Masyarakat Adat di seluruh daerah di Indonesia perlu membekali diri, menambah pengetahuan advokasi, terkait masalah mempertahankan hak ulayat wilayah adat di daerah masing-masing.
Sebab itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) terus berupaya mengadakan pelatihan advokasi untuk kader pejuang masyarakat adat.
Kali ini, AMAN dan PPMAN mengadakan pelatihan advokasi di Dusun Utanwair, Desa Nangahale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, pada Selesa, 16 April 2024.
Kegiatan ini akan berlangsung selama tiga hari. Ketua Badan Pelaksana PPMAN Syamsul Alam Agus, dalam sambutannya mengtakan, PPMAN adalah Lembaga Bantuan Hukum bagi Masyarakat Adat. Selain membela Masyarakat Adat, PPMAN juga terus mengadakan pelatihan advokasi seperti ini.
“Semoga, pelatihan advokasi ini dapat memberikan pemahaman advokasi dan hukum bagi Masyarakat Adat. Sehingga dalam menghadapi suatu persoalan misalnya seperti perampasan hak atas tanah oleh pihak manapun, masyarakat adat sudah mengerti cara untuk mengatasi dan memperjuangkan hak-hak ulayat,” harap Alam.
“Kami dari PPMAN hadir untuk berjuang bersama masyarakat adat dalam memperjuangkan tanah ulayat masyarakat adat, bukan berjuang untuk tanah yang sudah dijual,” tegas Alam.
Kegiatan pelatihan advokasi itu dibuka oleh Deputi II Bidang Politik dan Advokasi Pengurus Besar AMAN, yakni Eras Mus Cahyadi.
“Pelatihan advokasi ini untuk memperkuat kapasitas pengetahuan tentang advokasi bagi masyarakat adat, untuk bisa menemukan jalan keluar ketika ada konflik yang dihadapi,” ujar Eras.
Eras berharap, kedepannya, sesama masyarakat adat tidak boleh terprovokasi dengan pihak luar dan juga tidak saling mengkhianati.
Sementara itu, Ketua Harian AMAN Daerah Flores Bagian Timur, Antonius Toni dalam sambutannya menyampaikan terima kasih kepada PB AMAN dan PPMAN yang sudah hadir untuk memberikan pelatihan advokasi kepada komunitas masyarakat adat di daerahnya.
“Semoga dengan kegiatan ini masyarakat adat yang hadir dalam kesempatan ini bisa mengikuti dengan baik sampai selesai sehingga pada proses menghadapi persoalan hak, masyarakat adat sudah paham dan siap berjuang sesuai prosedur hukum,” harapnya.
“Anggota Dewan Nasional AMAN Region Bali Nusa Tenggara, Jhon Bala, dalam media ini, mengharapkan selesai kegiatan ini masyarakat adat bisa terkonsolidasi dengan baik, bisa meningkatkan kapasitas pengetahuan tentang advokasi, dan menemukan jalan keluar dari konflik yang dihadapi,” tambahnya.
Selain itu, Kepala Desa Nangahale Sahanudin, yang hadir dalam keiatan tesebut juga menyampaikan terima kasih kepada AMAN dan PPMAN yang sudah memfasilitasi kegiatan pelatihan advokasi.
“Di Kabupaten Sikka ini banyak masyarakat yang belum terlalu paham akan hukum, sehingga dengan adanya kegiatan ini bisa memberikan pendidikan advokasi dan hukum bagi masyarakat,” ungkap Sahanudin.
Masyarakat adat Tana Pu’an Gobandi Flores nyatakan tetap mempertahankan hak atas tanah eks HGU Patiahu-Nangahale. Hal itu ditunjukkan saat pembacaan penyataan sikap di tengah areal, di Wairhek, Desa Likong Gete, Kecamatan Talibura, Rabu 03April 2024.
Tana Pu’an Goban, Leonardus mengatakan, mereka tetap konsisten pada komitmen awal secara kelembagaan untuk bersama-sama John Bala dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk mempertahankan hak-hak masyrakat adat.
Leo saat itu juga didampingi oleh sejumlah anggota komunitas adat dan pengurus harian AMAN Wilayah Flores Bagian Timur. Mereka berkumpul di tengah lahan eks perkebunan kelapa yang sekarang telah mereka kelola menjadi sawah.
Menurut Leo, ada indikasi kuat pemerintah dan PT Krisrama pada mekanisme penyelesaian konflik yang mereka tawarkan sendiri kepada masyarakat adat. “Ada indikasi SK HGU PT. Krisrama cacat administrasi berdasarkan PP 18 Tahun 2021 dan PERMEN ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2021,” tegasnya.
Kata Leo, pemerintah daerah dan para pihak yang terkait membiarkan dan patut diduga mengadu-domba untuk melemahkan perjuangan mereka dengan memunculkan sekelompok kecil anggota masyarakat adat yang mengkianati perjuangan dan mengatasnamakan diri sebagai suku Goban dan Suku Watu.
“Mereka membuat pernyataan penolakan terhadap bapak John Bala, AMANDA NTT dan tidak mengakui Tana Pu’an serta menyerahkan sebagian wilayah adat saya tanpa sepengetahuan saya sebagai Tana Pu’an (Fungsionaris Adat dengan struktur hirarkis paling tinggi). Berdasarkan tradisi dan adat yang berlaku di Tana Pu’an Goban pada umumnya apabila memutuskan sesuatu berkaitan dengan tanah adat atau upacara adat lainnya, maka kami sebagai Tanah Pu’an wajib diberitahu dan harus mendapat persetujuan dari kami,” jelasnya.
Selain itu, Leo mengatakan, ada upaya pihak tertentu yang secara sistematis hendak mengadu domba masyarakat adat dan pihak-pihak yang selama puluhan tahun berjuang bersama masyarakat adat. Pernyataan ini, berkaitan dengan pernyataan sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat adat menyatakan penolakan terhadap John Bala dan AMAN.
Ketua Pengurus Harian AMAN Wilayah Flores Bagian Timur, Antonius Toni menyatakan akan tetap mendukung perjuangan komunitas adat Tana Pu’an Soge dan komunitas adat Tana Pu’an Goban. “Kami menjalankan mandat organisasi untuk memperjuangkan hak-hak anggota kami termasuk kedua komunitas,” tegas Antonius Toni.
Perjuangan kedua komunitas adat tersebut untuk menuntut hak atas tanah eks HGU Patiahu Nangahale sudah berlangsung sejak akhir dekade 90 an. AMAN terbentuk pada tahun 1999. Kedua komunitas adat di atas adalah anggota AMAN
Jalan panjang perjuangan masyarakat adat terus berlanjut. Advokasi pengakuan masyarakat adat sudah berlangsung sejak tahun 1999 melalui Kongres Masyarakat Adat Nusantara I hingga advokasi RUU Masyarakat Adat masuk Prolegnas sejak 2004 hingga sekarang. Hingga pada 2023 mereka bersurat ke Presiden dan DPR pun tak kunjung mendapatkan respons positif.
