Di Balik Tragedi Berdarah Bangkal Seruyan: Di Negeri Kami ‘Sawit Lebih Mahal dari Nyawa Manusia’

Siaran Pers

Jakarta, 31 Oktober 2024 — Pada hari ini, Transformasi untuk Keadilan (TuK INDONESIA), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), dan WALHI Kalimantan Tengah meluncurkan laporan penelitian berjudul “Di Balik Tragedi Berdarah Bangkal Seruyan: Di Negeri Kami ‘Sawit Lebih Mahal dari Nyawa Manusia’” yang mengungkap sisi kelam dari konflik agraria akibat ekspansi industri kelapa sawit di Bangkal Seruyan, Kalimantan Tengah. Laporan ini juga telah diserahkan kepada Komnas HAM pada 30 Oktober 2024.

Laporan penelitian ini menemukan sejumlah fakta pada konflik antara warga Desa Bangkal dengan PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP). Pertama, terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap masyarakat adat dan kelestarian lingkungan, sesuai dengan rekomendasi Komnas HAM tertanggal 16 April 2024 yang mencakup kasus penembakan warga dan tidak diberikannya plasma kepada masyarakat. Kedua, ada dugaan bisnis keamanan yang melibatkan kepolisian di Kalimantan Tengah yang mengakibatkan penembakan warga. Ketiga, pengabaian hak warga untuk mendapatkan perkebunan yang dijamin oleh negara lewat undang-undang. Keempat, Best Agro International diduga terlibat dalam bisnis gelap, tanpa  informasi resmi struktur pembiayaan atau rantai pasok perusahaan.

Bayu Herinata, Direktur WALHI Kalimantan Tengah menegaskan bahwa praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab berdampak buruk terhadap kelestarian lingkungan dan kehidupan masyarakat di desa-desa sekitar areal usaha. “Kami mengharapkan pemerintah dan pihak terkait untuk segera menindaklanjuti dugaan pelanggaran ini dan memperketat pengawasan terhadap perusahaan yang beroperasi di kawasan-kawasan penting bagi lingkungan,” tegas Bayu.

Lebih jauh, Bayu menjelaskan bahwa PT HMBP diduga terlibat dalam pelanggaran kehutanan, termasuk cacat administrasi dalam perizinan dan operasi di kawasan hutan yang seharusnya dilindungi. Berdasarkan SK Menteri LHK No. SK.196/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2023, perusahaan ini terdaftar sebagai yang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin yang sah dan telah membuka lahan ilegal seluas 4.769,52 hektar, termasuk di Hutan Produksi dan Hutan Produksi Konversi. Kegiatan PT HMBP juga menjangkau bibir Danau Sembuluh dan sempadan sungai, di mana limbah dari perkebunan berkontribusi terhadap pencemaran air, menurunkan kualitas air yang menjadi sumber air bersih dan penghidupan masyarakat setempat, seperti nelayan dan pengelola keramba ikan.

Bayu menekankan pentingnya tindakan tegas dari pemerintah, khususnya pemerintah daerah, untuk mengevaluasi izin operasional PT HMBP. “Kami berharap pihak berwenang dapat segera memberikan perhatian dan solusi atas persoalan ini demi keadilan dan keberlanjutan bagi masyarakat dan lingkungan di Kalimantan Tengah,” tuturnya.

Dalam investigasi yang dilakukan koalisi, ditemukan adanya surat perintah dari Polda Kalimantan Tengah pada 2020 yang menetapkan tugas pengamanan di wilayah operasi PT HMBP, termasuk lampiran pembayaran yang harus dipenuhi oleh pihak perusahaan kepada aparat. Ditemukan pula bukti pengarahan pasukan dengan jumlah yang sangat besar, yakni 440 personel hanya untuk menghadapi aksi protes warga yang menuntut hak mereka. Fakta tersebut menjadi satu gambaran nyata adanya dugaan bisnis pengamanan oleh pihak Aparat Penegak Hukum yang dilegalisasikan dengan mengesampingkan asas dan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).

Surti Handayani, Staf Bidang Kerjasama Advokasi Internasional dan Respon Kedaruratan PPMAN menjelaskan bahwa bisnis dan HAM tidak pernah bisa memberikan jaminan penuh terhadap Hak asasi dari Masyarakat Adat khususnya di Bangkal-Seruyan dan Indonesia pada umumnya. “Dengan adanya tragedi yang mengakibatkan kematian Gijik menunjukkan bahwa kelancaran bisnis lebih penting daripada nyawa masyarakat dan itu nampak nyata dengan dugaan adanya kelindan antara perusahaan dengan institusi negara khususnya Aparatur Penegak Hukum,” tegas Surti.

Masifnya ekspansi kelapa sawit di Kalimantan Tengah tidak terlepas dari peran besar lembaga jasa keuangan dalam memberikan pembiayaan. Berdasarkan penelusuran TuK INDONESIA, para taipan sawit yang beroperasi di Kalimantan Tengah telah menerima fasilitas pembiayaan signifikan, termasuk dari Bank Negara Indonesia (BNI). “Dalam periode 2016 hingga Juni 2024, total kredit yang disalurkan kepada para taipan sawit mencapai USD 11,07 miliar atau sekitar Rp 157,8 triliun. Salah satu penerima diduga adalah Winarno Tjajadi, pengendali PT HMBP/Best Agro Group, yang juga terhubung dengan BNI sebagai pemegang saham individu yang nilainya terus meningkat,” jelas Linda Rosalina, Direktur TuK INDONESIA.

Lebih lanjut, Linda menyoroti kurangnya perhatian terhadap transparansi publik dari BNI. “Saat kami mengajukan permohonan informasi kepada BNI terkait aliran pembiayaan ini, TuK INDONESIA mengalami hambatan besar dalam mendapatkan respons yang transparan dan akuntabel. Proses permohonan informasi kami tidak diproses sesuai aturan dan bahkan sempat hilang dalam sistem BNI.”

Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu meningkatkan pengawasan, memberikan sanksi terhadap bank yang tidak memenuhi standar keberlanjutan, serta memastikan transparansi dan tanggung jawab dalam pelaporan dampak sosial-lingkungan dari pembiayaan. “Transparansi ini krusial untuk mencegah pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan yang didukung secara tidak langsung oleh pembiayaan dari lembaga jasa keuangan termasuk bank,” jelas Linda.

Dengan diluncurkannya laporan ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman publik dan mendorong pemangku kepentingan untuk melakukan reformasi menyeluruh di sektor kelapa sawit, mulai dari penguatan regulasi, pengakuan hak masyarakat adat, hingga penerapan praktik bisnis yang beretika dan berkelanjutan.

Dokumentasi dan laporan dapat diakses melalui tautan berikut:

Tautan Dokumentasi Konferensi Pers; Tautan Siaran Langsung; Tautan Laporan Penelitian;

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:

TuK INDONESIA : Icanna (08788 444 6640); PPMAN : Surti (0853 3562 8126); WALHI Kalteng:  Bayu (0822 5511 5115);

KEPOLISIAN POLRES SIKKA MELAKUKAN PENAHANAN TERHADAP MASYARAKAT ADAT DAN PEREMPUAN ADAT SIKKA (Tanah kami diambil oleh PT Krisrama yang merupakan milik Keuskupan Maumere, Kami Dikriminalisasi”)

Press Release
Jakarta, 26 Oktober 2024, Kepolisian Polres melakkukan penahanan delapan (8) terhadap Masyarakat Adat Nangahale pada Jumat 25 Oktober 2024, hal ini berdasarkan surat pemanggilan untuk memberikan keterangan pada hari Selasa, tanggal 22 Oktober 2024 di Kepolisian Polres Sikka. Namun pada saat itu Pendamping dan penasihat hukum Masyarakat Adat Nangahale tidak berada di tempat, maka Masyarakat Adat tidak mendatangi Kepolisian, karena Masyarakat Adat membutuhkan pendamping dalam proses memberikan keterangan di Kepolisian. Berdasarkarkan situasi dan kondisi tersebut diatas, Kepolisian melakukan pemanggilan kembali kepada delapan (8) Masyarakat Adat tersebut untuk hadir pada hari Jumat 25 Oktober 2024.

Ratusan Masyarakat Adat Nangahale mendampingi, memantau dan memberikan dukungan kepada anggota Masyarakat Adat selama proses memberikan keterangan di Kepolisian. Delapan (8) orang Masyarakat Adat Nangahale didampingi oleh Penasihat hukum dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) yaitu Sdr Antonius Yohanis Balla. Berdasarkan informasi yang kami peroleh dari Sdr Yohanis Balla mengatakan bahwa kasus ini berawal dari peristiwa pada tanggal 29 Juli 2024 sekitar Jam 09.30 WIT, Dimana pada saat itu karyawan PT. Krisrama dipimpin oleh Rohaniawan Katolik Romo RD. Yan Faroka melakukan penebangan pohon/ tanaman Warga di Lokasi Pedan Nangahale. Pada saat itu banyak masyarakat adat Nangahale yang menyampaikan keberatan dan perlawanan terhadap tindakan penebangan pohon yang dipimpin oleh Rohaniawan Katolik tersebut. Tindakan perlawanan ini baru berhenti setelah Polisi dari Polsek Waigete datang dan menghentikan aksi perlawanan Masyarakat Adat tersebut. Masyarakat Adat mengalami kerugian berupa seratus empat puluh dua (142) berbagai jenis tanaman tumbang dan rusak.

