Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) memberikan Layanan Bantuan Hukum bagi Masyarakat Adat di kegiatan HIMAS

Serangkaian dengan perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Nusantara (HIMAS) pada 09 Agustus 2023, PPMAN yang merupakan organisasi sayap dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah menginisiasi klinik hukum yang di agendakan di laksanakan pada 08 Agustus 2023 hingga 09 Agustus 2023 di Ke’Te Kesu, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan.

 

Tujuan Klinik Hukum yang dibuka oleh PPMAN memiliki maksud untuk mendekatkan akses bantuan hukum kepada Masyarakat Adat yang selama ini sangat jauh dan sulit untuk mengakses keadilan. Bukan hanya karena lokasi atau tempat tinggal mereka saja yang jauh dari kota, akan tetapi juga karena jauhnya informasi serta pengetahuan mereka terkait hukum yang berlaku di Indonesia. Namun Masyarakat Adat acap kali mendapatkan ancaman, kriminalisasi, bahkan diintimidasi karena upaya mereka dalam mempertahankan wilayah adatnya.

 

Merujuk pada Catatan Tahun 2022 yang dipublikasikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan bahwa sejak AMAN berdiri hingga 2022 dengan jumlah anggota sebanyak 2.449 komunitas adat. Dari jumlah anggota tersebut, terdapat 161 produk hukum daerah, penetapan hutan adat oleh pemerintah sejumlah 105 dengan total luasan 148.488 hektar paska putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.

 

Akan tetapi dari jumlah komunitas adat anggota AMAN, terjadi perampasan wilayah adat melalui program pertanahan nasional dengan dengan skema perhutanan sosial (HKM, Hutan Desa, HTR, Kemitraan) berjumlah 2.400 hektar yang artinya masih ada 2,71 Juta hektar wilayah adat yang hingga saat ini belum memiliki produk hukum daerah dan penetapan hutan adat oleh pemerintah.

 

Masyarakat Adat yang komunitasnya masuk menjadi anggota AMAN juga teridentifikasi menempati wilayah adat di pesisir dan pulau-pulau kecil sejumlah 559 komunitas adat dan 22 di antaranya telah mendapatkan penetapan oleh Kementerian Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

 

Masyarakat Adat saat Konsultasi Hukum mengunjungi Klinik Hukum PPMAN
Masyarakat Adat saat Konsultasi Hukum dan mengunjungi Klinik Hukum PPMAN

 

Tercatat 301 perampasan wilayah adat dengan luasan 8,5 Juta hektar yang mana 672 orang Masyarakat Adat menjadi korban pengkriminalisasian, yang mana di Tahun 2022 terdapat 19 kasus perampasan wilayah adat dengan luas 600 ribu hektar. Berdasarkan data yang disampaikan dalam CATAHU AMAN di atas, konflik yang Masyarakat Adat hadapi bukan hanya dalam bentuk Pidana dan Perdata saja, akan tetapi mereka juga rentan berhadapan dengan masalah hukum karena minimnya pengetahuan mereka terhadap dampak dari terbitnya suatu produk hukum. Persoalan ini dipandang penting oleh ketua PPMAN, Syamsul Alam Agus dalam memandang urgensi pembukaan klinik hukum.

 

“Mengingat bahwa Masyarakat Adat merupakan kelompok rentan dengan resiko akan pelanggaran HAM yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok rentan lainnya, ini dikarenakan Masyarakat Adat selalu menjadi korban eksploitasi sumber daya alam, di mana tempat terjadinya eksploitasi sumber daya alam tersebut berada di wilayah adat, disini ada kepentingan dari negara dan pemilik modal atas wilayah adat.” Ungkap Syamsul Alam Agus.

 

Lebih lanjut, Alam yang merupakan sapaan dari Syamsul Alam Agus menambahkan bahwa “hampir semua kasus Masyarakat Adat memiliki kerentanan untuk menjadi korban dan mendapatkan tindakan kriminalisasi atas perjuangan Masyarakat Adat dalam mendapatkan hak-haknya”.

 

Negara dan pemilik modal merampas tanah milik Masyarakat Adat dan tindakan ini merupakan salah satu cerminan dari pengabaian negara untuk melindungi masyarakat adat. Selain itu pemilik modal juga memiliki kekuasaan dan juga kerjasama dengan negara untuk merampas, menggusur, mengeskplorasi dan mengeksploitasi tanah masyarakat adat.

 

“Tindakan perampasan, penggusuran, eskplorasi dan eksploitasi tersebut merupakan tindakan yang telah melanggar sejumlah Undang-Undang, Undang-Undang Dasar dan prinsip-prinsip hak asasi manusia, Prinsip Free end Prior Informed Consent (FPIC) dan berbagai prinsip konvensi yang lainnya.” Tambah Alam

 

“Mengingat beragamnya masalah hukum yang yang terjadi dan menimpa Masyarakat Adat, maka Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) akan membuka klinik hukum yang mana juga satu rangkaian kegiatan perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat (HIMAS) dilaksanakan. Hal ini dilakukan guna mengakomodasi pendampingan dan pembelaan terhadap hak-hak Masyarakat Adat dalam proses kemudahan akses dan layanan bantuan hukum. Selain itu, komunitas masyarakat adat bisa mendapatkan akses keadilan.” Tutupnya.