Sementara, kasus kriminalisasi terus terjadi di wilayah masyarakat adat. Seperti yang terjadi pada Sorbatua Siallagan, Masyarakat Adat Tano Batak, saat ini, yang ditangkap sejumlah orang berpakaian preman, saat membeli pupuk bersama insterinya.
Sebelumnya, tahun 2024 ini, para saksi fakta, juga dihadirkan di PTUN Jakarta, memenuhi gugatan nomor 542/G/TF/2023/PTUN.JKT yang diajukan oleh sembilan penggugat; Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan tujuh penggugat dari individu masyarakat adat yang saat ini mendekam di dalam penjara karena dikriminalisasi saat mempertahankan wilayah adat. Begitu juga saksi ahli bahkan dihadirkan.
Kali ini,tepatnya pada 28 Marat 2024 di PTUN Jakarta, Persidangan Gugatan Masyarakat Adat Terhadap Penguasa DPR RI dan Presiden RI dilakukan terkait dengan pemeriksaan Saksi atau Ahli Dari Pihak Tergugat I dan II, juga Pengajuan Bukti Surat dari Para Pihak.
Dalam proses persidangan itu, PPMAN mencatat peristiwa sebagai berikut:
Pihak Tergugat (DPR RI dan Presiden RI) tidak mengajukan Saksi ataupun Ahli baik hari ini maupun pada kesempatan kedua sehingga Hakim memberikan kesempatan pemeriksaan bukti surat yang diajukan oleh Para Pihak.
Pihak Tergugat belum meng-upload bukti surat di e-court, sehingga Hakim menerima bukti surat Tergugat dengan catatan bahwa Tergugat harus meng-upload bukti surat tersebut hari ini
Hakim mempersilahkan para pihak untuk membuat kesimpulan yang dokumen kesimpulan diberikan pada sidang berikutnya;
Sidang berikutnya dengan agenda “Kesimpulan” akan berlangsung pada tanggal 25 April 2024, Hari Kamis. Persidangan berlangsung secara online (e-court).
Sudah jatuh tertimpa tangga. Pepatah ini mungkin sedikit menggambarkan kondisi Masyarakat Adat Rebu Payung di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ini. Sudahlah ruang hidup mereka tergerus HGU perkebunan Sisal malah terjerat hukum atas laporan perusahaan yang menuding mereka melakukan penyerobotan lahan.
Pada 22 Maret 2024, Pengadilan Negeri Sumbawa Besar, NTB memvonis tujuh warga adat Rebu Payung. Mereka adalah, Gani, Samad, Syarafuddin, Ances, Rosdin, Amaq Mar, dan Sapo. Tujuh orang ini divonis tiga bulan penjara tanpa harus menjalani kurungan sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri Sumbawa Besar Nomor 3/Pid.C/2024/PN Sbw. Mereka terjerat hukum gara-gara laporan perusahaan perkebunan sisal, PT. Sumbawa Bangkit Sejahtera (SBS) atas tuduhan penyerobotan lahan.
Sidang Perkara ini dipimpin oleh Hakim Fransiskus Xaverius Lae dan Panitera pengganti Yoshua Ishak Maspaitella.
Febriyan Anindita, kuasa hukum warga adat mengatakan, ini bukan kasus pertama warga adat dijerat hukum atas tanahnya sendiri. Hal ini menegaskan bahwa konflik agraria di Sumbawa butuh perhatian khusus dari Pemerintah. Ia sangat menyayangkan nasib para petani yang sedang berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya harus berjuang juga untuk selamat dari jeratan hukum. Lantas dimana keberpihakan negara terhadap masyarakatnya, kalau ruang-ruang hidup mereka terus dirampas.
Advokat yang tergabung dalam Perhimpunan pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Region Bali Nusa Tenggara ini, juga mengatakan dengan tegas bahwa tidak menginginkan lagi adanya kasus yang sama terjadi di Kabupaten Sumbawa. Perkara ini terjadi karena adanya konflik agraria struktural. Bukan persoalan penyerobotan, atau penggarapan lahan tanpa izin pemilik. Tanah yang dikantongi HGU-nya oleh perusahaan itu tanah ulayat, tanah yang sudah digarap jauh sebelum perusahaan masuk ke wilayah tersebut.
Konflik seperti ini seharusnya bisa diselesaikan oleh pemerintah Kabupaten dengan melakukan mediasi tanpa harus mengorbankan masyarakat yang sudah lama tinggal di sekitar wilayah itu. Namun, Pemerintah seolah-olah tutup mata, membiarkan masalah ini bergulir begitu saja. Padahal pemerintah memiliki instrumen lengkap untuk memberikan ruang keadilan bagi masayarakat setempat. Kalau bukan kepada pemerintah kemana lagi masyarakat kecil harus berlindung. Saya berharap agar pemerintah lebih mengedepankan kepetingan masyarakat ketimbang kepetingan perusahaan atau investor, Ujar Pengacara yang sekaligus Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Sumbawa.
Hutan tidak sekadar sumber makanan, di sana, tempat bersemayam leluhur—menjaga hutan berarti menjaga asal dan untuk kelangsungan hidup Komunitas Adat O’Hongana Manyawa (Tobelo Dalam) subetnis Tobelo. Orang luar menyibut Suku Togutil, pada tiap masyarakat adat yang hidup di belatara Halmahera bagian utara, tengah, hingga timur.
Kata “Tugutil” sebenarnya adalah sebutan yang dikemukakan oleh peneliti asal Belanda, J. Platenkamp, untuk Suku Tobelo yang hidup di belantara Halmahera. Platenkamp sendiri memang dikenal sebagai salah satu orang asing yang tertarik meneliti komunitas Tugutil.
“Platenkamp pernah tinggal lama di kompleks Dufa-Dufa, Tobelo, Halmahera Utara. Ia lama menelusuri di Kampung Kusuri hingga Iga Labi-Labi,” ungkap Sosiolog Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Syaiful Madjid, ketika ditemui di rumahnya di Jati, Ternate, Maluku Utara, Jumat (5/4).
Peneliti Suku Tobelo ini bilang, kata Tugutil sebenarnya ada dalam Bahasa Tobelo, yakni O’Tau Gutili atau rumah obat.
Syaiful, dalam penelitiannya, juga mengidentifikasi Suku Tobelo dengan menyebutkan Tobelo Dalam dan Tobelo Luar. Tobelo Dalam, dalam penyebutan orang Tobelo sendiri, yakni O’Hongana Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di dalam hutan), sedangkan Tobelo Luar, yakni O’Hoberera Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di luar hutan).
