Pelatihan Paralegal, Sebuah Jalan Penguatan Kapasitas bagi Pembela Masyarakat Adat di Kutei Cawang ‘An Kab. Rejang Lebong Prov. Bengkulu Region Sumatera

Rejang Lebong, Bengkulu, 11 Maret 2022, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), bekerjasama dengan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melaksanakan pelatihan paralegal bagi Komunitas Masyarakat Adat bertempat di komunitas Masyarakat Adat Cawang ‘An, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.

 

Pelatihan ini dihadiri oleh tiga puluh satu anak muda yang terdiri dari laki-laki dan perempuan sebagai utusan dari Komunitas Masyarakat Adat di wilayah Bengkulu.

 

Pembukaan Pelatihan Paralegal pada Sabtu (11/03/2023) dihadiri oleh Tokoh Masyarakat Adat dari Komunitas Cawang ‘An, Kepala Desa Cawang Lama, Ketua Pelaksana Harian Daerah (PHD) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rejang Lebong, Ketua PW AMAN Bengkulu, Koordinator PPMAN Region Sumatera beserta anggotanya, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VII, Direktorat KMA, PB AMAN dan Seknas PPMAN.

 

Sjamsul Hadi, Direktur KMA mengatakan bahwa pelatihan paralaegal ini merupakan implementasi dari adanya kerjasama antara Direktorat KMA dan PPMAN yang telah dilaksanakan pada tahun 2022. Sjamsul menambahkan bahwa memang sangat diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah dan NGO khususnya dalam ini PPMAN yang melakukan penanganan kasus dan advokasi Masyarakat Adat. Sjamsul begitu akrab disapa menambahkan bahwa tugas dan kewajiban Pemerintah untuk melakukan advokasi walaupun terkadang pemerintah baik itu pusat maupun daerah melakukan pelanggaran hukum terhadap Masyarakat Adat, selain pemerintah, perusahaan juga melakukan pelanggaran hukum yang akhirnya banyak masyarakat adat yang hak-haknya dilanggar sementara PPMAN melakukan pendampingan dan pembelaan terhadap Masyarakat Adat yang memiliki masalah hukum karena memperjuangkan hak-haknya.

 

Sementara Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus menyampaikan bahwa kerjasama dengan KMA akan terus berlanjut di beberapa daerah lainnya. Laki-laki yang biasa disapa Alam ini, menambahkan harapannya pelatihan paralegal dilakukan agar masyarakat adat memiliki kemampuan untuk memahami hukum, memahami dan melihat kondisi masalah yang ada di komunitas Masyarakat Adat dan juga memiliki kemampuan untuk mendampingi masyarakat adat yang memiliki masalah hukum karena memperjuangkan hak-haknya.

 

Pelatihan paralegal ini juga dihadiri Ketua PHW AMAN Bengkulu, Deff Tri Hardianto, dan memberikan sambutan, dalam sambutannya Ketua PHW AMAN Bengkulu ini mengatakan pelatihan paralegal ini sangat penting mengingat begitu banyak masalah hukum yang terjadi di komunitas masyarakat adat di wilayah Bengkulu. Laki-laki yang biasa di panggil Deff Tri ini mengatakan hampir semua Masyarakat Adat memiliki masalah hukum mulai dari masalah penguasaan tanah ulayat dan juga ada masalah masyarakat adat yang mendapatkan tindakan kriminalisasi dari aparat karena memperjuangkan hak-haknya. Deff Tri berharap dengan adanya anggota komunitas Masyarakat Adat yang mengikuti pelatihan paralegal ini dapat memberikan ilmu dan pengetahuan yang diperoleh untuk kepentingan pendampingan maupun pembelaan terhadap Masyarakat Adat, mengingat sangat susah mencari advokat yang secara ikhlas dan sukarela mau membantu masyarakat adat. Walaupun saat ini sudah ada beberapa advokat anggota PPMAN yang siap membantu Masyarakat Adat, namun keberadaan advokat tersebut masih kurang, karena semakin banyak masalah hukum yang terjadi dan dialami oleh masyarakat adat.

 

Sementara Koordinator PPMAN Region Sumatera, Suryadi dalam sambutannya menyampaikan Lokalatih Paralegal ini dilakukan untuk meningkatkan kapasitas Masyarakat Adat untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya dan komunitas adatnya. Surya menambahkan peserta lokalatih paralegal diberikan pengetahuan Hukum Dasar, HAM, Gender, dan Keorganisasian agar kelak mampu menjembatani kerja kerja advokat. Koordinator PPMAN ini menambahkan, Ada banyak kader Paralegal yg telah berpraktek dan berhasil membela komunitas Masyarakat Adat di region Sumatra. PPMAN juga telah beberapa kali melaksanakan pelatihan paralegal di komunitas Kuntu kampar, Talang Mamak dan Inhu nah. Surya berharap agar kegiatan ini berjalan lancar dan menghasilkan Paralegal yang berkualitas, memiliki pengetahuan yang baik dalam melakukan kerja advokasi ke depannya.

***

Putusan Mahkamah Agung Menyatakan Masyarakat Adat Sebagai Penerima Manfaat Nilai Ekonomi Karbon

Mahkamah Agung pada 20 Februari 2023 telah mengeluarkan putusan perkara hak uji materiil yang diajukan oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan teregister dengan No.61/P/HUM/2022.

 

Putusan MA tersebut berdasarkan atas pengajukan permohonan hak uji materiil terhadap Peraturan Peraturan Presiden No.98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

 

Permohonan tersebut diajukan oleh Kesatuan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibarani, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Wahid, salah seorang warga Kasepuhan Cibarani.

 

Dalam pertimbangan hukumnya, MA menyatakan bahwa Masyarakat Adat merupakan pelaku utama dalam pengelolaan perhutanan sosial yang diperbolehkan melakukan pemanfaatan hutan pada: hutan adat dengan fungsi hutan lindung; dan hutan adat dengan fungsi hutan produksi, dalam bentuk kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan yaitu penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.

 

Lebih lanjut, dalam putusannya tersebut, MA menyatakan bahwa Masyarakat Adat merupakan penyelenggara Nilai Ekonomi Karbon dalam Pasal 46 ayat (2) huruf d Perpres Nomor 98/2021 karena kontribusinya pada peningkatan cadangan karbon melalui pemanfaatan hutan dalam bentuk kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan.

 

 

Syamsul Alam Agus, S.H., selaku Ketua PPMAN, menyatakan bahwa putusan MA tersebut perlu diapresiasi dan merupakan bukti pengakuan eksistensi hukum Masyarakat Adat dalam sistem hukum di Indonesia.