Tindakan rohaniawan katolik bersama dengan PT Krisrama tersebut tidak berhenti, karena pada siang hari mereka melakukan penebangan pohon/tanaman warga disekitar halaman rumah Richyanto Fernandes dan sekitarnya. Warga yang protespun kembali melakukan keberatan di lokasi penebangan tersebut. Tindakan kesewenangan-wenangan yang dilakukan oleh keloimpok orang yang dipimpin oleh Rohaniawan Katolik tersebut berlanjut dengan cara memasang papan nama/plang yang berisikan tulisan: “TANAH INI MILIK PT. KRISRAMA KEUSKUPAN MAUMERE”. Atas tindakan tersebut Masyarakat Adat Nangahale marah dan melakukan pencabutan papan tersebut dan membakarnya. Masyarakat mengatakan bahwa tanah ini milik kami, proses HGU yang dilakukan tidak melalui proses diskusi dengan kami, kami tidak mengetahui terkait dengan proses pemberian HGU ini. Namun tindakan pencabutan papan tersebut yang menjadikan dasar bagi PT Krisrama melakukan laporan polisi dengan menggunakan Pasal 170 KUHP.

Merespon tindakan dari Kepolisian Polres Sikka yang melakukan penahanan terhadap delapan (8) Ketua PPMAN sdr Syamsul Alam Agus mengatakan bahwa tindakan Kepolisian Polres Sikka merupakan tindakan yang tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan hak asasi manusia dan ini menambah potensi konflik yang terjadi di Masyarakat Adat Nangahale. Tindakan kepolisian dengan melakukan penahanan tanpa mempertimbangkan bahwa mereka adalah Masyarakat Adat yang perlu mendapatkan perlindungan khusus dari Negara. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 D ayat 1 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Selanjutnya diatur pada Pasal 28 I ayat 3 Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Ayat 4 Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Alam menambahkan bahwa seharusnya Kepolisian Polres Sikka harus membaca Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dimana pada Pasal 2 menyebutkan Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Keberadaan Kepolisian terkesan berpihak pada PT Krisrama, dimana PT Krisrama adalah pihak yang selama ini mengambil tanah milik Masyarakat Adat Nangahale.
Alam juga menambahkan bahwa Kepolisian memiliki PERKAP Nomor 8 Tahun 2009 Tentang pelaksanaan Peraturan Kapolri nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dimana ada pengaturan khusus untuk Masyarakat Adat, Kepolisian seharusnya memfasilitasi supaya ada dialog yang baik antara Masyarakat Adat dan PT Krisrama yang selama ini telah mengklaim tanah milik Masyrakat Adat Nangahale.
Dihubungi melalui telephon Sdr Anton Yohanis Balla yang merupakan pendamping hukum delapan (8) Masyarakat Adat menyampaikan, sangat mengayangkan sikap Kepolisian yang tidak mempertimbangkan kepentingan perempuan dan anak dalam proses hukum ini. Dimana ada dua (2) perempuan adat yang ditahan dan satu orangnya lagi terpaksa membawa anaknya ke dalam tahanan, karena anaknya masih kecil. Sikap kepolisian menunjukan sikap yang arogan dan tidak memiliki perspektif dalam proses penanganan kasus ini, dimana Masyarakat Adat mderupakan kelompok rentan dan posisi Perempuan dan anak merupakan kelompok yang lebih rentan dari subyek hukum apapun di negara ini.

Jhon menambahkan bahwa akan melaporkan peristiwa penahanan terhadap Masyarakat Adat Nangahale ini ke berbagai lembaga negara baik itu Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI dan berbagai lembaga lainnya yang memiliki keterkaitan dengan kasus ini. Kami juga melaporkan kasus ini ke Komisi 3 DPR RI dan melaporkan ke Vatikan sebagai organisasi tertinggi dalam gereja Katolik di dunia. Semmentara upaya hukum yang dilakukan adalah dengan segera mengajukan gugatan Pra Peradilan atas keputusan Kepolisian Polres Nagekeo yang telah melakukan penahahan terhadap delapan (8) Masyarakat Adat Nangahale.

dua dari delapan Masyarakat Adat yang ditahan adalah Perempuan Adat, salah satu dari kedua perempuan tersebut yakni sdri. Maria Magdalena Leny memiliki seorang anak yang masih berusia 3 tahun, saat ini anak Maria tidak mau kembali ke rumah dan masih berada di Kepolisian Polres Sikka, karena diketahui selama ini Maria mengasuh anaknya sendiri.

Berikut kronologi keberadaan anak Maria Magdalena Leny di Polres Sikka;

Anak ini berusia sekitar 3 tahun, sejak kemarin ikut sama ibunya ketika ditahan di Polres Sikka dengan tuduhan melanggar pasal 170 KUHP atas laporan PT. Krisrama milik Keuskupan Maumere.

Pada sekitar jam 12:53 Witeng, Penasihat Hukum Masyarakat Adat ditelpon oleh Penyidik Polres Sikka ( Nengah Redi) dan menyampaikan akan menitipkan Tahanan atas nama: Maria Magdalena Leny ke Rutan (Rumah Tahanan) Maumere agar lebih aman dengan anaknya di sana, Penasihat Hukum dan pihak keluarga Maria Magdalena Leny (Leny) diminta hadir untuk menyaksikan proses penitipan tahan di Rutan.

Sekitar pukul 13:04, Penyidik kembali menelpon Penasihat Hukum dan menyampaikan bahwa tersangka Leny bersedia menitip anaknya ke salah satu keluarganya bernama Yohanes Jawa (saudara-nya Leny), lalu Penasihat Hukum diminta agar menghubungi keluarga tersebut.

Selanjutnya sekita pukul 13:33, Penyidik yang sama kembali menelpon dan menyampaikan apabila sulit menghubungi keluarga, maka polisi akan mengantar anak itu sendiri ke rumah keluarganya tersebut, tapi Penasihat Hukum menjawab “sabar masih diusahakan untuk keluarganya datang”.

Penyidik semacam gelisah  dan menelephone secara terus- menerus kepada Penasihat Hukum Masyarakat Adat, untuk memastikan keluarga anak sudah datang atau belum.

Sekitar pukul 16.53, saudara Yohanes Jawa dan Thomas Tapang tiba di rumah Penasihat Hukum kemudian bergabung dengan beberapa keluarga Masyarakat Adat yang ditahan dan berangkat menuju polres sikka.

Setiba di Polres Sikka mereka bertemu dengan Penyidik dan mengantar Penasihat Hukum serta keluarga ke ruangan Restotif Justuce untuk bertemu dengan Leny juga anak-nya, kebetulan di situ juga ada dari pihak Dinas sosial.

pihak Dinas Sosial menjelaskan bahwa “ini lingkungan tidak kondusif, banyak nyamuk dan tempat ini merupakan tahanan orang dewasa  maka akan sangat mempengaruhi mental dan psikologi anak”, oleh karena itu keluarga diminta untuk bawah pulang anak ini.

Thomas Tapang (saudara Leny) mengatakan “kami bersedia, tapi seandainya anak mau, kalau anak tidak mau bagaimana nanti”, Lalu Penyidik minta Tersangka Leny melepaskan anaknya main di luar, tapi anak tidak mau dan tetap dalam pangkuan ibunya.

Kemudian Penyidik meminta Penasihat Hukum dan keluarga semuanya keluar termasuk Leny dan anaknya. Sampai di luar anak tetap tidak mau pisah dengan Leny ibunya. Polisi kemudian bersiasat dan membujuk anak itu dengan memberikan HP-nya agar anak tersebut menonton film animasi, sambil meminta ibunya mengendap-endap masuk ke dalam ruang tahanan.

Setelah ibunya masuk, Yohanes Jawa (paman dari sang anak) sempat menggendong anak itu secara paksa sambil berusaha membawa keluar dari tempat tersebut, tapi baru sekitar 9 langkah anak itu tetap berteriak dan menolak, anak itu pun kembali berlari mencari ibunya di tempat semula tapi ibunya tidak ada lagi, lalu dibujuk oleh pihak Dinas Sosial dan Seorang polisi akan tetapi anak itu tetap tidak mau, Akhirnya anak tersebut berdiri sendiri di pojok depan Ruangan Restorative Justice.

Setelah anak berlari menuju ruang tahanan untuk memcari ibunya. Karena pintuh terkunci, maka anak itu berusaha memanjat jendela untuk melihat ibunya. Salah seorang Polwan sempat mengatakan “jika mama sudah pulang ke kampung”, tapi anak itu tetap mencari ibunya di situ.

Karena tidak tega melihat keadaan anak itu dan kecil kemungkinan dia mau ikut dengan keluarga ibunya, maka Penasihat Hukum dan keluarga memutuskan untuk pulang saja.

Setelah Penasihat Hukum dan keluarga pulang dan tiba di rumah John Bala, Penyidik Polres Sikka datang menemui mereka dan meminta keluarga menjemput lagi anak itu, katanya anak itu sudah mau ikut keluarga untuk pulang, tapi Thomas Tapang menolak, karena kawatir anak ini tetap tidak mau bersama keluarga ibunya.