 

***

Kuasa Hukum Masyarakat Adat Tobelo Dalam keberatan dengan Sikap Hakim PN Soasio

Tidore – Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam saat melakukan pendampingan hukum terhadap terdakwa Alen Baikole dan Samuel Gebe atas dakwaan pembunuhan berencana, melakukan protes keras kepada Kemal S.H, yang merupakan salah satu hakim anggota PN Soasio saat lanjutan pemeriksaan saksi a de charge (02/08/2023).

 

Tim kuasa hukum menilai bahwa hakim tersebut tidak netral dalam melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang keterangannya meringankan terdakwa, dengan kerapkali melontarkan diksi yang mencibir.

 

“Kami mengajukan keberatan dimuka persidangan terhadap Sikap Hakim Anggota Kemal karena pertanyaan dan pernyataannya yang tidak mencerminkan etika dan prilaku hakim.” Terang Ermelina Singereta yang merupakan salah satu kuasa hukum terdakwa

 

“Padahal dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim, sangat jelas bahwa hakim tidak boleh berpihak serta dilarang menyudutkan dan melontarkan umpatan kepada para pihak serta kuasanya. Tambah Erna, sapaan akrab Ermelina Singereta

 

Selain itu, keberatan yang di lontarkan kuasa hukum terdakwa juga ditujukan atas sikap dan tindakan hakim Kemal yang secara berulang secara keliru mengaitkan perkara Praperadilan (Prapid) yang sebelumnya di ajukan terdakwa dengan fakta pokok perkara yang tidak berkaitan

 

Mohammad Maulana, yang juga salah satu Tim Penasihat Hukum Terdakwa menjelaskan ketika persidangan, Hakim Kemal kerapkali melontarkan pernyataan yang seolah menstigma dan mengambil kesimpulan bahwa pelaku pembunuhan adalah masyarakat tobelo dalam dengan mengaitkannya dengan ciri-ciri rambut gondrong

 

Fakta yang terurai di persidangan tidak ada yang menyebutkan fakta pembunuhan ini dengan masyarakat adat tobelo dalam dan selain itu, terdakwa juga di rentang waktu tempus peristiwa tersebut terjadi, tidak berambut gondrong dan tengah bekerja, sebagaimana saksi yang menerangkan alibinya

 

Dalam persidangan pemeriksaan saksi tersebut, terungkap fakta persidangan bahwa terdakwa Alen Baikole ketika peristiwa pembunuhan terjadi berada di kampung Tukur-Tukur, tidak seperti yang dituduhkan kepadanya. Kesemua saksi yang dihadirkan memberikan keterangan yang sama.

 

“Menjadi fakta persidangan hari ini menjelaskan bahwa Alen Baikole berada di kampung, bukan di lokasi pembunuhan sebagaimana dituduhkan. Kami berharap Hakim dapat jernih memilah dan menilai setiap kesaksian,”.

 

Sementara pengacara terdakwa lainnya, Hendra Kasim menambahkan, proses persidangan ini berpotensi menjadi tidak objektif karena Salah satu hakim anggota pernah menjadi hakim tunggal di persidangan pra peradilan di kasus ini. Pengacara terdakwa berpendapat bahwa pengetahuan atas fakta hakim di persidangan sebelumnya dapat mempengaruhi perspektif dan menimbulkan prasangka terhadap terdakwa.

 

“Klien kami sudah dalam posisi dirugikan akibat penunjukkan salah satu hakim anggota yang sebelumnya telah menjadi hakim di persidangan pra peradilan. Karena beliau sudah membuat putusan di awal dan mengetahui fakta-fakta yang kami nilai tidak diindahkan oleh hakim tersebut,” Tegas Hendra Kasim.

 

Hendra kembali mengingatkan bahwa ada indikasi pelanggaran terhadap Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim terutama dalam poin yang mengatur terkait integritas.

 

“Penerapan terkait integritas Hakim ada pengaturan soal Prasangka dan Pengetahuan Atas Fakta. Sewajarnya apabila mengikuti aturan tersebut maka Hakim di pra peradilan tidak boleh menjadi hakim pada pokok perkara (persidangan acara biasa). Sebab sudah ada pengetahuan dan prasangka sebelumnya. Tentu kami akan melaporkan ini ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung. Sebagai upaya agar proses persidangan tetap objektif” jelasnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi narahubung berikut ini:

Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904
Hendra Kasim, S.H, M.H – 0823-4499-9986

 

***

Ahli Pakar Hukum Lingkungan : KLHK Berwenang Melakukan Penertiban Konsesi Perusahaan

Siaran Pers Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua

 

Persidangan lanjutan perkara gugatan perusahaan sawit terhadap KLHK yang menyangkut nasib hutan adat suku Awyu hampir sampai di babak terakhir. Setelah Suku Awyu diterima Hakim sebagai tergugat intervensi dalam gugatan korporasi PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kini kuasa hukum masyarakat suku Awyu menghadirkan pakar hukum lingkungan dari Fakultas Hukum UGM, Totok Dwi Diantoro, sebagai saksi ahli di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (01/08/2023).