 

“Pertama, apresiasi kami sampaikan kepada Mahkamah Agung yang telah menyatakan melalui pertimbangan hukumnya, bahwa Masyarakat Adat termasuk penyelenggara Nilai Ekonomi Karbon karena kontribusinya pada peningkatan cadangan karbon,” ujarnya melalui keterangan pers.

 

Alam juga menilai bahwa Perpres No.98/2021 tidak menegaskan posisi Masyarakat Adat sebagai penyelenggara NEK, sementara Masyarakat Adat merupakan subyek hukum yang berkontribusi langsung terhadap peningkatan cadangan karbon. Selain itu, putusan tersebut juga semakin menegaskan pengakuan kedudukan hukum masyarakat adat dalam permohonan Hak Uji Materiil di MA.

 

“Kedua, Putusan MA juga sudah memberikan pengakuan terhadap kedudukan hukum (legal standing) Masyarakat Adat. Ketiga, kami mendorong agar pemerintah dalam menerbitkan regulasi terkait teknis hak-hak Masyarakat Adat sebagai penerima manfaat atas karbon, memperhatikan Putusan MA tersebut,” sambung Alam.

 

MA menyatakan Para Pemohon Hak Uji Materiil No. 61/P/HUM/2022, yang notabene salah satunya adalah Masyarakat Adat, diakui kedudukan hukumnya sebagai Pemohon.

 

“Hal ini tentunya merupakan kabar gembira, setelah sebelumnya Mahkamah Konstitusi juga melalui Putusan No. 35/PUU-X/2012 mengakui dan menerima kedudukan hukum masyarakat adat sebagai pemohon Uji Materiil,” tegasnya.

 

SYAMSUL ALAM AGUS, S.H.
Ketua PPMAN
CP: 0811-8889-083

***

PPMAN : Hakim PN Palopo Harus Segera Bebaskan Mahasiswa Korban Kriminalisasi

Oleh Apriadi Gunawan

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) meminta majelis hakim untuk membebaskan 12 mahasiswa yang tengah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Palopo, Sulawesi Selatan karena telah menjadi korban penegakan hukum yang tidak adil usai mendemo dugaan korupsi dalam tubuh Kejaksaan Negeri Palopo.

 

PPMAN menilai bahwa betapa pun tajamnya pedang keadilan, ia seharusnya tidak memenggal kepala orang yang tidak bersalah, apalagi mahasiswa yang sedang menyoroti penegakan hukum atas dugaan tindak pidana korupsi.

 

Mohammad Maulana, penasihat hukum PPMAN, menyatakan kalau para mahasiswa yang saat ini diadili di PN Palopo merupakan korban penegakan hukum yang sarat dengan serentetan pelanggaran hak. Menurutnya, tidak ada alasan untuk menghukum mereka.

 

“Di persidangan, tidak ada satu pun fakta yang mengonfirmasi bahwa terdapat perbuatan yang melanggar hukum. Ini bukti bahwa para mahasiswa tidak bersalah, (sehingga mereka) seharusnya dibebaskan,” kata Maulana kepada wartawan pada Senin (13/2/2023).

 

Ia menyatakan, pada sidang putusan yang akan dijadwalkan tanggal 21 Februari 2023, pihaknya berharap majelis hakim dapat memberikan keadilan bagi para terdakwa yang notabene masih berstatus sebagai mahasiswa.

 

“Kami berharap majelis hakim membebaskan para mahasiswa,” kata Maulana.

 

Kejanggalan pada Fakta Persidangan

 

Maulana menyatakan bahwa semua fakta persidangan telah diabaikan oleh kejaksaan. Menurutnya, para mahasiswa telah memberikan potret baik atas dukungan pada semangat pemberantasan korupsi. Namun, jaksa penuntut umum justru memperlihatkan hal yang sebaliknya dalam perkara tersebut. Dengan menarasikan aksi demonstrasi sebagai kekerasan, tegas Maulana, jaksa menuntut 12 orang terdakwa mahasiswa dengan hukuman 3-7 tahun.

 

“Tuntutan jaksa ini memperlihatkan semangat anti-demokrasi dan anti-kritik dalam kasus ini,” ungkapnya.

 

Atas tuntutan yang mengada-ada itu, penasihat hukum terdakwa telah mengajukan nota pembelaan atau pledoi terhadap surat tuntutan jaksa penuntut umum. Maulana menyebut bahwa pledoi yang mereka soroti bukan hanya tentang tuntutan yang terlalu tinggi, tapi fakta yang ditutupi.

 

Ia menyebut dalam persidangan bahwa ada dua hal yang selama penyidikan dan penuntutan yang tampaknya sengaja disembunyikan. Pertama, terkait CCTV yang tidak pernah diperlihatkan secara transparan.

 

“Ini aneh,” tandasnya.

 

Kedua, terkait dengan pemeriksaan konstruksi pagar rubuh yang menimpa dua satpam kejaksaan, di mana satu di antaranya meninggal. Maulana menyatakan kalau beberapa saksi yang dihadirkan jaksa di persidangan, menerangkan bahwa interval robohya pagar, adalah kurang dari dua menit. Kalau pun ada aktivitas dorong mendorong pagar yang membuat pagar roboh dalam waktu secepat itu, maka bisa saja menimbulkan pertanyaan pada kualitas pagar yang dibangun pada dua minggu sebelum insiden bertanggal 21 Juli 2022 tersebut.

 

Maulana juga memaparkan adanya berbagai pengkambinghitaman terhadap para terdakwa di hadapan persidangan, mulai dari skenario laporan yang dibuat bukan oleh pelapor, namun pihak kepolisian; BAP yang bertentangan dengan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum; CCTV yang disembunyikan; dan penghindaran pemeriksaan terhadap proyek pembangunan pagar.

 

Maulana menyatakan bahwa sebelum insiden yang berujung pada tewasnya Abdul Azis itu, Kejaksaan Negeri Palopo seharusnya membuka ruang dialog dalam menyambut aksi demontrasi mahasiswa. Menurutnya, insiden tersebut terjadi akibat keengganan untuk membuka ruang dialog, sehingga terkesan menutupi proses tindak lanjut atas penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang dipersoalkan mahasiswa.

 

“Saat aksi mahasiswa, Kejaksaan Negeri Palopo justru menutup akses dengan memerintahkan (petugas) security untuk menutup pagar, yang seketika membuat rubuh pagar,” katanya.