“Saya tidak suka dengar orang bilang Suku Togutil primitif. Mereka, Tugutil juga punya makna soal kehidupan. Punya sistem nilai dan kepercayaan,” ungkap Syaiful, yang masa kecilnya berada di Dodaga, Halmahera Timur, tempat masyarakat Tobelo Dalam atau O’Hongana Manyawa bermukim.
Dalam adat Tobelo, setiap kelahiran bayi perempuan dirayakan dengan lima bibit pohon, sedangkan bayi laki-laki ditandai dengan 10 bibit pohon. “Lelaki Tobelo bertanggung jawab dalam mencari nafkah, sehingga mereka harus menanam pohon lebih banyak. Tradisi ini menjadi contoh bagaimana manusia hidup harmoni dengan alam sekitar,” ujarnya.
Komunitas O’Hongana Manyawa mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari dengan cara berburu, meramu, berladang-berpindah, dan mencari ikan atau kombinasi dari cara-cara tersebut. Pemenuhan kebutuhan komunitas ini masih bersifat subsisten, karena mereka hidup selaras dengan kondisi alam sekitarnya sesuai dengan nilai-nilai kearifan lingkungan.
Pengetahuan dan kepercayaan mereka pada kesatuan hutan itu menjadi kekuatan yang dapat memengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan dalam kehidupan sehari-hari komunitas ini.
“Dalam alam pemahaman mereka tentang bagaimana memperlakukan hutan merupakan jaminan bagi ketahanan pangan mereka, hutan tidak hanya merupakan sumber daya ekonomi, tetapi telah menjadi suatu kosmos di mana aspek-aspek religi, sistem pertanian dan perburuan, serta aspek kebudayaan yang lain berinteraksi membangun suatu kehidupan yang utuh,” jelas Syaiful.
Hal ini sangat berkaitan dengan pemaknaan kosmologi sosial komunitas O’Hongana Manyawa yang membagi lingkungan ekologi hutan ke dalam satu kesatuan (kesatuan rumah, kesatuan pemukiman, dan kesatuan hutan).
Konseptualisasi diri dan lingkungan O’Hongana Manyawa yang tertuang dalam tradisi lisan Wawango (hidup) dan Lilingiri (cari) menjadi acuan untuk menginterpretasi kehidupannya di lingkungan hutan, begitu juga perilaku sosial komunitas O’Hongana Manyawa dalam mengelola hasil hutan erat kaitannya dengan sistem nilai yang terdapat dalam tradisi lisan yang mengatur sikap dan pola tindakan dari komunitas O’Hongana Manyawa dalam melindungi hutan di kesatuan hutan masing-masing.
Bagi O’Hongana Manyawa pada umumnya, nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Wowango ditempatkan untuk kepentingan komunitas O’Hongana Manyawa pada masa akan datang (masa depan), dalam arti: setiap warga komunitas dituntut untuk menjaga dan melestarikan hutan beserta isinya untuk kelangsungan kehidupan anak cucu mereka.
Sementara itu, nilai yang ada di dalam tradisi Lilingiri, yakni berisi aturan-aturan yang menentukan sikap dan perilaku O’Hongana Manyawa dalam pemenuhan kebutuhan meramu dan berburu di dalam kehidupan mereka di hutan.
“Bagi orang O’Hingana Manyawa, anak yang sudah sudah bisa berburu, memasang jerat, adalah mereka yang sudah bisa mengidentifikasi masa depan dan bertahan hidup,” katanya
Penyebaran Suku Tobelo
“Asal mula mereka itu dari Telaga Lina di Halmahera Bagian Utara, kemudian menyebar ke hutan-hutan di Halmahera, seperti Halmahera Tengah dan Halmahera Timur,” ungkap Syaiful Madjid.
Syaiful bilang, Suku Tobelo Dalam terbagi menjadi empat, yakni Modole (mendiami Halmahera Timur-Halmahera Tengah), Boeng (mendiami Halmahera Utara, Halmahera Timur-Halmahera Tengah), Pagu (Halmahera Utara), dan Hoku.
Terkhusus Hoku, sub suku ini disebut juga Canga atau orang Tobelo yang berada di pesisir. Sub suku ini, menurut Syaiful, dinyatakan punah. “Kemungkinan besar, suku yang berada di Naulu, Maluku, yang biasa dibilang Halefuru adalah orang Hoku, sebab, ada sebagian dialek yang mirip dengan Bahasa Tobelo,” ungkapnya.
Dalam catatan-catatan penelitian sejarah menyebutkan, daratan Halmahera bagian utara hingga tengah banyak dihuni oleh Suku Tobelo yang asal muasalnya dari Telaga Lina. Mereka adalah kelompok etnis paling banyak yang tersebar di Maluku Utara.
Telaga Lina menjadi ‘rumah’ awal peradaban Suku Tobelo membangun kampung atau wilayah yang disebut hoana.
Leirissa dalam disertasinya tentang Masyarakat Halmahera dan Raja Jailolo: Studi tentang Sejarah Masyarakat Maluku Utara menyebutkan, sejak pindah ke pesisir, masyarakat Tobelo terbagi menjadi empat hoana, dan ketika mereka pindah ke Distrik Kau (sekarang Kao, Halmahera Utara), terbentuk lagi empat hoana.
Solidaritas setiap hoana tergantung pada cikal-bakal pemujaan yang dilakukan dalam tempat pemujaan bersama yang disebut O Halu.
Syaiful menyayangkan soal pemberitaan beberapa media yang cenderung menyudutkan O’Hongana Manyawa. Beberapa media bahkan menyebutkan suku ini belum beradab, primitif, kelaparan di hutan, dan sebagainya. Padahal, O’Hongana Manyawa punya sistem kepercayaan dan sistem nilai.
Hasil penelitian, ada 21 Mata Rumah O’Hongana Manyawa di daratan Halmahera. Satu Mata Rumah terdiri dari 4 sampai 5 Kepala Keluarga. Wilayah Hidup mereka kini berada di Taman Nasional dan paling banyak wilayah hidup mereka dikuasai oleh Izin pertambangan Nikel dari PT IWIP PT WBN dan subkontraktor lainnya. Akibat dari itu, tidak sedikit yang terusir dari hutan, tempat mereka tinggal.
Jauh sebelum adanya Taman Nasional, bahkan sebelum Indonesia merdeka, O’Hongana Manyawa sudah punya pengetahun mengelolah wilayah hidup mereka di hutan. Pembagian wilayah itu disebut dengan O’Tau Moi atau Satuan Rumah, yang dihuni oleh satu Mata Rumah atau satu kelompok terdiri dari 4 sampai 5 Kepala Keluarga.