 

Merujuk situs informasi penelusuran perkara (SIPP) PTUN Jakarta, Gugatan PT Megakarya Jaya Raya teregistrasi dengan nomor perkara 82/G/2023/PTUN.JKT itu mempersoalkan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1150/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2022 tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan Atas Nama PT Megakarya Jaya Raya di Kabupaten Boven Digoel.

 

Gugatan PT Kartika Cipta Pratama teregistrasi dengan nomor perkara 82/G/2023/PTUN.JKT. Obyek gugatan dalam perkara ini yakni Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1157/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2022 tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan Atas Nama PT Kartika Cipta Pratama di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.

 

“KLHK berwenangan melakukan penyelenggaran kehutanan dalam beberapa bentuk, salah satunya penetapan kawasan, pelepasan dan evaluasi kehutanan, termasuk melakukan penertiban dan penataan pemegang pelepasan kawasan hutan. Kewenangan tersebut dilakukan dengan asas tanggung jawab negara,” terang Totok Dwi Diantoro.

 

Sebanyak 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat telah dibuka oleh PT MJR dan PT KCP tersebut, tapi ada 65.415 hektare hutan hujan yang masih bisa diselamatkan. Greenpeace International menggunakan metodologishining light on the shadows untuk menelusuri PT MJR dan PT KCP. Ini adalah sebuah metodologi untuk mengungkap struktur dan hubungan korporasi dengan grup-grup perusahaan.

 

Lewat metodologi itu, ditemukan cukup bukti bahwa PT MJR dan PT KCP, yang konsesinya berdampingan,diduga pernah terkait dan mungkin masih terkait ke Hayel Saeed Anam Group dan para penerima manfaatnya–anggota keluarga Hayel Saeed.

 

“Proses dan mekanisme pelepasan kawasan hutan yang selama ini dilakukan KLHK ini merupakan hal yang paling penting untuk ditegaskan dan diselesaikan. Kasus ini membuktikan bahwa mekanisme penetapan dan pelepasan kawasan hutan menjadi landasan dalam kepastian hukum bagi banyak pihak. Selain itu, Ahli menegaskan bahwa mekanisme yang dilakukan oleh KLHK ini bukan merupakan bagian Pencabutan, melainkan Evaluasi sehingga perlu tindaklanjut yang jelas dan konkret.” ucap Bimantara Adjie, perwakilan Perkumpulan HuMa.

 

“Penertiban yang dilakukan KLHK ini penting untuk memproteksi hutan dari pemegang izin yang tidak punya itikad baik dalam mengelola hutan, yang harusnya hak atas hutan tersebut dikembalikan ke masyarakat adat khususnya suku Awyu sebagai pemilik wilayah adat yang merupakan ruang hidup dan warisan secara turun temurun dari leluhur mereka. Sudah rahasia umum bahwasannya hutan papua adalah benteng terakhir yang menjadi penopang dari terjadinya krisis iklim bukan hanya di Indonesia saja tetapi juga krisis iklim Dunia yang semakin hari semakin parah, maka hutan tersebut harus dijaga dan dipertahankan keberadaannya” terang Fatiatulo Lazira, S.H. Koordinator PPMAN Region Jawa sekaligus kuasa hukum Suku Awyu.

 

Persidangan selanjutnya diadakan pada 8 Agustus 2023 dengan agenda mendengar saksi ahli dari Tergugat dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

 

Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, LBH Papua, Walhi Papua, Eknas Walhi, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia

 

Kontak Media:

Hero Aprila, PPMAN, +62 852-6336-5091

Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, +62 812-8729-6684

Bimantara Adjie, Perkumpulan HuMa , +62821-3638-6740

Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia, +62 812-8776-9880

 

***

Pernyataan Saksi dari Perusahaan Menyebutkan Masyarakat Adat Suku Awyu Tidak Boleh Menjual Tanah Adat

Siaran Pers Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua

 

Jakarta, 19 Juli 2023. Perjalanan Pejuang lingkungan hidup dari Masyarakat Adat suku Awyu di PTUN Jakarta kini telah sampai dalam sesi pembuktian lanjutan dengan agenda mendengarkan saksi fakta dan saksi ahli dari pihak Penggugat (PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama) dan Penggugat Intervensi (Koperasi Yefioho Dohona Ahawang). Setelah mereka diterima Hakim sebagai tergugat intervensi dalam gugatan korporasi PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

 

“Dalam Adat Suku Awyu tidak boleh menjual tanah,” ungkap Bernadus Tagio Yame, saksi fakta yang dihadirkan oleh Penggugat Intervensi. Lebih lanjut dalam keterangannya Bernadus juga menyampaikan bahwa selama ini perusahaan hanya membayar kompensasi kayu atas pohon yang telah mereka tebang. Sementara dirinya tidak tahu berapa luasan sawit yang sudah ditanamnya dan hingga sekarang masyarakat belum mendapatkan bagi hasil atas plasma yang dijanjikan oleh Perusahaan lewat Koperasi Produsen Yefioho Dohona Ahawang.