 

Maulana menerangkan, alih-alih menunjukkan tanggung jawab terhadap insiden kecelakaan tersebut, melalui serangkaian upaya tersistematis dalam rangkaian penyidikan dan penuntutan, Kejaksaan Negeri Palopo justru terkesan menunjukkan serangkaian upaya untuk menutup ruang pada tanggung jawab. Sebaliknya, mereka malah mengkambinghitamkan para mahasiswa atas insiden robohnya pagar. Padahal, insiden tersebut seharusnya dipandang sebagai momen penting dalam membuka borok pengerjaan proyek pembangunan pagar kantor yang sebelumnya juga telah dipersoalkan oleh publik terkait indikasi dugaan korupsi dalam tubuh Kejaksaan Negeri Palopo.

 

Akar Masalah

 

Maulana menerangkan bahwa permasalahan yang menyeret 12 mahasiswa ke pengadilan itu, berawal dari aksi protes di depan kantor Kejaksaan Negeri Kota Palopo pada 21 Juli 2022. Aksi mahasiswa dilakukan dalam rangka menuntut penuntasan sejumlah kasus dugaan korupsi yang ditangani Kejaksaan Negeri Palopo, seperti dugaan korupsi SPPD fiktif DPRD Palopo, dugaan korupasi pembangunan Puskesmas Sendan, dugaan korupsi terkait keterlibatan Dinas Pendidikan bersama oknum Kejaksaan Negeri Palopo. Namun, demo mahasiswa itu berujung kriminalisasi terhadap mahasiswa dan memakan korban dua orang satpam yang tertimpa gerbang yang roboh tersebut, satu di antaranya meninggal dunia.

 

***

ULTIMATUM RAKYAT KEPADA PRESIDEN DAN DPR RI: SEGERA CABUT PERPPU TIPU-TIPU

Siaran Pers
ULTIMATUM RAKYAT KEPADA PRESIDEN DAN DPR RI:
SEGERA CABUT PERPPU TIPU-TIPU

 

Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), Komite Pembela Hak Konstitusi (KEPAL) dan
Jaringan Ultimatum Rakyat

 

Jakarta, 17 Januari 202

 

Pada akhir tahun 2022, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Kami menilai, penerbitan Perppu ini tidak lebih dari manuver politik pemerintah untuk mensiasati Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.91/PUU-XVIII/2020 yang telah menyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat. Kami menilai, Bagi kami, argumentasi adanya kegentingan yang memaksa seperti yang tertuang dalam Perppu tersebut tidak lebih dari sekedar akrobat pemerintah mengakali putusan MK. Mengganti bungkus, namun tetap memaksakan isi dan substansi UUCK. Alih-alih melakukan perbaikan proses dan substansi seperti yang telah diminta MK sebagai penjaga Konsitusi Negara. Dengan sikap tersebut, pemerintah justru semakin memperdalam pelanggaran konstitusional yang dilakukannya.

 

Sikap pemerintah di atas memberikan sinyal semakin menguatnya otoritarianisme Negara yang telah memperlihatkan gejalanya sejak beberapa tahun terakhir. Pengalaman beberapa tahun terakhir menyimpulkan bahwa gerakan-gerakan perlawanan rakyat yang telah dilakukan di berbagai wilayah, baik nasional maupun daerah belum mampu memaksa DPR RI dan Pemerintah mendengarkan dan mengakomodir aspirasi rakyat.

 

Sejak 10 Januari 2023, Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) dan Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) bersama ratusan organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari kelompok buruh, tani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, masyarakat miskin kota, pemuda dan mahasiswa, akademisi dan berbagai elemen rakyat lainnnya memberikan ultimatum kepada Presiden untuk segera mencabut Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Kami juga menuntut DPR RI agar segera menolak Perppu tersebut.

 

Sejak diluncurkan, ultimatum ini telah mendapat atensi yang cukup luas dari rakyat. Hingga hari ini, terdapat 206 organisasi rakyat yang tersebar di 30 provinsi dan 101 Kabupaten/Kota yang telah menyatakan bergabung dalam ultimatum ini.

 

Hari ini, Selasa, 17 Januari 2022 adalah tenggat waktu 7 (tujuh) hari yang kami berikan kepada Presiden untuk segera mencabut Perppu tersebut. Kami mengingatkan kembali, jika hingga pukul 24.00 WIB malam ini, Presiden tidak kunjung mencabut Perppu CK seperti desakan dan tuntutan kami dalam ultimatum. Maka kami pastikan dalam beberapa hari ke depan, rakyat akan melakukan gelombang aksi penolakan secara besar-besaran dan pembangkangan sipil di berbagai daerah. Sikap ini sebagai bentuk protes dan ketidakpercayaan terhadap penyelenggara Negara yang telah mengkhianati konstitusi melalui berbagai kebijakan yang inkonstitusional.

 

Demikian pernyataan sikap ini kami buat dan sampaikan. Agar dapat dipahami oleh semua pihak. Kami juga menghimbau kepada seluruh elemen rakyat yang telah menanggung beban berlipat atas kebijakan-kebijakan inkonstitusional pemerintah agar melakukan berbagai aksi penolakan, protes dan pembangkangan lainnya hingga Presiden benar-benar mencabut.

 

Juru Bicara:

  • Nining Elitos (KASBI – 0813 1733 1801)
  • Dewi Kartika (KPA – 0813 9477 5484)
  • Gunawan (IHCS – 0815 8474 5469)
  • Zenzi Suhadi (WALHI – 0812 8985 0005)
  • Rukka Sombolinggi (AMAN – 0812 1060 794)

Atas nama Rakyat Indonesia:

  1. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
  2. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
  3. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
  4. Serikat Petani Indonesia (SPI)
  5. Aliansi petani Indonesia (API)
  6. Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
  7. Bina Desa
  8. Lokataru Foundation
  9. Solidaritas Perempuan (SP)
  10. Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)
  11. Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
  12. Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
  13. Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
  14. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
  15. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)
  16. Sajogyo Institute (Sains)
  17. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
  18. Yayasan PUSAKA
  19. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS)
  20. Sawit Watch (SW)
  21. Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM)
  22. Perkumpulan HuMa Indonesia
  23. Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK-Indonesia)
  24. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
  25. Aliansi Organis Indonesia (AOI)
  26. Institute for Ecosoc Rights
  27. FIAN Indonesia
  28. Indonesia for Global Justice (IGJ)
  29. FIELD Indonesia (Yayasan Daun Bendera Nusantara)
  30. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)
  31. Jaringan Masyarakat Tani Indonesia (JAMTANI)
  32. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)
  33. Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)
  34. Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
  35. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
  36. Majelis Hukum HAM dan LHKP PP Muhammadiyah
  37. Persatuan Petani Siantar Simalungun (PPSS)
  38. Forum Peduli Kebenaran dan Keadilan Sambirejo (FPKKS)
  39. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI)
  40. STaM Cilacap
  41. Serikat Tani Independen Pemalang (STIP)
  42. Pergerakan Petani Banten (P2B)
  43. Serikat Tani Tebo (STT)
  44. Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB)
  45. Yayasan Sitas Desa Blitar Jawa Timur
  46. Serikat Petani Bali (SPB)
  47. Yayasan Tanah Merdeka (YTM)
  48. Serikat Nelayan Teluk Palu (SNTP)
  49. Perserikatan Petani Sulawesi Selatan (PPSS)
  50. Serikat Tani Likudengen Uraso Luwu Utara (STL)
  51. Serikat Petani Latemmamala (SPL) Soppeng
  52. Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Sulteng