Kepada Maria Lensiana Ledu, polisi minta untuk kembali ke Polres untuk menanda-tangani surat penyataan menolak anak untuk dibawah pulang, tapi semua mereka menolak permohonan tersebut.

Urgent Action: Penangkapan dan Penahanan Masyarakat Adat oleh Kepolisian Polres Sikka, Nusa Tenggara Timur, Termasuk Perempuan Adat

Kepada Yth.
1. Kepala Kepolisian Republik Indonesia; +62 811 8836 555
2. Ketua Komisi III DPR RI email set_komisi3@dpr.go.id
3. Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur +62 812 1000 9900 ; email hum4s@gmail.com
4. Pimpinan Komisi Kepolisian Nasional RI +62 821 1303 2098 ; email sekretariat@kompolnas.go.id
5. Pimpinan Komisi Hak Asasi Manusia RI +62 812 9401 766 ; email pengaduan@komnasham.go.id
6. Pimpinan Komnas Perempuan +62 813 1712 8173 ; email pengaduan@komnasperempuan.go.id

Subjek: Mendesak Penghentian Penangkapan dan Penahanan Masyarakat Adat, Termasuk Perempuan Adat

Kepada Yang Terhormat,
1. Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo, Kepala Kepolisian RI.
2. Habiburokhman, Ketua Komisi III DPR RI.
3. Irjen Pol. Daniel Tahi Monang Silitonga, S.H., M.A., Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Nusa Tenggara Timur (NTT)
4. Irjen Pol. (Purn) DR. Benny Mamoto S.H Msi, Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas)
5. Dr. Atnike Nova Sigiro, M.Sc, M.Sw., Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
6. Andy Yentriyani, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)

Kami yang bertanda tangan di bawah ini, dengan penuh rasa prihatin dan desakan tinggi, mengajukan surat ini terkait penangkapan dan penahanan 8 (delapan) orang masyarakat adat, termasuk perempuan adat, oleh pihak kepolisian di Polres Sikka, Nusa Tenggara Timur. Tindakan ini tidak hanya mencederai hak asasi manusia, tetapi juga melanggar hak-hak masyarakat adat yang telah diakui secara nasional dan internasional.

Latar Belakang:
Penangkapan yang terjadi pada 25 Oktober 2024 melibatkan 8 (delapan) masyarakat adat, termasuk 2 (dua) diantaranya adalah perempuan adat, yang selama ini berperan penting dalam menjaga adat dan tanah leluhur mereka. Penahanan ini dilakukan terkait dengan konflik agraria antara masyarakat adat di Nangahale dan PT. Kristus Raja Maumere. Hal ini jelas-jelas mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang dijamin oleh Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta berbagai peraturan internasional, termasuk Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.

Permintaan Kami:
1. Segera membebaskan seluruh masyarakat adat, termasuk perempuan adat, yang ditahan.
Penahanan ini tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan hak asasi manusia serta berpotensi memperburuk situasi konflik yang ada.

2. Menghentikan tindakan intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.
Masyarakat adat seharusnya dilindungi, bukan malah dijadikan objek kriminalisasi hanya karena mempertahankan hak atas tanah dan identitas budaya mereka.

3. Menjamin keamanan masyarakat adat yang terdampak dan memberikan mereka akses pada bantuan hukum.
Kami meminta agar masyarakat adat yang menjadi korban memiliki hak untuk didampingi kuasa hukum dan bebas dari ancaman serta tekanan dari pihak manapun.

Penutup:
Kami berharap tindakan ini mendapatkan perhatian serius dan tindak lanjut segera demi keadilan serta perlindungan hak masyarakat adat. Kami, sebagai masyarakat yang peduli terhadap hak asasi manusia dan keberlanjutan budaya lokal, mengajak pihak berwenang untuk menjunjung tinggi komitmen terhadap perlindungan hak masyarakat adat serta mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.

Atas perhatian dan kerja samanya, kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,

Nama-nama dan Organisasi yang Mendukung :
1. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)

2. Kaoem Telapak

3. Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN)

 

Lampiran;

Kronologi Kasus:

1. Pada tanggal 29 Juli 2024 sekitar Jam 09.30 Witeng Karyawan PT. Krisrama dipimpin oleh RD. Yan Faroka melakukan penebangan pohon/ tanaman Warga di Lokasi Pedan Nangahale. Cukup banyak masyarakat yang melakukan keberatan dan perlawanan terhadap tindakan tersebut di Lapangan. Tindakan ini baru berhenti setelah Polisi dari Polsek Waigete datang dan menghentikan menjelang waktu makan siang. Seluruh kerugian warga hari itu 142 berbagai jenis tanaman tumbang dan rusak.

2. Setelah makan siang rupanya para karyawan dan RD. Yan Faroka dari PT. Krisrama tidak menghentikan kegiatan penebangan pohon/tanaman warga tersebut. Mereka melakukan lagi disekitar halaman rumah Richyanto Fernandes dan sekitarnya. Warga yang protespun kembali melakukan keberatan di lokasi penebangan tersebut.

3. Pada saat warga masyarakat melakukan protes di lokasi penebangan, sekitar pukul 15: 00 Witeng terdengar kabar bahwa Karyawan PT. Krisrama sedang memasang papan nama yang berisikan tulisan: “TANAH INI MILIK PT. KRISRAMA KEUSKUPAN MAUMERE”. Sontak warga yang sedang marah atas tindakan penebangan sebelumnya dengan segera bergerak menuju lokasi pemasangan papan nama tersebut di halaman pekarangan rumah saudara: ” Nikolaus Don Thomas” yang sudah ditempati puluhan tahun sebelum SK. HGB diterbitkan.

4. Dengan penuh kemarahan mereka mencabut papan nama tersebut lalu membakarnya.

5. Ada satu kesadaran di mereka bahwa, tidak mau melakukan kontak fisik dengan para karyawan yang sedang melakukan penebangan tanama/pohon warga di dua lokasi yang berdekatan tersebut. Tapi untuk papan nama ini kami harus cabut sebagai bukti bahwa SK. HGU terbit tanpa kesepakatan dengan kami yang berada di dalam lokasi tanah negara tersebut.

6. Atas tindakan tersebut masyarakat dilaporkan oleh PT. Krisrama dengan tuduhan sesuai pasal 170 KUHP.

7. Pada tanggal 25 Oktober mereka di tahan oleh Polres Sikka.

Kemenangan Masyarakat Adat “Sorbatua Sialagan (Masyarakat Adat)“ Bebas Pada Putusan Banding di Pengadilan Tinggi

Jakarta, 18 Oktober 2024

 

Tim Kuasa Hukum Sorbatua Sialagan, yang tergabung dalam Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara mengucapkan terimakasih atas Putusan yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Medan atas putusan bebas terhadap terdakwa Sdr Sorbatua Sialagan. Perkara ini diperiksa oleh tiga (3) orang hakim dan diketuai oleh Hakim Syamsul Bahri, S.H.M.H.

 

Dalam sidang putusan yang digelar pada Kamis 18 Oktober 2024, Pengadilan Tinggi Medan memutuskan untuk “mengadili” Menerima Permintaan banding dari terdakwa dan penuntut umum, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Simalungun, menyatakan perbuatan Terdakwa Sorbatua Sialagan terbukti ada tetapi perbuatannya tersebut bukan perbuatan pidana melainkan perbuatan perdata, Melepaskan Terdakwa Sorbatua Sialagan oleh karena itu dari segala tuntutan Penuntut Umum, Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum membebaskan Terdakwa Sorbatua Sialagan dari Rumah Tahanan Negara, memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

 

Ketua PPMAN, Syamsul Alam Agus merespon atas putusan bebas Sorbatua Sialagan, dalam keteranganannya Alam mengatakan bahwa kami sudah memperkirakan ini sebelumnya, sejak awal proses di Kepolisian kami sudah memperkirakan bahwa Sorbatua Sialagan akan bebas, namun ternyata keyakinan kami berbeda dengan sikap dan cara pandang hakim pada Pengadilan Tingkat pertama yang menghukum Sorbatua. Alam menambahkan sejak awal tim hukum sudah merasakan kemenangan atas kasus ini karena jika melihat dakwaan, Jaksa Penuntut Umum menggunakan Pasal 50 ayat 2 huruf b UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah dengan UU No. 6 tahun 2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU NO. 2 TAHUN 2002 Tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang.

 

Keraguan kami terkait dengan Pasal Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, selaras dengan pendapat ahli, Dimana ahli menjelaskan bahwa Jaksa Penuntut Umum telah keliru menggunakan UU tersebut, karena dengan mengacu asas hukum yang baru mengenyampingkan hukum yang lama jika mengatur hal yang sama, dimana dalam kasus ini ada undang-undang yang baru yaitu UU No. 6 tahun 2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU NO. 2 TAHUN 22 Tentang Cipta Kerja menjadi UU tetapi mengapa dalam kasus ini Jaksa Penunut Umum masih menggunakan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. sementara UU ini sudah dibatalkan oleh MK pada putusan MK Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

 

Ketua PPMAN ini juga menambahkan sejak awal kasus ini sudah bertentangan dengan Asaz Legalitas, dimana seseorang dapat dipidana berdasarkan pada perbuatan yang dilarang berdasarkan peraturan perundang-undangan, sementara tidak ada satu bukti dan saksi yang memberikan keterangan dalam proses persidangan yang melihat Sorbatua Sialagan melakukan tindakan melanggar hukum. Selain itu sangat tidak mungkin Sorbatua Sialagan merusak tanahnya sendiri, karena itu merupakan tanah leluhurnya, yang Masyarakat Adat tinggal sudah ratusan tahun.