 

Selain itu, Pihak Penggugat juga menghadirkan saksi ahli yakni Achmad Faisal Siregar, selaku ahli High Carbon Value (HCV). Saksi Ahli tersebut menyebutkan bahwa penilaian HCV harus dilaksanakan di seluruh cakupan wilayah konsesi Perusahaan kecuali wilayah tersebut tidak bisa diakses. Sehingga tidak diperbolehkan hanya dilakukan di sepan-sepadan sungai saja. Selanjutnya hasil dari penilaian HCV ini seharusnya digunakan perusahaan untuk meningkatkan atau mempertahankan nilai karbon tinggi di wilayah konsesinya bukan malah menghancurkan area tersebut.

 

Sebanyak 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat telah dibuka oleh PT MJR dan PT KCP tersebut, tapi ada 65.415 hektare hutan hujan yang masih bisa diselamatkan.

 

Greenpeace International menggunakan metodologi shining light on the shadows untuk menelusuri PT MJR dan PT KCP. Ini adalah sebuah metodologi untuk mengungkap struktur dan hubungan korporasi dengan grup-grup perusahaan. Lewat metodologi itu, ditemukan cukup bukti bahwa PT MJR dan PT KCP, yang konsesinya berdampingan, diduga pernah terkait dan mungkin masih terkait ke Hayel Saeed Anam Group dan para penerima manfaatnya–anggota keluarga Hayel Saeed.

 

“Jika dalam hukum adat masyarakat tidak boleh menjual tanah, lantas bagaimana perusahaan bisa mendapatkan tanah tersebut? Seharusnya ada proses persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan untuk melindungi Hak masyarakat adat, pertanyaannya apakah ini sudah dilakukan? ” terang Tigor Hutapea, kuasa hukum Suku Awyu.

 

Kontak Media:

Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia, +62 812-8776-9880

Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, +62 812-8729-6684

Hero Aprila, PPMAN, +62 852-6336-5091

 

***

PPMAN Sesalkan Tindakan Arogan 2 Oknum Polisi Polresta Tidore yang Bawa Senpi ke Ruang Sidang

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengaku menyesalkan tindakan dua oknum polisi Polresta Tidore yang bawa masuk senjata api (senpi) ke Ruang Sidang Pengadilan Negeri (Soasio) Tidore (5/7).

 

Kedua polisi tersebut adalah Faruk dan Asrul Azis yang masing-masing berpangkat Bhayangkara Dua atau Bharada. Sebelum sidang dimulai, tampak kedua polisi tersebut lebih dulu berada didalam ruang sidang dengan dua pucuk senpi. Tindakan itu sontak membuat tim kuasa hukum dari PPMAN saat mendampingi terdakwa kasus pembunuhan di Halmahera Timur yang membuat proses sidang tidak nyaman. 

 

Tindakan ini patut dipertanyakan terkait SOP tentang penggunaan senpi di dalam ruang sidang. Moh Maulana sebagai salah satu tim hukum PPMAN menyampaikan ”kami menyaksikan bagaimana kepolisian sangat arogan karena mengawal kedua terdakwa ke dalam ruang sidang menggunakan senjata api,”.

 

“hal semacam ini harusnya tidak perlu dilakukan oleh pihak kepolisian. Ia menilai tindakan itu berlebihan”. ungkap Maulana

 

“Tak perlu berlebihan seperti itu. Sebab ini bisa membuat proses sidang menjadi tidak nyaman dan terkesan tidak memberikan penghormatan terhadap ruang persidangan yang dianggap sebagai ruang pencari keadilan,” tandasnya.

 

Maulana menegaskan bahwa pihaknya memberi peringatan kepada 2 oknum polisi tersebut agar melucuti senjata tersebut dan beritahukan hal ini kepada atasan mereka. “Bahwa tidak diperkenankan untuk membawa senjata dalam ruang persidangan, walaupun itu kasus teroris sekalipun,” pungkasnya.

 

***

TERKAIT INSIDEN PEMANAHAN WARGA DI HALMAHERA TENGAH, PPMAN MEMINTA POLISI AGAR PROFESIONAL DAN PROSEDURAL

RILIS MEDIA – untuk segera diberitakan

 

Jakarta, 4 Juli 2023 – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) meminta pihak Kepolisian dalam hal ini Polda Maluku Utara agar profesional dan prosedural merespon insiden pemanahan terhadap 2 orang korban, warga Halmahera Tengah. Permintaan tersebut dilayangkan PPMAN agar Polda Maluku Utara tidak terkesan selalu menyalahkan komunitas Masyarakat Adat yang berdiam di dalam hutan atas setiap insiden. Apalagi, pihak kepolisian belum memiliki informasi yang cukup terhadap pelaku yang dikategorikan sebagai Orang Tidak Dikenal (OTK).