PPMAN Minta Kementerian ATR/BPN Selesaikan Konflik Agraria yang Merugikan Masy. Adat di Flores

Oleh Apriadi Gunawan


Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) meminta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk segera menyelesaikan konflik agraria yangmerugikan komunitas Masyarakat Adat di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).


Permintaan itu disampaikan oleh Koordinator PPMAN Region Bali Nusra Anton Yohanis Bala bersama Staf Bidang Pemantauan dan Dokumentasi Seknas PPMAN Surti Handayani saat menemui Wakil Menteri ATR/BPN Raja Juli Antoni di ruang kerjanya pada Selasa, 6 Desember 2022.


Anton Yohanis Bala menyatakan bahwa konflik agraria yang terjadi di Flores, tidak hanya melibatkan perusahaan sebagai pelaku, tapi juga institusi negara melalui kebijakannya, mulai dari penetapan kawasan hutan lindung, pertambangan, sampai Proyek Strategis Nasional (PSN) di Waduk Lambo, Kabupaten Nagekeo. Ia menyebut ada puluhan konflik agraria yang terjadi saat ini di wilayah adat di Flores.

“PPMAN minta semua konflik agraria yang merugikan Masyarakat Adat di Flores, segera diselesaikan,” katanya kepada Wakil Menteri ATR/BPN.


Anton menyebutkan bahwa konflik agraria yang amat merugikan Masyarakat Adat di sana, termasukkasus penyelesaian tanah eks HGU antara PT Renha Rosari Keuskupan Larantuka dan Masyarakat Adat Suku Tukan di Flores Timur serta PT Kristus Raja Keuskupan Maumere dan Masyarakat Adat Tana Ai suku Soge dan Goban di Sikka. Ia menerangkan kalau hingga kini, kasus tersebut masih menemui jalan buntu.

Dalam pemaparannya, Anton mengatakan kepada Raja Juli Antoni bahwa pemegang HGU adalah perusahaan-perusahaan milik gereja Katolik.


“Beliau (Raja Juli) sempat tersentak saat diberi tahu pemegang HGU itu adalah perusahaan-perusahaan milik gereja Katolik. Ada kesan kaget dan heran,” katanya.


Anton menjelaskan bahwa sudah pernah ada dialog untuk menyelesaikan kasus konflik agraria itu. Bahkan, pernah terbit dua kali Surat Keputusan (SK) Bupati Sikka tahun 2016 dan 2020 sebagai landasan hukum. Tapi, itu tetap tidak pernah tuntas dijalankan oleh pemerintah.


Anton menduga ada semacam kongkalikong atau permainan antara Pemerintah Daerah (Pemda) dan aparat Kementerian ATR/BPN di level provinsi dan kabupaten untuk memuluskan kepentingan perusahaan milik gereja Katolik dengan menabrak ketentuan hukum yang ada.


“Inilah inti dari maksud kedatangan PPMAN menemui Wakil Menteri ATR/BPN. Kami berharap Wakil Menteri ATR/BPN dapat melakukan pemantauan dan pengawasan atas proses pembaruan HGU agar tidak sewenang-wenang, menabrak aturan hukum, dan merugikan Masyarakat Adat yang sedang memperjuangkan hak-haknya,” ungkapnya.


Menanggapi hal itu, Raja Juli Antoni menyayangkan terjadinya konflik agraria yang melibatkan pihak gereja Katolik ini. Raja menanyakan apakah Masyarakat Adat punya sejarah penguasaan dan sudah berapa lama menempati lokasi tanah eks HGU tersebut.


Menjawab itu, Anton mengatakan, Masyarakat Adat sudah lama menempati tanah eks HGU. Ia juga menegaskan kalau Masyarakat Adat memiliki sejarah asal-usul yang jelas untuk memiliki tanah eks HGU tersebut. Karenanya, sebut Anton, mereka siap untuk kembali ke meja dialog untuk menyelesaikan persoalan konflik agraria tersebut.


Raja Juli pun meminta Masyarakat Adat untuk membuat laporan dan kronologi kasus agar bisa lebih konkret diawasi dan diselesaikan.


“Saya ingin konflik agraria ini cepat selesai,” katanya.

PPMAN : Kasus Perampasan Wilayah Adat Makin Meningkat

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) yang didukung Pengurus Besar (PB) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melakukan pelatihan paralegal untuk kader Komunitas masyarakat adat diregion Sulawesi Komunitas adat Pamona Sulawesi Tengah (Sulteng) pada 28/11/2022

“Mengingat beragamnya masalah hukum yang terjadi dan menimpa masyarakat adat diwilayah yang menjadi objek pembangunan negara, maka sangat diperlukan peran serta masyarakat adat itu sendiri untuk bersama berjuang,dan membantu komunitasnya dalam memperjuangkan hak-haknya,” kata Maulana Koordinator PPMAN Region Sulawesi.

 

Menurutnya, berdasarkan catatan akhir tahun 2021 dari AMAN menunjukan perampasan wilayah adat, kekerasan, kriminalisasi dan penyangkalan terhadap masyarakat adat masih terus berlangsung dan semakin meningkat.

 

AMAN dan PPMAN sepanjang tahun 2022 setidaknya menerima 35 kasus perampasan wilayah adat yang mencakup areal seluas 251.000 hektar dan berdampak pada 103.717 jiwa. Bahkan satu orang warga masyarakat adat Toruakat di Bolaang Mongondow Sulawesi Utara tertembak mati dalam bentrok dengan Perusahaan tambang PT. Bulawan Daya Lestari.

 

Sehingganya kata Maulana, pelatihan para legal ini bertujuan untuk kapasitas komunitas masyarakat adat, baik itu pengetahuan, wawasan, keterampilan, serta keahlian dalam mendampingi dan menangani kasus masyarakat adat yang menjadi korban dari rencana pembangunan negara.