Kedua, disebut O’Gogere atau Satuan Pemukiman, tempat berkumpul, yang dihuni sekitar lima sampai tujuh kelompok. Lokasi Satuan Pemukiman ini berada di Tofu, Akejira, Halmahera Timur.
Ketiga adalah Satuan Hutan yang terbagi menjadi tiga yakni:
Manga Wowango: Hutan tempat bersemayamnya roh leluhur atau hutan lindung).
Pongana: Hutan Primer atau hutan industri, dan
Raki Ma’Amoko: Dusun raja, kebun besar, sumber pangan. Di dalamnya terdapat pohon sagu, langsat, dan lainnya.
Wilayah ini nyaris hilang dengan adanya izin Usaha pertambangan Nikel secara besar-besaran di hutan Halmahera yakni Halmaha Timur dan Halmahera Tengah.
O’Hongana Manyawa punya sistem sosial. Ada penyebutan Dimono (Orang yang Dituakan/Pemimpin) bukan Kepala Suku. Penyebutan Kepala Suku terhadap Dimono adalah penyebutan orang luar.
Orientasi nilai Komunitas O’Hongana Manyawa dalam kehidupan sehari-hari yang mana sangat bertalian dengan keberadaan mereka di alam hutan, proses kehidupan komunitas ini menyatuh dengan apa yang berada di lingkungan mereka. Alam pengetahuan mereka, hutan bukan hanya sebagai lingkungan tempat tinggal dan tempat mendapatkan bahan makanan, tetapi lebih jauh lagi dianggap sebagai sumber kehidupan (disebut Manga Wowango) dan sekaligus muara bagi eksistensi dalam perkembangan kehidupan komunitas O’Hongana Manyawa, dalam hutan mereka dilahirkan, hidup dan meninggal serta kemudian mengikuti kehidupan anak cucu mereka.
Orientasi nilai yang masih dipertahankan oleh Komunitas O’Hongana Manyawa di Hutan ini, sumber kehidupan (manga wowango) di dalam hutan menurut anggapan komunitas O’Hongana Manyawa tidak akan habis sampai ke anak-cucu mereka, oleh karena itu menjaga hutan sama dengan menjaga keluarga mereka. Bagi Komunitas O’Hongana Manyawa, “Hutan ini milik kami” ( Na Tangomi Mia Fongana).
Bagi komunitas O’Hongana Manyawa, kehidupan manusia di hutan tidak akan lepas dengan ruh-ruh leluhur yang tetap berada di lingkungan kehidupan sekitar mereka. Dengan memelihara dan melestarikan hutan maka dengan sendiri menghormati sekaligus memuja ruh-ruh orang yang telah meninggal terutama ruh para leluhur mereka oleh karena itu pada daerah-daerah tertentu, Dalam kehidupan komunitas O’Hongana Manyawa membatasi ikatan kesatuan hidup setempat menurut batas wilayah dalam bentuk kesatuan hutan (O’Hangana Moi) diperuntuk untuk daerah jelajah setiap kesatuan rumah yang berada di hutan tersebut.
Penentuan suatu kewilayahan kesatuan hutan memang sulit (bagi orang luar) menentukan batas-batas yang secara nyata. Namun di balik itu, bagi komunitas O’Hongana Manyawa dalam kesatuan hutan mereka memiliki tanda-tanda khusus yang harus dihormati dan ditaati sebagai batas wilayah larangan (Madodongu).
Salah satu wilayah hutan yang dianggap sakral bagi Komunitas O’Hongana Manyawa berada di wilayah Mein, bagian timur Kontrak Karya PT WBN dan daerah hutan Aruku Mangaili Sigi-Sigi Sebelah barat Akejira dalam wilayah Kontrak Karya PT WBN. Bagi Komunitas O’Hongana Manyawa yang berada dalam wilayah itu berkewajiban untuk dan merawat dan melestarikan hutan itu untuk kelangsungan hidup komuntas tersebut. Leluhur O’Hongana Manyawa bersemayam di daerah tesebut. Daerah Mein dan Aruku Mangaili hampir semua kelompok O’Hongona Manyawa yang ada di hutan ini sering mengunjungi daerah ini sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur mereka (O’Gomanga Jou Madutu).
Stigma Negatif dan Perampasan Ruang Hidup O’Hongana Manyawa
Sejak dulu, O’Hongana Manyawa mendapat stikma sebagai pembunuh. Sementara O’Hoberera Manyawa, di masa kolonial, ada yang disebut sebagai Canga. Pemerintah kolonial menganggap Canga adalah Perempak–bajak laut. Lalu dihabisi oleh Kolonial.
Stigma juga dibangun oleh beberapa media di luar Maluku Utara, termasuk media arus utama, yang sebenarnya tidak masuk–turun langsung mengunjungi O’Hongana Manyawa lalu membuat berita yang menyudutkan suku O’Hongana Manyawa.
Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik Pasal 8 menyebutkan Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Begitu juga diatur dalam Peraturan Dewan Pers nomor: 02/PERATURAN-DP/XI/2022 Tentang Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman.
Sungguh, narasi yang dibangun oleh media tertentu ini, dapat mencelakai atau membuat O’Hongana Manyawa akan kehilangan ruang hidup, karena tidak diakui sebagai Suku yang mempertahankan tradisi. Lalu, membuat izin pertambangan leluasa masuk pada hutan adat.
Lihat saja Pasal 18B ayat (2): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Sebab itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) punya pekerjaan rumah yang perli diseriusi; terkait masyrakat adat yang terancam punah karena kehilangan tanah juga ‘dibunuh’ lewat narasi pemberitaan yang sepihak.
***
Tahun 2011, saya ke Dodaga, Tukur-Tukur, dan Titipa, wilayah pemukiman O’Hongana Manyawa. Di permukiman atau reseltlement, ada program dari pemerintah melalui Kementerian Sosial menyebut Program Tuna Budaya. Suku saya ini dianggap tidak berbudaya.
O’Hongana Manyawa pun menjadi sasaran tuduhan jika terjadi pembunuhan di hutan Halmahera. Kini, 6 orang masyarakat adat O’Hongana Manyawa di Taukur-Tukur dan Dodaga mendekam di penjara. Sebelumnya mereka divonis hukuman mati.
Tahun itu juga saya melihat banyak problem yang dihadapi O’Hongana Manyawa, di sana. Di belakang kampung ada pembangunan Irigasi. Kampung nyaris terancam banjir. Warga Dodaga Juga berkebun di Hutan. Tahun itu, ada beberapa perempuan adat, dilarang masuk ke hutan. Mereka dicegat oleh pihak Dinas Kehutanan dengan alasan bahwa itu hutan lindung yang tidak bisa dimasuki orang.