 

“Klasifikasi OTK ini jika dikaitkan dengan wilayah pengejaran pelaku ke dalam hutan menimbulkan kekhawatiran bagi PPMAN atas eksistensi Masyarakat Adat khususnya yang berdiam di dalam hutan. Apalagi pengerahan personil gabungan merupakan bentuk respon serius atas informasi yang masih perlu didalami. Polisi harus profesional dan prosedural. Jangan sampai sewenang-wenang,” ungkap Syamsul Agus Alam, Koordinator PPMAN.

 

PPMAN menilai aksi pengejaran pelaku ke dalam hutan selama beberapa hari belakang melahirkan persepsi bahwa pelaku merupakan kelompok Masyarakat suku tertentu yang mendiami kawasan hutan tersebut. Padahal, dengan klasifikasi OTK tersebut, banyak kemungkinan ataupun asumsi yang dapat dibangun tentang siapa pelaku pemanahan tersebut. Hal lainnya, stigmatisasi terhadap kelompok Masyarakat Adat tertentu merupakan bentuk pelanggaran atas hak asasi manusia. Penerapan teori kausalitas (sebab-akibat) harusnya diterapkan sejak awal penyelidikan dilakukan.

 

“Misalnya, ambil contoh Masyarakat Adat Tobelo Dalam. Mereka kerap mendapat stigmatisasi dan kriminalisasi atas suatu peristiwa tindak pidana. Sebagian mereka ada di dalam hutan. Oleh sebab itu, penting bagi semua pihak meletakkan konflik di kawasan hutan dalam perspektif yang lebih komprehensif. Kajian hukum kausalitas tidak diterapkan secara serampangan,” lanjutnya.

 

PPMAN juga menyampaikan rasa simpati terhadap korban pemanahan di Halmahera Tengah. Di tengah gencarnya eksploitasi pertambangan dan kehutanan khususnya di Halmahera Tengah, ancaman konflik antar masyarakat maupun konflik struktural merupakan peristiwa nyata. Perlu perhatian bersama untuk menciptakan kondisi aman untuk semua.

 

“Kami berharap kedua korban akan lekas membaik, namun yang tak kalah penting dalam pandangan kami adalah bagaimana ada sebuah kebijakan tata kelola kawasan hutan yang memberi perlindungan bagi semua, termasuk Masyarakat Adat yang mendiami kawasan hutan. Hutan merupakan ruang hidup terpenting bagi mereka. Harus disikapi secara hati-hati dengan penuh penghormatan atas hak-hak Masyarakat Adat sesuai aturan perundang-undangan,” tutupnya.

 

##############
Sekilas mengenai PPMAN:

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) adalah organisasi kemasyarakatan yang merupakan organisasi sayap dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Organisasi PPMAN berbentuk perkumpulan yang keanggotaannya terdiri dari advokat dan ahli hukum yang peduli dan berkomitmen pada kerja pembelaan dan pemajuan hak – hak Masyarakat Adat diseluruh nusantara. Sejarah terbentuknya PPMAN melalui pelaksanaan Konferensi Nasional (KONFERNAS) Pertama yang diselenggarakan di komunitas adat Sassa’, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan pada tanggal 25 – 27 September 2013.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Syamsul Alam Agus, S.H – Koordinator Nasional PPMAN

0811-8889-083

Perkuat Masyarakat Adat, AMAN dan PPMAN Gelar Pelatihan Paralegal di Kaltara

Nunukan, 27 Juni 2023 – Masyarakat Adat di Indonesia mengalami banyak peristiwa yang mengancam eksistensi mereka. Selain ancaman kehilangan ruang hidup wilayah adat, Masyarakat Adat juga rentan menghadapi kriminalisasi ketika berusaha melindungi wilayahnya, seperti wilayah kelola hutan adat.

 

Kebijakan Pemerintah terkait eksploitasi terhadap sumber daya alam menjadi faktor utama bagi keberlangsungan hidup Masyarakat Adat. Dibutuhkan kesiapan agar Masyarakat Adat mampu menjawab tantangan dan mendapatkan pengakuan atas keberadaannya sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 Pasal 28B ayat (2).

 

Karenanya, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengadakan Pelatihan Paralegal bagi Masyarakat Adat di Kalimantan Utara, yan berlangsung pada 24 – 28 Juni 2023. Bertempat di Desa Nainsid, Kecamatan Lumbis, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, pelatihan paralegal tersebut di ikuti oleh perwakilan 7 komunitas Masyarakat Adat ditambah 2 perwakilan pengurus AMAN Daerah.

 

“Advokasi dan pemahaman aspek hukum merupakan faktor penting bagi kita (Masyarakat Adat) mempertanyakan dan mempertahankan hak kita sebagai Masyarakat Adat yang telah ada jauh sebelum negara itu sendiri ada,” ujar Sinung Karto, Kepala Divisi Penanganan Kasus AMAN ketika menyampaikan materi pelatihan dengan topik Advokasi.

 

Antusiasme tinggi peserta selama pelatihan berlangsung ditunjukkan melalui diskusi dan pertanyaan-pertanyaan seputar hukum praktis dan substansi materi di setiap sesi. Peserta juga aktif menceritakan kasus-kasus yang terjadi pada komunitas mereka.