 

Hal senada diungkapkan Noval A. Saputra Biro Advokasi PW AMAN Sulteng bahwa pelatihan paralegal ini diikuti oleh para pemuda-pemudi komunitas masyarakat adat di Region Sulawesi, para peserta selain mendapatkan materi inclass mereka juga diajak melakukan observasi di lingkungan PT. Poso Energi dan observasi di lingkungan Desa Kuku Kecamatan Pamona Utara Kabupaten Poso.

 

“Hemat saya, ini model pelatihan yang bisa dilakukan secara berkelanjutan di komunitas-komunitas lainnya, sehingga bisa menemukan dan mengenali peluang serta ancaman bagi komunitas masyarakat adat dengan memberdayakan pemuda dan perempuan,” tuturnya.

 

Kegiatan yang berlangsung dari 28 November sampai dengan 2 Desember itu diikuti sejumlah perwakilan dari setiap komunitas masyarakat adat dimasing-masing wilayah.

 

Berikut Nama-nama Komunitasnya :

  1. Komunitas Masyarakat Adat Pamona Kabupaten Poso Sulteng
  2. Komunitas Masyarakat Adat Togean Kabupaten Tojo Una una Sulteng
  3. Komunitas Masyarakat Adat Kaili Tado Sulteng-Sulbar
  4. Komunitas Masyarakat Adat Kasimbar Parimo Sulteng
  5. Komunitas Masyarakat Adat Mateko Kabupaten Gowa Sulsel
  6. Komunitas Masyarakat Adat Rampi Kabupaten Luwu Utara Sulsel
  7. Komunitas Masyarakat Adat Seko Kabupaten Luwu Utara Sulsel
  8. Komunitas Masyarakat Adat Pali Kabupaten Tanah Toraja Sulsel
  9. Komunitas Masyarakat Adat Sa’dan Kabupaten Tanah Toraja Sulsel
  10. Komunitas Masyarakat Adat Makale Kabupaten Tanah Toraja Sulsel
  11. Komunitas Masyarakat Adat Karama Kabupaten Mamuju Sulbar
    12 komunitas Masyarakat Adat Tabulahan Kabupaten Mamasa Sulbar
  12. Komunitas Masyarakat Adat Adolang Kabupaten Majene Sulbar
  13. Perwakilan Kader Organisasi Sayap (Perempuan AMAN dan Barisan Pemuda Adat Nusantara di Sulteng)

 

Jurnalis SMS Samsir

Sumber: https://matasms.com/ppman-kasus-perampasan-wilayah-adat-makin-meningkat/

Mendorong Masyarakat Adat Pastikan Implementasi FPIC

Oleh Apriadi Gunawan

 

Masyarakat Adat didorong untuk memiliki peran secara penuh untuk bersama-sama memastikan implementasi prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dalam tata kelola sumber daya alam. FPIC merupakan hak Masyarakat Adat untuk mengatakan “ya dan bagaimana” maupun “tidak” untuk pembangunan yang mempengaruhi sumber daya dan wilayah adat. Peran Masyarakat Adat dinilai penting mengingat beragamnya masalah hukum yang terjadi dan menimpa Masyarakat Adat di wilayah adat yang menjadi target pembangunan pemerintah maupun perusahaan.

 

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menegaskan pentingnya penerapan FPIC dan peran Masyarakat Adat dalam memastikan itu. Komunitas Masyarakat Adat yang memiliki kapasitas pembelaan juga diharapkan dapat membantu komunitas Masyarakat Adat lain yang menjadi korban untuk mendapatkan akses keadilan.

 

Rukka menerangkan, FPIC itu ibarat kita masuk ke rumah orang, jadi harus menyapa tuan rumah dan mendapat izin terlebih dahulu untuk bisa masuk.

 

“Yang terjadi selama ini, perusahaan masuk ke wilayah adat, tidak hanya tanpa izin, tapi mencuri, merampok. Setelah itu, membakar wilayah adat kita,” kata Rukka dalam sambutan membuka diskusi publik dengan topik “Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat yang Berada di Dalam dan Sekitar Wilayah Operasional Bisnis dalam Menjalankan Protokol Persetujuan atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA).”

 

Diskusi publik yang diselenggarakan atas kerja sama Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan AMAN itu berlangsung di Kota Palu, Sulawesi Tengah pada 28 November 2022. Diskusi menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai pihak, termasuk sektor pemerintah, masyarakat, dan privat.

 

Puluhan orang hadir dalam diskusi publik itu, di antaranya perwakilan berbagai organisasi masyarakat sipil, organisasi sayap AMAN PEREMPUAN AMAN dan BPAN, serta komunitas Masyarakat Adat, termasuk Pamona, Togean, Kaili Tado, Kasimbar, Mateko, Rampi, Seko, Pali Sadan, Makale, Karama, Tabulahan, Adolang, dan lain-lain.

 

Rukka sempat menyinggung soal “ethic” (etika) dalam ruang diskusi publik tersebut. Ia menerangkan bahwa etika adalah turunan yang menjadi hak sekaligus mekanisme dan alat. Etika itu kalau kita lihat hidupnya, di atas “mamak”-nya etika itu ada yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri. “Nasib kita, wilayah adat kita, adalah keputusan kita. Itulah yang disebut hak asasi manusia (HAM),” katanya mengingatkan.

 

Rukka menyebut bahwa HAM terdiri dari dua jenis, yaitu hak individu dan hak kolektif. Hak kolektif Masyarakat Adat menjadi hidup dari seluruh hak-hak Masyarakat Adat, termasuk di dalamnya hak untuk menentukan nasib sendiri.

 

Kaitannya dengan etika, Rukka mengatakan bahwa etika bukan menyatakan isme, tapi dia adalah hak kolektif dari Masyarakat Adat.

 

“Mengapa hak kolektif itu penting? Karena tanpa hak kolektif atas nasib kita, atas wilayah adat kita, atas kehidupan kita, maka kita tidak mungkin lagi bisa menikmati hak-hak asasi yang bersinar di sini,” ungkapnya.

 

Terkait dengan “free” (bebas), menurutnya, itu berarti Masyarakat Adat tidak boleh diintervensi, ditekan, dan diintimidasi. Ketika melakukan proses, Masyarakat Adat harus bebas dari intervensi dan intimidasi.

“Kalau ada kepala desa atau polisi mengawal musyawarah adat, itu sudah dipastikan bukan free. Apalagi datang Koramil, intel-intel, awasi kita punya acara, itu pasti sudah bukan free,” tandasnya.