 

Kami mengucapkan terimakasih atas putusan ini, kami selalu yakin bahwa Sorbatua Sialagan tidak bersalah dan ternyata keyakinan kami benar, karena hari ini kami mendapatkan kemenangan itu. Ini merupakan putusan terbaik, ditengah banyaknya kasus Masyarakat adat yang mengalami tindakan kriminalisasi karena dianggap merusakan atau mendiami wilayah adatnya. Alam menambahkan bahwa kami memiliki kasus serupa yang terjadi di Wilayah Nusa Tenggara Timur dan dilepaskan juga karena perbuatan tersebut bukanlah perbuatan melanggar hukum.

 

Ini merupakan keberhasilan Masyarakat Adat dan berharap ke depan semakin banyak hakim yang memiliki persepektif pada penanganan perkara Masyarakat Adat.

Pernyataan Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) atas Pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sebagai organisasi yang mewakili suara Masyarakat Adat di seluruh Nusantara, dengan ini menyampaikan sikap politik atas pelantikan Bapak Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden  dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Kami berharap kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka dapat membawa perubahan yang positif bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk Masyarakat Adat yang selama ini kerap terpinggirkan.

 

Masyarakat Adat adalah bagian integral dari sejarah dan kehidupan bangsa Indonesia. Kami memiliki kearifan lokal, adat istiadat, serta sistem sosial, ekonomi dan politik yang telah terbukti mampu menjaga keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam dan budaya selama berabad-abad. Namun, tantangan yang kami hadapi semakin besar, terutama dalam menghadapi kebijakan dan praktik pembangunan yang kerap mengabaikan hak-hak kami atas wilayah adat, tanah, hutan, dan sumber daya alam. Kami mencatat dalam 10 tahun terakhir terdapat 687 konflik agraria di wilayah adat seluas 11,07 Juta Hektar yang mengakibatkan lebih dari 925 orang warga Masyarakat Adat yang dikriminalisasi. 60 orang diantaranya mendapatkan tindakan kekerasan dari aparat negara, dan 1 orang meninggal dunia (AMAN, 2024).

 

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, kami ingin menegaskan beberapa poin penting yang harus menjadi perhatian serius pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka, sebagai berikut:

 

  1. Mendesak Pemerintah Prabowo-Gibran untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat dalam 100 hari pertama pemerintahan. UU ini akan adalah amanat konstitusi dan akan menjadi landasan hukum yang kuat untuk mengakui dan melindungi hak-hak kami, serta memberikan kepastian hukum atas wilayah adat yang selama ini diabaikan.
  2. Mempercepat pengakuan hak kami atas wilayah adat, penyelesaian konflik agraria, sekaligus menghentikan seluruh perampasan tanah untuk pembangunan PSN, bisnis pengusaha dan kebijakan pro pemodal asing lainnya di atas wilayah adat.
  3. Mendesak agar Presiden Prabowo mencabut UU Cipta Kerja, UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU Mineral dan Batubara, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang mendiskriminasi Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Buruh, perempuan, dan kelompok marginal lainnya.
  4. Mendesak Presiden Prabowo untuk memulihkan Kedaulatan Bangsa Indonesia atas  tanah dan kekayaan alamnya serta mewujudkan kesejahteraan dengan menjalankan  Reforma Agraria yang sejati sesuai mandat Konstitusi, TAP MPR No.IX Tahun 2001 dan UUPA 1960.
  5. Mendesak pemerintah Prabowo-Gibran untuk melakukan pemulihan terhadap Masyarakat Adat yang telah ditangkap, dituntut dan dihukum di pengadilan karena berjuang mempertahankan haknya, dan menjamin perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat dan Pembela Masyarakat Adat yang memperjuangkan hak atas wilayah adatnya. Pemerintahan Prabowo harus menegakkan supremasi hukum tanpa berpihak pada kepentingan modal atau korporasi besar semata.
  6. Mendesak Pemerintahan Prabowo-Gibran untuk memastikan partisipasi secara penuh dan efektif Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Perempuan dan kelompokmasyarakat lainnya dalam setiap tahapan penyusunan Peraturan Perundang-Undangan dan perencanaan pembangunan yang akan berdampak langsung pada Masyarakat Adat, petani, nelayan, perempuan dan kelompok masyarakat lainnya.
  7. Mendesak pemerintahan Prabowo-Gibran untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup dan penegakan hukum terhadap korporasi perusak penjahat lingkungan dan pelanggar hak asasi manusia.
  8. Mendesak kepada Pemerintahan Prabowo-Gibran untuk mendukung upaya pelestarian budaya, dan memberikan akses pendidikan yang sesuai dengan kearifan lokal. Pendidikan yang menghargai bahasa, nilai, dan pengetahuan lokal akan memperkuat identitas kami dan memastikan keberlanjutan kebudayaan adat di tengah arus globalisasi.

 

Kami, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menekankan agar pemerintahan baru ini membawa perubahan yang lebih baik, dengan menempatkan keadilan bagi Masyarakat Adat sebagai salah satu prioritas utama dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional yang lebih inklusif dan berkelanjutan serta bekeradilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Jakarta, 20 Oktober 2024
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

 

Rukka Sombolinggi

Sekretaris Jenderal

Sikap Politik Gerakan Rakyat Kawal Masyarakat Adat (GERAK MASA) Satu Dekade Pemerintahan Jokowi dan Tuntutan Untuk Agenda Masyarakat Adat di Pemerintahan Baru

Tegakkan Konstitusi: Pulihkan hak-hak Masyarakat Adat, Sahkan UU Masyarakat Adat!

 

Satu dekade rezim Joko Widodo (Jokowi) meninggalkan warisan dosa-dosa kepada Masyarakat Adat. Rezim ini telah berkhianat kepada UUD 1945, ingkar pada janji politiknya dan gagal melindungi rakyat. Tak ada itikad baik yang ditunjukkan oleh pemerintah untuk kepentingan dan keberpihakan Masyarakat Adat. Bahkan sebagian besar kebijakan pemerintah justru berorientasi pada perluasan dan penguatan sektor bisnis, kekuasaan telah digunakan sedemikian rupa guna melanggengkan kepentingan oligarki.

 

Masalah di atas dibuktikan dengan adanya berbagai produk hukum seperti revisi UU Minerba, UU CK, UU IKN, pengesahan UU KUHP. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut didesain dan disahkan sengaja untuk menyangkal keberadaan lebih dari 40 juta Masyarakat Adat beserta hak-hak konstitusionalnya (AMAN, 2023). Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum yang berwatak merampas dan menindas masyarakat adat. Ini tercermin dari kebijakan pengakuan hukum masyarakat adat dan wilayah adatnya yang rumit, berbelit dan sektoral. Dalam banyak kasus bahkan hendak memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dengan Masyarakat Adat, mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari target pemerintah. Artinya Presiden Joko Widodo dan Kabinetnya memang tidak memiliki kemauan politik yang tulus untuk mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak konstitusional Masyarakat Adat.

 

Karena arah pembangunan ekonomi dan kebijakan dikendalikan pemodal, dimana DPR sendiri sebagai pembentuk undang-undang selama ini telah dikontrol para pengusaha. Saat ini sukar dipisahkan mana perwakilan rakyat dengan perwakilan korporat, sebab 55% anggota DPR adalah pengusaha dimana 26% diantaranya pengusaha skala besar (Marepus Corner, 2023). Hal ini berdampak pada cepatnya pembentukan hukum dan kebijakan yang melegalkan monopoli sumber agraria dan kekayaan alam lainnya demi pengusaha.

 

Satu dekade pemerintahan Jokowi adalah wujud dari absolutisme kekuasaan, yang ditandai dengan menguatnya kekuasaan eksekutif, melemahnya fungsi legislatif, dan hilangnya oposisi. Kita sedang menghadapi fakta politik dimana kekuasaan berlangsung tanpa adanya interupsi. Dampaknya segala hal yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah diabaikan atau bahkan ditolak dengan berbagai modus politik penaklukan. Akhirnya satu dekade Pemerintahan Joko Widodo telah memicu krisis multidimensi, mulai dari krisis politik, sosial, ekologi, agraria hingga krisis hukum.

 

 

Berikut ini kejahatan rezim pemerintahan Jokowi sepanjang tahun 2014-2024 kepada Masyarakat Adat:

 

Pertama, Rezim Jokowi secara terang-terangan membegal RUU Masyarakat Adat yang menjadi harapan bagi seluruh Masyarakat Adat di nusantara. Dengan menolak pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat, artinya Presiden Joko Widodo sengaja membiarkan masyarakat adat hidup tanpa jaminan hukum demi pengakuan, perlindungan, pemenuhan hak konstitusional masyarakat adatnya. Selain itu janji politik Enam NAWACITA Jokowi terkait Masyarakat Adat bahkan tidak diingat sama sekali.