 

“Pelatihan seperti ini sangat baik untuk kami, jika bisa terus ada pelatihan-pelatihan serupa agar pengetahuan kami bisa meningkat dan berguna untuk menjaga komunitas kami,” ungkap Gusti Rendi, perwakilan Masyarakat Adat dari Komunitas Dayak Lumbis Ogong.

 

Melalui pelatihan paralegal ini, diharapkan akan lahir aktor-aktor pembela dan pendamping Masyarakat Adat, khususnya di Kalimantan Utara, sehingga memperkuat posisi serta pengakuan Masyarakat Adat di Indonesia.

 

“Semoga dengan pelatihan paralegal ini semakin meningkatkan kemampuan komunitas Masyarakat Adat khususnya di Kaltara sehingga mampu memperjuangkan hak-haknya yang selama ini mengalami ketidakadilan dan dapat memperjuangkan tanah-tanah mereka yang berada dalam penguasaan perusahaan dan negara,” tutup Agatha Anida, salah seorang pemateri pelatihan  dan juga Advokat Publik dari PPMAN.

Melalui Pelatihan Paralegal untuk Masyarakat Adat, PPMAN Mendorong Perlindungan Hak-hak dan Kemandirian Hukum Masyarakat Adat Marapu, Sumba Timur

Memperkuat perlindungan hak – hak Masyarakat Adat serta meningkatkan kemandirian hukum anggota komunitas Masyarakat Adat terus dilakukan, upaya ini dilakukan melalui pelatihan paralegal khusus untuk Masyarakat Adat di Komunitas Masyarakat Adat Marapu, Sumba Timur.

 

Kegiatan ini berlangsung dari tanggal 19 sampai dengan 23 Juni 2023 di Kampung Adat Prailiu, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.  Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan hukum dasar dan keterampilan praktis kepada anggota Masyarakat Adat, sehingga mereka dapat secara mandiri melindungi hak-hak mereka dan memperjuangkan keberlanjutan budaya serta tradisinya.

 

Pelatihan paralegal Masyarakat Adat ini merupakan inisiatif kolaboratif antara Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan Direktorat Perlindungan Kepercayaan dan Masyarakat Adat (KMA), Dirjen Kebudayan, Kementerian Pendidikan, Kebudayan, Riset dan Teknologi RI. Tujuan utamanya adalah memperkuat keterlibatan Masyarakat Adat dengan pengetahuan dan keterampilan hukum yang diperlukan untuk memperjuangkan hak-hak mereka dalam sistem hukum yang kompleks.

 

Pelatihan ini mencakup berbagai aspek hukum yang relevan bagi Masyarakat Adat, seperti hak atas tanah adat, hak atas kebebasan beragama dan berkepercayaan, perlindungan lingkungan, pengelolaan sumber daya alam, konsep advokasi dan keparalegalan, teknik pemantauan dan dokumentasi kasus serta perlindungan budaya dan tradisi. Para peserta diberikan pemahaman mendalam tentang dasar-dasar hukum, proses hukum, dan strategi hukum yang efektif dalam mempertahankan hak-hak mereka.

 

Pelatihan paralegal untuk Masyarakat Adat ini diikuti sebanyak 49 orang yang berasal dari Anggota dan Badan Pengurus Marapu di Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya. Selain itu, sejumlah pendamping masyarakat dari Lembaga Swadaya Masyarakat yang berfokus di Sumba juga hadir sebagai peserta.

 

Pelatihan ini dilaksanakan dengan menggunakan metode partisipatif dan praktis. Selain sesi pembelajaran klasikal, peserta juga terlibat dalam studi kasus, peran bermain, dan simulasi yang berfokus pada situasi hukum yang sering dihadapi oleh masyarakat adat. Hal ini bertujuan untuk memberikan pengalaman praktis dan keterampilan beradaptasi dalam konteks hukum yang kompleks.

 

Ketua PPMAN, Syamsul Alam Agus, mengharapkan peserta dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan hukum melalui pelatihan ini. “Masyarakat Adat dapat menjadi agen perubahan yang lebih efektif dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Mereka dapat membantu anggota Masyarakat Adat lainnya dalam memahami hak-hak mereka, memberikan bantuan hukum, dan berperan aktif dalam dialog dengan pihak berwenang, lembaga hukum, dan perwakilan pemerintah”, tegasnya.

 

John Bala, fasilitator pelatihan yang juga merupakan koordinator PPMAN Region Bali Nusra, disela pelatihan menyampaikan “Masyarakat Adat sering kali hidup dalam ketergantungan dengan alam dan memiliki pengetahuan yang luas tentang cara beradaptasi dengan lingkungan yang mereka tinggali. Mereka menghormati dan menjaga keberlanjutan alam, serta memiliki tata nilai sosial dan adat istiadat yang berbeda dari kelompok masyarakat lainnya. Masyarakat Adat di berbagai belahan dunia memiliki keanekaragaman yang kaya dalam bahasa, budaya, adat istiadat, dan kepercayaan spiritual mereka”. Olehnya, diharapkan anggota komunitas Masyarakat Adat itu sendiri harus memiliki kemampuan secara mandiri untuk mengadvokasi hak-haknya, tambahnya.