 

Dalam kesempatan itu, Rukka juga menyoal tentang informasi yang kerap dimanipulasi untuk kepentingan perusahaan. Informasi menjadi senjata utama dari perampasan wilayah adat.

 

“Yang disampaikan, informasi yang manis. Tidak pernah disampaikan kepada Masyarakat Adat, informasi yang benar,” ungkap Rukka. Padahal, lanjutnya, informasi dari A sampai Z itu harus disampaikan secara utuh. Namun, yang paling banyak dikeluhkan, perusahaan dan pemerintah kerap tidak transparan dalam menyampaikan informasi, bahkan tidak pernah membuka dokumen izin ke Masyarakat Adat. “Entah apa yang disembunyikan, padahal itu informasi publik. Tidak pernah dibuka, tapi dia (perusahaan) mengancam (dengan bilang bahwa) dia sudah punya izin. Banyak sekali kasus seperti ini.”

 

Catatan Akhir Tahun AMAN tahun lalu, menunjukkan berbagai data terkait maraknya perampasan wilayah adat, kekerasan, kriminalisasi, dan penyangkalan terhadap Masyarakat Adat yang masih terus berlangsung dan semakin meningkat.

 

Sepanjang tahun 2022, PPMAN dan AMAN telah menerima 35 kasus perampasan wilayah adat yang mencakup area seluas 251 ribu hektar dan berdampak pada 103.717 jiwa. Bahkan, satu orang anggota komunitas Masyarakat Adat di Kecamatan Kasimbar, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, tertembak mati dalam bentrok dengan aparat kepolisian saat aksi menentang Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Trio Kencana.

 

Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seharusnya dapat menunjukkan komitmen terhadap implementasi prinsip yang tertuang dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP) yang tegas menetapkan hak individu dan hak kolektif Masyarakat Adat, mulai dari hak Masyarakat Adat untuk memelihara dan memperkuat kelembagaan adat, budaya, tradisi, bahasa, dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi Masyarakat Adat sendiri.

 

Pria yang akrab disapa Alam itu menambahkan bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan atau proyek, seharusnya negara menggunakan prinsip FPIC kepada Masyarakat Adat maupun masyarakat lokal yang akan terkena dampak dari pembangunan.

 

“PADIATAPA (FPIC) merupakan hak yang dimiliki Masyarakat Adat dan masyarakat setempat lainnya untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan mereka atas setiap pembangunan atau proyek yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lahan, mata pencaharian, dan lingkungan mereka,” terangnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ridha Saleh selaku Asisten Ahli Gubernur Sulawesi Tengah, mengatakan bahwa perlindungan masyarakat itu tanggung jawab kita bersama karena itu terkait dengan hak mendasar yang melekat bagi Masyarakat Adat dan secara substansi menyangkut identitas atau hak asal-usul kita.

Keberadaan Masyarakat Adat.

 

Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Sjamsul Hadi mengatakan bahwa keberadaan Masyarakat Adat dilindungi oleh konstitusi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Pasal 18B angka 2, di mana negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pasal 28I angka 3, juga disebutkan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

 

Sjamsul menambahkan, keberadaan Masyarakat Adat juga telah mendapatkan Piagam Hak Asasi Manusia, di mana itu mengatur tentang identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman.

PPMAN Desak Polisi Hentikan Intimidasi terhadap Petani Desa Kalasey Dua di Minahasa

Oleh Apriadi Gunawan

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendesak kepolisian untuk segera menghentikan segala bentuk tindakan intimidasi terhadap petani di Desa Kalasey Dua, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

 

PPMAN juga meminta seluruh petani, mahasiswa, dan pendamping hukum yang ditangkap secara sewenang-wenang, segera dibebaskan.

 

Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus menyatakan bahwa ada 12 orang petani, mahasiswa, dan pendamping hukum yang ditangkap saat terjadi penggusuran di lahan garapan petani di Desa Kalasey Dua pada Senin (7/11/2022). Mereka sempat ditahan di Polresta Manado. Namun, akhirnya mereka dibebaskan setelah diprotes oleh berbagai pihak, termasuk PPMAN.

 

“Sudah bebas semua yang ditahan, tapi polisi mengejar dua orang lainnya,” kata Syamsul Alam saat dihubungi pada Rabu (9/11/2022).

 

Ia menjelaskan bahwa telah terjadi penggusuran oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Utara dan ratusan aparat kepolisian di lahan garapan petani di Desa Kalasey Dua pada 7 November 2022. Sejak pukul 10.00 WITA, aparat kepolisian dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) memaksa masuk ke lahan petani untuk melakukan penggusuran. Petani yang menolak kehadiran tersebut, memblokade jalan.Tetapi, aparat kepolisian tetap memaksa dengan tindakan represif terhada massa aksi.

 

“Akibat tindakan represif tersebut, beberapa orang petani mengalami luka-luka di bagian leher dan tangan kiri,” ungkap Syamsul.

 

Dalam peristiwa itu, Syamsul menilai bahwa Pemprov Sulawesi Utara, khususnya Gubernur Sulawesi Utara, tidak taat hukum. Ia menerangkan, lahan yang hendak dikuasai oleh Pemprov Sulawesi Utara tersebut masih dalam proses upaya hukum kasasi, bahkan belum ada putusan untuk melakukan eksekusi.

“Tapi, Pemprov Sulawesi Utara menggunakan aparat yang dilengkapi senjata api lengkap untukmemaksa masuk dan beberapa kali menembakkan gas air mata kepada massa aksi. Ini tindakan arogan,” tandas Syamsul sembari menambahkan kalau dalam penggusuran itu ada salah satu anggota polisi yang terekam mengeluarkan caci maki terhadap petani.

 

Ironisnya, sebut Syamsul, ada beberapa warga dan mahasiswa yang terus dikejar dan ditangkap oleh aparat kepolisian dan Satpol PP secara represif menggunakan kekerasan. Bahkan, posko petani di Desa Kalasey Dua dihancurkan, sehingga beberapa mahasiswa dan petani harus lari ke dalam hutan untuk menyelamatkan diri.

 

Ia menyatakan bahwa pihaknya sangat prihatin dengan cara-cara kekerasan yang diperlihatkan oleh aparat kepolisian dan Satpol PP. Untuk itu, Syamsul menegaskan kalau PPMAN menuntut Pemprov Sulawesi Utara untuk menghentikan cara-cara kekerasan saat melakukan penggusuran. Ia juga meminta aparat kepolisian untuk segera menarik pasukannya dari lokasi penggusuran.

 

“Tarik aparat kepolisian dan hentikan intimidasi kepada petani, mahasiswa, dan pendamping hukum,” tandasnya.