 

Sebaliknya, demi pengusaha dan elit politik, Presiden Joko Widodo memaksakan pembentukan dan pengesahan UU CILAKA. Padahal ratusan ribu Mahasiswa, Masyarakat Adat, Buruh, Petani, Nelayan dan Perempuan di Republik ini turun ke jalan menolak hal tersebut. Pengesahan UU CILAKA yang penuh kecacatan ini disahkan dengan diam-diam, mengindahkan seluruh penolakan rakyat. Isinya bahkan menghidupkan pasal-pasal bermasalah yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

 

Kedua, Perampasan wilayah adat demi memindahkan Ibu Kota Nusantara (IKN) ke Kab. Penajam Paser Utara (PPU) dan Kab. Kutai Kartanegara (Kukar). IKN yang dibangun hanya atas keinginan pribadi Joko Widodo dan segelintir pengusaha ini merenggut hak partisipasi penuh dan efektif dari Masyarakat Adat yang akan terdampak langsung. Bahkan, Penetapan lokasi IKN pada Agustus 2019, dilakukan tanpa persetujuan pemilik wilayah adat, bahkan di lapangan terdapat banyak konflik agraria yang tidak pernah diselesaikan pemerintah.

 

Penetapan lokasi IKN secara ugal-ugalan juga diikuti dengan pengesahan UU IKN yang hanya memakan waktu singkat, praktis hanya dibahas dalam waktu 17 hari saja. Tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) juga serupa. Kajian yang dipublikasikan pemerintah justru merupakan KLHS cepat. KLHS ini adalah kajian yang dibuat setelah ibu kota ditetapkan di Kalimantan Timur, bukan kajian yang melatarbelakangi mengapa Kalimantan Timur dan bukan wilayah lain yang dipilih sebagai lokasi IKN.

 

Sebanyak 51 Komunitas Masyarakat Adat yang tersebar di kab. Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) hingga saat ini mengalami ketidakjelasan nasib dan masa depannya karena tidak adanya jaminan hukum pengakuan dan perlindungan hak-hak atas wilayah adat yang telah mereka tempati secara turun-menurun. Bahkan seluruh wilayah adat Komunitas Masyarakat Adat Balik Sepaku di Kab. Penajam Paser Utara seluas 40.087,61 hektar secara keseluruhan masuk dalam wilayah pembangunan IKN. Hal ini mendudukkan Masyarakat Adat Balik Sepaku sebagai Komunitas Masyarakat Adat yang terancam punah akibat pembangunan IKN (AMAN, 2022). Sebaliknya para pengusaha diberikan keistimewaan oleh negara untuk merampas dan memonopoli tanah-tanah Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Perempuan dan Peladang tradisional di IKN melalui pemberian 190 tahun untuk HGU dan 160 tahun untuk HGB.

 

Ketiga, Perampasan tanah terjadi sangat cepat selama pemerintahan Joko Widodo, AMAN mencatat terdapat 687 konflik agraria di wilayah adat seluas 11,07 Juta Hektar (AMAN, 2024). Korban akibat perampasan wilayah adat ini lebih dari 925 warga Masyarakat Adat yang dikriminalisasi, 60 orang Masyarakat Adat direpresi dan tidak sedikit yang harus meninggal dunia. Kejahatan pemerintahan Joko Widodo juga dialami kelompok Petani, Buruh Tani, Nelayan dan Perempuan. Dalam 10 tahun terakhir terjadi 2.939 konflik agraria, tanah-tanah rakyat seluas 6,30 juta hektar dirampas demi dijadikan pusat bisnis pengusaha (KPA, 2023). Celakanya penanganan konflik agraria semacam ini masih bersifat represif, akhirnya 1.054 orang yang mempertahankan hak atas tanah dan lingkungannya dikriminalisasi oleh Kepolisian (WALHI, 2024).

 

Konflik agraria di atas juga dampak dari pengingkaran pemerintahan Joko Widodo terhadap TAP MPR No.IX tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA. Pemerintah yang ditugaskan untuk peraturan perundangan-undangan yang mendiskriminasi Masyarakat Adat, Petani, peladang, perempuan, dan nelayan, menyusun kebijakan untuk penyelesaian konflik, melakukan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan di sektor SDA yang berkeadilan bagi Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Peladang, Perempuan dan kelompok marginal lainnya.

 

Keempat, menyesatkan pengakuan wilayah adat melalui perhutanan sosial. Meskipun tujuan perhutanan sosial untuk memberikan akses kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan. Tetapi secara nilai dan prinsip perhutanan sosial tidak dapat disetarakan dengan pengakuan penuh atas wilayah adat. Sebab hutan adat merupakan hutan dengan status hutan hak milik Masyarakat Adat berada di dalam wilayah adat, sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan MK.35 Tahun 2012.

 

Lebih dari itu, perhutanan sosial justru digunakan Kementerian LHK untuk merampas wilayah adat seluas 240 ribu hektar dengan alasan telah dijadikan lokasi perhutanan sosial (AMAN, 2021). Lebih parah lagi perampasan tanah-tanah rakyat atas nama perhutanan sosial di Jawa, kini 1,1 juta hektar tanah, kampung dan desa diklaim sepihak oleh Menteri LHK sebagai kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK). Perhutanan sosial (HD, HKm, HTR, Hutan Desa, Hutan Kemitraan) merupakan skema perizinan, yang menjadikan masyarakat adat, petani, buruh tani, nelayan sebagai penyewa tanah kepada Kementerian LHK, sekaligus mengakui klaim ilegal kawasan hutan.

 

Kementerian LHK yang menempatkan pengakuan hutan adat melalui perhutanan sosial justru menyebabkan diskriminasi dan mempersulit pengembalian serta pengakuan hak Masyarakat Adat terutama hutan. Belum lagi masalah tumpang tindih aturan perhutanan sosial dan pengakuan hutan adat di dalam wilayah adat. Dalam Pasal 29A dan 29B UU CK, status perhutanan sosial diperkuat dari Peraturan menteri menjadi selevel Undang-Undang. Sementara UU CK tidak mengubah Pasal 67 UU Kehutanan yang mensyaratkan pengakuan Masyarakat Adat dengan Peraturan Daerah (Perda).

 

Kelima, Menghidupkan praktik kolonialisme baru melalui klaim Hak Pengelolaan (HPL). Sumber tanah HPL yang diatur dalam PP 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, dapat berasal dari tanah yang belum bersertifikat bahkan Tanah Ulayat sebagai Tanah Negara. Akibat kekacauan berpikiran ini, Kementerian ATR/BPN yang mengesahkan Permen ATR/BPN 14/2024 tentang tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat (Hukum) Adat. Aturan sebagai dasar penerbitan HPL di atas tanah ulayat ini memperparah pengaturan Hak Menguasai dari Negara (HMN) dan kewenangan/hak ulayat.

 

Padahal Konstitusi dan UUPA jelas mengatur bahwa Masyarakat Adat memiliki hak dan kewenangan penuh pengaturan tanah-tanah di atas tanah ulayatnya masing-masing, sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD 194, Pasal 2 UUPA dan Putusan MK 35. Dengan penerbitan sertifikat HPL terhadap tanah ulayat dan wilayah adat tanpa kehendak murni masyarakat adat, maka semakin mudah pengusaha menguasai dan memperjual belikan tanah dan wilayah adat dalam pasar tanah liberal.

 

Keenam, Pemerintahan Jokowi mengeluarkan solusi palsu untuk mengatasi krisis iklim melalui pasar karbon. Paket kebijakan untuk mengatasi krisis iklim tersebut tercermin di dalam dokumen RPJMN 2020-2024, perdagangan karbon menjadi salah-satu program prioritas pemerintah Indonesia. Untuk mewujudkan hal tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengintegrasikan izin lingkungan dan perizinan berusaha di sektor kehutanan, pertambangan, perkebunan, dan sektor lain dengan cara memberikan kemudahan kepada pelaku usaha untuk secara langsung mendapatkan wewenang pengelolaan karbon/emisi dari aktivitas bisnisnya. Hal yang sama tercermin dalam politik hukum UU Cipta Kerja.

 

Pemerintah sama sekali tidak menjadikan Masyarakat Adat dan komunitas lokal sebagai aktor utama dalam upaya mengatasi krisis iklim. Berbagai kebijakan yang dilahirkan seperti Perpres No.98/2021, UU No.7/2021 tentang Harmonisasi Perpajakan, dan peraturan turunan lainya justru digunakan untuk memberikan impunitas bagi korporasi perusak alam dan lingkungan hidup untuk merampas ruang hidup Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Peladang, Perempuan dan kelompok marginal lainnya. Padahal sepanjang tahun 2013-2017, hutan alam Indonesia hilang seluas 23,5 juta hektar justru disebabkan karena berbagai konsesi perizinan, seperti pertambangan, perkebunan, izin usaha kehutanan, dan infrastruktur (FWI, 2019). Masyarakat yang akan menjadi korban krisis iklim mencapai 104 juta penduduk yang tinggal di kawasan pesisir Indonesia (WALHI, 2024).

