunjung disahkan, menujukan bahwa DPR dan pemerintah tidak bersungguh-sungguh untuk memberikan pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat.

 

Ia mencontohkan berbagai berdampak buruk bagi Masyarakat Adat di tingkat tapak akibat dari tidak adanya paying hukum nasional yang melindungi Masyarakat Adat. Misalnya, tentang mitigasi perubahan iklim dan transisi energi.

 

“Bendungan, PLTA, geothermal, dll, saat ini semua dibangun dengan merampas wilayah adat. Hutan-hutan terbaik yang selama ini dijaga oleh Masyarakat Adat, diklaim oleh pemerintah dalam urusan perdagangan karbon,” ujarnya.

 

Hal lain yang ia contohkan adalah Kawasan hutan lindung, konservasi, taman nasional, tambang, telah merugikan Masyarakat Adat karena diusir dari kampung halamannya, bahkan dikriminalisasi.

 

“Orang Tobelo Dalam yang mengalami stigma, bahkan dipenjara seumur hidup. Mikael Ane dihukum 1,5 tahun penjara karena hidup di wilayah adatnya yang diklaim oleh pemerintah sebagai kawasan hutan taman wisata alam. Ini dampak buruk dan membuat Masyarakat Adat rentan karena tidak adanya perlindungan dan kepastian hukum,” pungkasnya.

 

Narahubung
Syamsul Alam Agus, S.H – Ketua Badan Pelaksana PPMAN (0811-8889-083)
Fati Lazira, S.H – Kuasa Hukum Masyarakat Adat (0812-1387-776)