 

Menurut Syamsul, cara-cara kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dan Satpol PP, merupakan tindakan melanggar hak asasi manusia.

 

“Tindakan represif aparat yang berkali-kali menembakkan peluru gas air mata ke arah warga, juga kategori tindakan yang tidak manusiawi,” ujarnya.

 

Kronologi Proses Hukum

 

Sejak 1982, petani Desa Kalasey Dua telah menggarap lahan pertanian dengan menanam pisang, singkong, kelapa dan lain-lain. Lalu, pada 2021, Gubernur Sulawesi Utara mengeluarkan SK Hibah No. 368/2021 tentang Pelaksanaan Hibah Tanah kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia seluas 20 hektar.

 

Namun, pada awal 2022, petani Desa Kalasey Dua – melalui kuasa hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado – mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Manado dengan perkara No. 9/G/2022/PTUN.Mdo. Pada 24 Oktober 2022, LBH Manado melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung setelah pengadilan di PTUN Manado menyatakan bahwa gugatan petani Desa Kalasey Dua “tidak diterima”dan Pengadilan Tinggi TUN Makassar menguatkan putusan PTUN Manado.

 

Kronologi Eksekusi Lahan

 

Warga mendapatkan informasi bahwa akan ada proses eksekusi lahan milik petani di Desa Kalasey Dua Minahasa pada 7 November 2022. Sekitar pukul 07.00 WITA, petani dan jaringan masyarakat yang melakukan aksi solidaritas, mulai berkumpul. Ada sekitar 80 orang berada di titik utama yang merupakan titik masuk sebelah ring road lahan petani. Massa melakukan ibadah singkat, kemudian berjaga di lokasi menunggu kedatangan pihak pemerintah.

 

Dua jam kemudian, petani mendapatkan kabar bahwa pemerintah membawa aparat polisi dan Satpol PP menuju titik perkebunan petani dan mereka berkumpul di Kantor Desa. Ada sekitar tujuh mobil Sabhara yang berjaga. Warga melakukan penghadangan, namun beberapa orang massa solidaritas ditangkap.

Sekitar pukul 10.00 WITA, aparat tiba di lahan petani dan dihadang oleh warga. Aparat melakukan kekerasan dan beberapa petani ditangkap. Sekitar satu jam setelahnya, aparat memaksa masuk ke lahan petani dengan mengerahkan mobil pemadam kebakaran, menyiram warga, dan melempar gas air mata. Aparat memaksa menerobos masuk dan melakukan kekerasan dengan menabrak beberapa warga yang menghadang.

Menyoal Perlindungan Hak Masyarakat Adat di Wilayah Operasional Bisnis

POSISI hukum masyarakat adat saat berhadapan dengan isu pembangunan maupun korporasi sangat lemah. Dalam banyak kasus, posisi masyarakat adat yang mempertahankan hak adatnya melawan kekuatan komplet korporasi yang dibelakangnya berdiri kekuatan negara memaksa masyarakat adat harus takluk. Fenomena ini muncul tekad kuat akan hadirnya komunitas masyarakat adat yang memiliki kapasitas advokasi. Dengan demikian dapat membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menjadi korban untuk mendapatkan akses keadilan.

 

Keinginan itu, yang melatari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menggelar diskusi yang menyoal pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di dalam dan sekitar wilayah operasional bisnis, dalam menjalankan protokol persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan. Selanjutnya akronimnya disebut Padiatapa.

 

Diskusi yang berlangsung di Palu, 28 November 2022 ini, diharapkan mendorong peran masyarakat adat memiliki kapasitas untuk mengimplementasikan prinsip Free, Prior and Informed Concern (FPIC). Khususnya penatakelolaan sumber daya alam masyarakat adat. Diskusi ini menghadirkan pembicara, Ridha Saleh mantan Anggota Komnas HAM kini Asisten Ahli Gubernur Sulteng. Syamsul Hadi, Direktur KMA Kementrian Pendidikan dan kebudayaan dan Syamsul Alam Agus, Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat. Kemudian Irma Suriani – Manager Lingkungan dan CSR PT Poso Energy – salah satu perusahaan milik Bukaka Group yang membangun PLTA di Poso.

 

Diskusi dibuka oleh Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, ia mengatakan, pentingnya prinsip FPIC bagi sebuah korporasi maupun lembaga negara melakukan kegiatan pembangunan di wilayah adat. Rukka bilang, FPIC itu ibarat masuk di rumah orang. Harus menyapa terlebih dahulu. Harus mendapatkan persetujuan untuk masuk atau tidak. Setelah dapat izin baru masuk. ”Yang selama ini terjadi, perusahaan masuk di wilayah adat masyarakat adat, tidak hanya masuk tanpa izin, tapi pencuri, merampok, setelah itu membakar rumah atau wilayah adat orang,” kritiknya.

 

Diskusi publik dilaksanakan sebagai salah satu kerangka kerja advokasi. Ini kata dia untuk memastikan prinsip Padiatapa diterapkan dalam level kebijakan publik terhadap perusahaan. Hal ini tidak terlepas massifnya pelanggaran HAM dalam wilayah operasi bisnis berupa kriminalisasi, intimidasi, kekerasan, dan represif terhadap masyarakat adat. Diskusi publik ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan paralegal bagi masyarakat adat yang akan dilaksanakan pada 29 November hingga 2 Desember 2022 di Tantena, Kabupatan Poso.

 

Syamsul Hadi, Direktur KMA, Kementrian Pendidikan dan kebudayaan, mengatakan masyarakat adat dilindungi oleh Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 18 B angka 2. Negara katanya mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya. Dan itu berlaku sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

 

Mengutip pasal 28I angka 3, Hadi kembali menambahkan, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Ini dilanjutkan dengan Amandemen UUD 1945 Pasal 32. Dimana Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Selain itu keberadaan Masyarakat adat juga telah mendapatkan Piagam Hak Asasi Manusia yang dimana mengatur tentang identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

 

Syamsul Alam Agus, Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat, menyampaikan, Indonesia harus menunjukkan komitmen mengimplementasikan prinsip yang tertuang dalam Declaration on the rights of Indigeneous Peoples (UNDRIP). Di dalamnya menetapkan hak individu dan kolektif masyarakat adat. Mulai dari hak Masyarakat adat untuk memelihara dan memperkuat institusi, budaya dan tradisi mereka sendiri. Termasuk untuk mengejar perkembangan mereka sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.