Hutan di Wilayah Tukur-Tukur Dodaga juga sering menjadi lokasi penanaman pohon dari program ANTAM, program reboisasi.
Pada Selasa, 28 April 2023, saya berkunjung ke Kelompok Maratana, Turaji, dan Hidete bersama Istrinya, di wilayah Halmahera Timur. Di Hutan mereka, saya masuk melalui jalur PT.WANA KENCANA MINERAL, salah satu perusahaan nikel di sana. kurang lebih 24 km jalan kaki hingga sampai ke kelompok Maratana. Mereka sangat khawatir dengan keberadaan orang luar. Sebab, sebagian kelompok mereka pernah diracuni oleh orang luar, yang ingin mengambil wilayah mereka. Termasuk Suami Maratana Diracuni.
Maratana kini sudah keluar hutan dan tinggal sementara di perkampungan di desa Saolat. Salah satu warga menampung Maratana, membuat bivak kecil di samping rumah mereka untuk ditinggali Maratana. Sebab, Maratana tidak bisa tinggal di dalam rumah yang berdinding. Maratana keluar hutan karena wilayah hidupnya terancam akan diambil oleh perusahaan. Namun, ia tetap merindukan pulang ke hutan tempat ia hidup dan mati di sana.
Kasus lainnya, tidak sedikit orang luar, atau orang pesisir penjelajah hutan, masuk ke dalam melakukan pengkaplingan lahan O’Hongana Manyawa untuk dijual ke perusahaan. Akibatnya, banyak terjadi kasus pembunuhan di hutan Halmahera.
Seperti kasus tahun pembunuhan di daerah Waci, di Halmahera Timur pada tahun 2014. Korban adalah pencari gaharu. Namun, yang dituduh membunuh adalah Bokum dan Nuhu, Suku Tobelo Dalam, O’Hongana Manyawa yang mendiami hutan Akejira, Wilayah Konsesi PT WBN dan PT IWIP. Mereka lalu divonus 15 tahun penjara. Nuhu pun meninggal dunia akibat sakit yang diderita karena ada benturan keras di dada Nuhu. pada tahun 2019 di rutan di dan dikebumikan di Ternate.
Bokum dibebaskan pada Januari 2022. Saat keluar, saya orang yang menjemput Bokum, tidak sedikit orang lain juga datang mau ambil Bokum untuk minta tanda tangan jual beli tanah wilayah Bokum. Sementara Bokum tidak bida baca tulis.
Tahun 2023 hingga tapatnya 2024 ini, saya sering mengunjungi keluarga Bokum di Hutan Akejira, Halmahera Tengah. Bokum dan keluarganya trauma, dan tidak akan berani keluar jauh dari daerah hutan maupun Ternate tempat ia dipenjara.
Sekitar pukul 09.00 WIB, Bapak Sorbatua Siallagan bersama istrinya, saat belanja pupuk di Tanjung Dolok (sekitar Simpang Simarjarunjung Jalan Parapat-Medan). Setelah pupuk sudah dimuat ke mobil dan akan pulang tiba-tiba, sekitar 10 orang mendatangi dan menarik Sorbatua Siallagan dari dalam mobil yang dikendarainya.
Kejadian itu membuat istri Sorbatua kaget. Ia lalu berusaha menahan suaminya dari penangkapan orang yang tidak dikenal. Namun, istri Sorbatua tak berdaya. Sorbatua Siallagan langsung dimasukkan ke mobil berwarna hitam yang dikendarai para penangkap itu.
Menurut pengakuan istri Sorbatua, saat penangkapan, yang menangkap berkata bahwa sudah dua kali pemanggilan terhadap Sorbatua. Istri Sorbatua mengaku, sampai saat ini, mereka tidak menerima surat perintah penangkapan.
Sekitar pukul 10.50 WIB, keluarga dari Dolok Parmonangan bergerak ke Polsek Tiga Dolok – Simalungun untuk memastikan keberadaan Sorbatua. Sayangnya, ketika tiba di sana, Polsek mengatakan bahwa informasi yang diterima dari Polres Simalungun yang bersangkutan (Sorbatua Siallagan) tidak ada di Polres Simalungun.
Saat ini keluarga dan komunitas Dolok Parmonangan sedang mencari Ketua Sorbatua Siallagan.
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., CCMs., Advokat Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Yang Mulia Majelis Hakim Pemeriksa sengketa TUN No. 542/G/TF/2023/PTUN-Jkt di PTUN Jakarta, Para Penggugat dan para Kuasa Hukum para Penggugat, Kuasa Hukum DPR dan Kuasa Hukum Presiden/Pemerintah. Perkenankan saya menyampaikan usulan/masukan sehubungan dengan pemeriksaan sengketa tata usaha negara ini berikut ini.
Pertama, Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang diajukan oleh para penggugat melalui para kuasa hukumnya pada hakikatnya merupakan gugatan yang berisi tuntutan terhadap “sikap diam/abai” pejabat pemerintahan dalam melaksanakan kewenangan yang ada padanya untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan, yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan, dapat dikualifikasi sebagai tindakan berupa tidak melakukan perbuatan konkret (by omission) atau dalam Bahasa Latin disebut sebagai passivum inesse actionem (tindakan faktual pasif) yang dilakukan oleh badan atau pejabat administrasi pemerintahan dalam perspektif Pasal 4 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Perbuatan melanggar hukum tersebut terjadi karena sikap diam/abai terhadap permohonan yang diajukan oleh AMAN dkk., yang pernah mengajukan Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023, perihal: Permohonan Pembentukan UU Tentang Masyarakat Hukum Adat, kepada DPR dan Presiden. Tindak lanjut atas permohonan tersebut sebenarnya merupakan kewajiban dari DPR dan Presiden berdasarkan kewenangan konstitusional yang diatribusikan oleh Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 UUD Negara RI Tahun 1945 yang memberikan kewenangan kepada DPR dan Presiden untuk melakukan tindakan faktual dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat adat yang salah satunya adalah melalui tindakan pengaturan oleh negara (moderantibus actionem civitatis) untuk membentuk undang-undang yang berkaitan dengan kewajiban konstitusional negara guna melaksanakan Pasal 18 B ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa: “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Hal itu berarti konstitusi secara eksplisit memerintahkan DPR dan Presiden sebagai pihak yang berwenang melakukan tindakan faktual untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat antara lain dengan membentuk undang-undang untuk membentuk UU Tentang Masyarakat Hukum Adat.