 

Ketujuh, menjalankan solusi palsu penyelamatan lingkungan. Pemerintahan Jokowi masih mengutamakan bahan bakar energi fosil sebagai sumber pembangkit listrik. Industri pertambangan bahkan diberikan karpet merah melalui revisi UU Minerba. Seluas 1.919.708 Hektar wilayah adat yang menjadi ruang hidup Masyarakat Adat dirampas untuk konsesi pertambangan (AMAN, 2019).

 

Di tengah wacana transisi energi pasca penandatanganan perjanjian Paris 2015, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No.112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Kebijakan di atas adalah satu dari banyaknya kebijakan yang digunakan pengusaha untuk mengekspansi bisnis dan menginvasi tanah-tanah rakyat untuk dijadikan proyek strategis nasional (PSN) seperti PLTU batubara, ekstraksi dan hilirisasi nikel, biodiesel, bioetanol dll. Akhirnya gagasan FOLU Indonesia hanya menjadi kesempatan untuk semakin memperkuat bisnis pengusaha dengan kedok kebijakan hijau.

 

Bukan hanya PLTU batubara Captive yang dibangun demi menyokong bisnis energi, tetapi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) skala besar seperti di Poso, juga dibangun untuk menjaga pasokan listrik industri tambang terutama pemurnian tambang. Kawasan Industri Hijau dengan total mencapai 30.000 hektar disiapkan sebagai pusat sektor industri yang bermuara pada hilirisasi barang-barang tambang, dengan klaim sebagai kawasan penopang IKN. Kawasan “industri hijau” tidak lebih dari sekadar jargon, sebab kawasan industri ini dibangun diatas ekstraksi dan pembakaran fosil.

 

Proyek geothermal di Komunitas Masyarakat Adat Poco Leok Kab. Manggarai NTT dan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) dengan bahan bakar kayu oleh Medco Group telah membongkar area cukup luas hutan alam Papua untuk membangun perkebunan HTI, secara nyata merampas dan melanggar hak-hak Masyarakat Adat Poco Leok di NTT dan Orang Marind di Merauke Papua.

 

Berbagai fakta mengenai transisi energi yang diperbincangkan dan diimplementasikan saat ini tidak lebih dari tipu muslihat para pemodal untuk tetap terus mengekstraksi fosil untuk menopang industrialisasi. Transisi energi, Zero emisi, netral karbon, dekarbonisasi hanyalah kata kunci bisnis yang dipakai untuk mengekstraksi sebesar-besarnya fosil dan melepaskan emisi guna tetap bisa menghidupi industry bisnis energi itu sendiri. Energi diletakkan dalam bingkai bisnis, sehingga apa yang disebut dengan energi hijau, energi yang adil, sesungguhnya tidak akan pernah ada.

 

Kedelapan, memperkuat ancaman perampasan wilayah adat melalui klaim kawasan konservasi. Alih-alih menata ulang kawasan konservasi yang selama ini banyak berkonflik dengan Masyarakat Adat. UU No. 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) yang ditetapkan pada tanggal 9 Juli 2024, justru semakin memperkuat sentralisasi penunjukan dan penetapan kawasan konservasi secara sepihak oleh negara. Masyarakat Adat tidak diberikan ruang untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif di dalam menentukan kawasan konservasi berdasarkan hukum adat dan pengetahuan tradisional yang telah mereka praktikkan selama ini. Padahal bagi Masyarakat Adat praktik konservasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari landscape kehidupannya.

 

Bahkan di dalam UU KSDAHE yang baru, disebutkan bahwa areal preservasi, yaitu areal di luar KSA, KPA, dan kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (KKPWP2K). Penambahan kriteria kawasan atau areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap orang pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanahnya apabila tidak bersedia melakukan kegiatan KSDAHE. Kebijakan ecofascism ini adalah ancaman nyata yang sewaktu- waktu dapat menggusur Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Peladang dari wilayah tempat mereka tinggal. Situasi ini memposisikan Masyarakat Adat, petani, nelayan dan peladang sebagai kelompok yang rentan dihadapkan dengan tindakan kekerasan dan kriminalisasi atas nama konservasi.

 

Kesembilan, memperkuat kontrol pengusaha atas kekayaan alam Indonesia melalui Food Estate dan Bank Tanah. Akibat kejahatan pemerintahan Joko Widodo yang mengeluarkan UU CILAKA, para elit politik dan pengusaha dijamin oleh hukum untuk menguasai tanah. Sebagai lembaga yang dilahirkan dari desakan pemodal, Bank Tanah sudah pasti akan menjamin penyediaan tanah untuk mendukung peningkatan ekonomi dan investasi sekaligus memberi jaminan perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah. Melalui Bank Tanah 7,4 juta hektar tanah rakyat yang berasal dari bekas HGU akan dikuasai Bank tanah sebelum dijual kembali kepada pemodal.

 

Nasib serupa masyarakat adat di berbagai daerah yang menghadapi perampasan tanah demi pembangunan industri pangan atau food estate. Bukannya memperkuat masyarakat adat, nelayan dan petani sebagai produsen pangan yang utama, Presiden Joko Widodo memilih pengusaha menggantikan kewajiban tersebut. Kini tanah dan pangan semakin di komoditisasi, dilengkapi berbagai perangkat hukum yang tidak berpihak pada Petani, Buruh Tani, Masyarakat Adat, Nelayan, dan Perempuan. Bank Tanah dan food estate sama-sama melemahkan agenda Reforma Agraria sekaligus menjauhkan pengakuan penuh atas tanah dan wilayah adat.

 

Kesepuluh, Kooptasi hukum adat dalam hukum negara melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dihadirkan oleh Pemerintahan Jokowi untuk membuat eksekutif memiliki otoritas yang besar. Pendokumentasian hukum adat dalam KUHP pada dasarnya dapat dibaca sebagai bagian dari upaya “mengkooptasi” hukum adat dan akan berakibat pada: matinya karakter dinamis hukum adat; mencerabut hak asal-usul Masyarakat Adat untuk menjalankan peradilan adat yang telah dijalankan secara turun-temurun sebab kewenangan untuk menjalankan hukum adat bukan lagi milik Masyarakat Adat, tetapi sepenuhnya telah berada dalam otoritas negara.

 

Kesebelas, transisi kekuasaan dilakukan dengan cara-cara yang anti demokrasi. Keberpihakan Presiden Jokowi pada pemilihan Presiden 2024 memberikan sinyal yang sangat kuat untuk melanggengkan kekuasaannya dengan berkolaborasi dengan pemodal- pemodal besar yang akan bekerja untuk menerus merampas wilayah adat di berbagai sektor dengan kedok proyek strategis nasional. Tak hanya itu, era Presiden Jokowi yang dilahirkan dari proses demokrasi justru merusak demokrasi. Hal tersebut dapat dilihat pada upayanya melakukan nepotisme secara terang-terangan, menggerakkan aparatur negara untuk kepentingan pribadi, melemahkan kewenangan KPK, mengintervensi kewenangan lembaga peradilan hingga berpihak pada oligarki dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat.

 

Pada Selasa, 1 Oktober 2024, para wakil rakyat yang dihasilkan dari proses Pemilu 2024 resmi ditetapkan sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Menurut data Indonesian Parliamentary Center (IPC) (2024) komposisi keanggotaan DPR RI periode 2024 – 2029 sebagian besarnya masih di dominasi oleh incumbent yakni dari total 580 kursi anggota parlemen, 327 diantaranya adalah incumbent. Serta menurut temuan IPC terdapat 11,6% anggota DPR terpilih yang terafiliasi dengan dinasti politik dan 16,9% nya adalah pengusaha. DPR memiliki peran strategis dalam pembentukan hukum, anggaran pembangunan dan mengawasi kinerja pemerintah. Oleh karena itu, kami menolak segala bentuk penyalahgunaan wewenang atau kolusi yang dapat merusak kepercayaan rakyat.

 

Berdasarkan pandangan di atas kami Gerakan Rakyat Kawal Masyarakat Adat (GERAK MASA) menuntut pertanggungjawaban Presiden Jokowi terhadap pelanggaran hak-hak konstitusional Masyarakat Adat. Kami juga mendesak kepada pemerintahan Presiden Prabowo-Gibran agar dalam masa pemerintahannya lebih tegas dan konsisten dalam mengakui, melindungi, dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat, dengan mengambil tindakan nyata sebagai berikut:

 