 

Alam ini menambahkan, dalam rangka melaksanakan royek seharusnya negara menggunakan prinsip Padiatapa kepada masyarakat yang akan terkena dampak dari pembangunan tersebut. Padiatapa merupakan hak yang dimiliki masyarakat adat untuk memberi tidak persetujuan proyek yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lahan, mata pencaharian dan lingkungan mereka. Sedangkan Asisten Ahli Gubernur Ridha Saleh, mengatakan, perlindungan masyarakat itu tanggung jawab kita bersama. Karena itu berkaitan hak mendasar yang melekat bagi masyarakat adat. Dan secara substansi menyangkut identitas atau hak asal-usul maupun akan akan masa depan. Sementara Irma Suriani, pada kesempatan itu, memaparkan soal program elektrifikasi di Sulawesi yang bersumber dari PLTA Poso yang dibangunnya. Ia juga menyampaikan budidaya sidat melalui fish way (jalan ikan) yang dibangunnya di lokasi PLTA.

 

Sumber: https://www.roemahkata.com/menyoal-perlindungan-hak-masyarakat-adat-di-wilayah-operasional-bisnis/

IKN DAN KETIMPANGAN PENGUASAAN LAHAN

Oleh Muhammad Arman
Direktur Advokasi Hukum dan HAM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

 

Pada tanggal 26 Agustus 2019, Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Pemindahan IKN dari Jakarta sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Bahkan jauh sebelum wacana pemindahan IKN pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1960-an, sejarah mencatat setidaknya telah terjadi dua kali pemindahan IKN dari Jakarta yakni ke Ibu Kota Yogyakarta dan Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Pemindahan IKN pada saat itu dilakukan karena adanya kegentingan akan keamanan bangsa karena perang merebut kemerdekaan.

 

Lalu apa alasan kegentingan pemindahan IKN saat ini? Setidaknya terdapat empat alasan yang mengemuka yaitu: Pertama, untuk mengurai kepadatan penduduk yang terkonsentrasi di Pulau Jawa; Kedua, pemerataan ekonomi, Ketiga, krisis ketersediaan air bersih di Jawa, dan Keempat, ketersediaan lahan (konversi lahan).

 

Sekilas alasan pemindahan IKN ke Kalimantan Timur sangat masuk akal dan tidak akan menimbulkan masalah. Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil bahkan menyatakan telah tersedia lahan seluas 180 hektar sebagai lokasi pusat pemerintahan IKN yang telah ditunjuk, artinya dari sisi kesiapan lahan untuk pembangunan infrastruktur IKN sudah memenuhi syarat penunjukan Kalimantan Timur sebagai IKN baru.

 

Konflik Lahan

 

Pembangunan dan konflik berbasis lahan adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Hasil pertemuan dua tahunan IMF dan Bank Dunia (1980), menghasilkan suatu kesimpulan yang sangat menarik bahwa pembangunan berarti sama dengan penghancuran tananan sosial, ekonomi dan budaya sekaligus. Pembangunan yang tidak diawali dengan kebijakan yang berkeadilan akan menjelma menjadi sumber konflik, kantong-kantong pengangguran, kemiskinan, korupsi dan kerusakan lingkungan.

 

Eskalasi konflik lahan dan sumber daya alam di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir terus mengalami peningkatan. Konsorsium Pembaruan Agraria (2015-2018)

mencatat telah terjadi 1.769 letusan konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat, petani, dan masyarakat perdesaan. Peningkatan konflik agraria yang terjadi setiap tahunnya mencapai 13 – 15%. Data YLBHI (2018) menunjukkan telah terjadi 300 kasus konflik agraria struktural di 16 provinsi dengan luasan lahan 488.407,77 hektar. Konflik ini disebabkan penerbitan izin-izin konsesi di atas tanah masyarakat oleh pemerintah untuk proyek pembangunan infrastruktur dan penerbitan izin-izin konsesi perusahaan.

 

Kekeliruan pengelolaan sumber agraria dan sumber daya alam (SDA) diatas sesungguhnya telah lama disadari oleh pemerintah dan dikoreksi melalui TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan SDA. Sayangnya hampir dua dekade penerbitan TAP MPR ini tidak dilaksanakan secara sungguh- sungguh oleh pemerintah. Akibatnya konflik berbasis lahan dan SDA tidak hanya merugikan masyarakat tetapi juga berimplikasi pada kerusakan ekologis dan kerugian negara (Studi GNPSDA KPK; 2012).

 

Secara khusus wilayah yang ditunjuk sebagai lokasi IKN pun tidak luput dari konflik lahan karena adanya klaim hak yang berbeda dan tumpang tindih perijinan. AMAN (2019), mencatat sedikitnya terdapat 13 (tiga belas) wilayah adat di Kabupaten Penajam Paser Utara yang akan menjadi lokasi IKN. Selain itu telah terdapat izin konsesi perkebunan skala besar seluas 30 ribu hektar yang tumpang tindih dengan wilayah masyarakat adat. Konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan hingga saat ini belum ada penyelesaiannya. Artinya dengan masuknya wilayah tersebut sebagai pusat pembangunan infrastruktur IKN akan mempertajam konflik yang masih berlangsung.

 

Penataan Regulasi

 

Kajian Tim harmonisasi (2018), di sektor Undang-undang SDA dan lingkungan hidup (SDA-LH) terhadap duapuluh enam UU sektoral menunjukkan bahwa kerangka hukum positif SDA-LH hanya dominan pada pemenuhan prinsip kepastian hukum dan negara kesatuan, tetapi paling lemah dalam menjabarkan prinsip keadilan sosial.

 

Pengaturannya tidak banyak menyediakan norma-norma yang berkaitan dengan distribusi, perlindungan masyarakat marjinal, dan pemulihan hak. Sementara prinsip keberlanjutan dan demokrasi, presentase pemenuhannya di bawah 50%, sangat jauh dari standar pemenuhan prinsip keadilan sosial dan hak asasi manusia.

 

Sejalan dengan itu, Kenichi Ohmae (1991) telah mengingatkan bahwa jika SDA merupakan sumber utama kekayaan negara, maka hal utama yang perlu diperhatikan adalah bahwa kehadiran investasi untuk pembangunan tidak boleh melanggar hak asasi manusia setiap warga negaranya. Pembangunan harus berprinsip teguh pada pemenuhan hak asasi manusia dan memenuhi rasa keadilan setiap kelompok masyarakat.

 

Dengan demikian tanpa penataan regulasi yang berkeadilan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia serta pelaksanaan yang konsisten, kehadiran IKN dan pembangunan infrastruktur yang mengikutinya tidak hanya akan menimbulkan konflik dan ketimpangan penguasaan lahan, tetapi justru akan menciptakan neraka-neraka baru diatas tanah surga di Bumi Borneo.