Kedua, tindakan perlindungan oleh negara (status praesidio mensurae) terhadap hak-hak rakyat in casu masyarakat adat seharusnya berupa: tindakan pengaturan (regulatory actio), tindakan memberikan jaminan atas hak-hak masyarakat adat (actio cavendi iura populorum indigenarum), tindakan memenuhi kebutuhan masyarakat adat (actus ad usus necessarios in communitatibus indigenae) dan tindakan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran atas hak-hak masyarakat adat (lex cogendi si est violatio iurium populorum indigenarum). Keseluruhan rangkaian tindakan perlindungan terhadap masyarakat adat tersebut saling terkait/tak terpisahkan yang berada dalam lingkup fungsi pemerintahan (munera imperium). Jika gugatan dari para penggugat tersebut dikaitkan dengan hukum positif, Pasal 3 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017 telah mengatur secara limitatif kriteria permohonan yang dapat diajukan melalui mekanisme fiktif positif/permohonan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan untuk mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan, yaitu: a. Permohonan dalam lingkup kewenangan badan dan/atau pejabat pemerintahan; b. Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan; c. Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan yang belum pernah ditetapkan dan/atau dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan; dan d. Permohonan untuk kepentingan Termohon secara langsung. Tindakan faktual pasif yang dipersoalkan dalam gugatan penggugat adalah tindakan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat yang terdiri dari rangkaian tindakan yang saling terkait sebagaimana telah disampakan di atas yang terdiri diekspresikan dalam bentuk serangkaian tindakan untuk melaksanakan kewajiban vide Pasal 18 B ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 dan menindaklanjuti permohonan yang diajukan oleh AMAN dkk., yang pernah mengajukan Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023. Dalam hal ini isu hukumnya bukan semata-mata hanya soal pembentukan UU Perlindungan Masyarakat Adat, tetapi pada hakikatnya (in essentia) adalah tindakan untuk memberikan perlindungan (opus providere tutelam) bagi masyarakat adat.
Ketiga, Rancangan Undang-Undang Tentang Masyarakat Hukum Adat telah beberapa kali masuk dalam Proglegnas, termasuk ke dalam Prolegnas Priotas, sebagai berikut: a) Prolegnas Periode 2005-2009, dengan judul “RUU tentang Hak-Hak Masyarakat Adat”, dengan nomor urut 101; RUU tentang Pengakuan dan Penghormatan Masyarakat Adat dan Tradisinya, dengan nomor urut 273, berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 01/DPR-RI/III/2004-2005 Tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005-2009; b) Prolegnas Periode 2009-2014, dengan judul “RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat” dengan nomor urut 161. Pada tahun 2013, RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas 2014, dengan nomor urut 26. c) Prolegnas Periode 2015-2019, dengan judul “RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat”, dengan nomor urut 42. Pada tahun 2017, RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas, dengan nomor urut 45. d) Prolegnas Periode 2020-2024, dengan judul “RUU tentang Masyarakat Hukum Adat, dengan nomor urut 160. Pada tahun 2020, RUU tentang Masyarakat Hukum Adat ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas, dengan nomor urut 22. RUU yang beberapa kali dimasukkan ke dalam Prolegnas dan tak kunjung diselesaikan selain telah melanggar prinsip anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) sebagaiman diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU APBN karena perencanaan yang kunjung direalisasikan dengan dibentuk dan disahkannya UU terkait, juga tindakan perencanaan (consilio opus) yang tak kunjung diselesaikan serta melampaui batas tahun anggaran tahunan (one year budgeting) itu juga melanggar asas kepastian hukum (principium certitudinis legalis) dalam lingkup Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Keempat, DPR dan Presiden sesungguhnya telah diwajibkan oleh UUD Negara RI Tahun 1945 untuk membentuk UU Tentang Masyarakat Hukum Adat, namun dengan perencanaan yang tidak pasti, mendiamkan permohonan untuk melaksanakan kewajiban tersebut (Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023) dan serangkaian tindakan yang menunjukkan sikap abai (indifferens habitus) dan tindakan penundaan berlarut (mora actio) yang dilakukan DPR dan Presiden telah mengakibatkan pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Hukum Adat terkatung-katung/tidak jelas (exilii), sehingga berdampak pada ketidakpastian hukum (legalis dubitationem). Tidak ada perlindungan hukum terhadap masyarakat adat in casu Para Penggugat yang mengalami kerugian yang nyata mulai dari praktik penggusuran perampasan wilayah adat, kriminalisasi Masyarakat Adat dan hilangnya identitas Para Penggugat sebagai Masyarakat Adat di Indonesia yang dikemukakan secara lengkap dalam fakta-fakta hukum gugatan para penggugat perlu ditempatkan dalam konteks tindakan faktual pasif yang menimbulkan kerugian terhadap hak-hak masyarakat adat vide Pasal 18 B jo Pasal 28I ayat (3) dan (4) UUD Negara RI 1945 ((3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah) serta Pasal 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 6 ayat (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah; dan Pasal 6 ayat (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman).
Demikian, keterangan yang merupakan usulan/masukan bagi pertimbangan Majelis Hakim pemeriksa sengketa TUN No. No. 542/G/TF/2023/PTUN-Jkt jika berkenan dipertimbangkan. Atas kebijaksanaan Majelis Hakim yang memberikan kesempatan menyampaikan masukan/usulan ini, saya menghaturkan terima sebesar-besarnya.
Jakarta, 21 Maret 2024
Hormat saya,
(Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., CCMs., Advokat)
Kamis, 21 Maret 2024, sidang lanjutan terkait gugatan komunitas masyarakat adat dari beberapa daerah melalui Aliansi Masyarakat Adat Nusanta (AMAN), dan di dampingi Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat (PPAN) sebagai kuasa hukum penggugat dalam sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, dengan agenda mendengar keterangan ahli.
Gugatan Dalam Sengketa di PTUN Jakarta No. 542/G/TF/2023/PTUN-JKT, itu ditujukan pada Presiden dan DPR RI karena dianggap telah mengabaikan amanat konstitusi dan janji membentuk Undang-Undang Masyarakat Adat sejak 20 tahun lalu.
Tiga ahli yang dihadirkan yakni:
W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.,CCMs., Advokat, Ahli Administrasi Negara dan Keuangan Negara – Atmajaya Yogyakarta.
Yance Arizona, SH, MH, MA., Ahli HTN dan Masyarakat Adat – UGM
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., CCMs, mengatakan, DPR dan Presiden sesungguhnya telah diwajibkan oleh UUD Negara RI Tahun 1945 untuk membentuk UU Tentang Masyarakat Hukum Adat, namun dengan perencanaan yang tidak pasti, mendiamkan permohonan untuk melaksanakan kewajiban tersebut (Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023) dan serangkaian tindakan yang menunjukkan sikap abai (indifferens habitus) dan tindakan penundaan berlarut (mora actio) yang dilakukan DPR dan Presiden telah mengakibatkan pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Hukum Adat terkatung-katung/tidak jelas (exilii), sehingga berdampak pada ketidakpastian hukum (legalis dubitationem).