  1. Mendesak Pemerintah Prabowo-Gibran agar mengesahkan RUU Masyarakat Adat dalam 100 hari pertama pemerintahannya. UU ini akan menjadi landasan hukum yang kuat untuk mengakui dan melindungi hak-hak kami, serta memberikan kepastian hukum atas wilayah adat yang selama ini diabaikan.
  2. Mempercepat pengakuan hak atas wilayah adat, penyelesaian konflik agraria yang selama ini tersandera di meja Kabinet Presiden Joko Widodo, sekaligus menghentikan seluruh perampasan tanah untuk pembangunan PSN, bisnis pengusaha dan kebijakan pro pemodal asing lainnya di atas wilayah adat.
  3. Mendesak agar Presiden Prabowo berani mencabut UU Cipta Kerja, UU KSDAHE, UU Minerba, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang mendiskriminasi Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Buruh, perempuan, dan kelompok marginal lainnya
  4. Mendesak Presiden Prabowo untuk memulihkan Kedaulatan Bangsa Indonesia atas tanah dan kekayaan alamnya serta mewujudkan kesejahteraan dengan menjalankan Reforma Agraria yang sejati sesuai mandat Konstitusi, TAP MPR No.IX Tahun 2001 dan UUPA 1960.
  5. Mendesak pemerintah Prabowo-Gibran untuk menjamin perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat dan Pembela Masyarakat Adat yang memperjuangkan hak atas wilayah adatnya. Pemerintahan Prabowo harus menegakkan supremasi hukum tanpa berpihak pada kepentingan modal atau korporasi besar semata.
  6. Mendesak Pemerintahan Prabowo-Gibran untuk memastikan partisipasi secara penuh dan efektif Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Perempuan dan kelompok masyarakat lainnya dalam setiap pengambilan keputusan yang akan berdampak langsung pada Masyarakat Adat, petani, nelayan, perempuan dan kelompok masyarakat lainnya.
  7. Mendesak pemerintahan Prabowo Gibran untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup dan penegakan hukum terhadap korporasi penjahat lingkungan dan pelanggar hak asasi manusia.
  8. Meminta kepada Pemerintahan Prabowo untuk mendukung upaya pelestarian budaya, dan memberikan akses pendidikan yang sesuai dengan kearifan lokal. Pendidikan yang menghargai bahasa, nilai, dan pengetahuan lokal akan memperkuat identitas kami dan memastikan keberlanjutan kebudayaan adat di tengah arus globalisasi. Bukan sekedar simbolisasi dengan penggunaan pakaian adat dalam acara-acara kenegaraan

 

Demikian pernyataan sikap politik kami Masyarakat adat di seluruh nusantara, panjang umur perjuangan. Tegakkan Konstitusi: Pulihkan hak-hak Masyarakat Adat, Sahkan UU Masyarakat Adat!

 

Jakarta, 11 Oktober 2024 Hormat Kami,

 

Rukka Sombolinggi Koordinator Umum

 

Juru bicara:

  1. Rukka Sombolinggi (Sekjend AMAN)
  2. Eustobio (Deputi Sekjen AMAN Urusan Organisasi)
  3. Erasmus Cahyadi (Deputi Sekjen AMAN Urusan Politik)

 

Penanggung Jawab Komunikasi Media:
Titi Pangestu (Direktur Infokom AMAN) – 081317897062

 

Gerakan Rakyat Kawal Masyarakat Adat (GERAK MASA)

  1. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
  2. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
  3. PEREMPUAN AMAN
  4. Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN)
  5. Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat
  6. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
  7. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
  8. Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
  9. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)
  10. Sajogyo Institute
  11. Kaoem Telapak
  12. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
  13. Greenpeace Indonesia
  14. Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI)
  15. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)
  16. Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)
  17. Pembebasan
  18. Forest Watch Indonesia (FWI)
  19. Kemitraan
  20. Sawit Watch

Masyarakat Adat Kunjungi Klinik Hukum PPMAN Saat Mubes Sekolah Adat

Press Release
Bogor, 20 Agustus 2024

 

Masyarakat Adat dari delapan komunitas datangi klinik hukum yang dibuka oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) saat Musyawarah Besar (Mubes) Sekolah Adat Pesinaun di Desa Adat Komunitas Osing, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Mubes tersebut digelar pada 12 hingga 15 Agustus 2024.

 

Delapan komunitas adat yang melakukan konsultasi di klinik hukum PPMAN, di antaranya adalah Komunitas Adat Rejang Lebong, PW Aman Tompolore, PD Aman Kalimantan Selatan, Komunitas Adat Toro, PD Aman Sumba Timur, PD Aman Tanah Serawai, PD Aman Toraja, dan Komunitas Adat di Kabupaten Poso.

 

PPMAN mencatat, kebanyakan yang dihadapi masyarakat adat adalah tentang wilayah adat yang dirampat oleh aparatur negara.

 

Misalnya, salah satu pengaduan dari Komunitas Adat Kabupaten Poso, di mana Bank Tanah melakukan tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Pihak Bank Tanah membuat laporan di Polres Poso atas dugaan tindak pidana pengrusakan yang dilakukan secara bersamaan terhadap plang dan tanda batas badan Bank Tanah dan atau menghasut orang untuk melakukan tindak pidana, sebagaimana Laporan Polisi Nomor; LP / B / 116 / VIII / 2024 / SPKT / Polres Poso / Polda Sulteng / Tanggal 01 Agustus 2024.

 

Atas laporan tersebut ada tujuh Masyarakat Adat mendapat surat panggilan untuk diwawancara dan klarifikasi di Polres Poso, salah satu dari ke tujuh orang itu merupakan perempuan adat yang dikriminalisasi karena mempertahankan wilayah adatnya.

 

“Persoalan yang dihadapi oleh Masyarakat Adat Poso adalah salah satu contoh kasus dari delapan pengaduan yang diterima oleh PPMAN (di Klinik Hukum),” ungkap Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana PPMAN.

 

Syamsul Alam mengatakan, bahwa Klinik Hukum pada Mbes Sekolah Adat ini dilakukan untuk mempermudah Komunitas Masyatakat Adat, melakukan pengaduan atas kasus yang terjadi di Komunitas masing-masing.

 

“PPMAN berkewajiban untuk menerima semua pengaduan, melakukan analisis untuk ditindaklanjuti dan melakukan tindakan hukum atas masalah yang dialami oleh Masyarakat Adat,” tegas Syamsul Alam.

Sepuluh Tahun Jokowi Ingkar Janji kepada Masyarakat Adat

Jakarta, 16 Agustus 2024 – Selama sepuluh tahun Jokowi memerintah republik ini, Masyarakat Adat merasa tertipu dengan janji-janji yang pernah Jokowi sampaikan dan komitmennya di awal pemerintahan Jokowi yang tercantum dalam Nawacita.

 

Demikian disampaikan oleh Abdon Nababan dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat merespon pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Penyampaian Laporan Kinerja Lembaga-Lembaga Negara dan Pidato Kenegaraan dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Kemerdekaan RI.

 

“Tidak ada satu pun frasa “Masyarakat Adat” dalam pidato itu. Pidato itu hanya berisi klaim-klaim angka keberhasilan pembangunan jalan, pelabuhan, bandara, bendungan dan jaringan irigasi. Jokowi juga mengklaim keberhasilan pembangunan smelter dan industri pengolahan untuk nikel, bauksit, dan tembaga,” tambah Abdon Nababan.

 

“Perjumpaan AMAN dengan calon Presiden Jokowi di tahun 2014 menorehkan 6 janji Nawacita Jokowi-JK untuk Masyarakat Adat. AMAN dan jaringan pendukung bekerja secara sukarela menggalang suara. Paling sedikit 12 juta suara kami sumbangkan untuk kemenangan Jokowi- JK. Setelah kemenangan, saya mewakili AMAN menerima obor relawan dari Surya Paloh dalam satu upacara di Kemayoran,” kata Abdon Nababan.

 

“Dalam sepuluh tahun terakhir, politik hukum Masyarakat Adat semakin memburuk. Penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja, KUHP, revisi UU IKN, UU KSDAHE, dan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan sumber daya alam mengandung unsur-unsur “penyangkalan” yang kuat terhadap eksistensi Masyarakat Adat beserta hak -hak tradisionalnya. Political will pemerintahan sangat rendah. Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas yang tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan Masyarakat Adat, bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan Masyarakat Adat,” papar Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

 

Sayangnya lagi, seluruh klaim keberhasilan di dalam pidato tersebut dibangun di atas
perampasan dan penggusuran wilayah masyarakat adat. “Data AMAN hingga Mei 2024
menunjukkan bahwa sepanjang rezim pemerintahan Jokowi berkuasa, telah terjadi perampasan wilayah adat seluas 11,07 juta hektar, 687 konflik Masyarakat Adat yang mengakibatkan 925 orang dikriminalisasi, serta puluhan diantaranya mengalami luka-luka dan satu orang meninggal dunia,” kata Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

“Selain itu, pengakuan wilayah adat baru mencapai 16% dari 30,1 juta hektar peta wilayah adat yang teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Sedangkan pengakuan hutan adat baru mencapai 8% dari 3,4 juta hektar potensi hutan adat dari wilayah adat yang telah ditetapkan pengakuannya oleh Pemerintah Daerah,” tambah Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Hingga penghujung kepemimpinannya, belum ada legacy baik yang ditinggalkan Jokowi bagi Masyarakat Adat. Padahal, 10 tahun lalu, demi meraup suara Masyarakat Adat, Jokowi berjanji akan mendukung Masyarakat Adat.

 

“Janji tinggal janji. Janji Nawacita hanya tipuan. Jokowi 10 tahun berkuasa tak satu pun janjinya dipenuhi. Jangankan berterimakasih dan minta maaf bahkan satu kata Masyarakat Adat pun tidak disebutkan di Pidato Kenegaraan terakhirnya pagi tadi,” pungkas Abdon Nababan.

Kontak media:
A.P. Prayoga, Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, HP. 0857 2034 6154

PPMAN: Hentikan Tindakan Represi Terhadap Masyarakat Adat Sihaporas

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), sebuah organisasi sayap dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengecam keras tindakan represi dari pihak Kepolisian Resor Kabupaten Simalungun yang bersama-sama pihak keamanan PT. Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) terhadap komunitas keturunan Ompu Mamontang Laut Ambaritas (Lamtoras) di Sihaporas.