 

Pelatihan paralegal ini didukung pelaksanaannya oleh pengurus dan anggota Masyarakat Adat Marapu. Selain itu, berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, advokat, dan pekerja sosial, juga berkontribusi dalam menyampaikan materi pelatihan ini.

 

***

Tolak Kehadiran Pemda Kabupaten Sikka bersama Rombongan Panitia Tanah B, Masyarakat Adat Tana Ai Blokir Jalan untuk Menjaga Wilayah Adat

Bupati Sikka dan Rombongan Panitia Tanah B yang dipimpin Ka-Kanwil BPN NTT, Pada Senin (20/6) dihadang dan dipukul mundur Masyarakat Adat Tana Ai (Soge dan Goban) di lokasi HGU Patiahu. Masyarakat Adat melakukan penghadangan dan memblokir jalan negara ke arah Timur di Lokasi HGU Patiahu itu untuk mencegah akses Panitia Tanah B Kanwil BPN-NTT melakukan peninjauan titik tanda batas yang sebelumnya ditanam dan ditetapkan tanpa melibatkan dan mendapat persetujuan mereka.

 

Hal ini dilakukan Masyarakat Adat (Soge & Goban) dengan maksud untuk menjelaskan kepada Bupati dan Panitia Tanah B, bahwa proses ijin Pembaruan HGU oleh PT. Kristus Raja (Krisrama) Maumere milik Keuskupan itu belum clean & clear seperti yang disarankan oleh peraturan hukum. Artinya, belum terjadi kesepakatan antara pihak PT. Krisrama dengan Masyarakat Adat mengenai luas lahan, tata letak lokasi HGU, kewajiban Plasma 20% dan lain-lain.

 

Masyarakat Adat masih sangat ingat isi pernyataan Kepala Kantor Pertanahan Sikka pada 22 Desember 2021 di Ruangan Bupati Sikka, “Apabila penanaman Pilar/Tanda Batas yang akan dilakukan oleh PT. Krisrama di lapangan mendapat penolakan warga, maka sebaiknya di hentikan dan berunding dulu,  kalau tidak demikian ATR/BPN akan sulit mengeluarkan ijin dan penerbitan sertifikat karena belum clean & clear di lapangan” ungkap seorang Pejabat Negara kantor Pertanahan Sikka. inilah yang menjadi rujukan aksi Masyarakat Adat.

 

“Jadi kalau publik selama ini mendapatkan informasi bahwa proses pengurusan Permohonan Pembaruan HGU PT. Krisrama itu sudah beres, maka kami tegaskan bahwa itu informasi Hoax”. Ucap John Bala sebagai Koordinator PPMAN Region Bali Nusra. Hal yang sesungguhnya terjadi adalah sebaliknya. Begini penjelasannya :

 

Pemda Gagal Mefasilitasi kesepakatan

 

Untuk penyelesaian konflik ini Pemda Sikka pernah mengeluarkan dua Surat Keputusan (SK) Bupati, yaitu: SK No. 444/HK/2016 dan SK No. 134/HK/2020 tentang Pembentukan Tim Terpadu Penyelesaian Masalah HGU. Masyarakat Adat setuju menjalankan SK ini secara saksama. Mereka bersedia diidentifikasi dan diverifikasi sebagai Masyarakat Adat atau tidak, bersedia pula untuk diuji apakah memiliki hubungan hukum (hak asal-usul) dengan tanah bekas HGU tersebut atau tidak, mereka juga bersedia berunding agar tanah bekas HGU itu dibagi dalam 4 Blok (HGU,Masyakat Adat, Konservasi dan Fasilitas Publik). Namun, semua ini berjalan tidak tuntas. Secara sepihak Pemda menghentikan pelaksanaan SK ini tanpa alasan yang jelas. Bagi Masyarakat Adat, tindakan Pemda ini membekas dihati dan perasaan mereka sebagai “Penipuan yang Keji”.

 

Dua Kali Upaya Tata Batas Not Legitimate

 

Hal menarik yang kemudian terjadi adalah, ketika SK-nya tidak mau dilaksanakan hingga tuntas, tapi Pemda tetap aktif seolah-olah tanpa dosa melakukan langkah-langkah pemaksaan kepada Masyarakat Adat untuk menyetujui Permohonan Pembaruan HGU-nya PT. Krisrama.

 

Dua kali penanaman pilar/tanda di Lokasi HGU adalah contohnya. Penanaman pertama sekitar Februari 2022 yang diawali pertemuan dan difasilitasi oleh Pemda pada 22 Desember 2021. Masyarakat Adat menolak, tapi tetap dilakukan dengan pengawasan Pemda, Polisi dan Militer. Kegiatan ini berhasil digagalkan oleh Masyarakat Adat dengan mencabut sebagian besar pilar yang sudah ditanam tersebut lalu diantar ke rumah Bupati Sikka.