Tidak ada perlindungan hukum terhadap masyarakat adat in casu Para Penggugat yang mengalami kerugian yang nyata mulai dari praktik penggusuran perampasan wilayah adat, kriminalisasi Masyarakat Adat dan hilangnya identitas Para Penggugat sebagai Masyarakat Adat di Indonesia yang dikemukakan secara lengkap dalam fakta-fakta hukum gugatan para penggugat perlu ditempatkan dalam konteks tindakan faktual pasif yang menimbulkan kerugian terhadap hak-hak masyarakat adat vide Pasal 18 B jo Pasal 28I ayat (3) dan (4) UUD Negara RI 1945 ((3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah) serta Pasal 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 6 ayat (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah; dan Pasal 6 ayat (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman).
Sebelumnya, pada Kamis, 14 Maret 2024, PPMAN juga mendampingi 6 orang saksi fakta masyarakat adat dari berbagai daerah, yakni:
Abdon Nababan, yang bersaksi telah mengawal pengesahan RUU Masyarakat Adat sejak Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) tahun 1999.
Effendi Buhing, seorang Ketua Adat Laman Kinipan dari Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, mengungkapkan rentetan konflik yang mereka alami dengan perusahaan sawit yang menyerobot lahan adat. Peristiwa ini terjadi pada 22 Juni 2020.
Faris Bobero, anggota adat O’Hoberera Manyawa (suku Tobelo di luar hutan) di Maluku Utara yang berkali-kali diintimidasi saat melakukan advokasi pada masyarakat adat Tobelo.
Ferdinandes Danse, masyarakat adat Golo Munde, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, yang menjadi saksi atas kasus Masyarakat Adat yang menjadi korban kriminalisasi karena menduduki tanah adatnya dan tanah adat tersebut diklaim sebagai Kawasan TWA Ruteng dan sekaligus mengadvokasi terkait dengan adanya penerbitan peraturan daerah untuk pengakuan masyarakat adat, namun Perda tersebut tidak memberikan Perlindungan kepada Masyarakat Adat.
Momonus, masyarakat adat Dayak Iban Semunying Jaya di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, yang pernah menjabat kepala desa di sana tetapi tidak pernah mendapatkan sosialisasi dari perusahaan sawit yang beroperasi di desa mereka.
Hermina Mawa, perempuan penenun dan ketua kelompok tani di Komunitas Masyarakat Adat Rendu, Kabupaten Nagekeo, NTT, yang menjadi korban dari proyek strategis Nasional pembangunan waduk Lambo, korban mengalami kerugian secara ekonomi, ruang,wilayah dan peralatan untuk berekspresi, tempat ritual tergusur, dan akan berdampak pada hilangnya asal usulnya sebagai perempuan adat, demi pembangunan proyek Waduk Lambo oleh pemerintah di wilayah adat mereka.
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Region Sulawesi menyurati Kepala Kantor Wilayah ATR/BPN Sulawesi Selatan C.q. Panitia Pemeriksa Tanah B (Panitia B) pada 18 Maret2024.
Surat tersebut diajukan sebagai respons atas pelaksanaan pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik dan data yuridis baik di lapangan maupun di kantor terkait dalam rangka penyelesaian permohonan perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha (HGU) PT. London Sumatera (LONSUM), di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang pada dasarnya dilakukan dengan harapan, agar HGU PT. LONSUM dapat dihentikan.
Selain itu, PPMAN Region Sulawesi menilai, dalam proses pembaharuan HGU PT. LONSUM masih mengklaim Wilayah Adat Ammatoa Kajang yang memiliki luasan sekitar 2000 Ha. Fakta tersebut dapat dilihat jika merujuk pada peta Wilayah Adat yang termuat dalam lampiran dan menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Perda Kabupaten Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak, dan perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang.
PPMAN Region Sulawesi juga menyatakan bahwa perpanjangan HGU PT. LONSUM juga akan semakin membuka ruang meletusnya potensi konflik Agraria yang dapat meluas dan merugikan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, yang merupakan pemangku hak atas wilayah adatnya. Sebagaimana fakta sejarah perampasan wilayah adat yang setidaknya tercatat terjadi dalam rentang tahun 1961 hingga saat ini, disertai dengan rentetan kekerasan yang memilukan terjadi pada Masyarakat Adat dan Petani pada rentang tahun 2003, 2013 dan 2018.
Berdasarkan hal tersebut di atas, secara utuh dalam surat PPMAN Region Sulawesi, dengan tegas meminta hal sebagai berikut:
Memastikan agar semua pihak menghormati dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat Ammatoa Kajang;
Menghentikan perpanjangan HGU PT. LONSUM di wilayah Adat Ammatoa Kajang;
Menuntut Kepala Kantor Wilayah ATR/BPN Sulawesi Selatan C.q. Panitia Pemeriksa Tanah B (Panitia B), dapat menjalankan peran dan fungsinya secara proporsional, sesuai dengan kewenangannya;
Memastikan agar Kepala Kantor Wilayah ATR/BPN Sulawesi Selatan C.q. Panitia Pemeriksa Tanah B (Panitia B) memberikan perlindungan terhadap Wilayah Adat Ammatoa Kajang.
Empat orang Tokoh Masyarakat Adat di Komunitas Hibun Sanjan Kunut, Dusun Sanjan Kunut, Desa Kedakas, Kecamatan Tayan Hulu, Kabupaten Sanggau, mendapat undangan klarifikasi pada 25 Februari 2022, atas Laporan pengaduan terkait dugaan Tindak Pidana Penyerobotan Lahan, di lokasi lahan hamparan Kebun Plasma Divisi 13 PT. Kebun Ganda Prima (KGP), yang beralamat di RT Sanjan Kunut, Dusun Kedakas, Desa Kedakas, Kecamatan Tayan Hulu, Kabupaten Sanggau menurut surat tertanggal 24 Februari 2022, yang ditandatangani oleh Kasat Reskrim Polres Sanggau AKP TRI PRASETIYO S.I.K.,M.H.