 

Penangkapan yang dapat didefinisikan sebagai penculikan tersebut mengakibatkan lima (5) orang ditahan, satu (1) orang terluka serius di kepala, dan dua (2) orang yaitu ibu dan anak mengalami luka ringan serta trauma. Total sementara, terdapat delapan (8) korban atas aksi brutal aparat kepolisian tersebut. Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus mengecam tindakan aparat keamanan tersebut dan tindakan tersebut sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM.

 

“Republik Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan juga CEDAW. Kita juga telah memiliki Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, ini adalah indikator pengakuan negara terhadap HAM. Belum lagi KUHAP khususnya Pasal 18 ayat (1) terkait prosedur penangkapan. Apa yang dilakukan Polres Simalungun kami nilai sebagai penculikan telah melanggar HAM dan aturan hukum yang berlaku,” kata Syamsul.

 

PPMAN menerima informasi dari Masyarakat Adat Sihaporas yang menyaksikan brutalitas Polres Simalungun tersebut yang menyebutkan bahwa penculikan terhadap anggota komunitas dilakukan pada dini hari, sekitar pukul 03.00 WIB, Senin, 22 Juli 2024.

 

Menurut informasi itu juga, sekitar 40-50 orang menyerbu lokasi mereka dengan mengendarai truk dan mobil pick up. Para korban ditendang, diseret, bahkan ada yang terluka kepalanya padahal tidak ada perlawanan dari para korban. Tidak ada penunjukkan surat ataupun upaya manusiawi yang ditunjukkan oleh aparat.

 

“Penangkapan model begini layak disebut sebagai penculikan. Pengerahan kekuatan berlebihan aparat ketika senyatanya tidak ada perlawanan dari korban menambah catatan buruk bagi kepolisian dalam melakukan tindakan,” urainya lebih lanjut.

 

Syamsul Alam menambahkan, potensi pelanggaran lainnya yang dilakukan oleh Polres Simalungun, yaitu ketidakpatuhan terhadap Peraturan Kepolisian Republik Indonesia (Perpolri) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara republlik Indonesia.

 

Perpolri tersebut secara jelas memberikan perintah agar setiap aparat kepolisian mentaati dan menghormati hak asasi manusia serta menjunjung prinsip-prinsip kesetaraan.

Kata Syamsul, perilaku buruk perusahaan TPL yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia di Sihaporas tersebut. Ia meminta Kementerian KLHK memberi tindakan keras terhadap TPL.

 

“Silakan Pak Kapolres membaca Pasal 7 Perpolri tersebut. Pengerahan kekuatan besar dapat dikategorikan sebagai excessive use of power, dimana aparat kepolisian telah mengerahkan kekuatan yang berlebihan dalam melakukan tindakannya terhadap masyarakat adat yang tidak bersenjata dan membahayakan aparat. Terhadap pelibatan perugas keamanan TPL dalam peristiwa ini menunjukkan bukti bahwa TPL adalah otak dari pelanggaran HAM ini. Olehnya tindakan tersebut harus diproses secara pidana. Khusus kepada kementerian LHK untuk mengevaluasi secara menyeluruh atas Surat Keputusan penunjukan wilayah konsesi TPL di sekitar Danau Toba. Keberdaan TPL tidak hanya berpotensi merusak lingkungan tapi juga dalam praktiknya telah memperburuk keberadaan dan masa depan Masyarakat Adat.,” tegasnya.

 

PPMAN secara serius akan memantau serta mengumpulkan bukti-bukti pendukung terkait tindakan brutal Polres Simalungun terhadap korban. Upaya lanjutan akan dilakukan agar tindakan serupa tidak berulang dan hukum harus dipastikan menjamin perlindungan ke pada masyarakat adat. PPMAN juga mendorong Kapolri dan Kapolda Sumut melakukan evaluasi menyeluruh atas tindakan anggota mereka. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komnas Perempuan juga didorong untuk melakukan investigasi menyeluruh di lapangan guna mencari fakta atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi.

“Kami minta Kapolri dan Kapolda melakukan evaluasi terhadap Kapolres dan jajarannya. Komnas HAM dan Komnas Perempuan juga kami minta untuk pro aktif melakukan tugasnya menemukan fakta atas pelanggaran hak asasi manusia, khususnya bagi Masyarakat Adat Lamtoras Sihaporas sebagaimana konstitusi memandatkannya,” ujarnya.

 

Lebih lanjut, dugaan pelanggaran HAM oleh anggota kepolisian terhadap Masyarakat Adat kerap terjadi. Oleh karenanya, pengungkapan fakta peristiwa pelanggaran sangat ditentukan oleh keterangan saksi-saksi yang menyaksikan fakta pelanggaran. Sehingga, PPMAN mendesak kepada LPSK untuk berperan aktif memberi perlindungan kepada saksi yang rentan terhadap peristiwa ini. Mengapa? Karena dalam praktiknya, aparat kepolisian kerap menggunakan cara-cara diluar hukum mengintimidasi dan memaksa saksi untuk mengubah keterangannya sehingga fakta menjadi bias.

 

“LPSK kami minta untuk juga aktif dan progresif dalam upaya melindungi keselamatan saksi dan korban,” tutupnya.

Konfllik lahan di areal konsesi PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) tidak kunjung selesai. Kasus kriminalisasi Sorbatua Siallagan yang saat ini masih dalam proses persidangan, merupakan bukti lain betapa TPL tidak menaati prinsip-prinsip hak asasi manusia dan Masyarakat Adat. Sayangnya, Kementerian KLHK sebagai pemberi konsesi belum menunjukkan tindakan serius terhadap TPL terkait cara buruk penanganan konflik yang dilakukan perusahaan tersebut selama ini.

___
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi kontak berikut ini:

Syamsul Alam Agus, S.H – Ketua Badan Pelaksana PPMAN (0811-8889-083

Kecewa Sidang Ditunda, Sorbatua Siallagan Tegaskan Terus Berjuang Mencari Keadilan

Pematang Siantar, 26 Juni 2024 – Raut wajah Sorbatua Siallagan terlihat kecewa seketika Majelis Hakim mengetuk Palu menyatakan bahwa sidang ditunda hingga Rabu, 3 Juli 2024. Seyogianya pada hari ini, agenda sidang menjadwalkan pemeriksaan lanjutan Saksi Jaksa Penuntut Umum (JPU). Namun, pemanggilan secara patut oleh JPU dijawab dengan ketidakhadiran saksi yang dimaksud. Entah apa alasannya. Sebenarnya, ketidakhadiran saksi merupakan peristiwa yang dapat terjadi, namun harus disertai alasan-alasan logis.

 

Kronologis Penangkapan Ketua Adat Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Dolok Panribuan, Simalungun

“Saksi dari keterangan JPU sudah diundang secara patut, namun ada urusan lain. Nah, ini agak membingungkan alasan seperti itu ketika Sorbatua Siallagan sedang berjuang mencari keadilan bagi dirinya serta komunitas Masyarakat Adat Op. Umbak Siallagan yang terancam terusir dari tanah leluhur mereka,” ujar Gregorius Djako, S.H, kuasa hukum Terdakwa dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Sorbatua Siallagan diancam dengan Paragraf Kehutanan Pasal 78 ayat (2) Jo Pasal 50 ayat (2) huruf a dan atau Pasal 78 ayat (3) Jo Pasal 50 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dengan ancaman maksimal 10 tahun serta denda maksimum 7,5 miliar rupiah. Setelah mendengar penundaan sidang tersebut, Sorbatua Siallagan dengan langkah tegar mendatangi dan menyalami erat para Penasehat Hukumnya.

 

“Jabat erat Pak Sorbatua menegaskan bahwa dia akan tetap berjuang mencari keadilan bagi dirinya dan komunitas,” lanjut Greg.

 

Dalam persidangan sebelumnya, terungkap fakta persidangan bahwa tidak satupun dari para saksi fakta JPU yang melihat Sorbatua Siallagan melakukan pembakaran lahan sebagaimana didakwakan. Bahkan, di antara 5 saksi yang dihadirkan, tidak ada di lokasi kebakaran di compartment C.001 dan C.059 pada 7 September 2022.

 

“Soal pembakaran kami yakin Pak Sorbatua tidak melakukannya. Keterangan para saksi Jaksa menjadi dasarnya,” urainya lebih lanjut.

 

Gugatan Masyarakat Adat Sedang Berlangsung, Ketua Adat Ompu Umbak Siallagan Ditangkap

Gregorius Djako berharap situasi penundaan tidak boleh terjadi dengan alasan yang kurang jelas seperti hari ini. Para pihak baiknya mempertimbangkan rasa keadilan dan kemerdekaan seseorang yang dipertaruhkan serta terancam hilang akibat proses persidangan yang kurang teratur.

 

“Peradilan Pidana itu berimplikasi  bagi hilangnya kemerdekaan seseorang dengan mendekam di jeruji sel. Jika tidak mau bersaksi, lebih baik jangan hadir dan nyatakan tegas tidak bersedia menjadi saksi di persidangan. Atau, datanglah sesuai undangan JPU,” tutupnya.

Narahubung:
Gregorius Djako, S.H | +62 812-9967-730