 

Gagal pada penanaman pertama itu, kalau merujuk pada peraturan hukum dan pernyataan Kepala Kantor Pertanahan Sikka tersebut di atas, mestinya dilakukan perundingan dulu antara para pihak baru dilaksanakan kegiatan penanaman pilar/tanda batas berikutnya. Namun pada Nopember 2023, tanpa proses perundingan antara para pihak yang bersengketa sebelumnya, terjadi lagi kegiatan penanaman pilar/tanda batas dan titik koordinat. “Kali ini bukan hanya PT. Krisrama dan Pemda yang melakukan, tapi sudah dihadiri langsung oleh Kanwil BPN NTT secara langsung dan dikawal secara ketat oleh Pol PP, Kepolisian dan Militer” ungkap John Bala.

 

Kegiatan ini tidak berhasil digagalkan oleh Masyarakat Adat secara langsung, kerena pengawalan yang sangat ketat. Oleh karena itu, mereka kemudian melilih cara perlawanan dengan membuat aksi pencabutan pilar secara adat setelahnya dan membuat surat penolakan kepada Ka-Kanwil BPN – NTT melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sikka.

 

John Bala kembali menegaskan bahwa perlawanan dan penolakan Masyarakat Adat (Soge & Goban) terhadap Panitia B Kanwil BPN – NTT dan Bupati Sikka dilapangan merupakan sebuah tindakan konstruktif untuk memastikan dan menunjukan bahwa proses Penetapan HGU atas permohonan PT. Krisrama Keuskupan Maumere itu belum memenuhi syarat atau cacat administratif.

 

***

Atas Nama Proyek Strategis Nasional, 9 Orang Masyarakat Adat Poco Leok Menjadi Korban Kekerasan

Poco Leok, Manggarai, NTT, 26 Juni 2023

 

Perluasan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Satar Mese, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, memakan korban dari komunitas Masyarakat Adat. Sebelumnya, Masyarakat Adat Poco Leok yang berasal dari 10 gendang (komunitas wilayah adat) di lembah Gunung Poco Leok secara tegas menyatakan sikap menolak pengembangan PLTP Ulumbu di wilayah adat mereka. Beberapa kali upaya paksa pemasangan patok (pilar) dari PLN mengalami kegagalan. Namun, pada Rabu (21/6) lalu, dengan didukung ratusan personil aparat keamanan dari TNI dan Polres Manggarai, upaya pemasangan patok berhasil dilakukan. Tapi, upaya ini juga menghasilkan korban di sisi Masyarakat Adat.

 

“9 orang Masyarakat Adat Pocoleok mengalami kekerasan, dengan 5 orang luka fisik hingga di rawat sementara di Puskesmas Ponggeok Dan RSUD, lalu ada 4 orang perempuan adat mengalami pelecehan seksual. Itu belum termasuk puluhan orang yang pingsan saat peristiwa bentrok kemarin. Saya sendiri yang menolong dan membawa ke Puskesmas,” ungkap seorang Pemuda Adat Poco Leok yang tidak ingin namanya disebutkan, mengingat keamanan situasi di lokasi.

 

Tindakan kekerasan aparat pengamanan di lapangan dipandang sebuah kewajaran dengan mengatasnamakan proyek strategis nasional. Seolah-olah, Negara dalam hal ini PLN menutup mata atas sikap penolakan dan hanya melihat dukungan. Di pihak lainnya, kewajiban Negara atas pemenuhan pengakuan atas keberadaan Masyarakat Adat belum terlaksana dengan baik.

 

“Peristiwa kekerasan di Poco Leok dapat dipandang sebagai bentuk pembiaran, lebih tepatnya, sikap tutup mata Pemerintah Jokowi atas keberadaan Masyarakat Adat di Poco Leok. Semua hal yang menyangkut Masyarakat Adat selalu dari pendekatan formil, bukan fakta eksistensi,” jelas Ermelina Singereta, S.H, M.H, Kepala Divisi Advokasi Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Menyikapi peristiwa kekerasan yang dialami oleh Masyarakat Adat Poco Leok, PPMAN akan melakukan upaya hukum yang diperlukan agar kepentingan masyarakat diperhatikan secara serius oleh Pemerintah dan atau pihak perusahaan. Kemudian, upaya hukum juga ditujukan agar aparat penegak hukum tidak sekedar menjadi aparat pengamanan perusahaan.

 

“Dugaan kami, Polres Manggarai memahami latar belakang penolakan Masyarakat Adat Poco Leok karena ini (sikap penolakan) telah ada sejak tahun 2019 lalu. Terlepas pro dan kontra di masyarakat, Polisi adalah milik setiap orang, bukan hanya perusahaan. Upaya hukum atas peristiwa ini sedang kami analisis secara serius,” ungkap Ermelina.

Perlu diketahui, PPMAN merupakan organisasi sayap dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). PPMAN memiliki mandat kerja melakukan pendampingan hukum dan pemajuan hak masyarakat adat di seluruh Nusantara.

 

Untuk informasi lebih lanjut terkait Masyarakat Adat Poco Leok dapat menghubungi:

Ermelina Singereta, S.H, M.H : 0812-1339-904

 

***