Keempat Tokoh Masyarakat tersebut adalah:
DARIUS menjabat sebagai Kepala Adat Dusun Sanjan Kunut
FRANSISKUS SUDOMO menjabat sebagai Kepala Adat RT 02 Sanjan Kunut
L. SOLIHIN menjabat sebagai Kepala Adat RT 01 Sanjan Kunut
OKTAVIANUS SESARIUS HADY menjabat sebagai Ketua RT 01 Sanjan Kunut
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mencatat, kronologi kasus ini bermulai dari tahun 1997 sampai tahun 1999, PT. KGP melakukan sosialisasi dan pembukaan lahan/tanah milik Masyarakat Adat, wilayah Kecamatan Kembayan dan Kecamatan Tayan Hulu, Kabupaten Sanggau, untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Pembukaan lahan/tanah milik Masyarakat Adat di wilayah ini diawali penyuluhan/sosialisasi yang dilakukan oleh pihak manajemen PT. KGP dengan melibatkan para Tokoh Masyarakat setempat yaitu Kepala Desa, Temenggung, Kepala Dusun, Ketua RT, dan Kepala Adat, serta mengetahui TP3DII (Tim Pembina Proyek Perkebunan Daerah Tingkat II) dengan mengacu Surat Pernyataan Bersama pada tanggal 28 April 1997, yang dikeluarkan di Kecamatan Kembayan dan Surat Perjanjian tanggal 10 Juli 1999 dibuat di Kecamatan Kembayan.
Dalam penyuluhan pembukaan dan pembangunan kebun kelapa sawit di wilayah Kecamatan Kembayan dan Kececamatan Tayan Hulu, yang mengacu Surat Pernyataan Bersama tanggal 28 April 1997 dan Surat Perjanjian tanggal 10 Juli 1999 dijanjikan bahwa “Pihak Pertama (PT.KGP) menyatakan bahwa pada usia kelapa sawit yang sudah ditanam mencapai 48 (Empat Puluh Delapan) bulan, kebun plasma tersebut sudah dapat dikonversi”.
Berjalan waktu, sejak penanaman hingga 48 bulan berlalu, kebun plasma milik petani (Masyarakat Adat penyerah lahan) belum juga dibagikan/dikonversikan. Hal ini menimbulkan rasa kegelisahan diantara Masyarakat Adat sebagai Pemilik lahan/tanah yang dikelola PT.KGP.
Kegelisahan di antara Masyarakat Adat terus berlanjut hingga sekitar tahun 2005 timbul gejolak sosial di antara Petani penyerah lahan (Masyarakat Adat) yang merasa ditipu oleh pihak Perusahaan PT.KGP, namun gejolak pada saat itu bisa diredam oleh pihak-pihak terkait (TP3DII) dengan berbagai alasan yang dapat diterima oleh Petani (Masyarakat Adat) di wilayah pengelolaan PT.KGP ini.
Gejolak konflik tidak padam sampai tahun 2005 saja. Tercatat, setiap tahun selalu terjadi konflik antara Petani penyerah lahan (Masyarakat Adat) melawan Perusahaan PT.KGP hingga sampai tahun 2013 sempat terjadi konflik yang cukup besar. Masyarakat Adat Penyerah Lahan/Tanah yang disebut Petani plasma PT.KGP di bawah naungan KUD Semegah (KUD Mitra Perusahaan/Bentukan Perusahaan) mengadakan aksi pemagaran lahan penyerahan. Aksi Pemagaran ini dipicu karena rasa kecewa Petani (Masyarakat Adat) atas tidak terealisasinya pembagian kapling plasma yang diperjanjikan pihak Perusahaan.
Selain persoalan pembagian/konversi kapling plasma, pemicu kekecewaan petani juga dikarenakan nilai angka kredit petani hingga umur tanaman kelapa sawit berumur kurang lebih 13 tahun tidak pernah ada transparansi nilai-angka kredit kebun plasma yang diakukan kepada petani.
Petani penyerah lahan (Masyarakat Adat) setiap bulan hanya dapat menikmati belasan persen dari penghasilan kebun yang dikatakan plasma oleh pihak perusahaan dan pihak KUD. Sumber penghasilan bagi petani tersebut didapati dari kebun yang dikatakan plasma pola akuan hasil dari pembagian pola penyerahan 7,5 Ha (dari penyerahan sebesar 7,5 Ha maka pembagiannya sebesar 2 ha untuk Petani/Masyarakat Adat penyerah lahan/tanah, sedangkan yang 5 ha dipergunakan untuk pembangunan kebun plasma dan yang 0,5 ha dipergunakan untuk infrastruktur serta fasilitas umum perusahaan).
Sehingga atas rasa kecewa masyarakat atas tidak kunjung selesainya berbagai persoalan yang timbul akibat dari kelalaian pihak perusahaan dalam memenuhi janji sesuai perjanjiaan serta tuntutan-tuntutan yang selalu diajukan masyarakat juga tidak kunjung diindahkan, bahkan Kriminalisasi Masyarakat Adat penyerah lahan/tanah yang sering terjadi ketika masyarakat menyampaikan aspirasi serta melakukan tindakan pemagaran yang bertujuan untuk mendapakan keputusan negosiasi yang berkeadilan.
Berjalan waktu karena persoalan-persoalan konflik antara Masyarakat Adat (Petani) melawan Perusahaan PT.KGP ini tidak kunjung terselesaikan, hingga pada tanggal 31 Mei 2017 lalu sekelompok Masyarakat Adat (Petani) sebagai penyerah lahan/tanah kepada PT.KGP melakukan gugatan wanprestasi (ingkar janji) secara perdata yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Sanggau dengan register nomor : 10/Pdt.G/2017/PN.Sag.
Gugatan ini dilakukan atas dasar perbuatan ingkar janji pihak perusahaan dalam hal ini PT. Kebun Ganda Prima terhadap janjinya saat melakukan penyuluhan-penyuluhan pembukaan kebun kelapa sawit di wilayah Kecamatan Kembayan dan Tayan Hulu sejak 17 tahun silam.
Sejak gugatan secara perdata masuk di pengandilan, sekelompok Masyarakat Adat petani penyerah lahan/tanah yang menggugat ini menahan diri untuk tidak mengerjakan/beraktivitas di atas lahan yang sedang dipersengketakan tersebut, demi menghormati proses Hukum yang sedang bergulir di Pengadilan Negeri Sanggau, Pengadilan Tinggi Pontianak, hingga Mahkamah Agung Jakarta demi mendapatkan Keputusan yang Adil bagi Masyarakat Adat penyerah lahan ini.
Namun, selama proses hukum sedang bergulir di PN Sanggau, PT Pontianak Kalbar, Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung Jakarta, pihak perusahaan selalu melakukan aktivitas panen di lahan areal yang sedang dipersengketakan. Sementara jika masyarakat Adat (Petani) yang melakukan aktifitas panen diareal gugatan akan dilaporkan kepihak kepolisian untuk di pidana dengan tuduhan pencurian.
Karena merasa sering di tindak secara tidak adil, maka masyarakat Adat (Petani) penggugat sepakat untuk berusaha melarang pihak-pihak lain melakukan aktifitas diatas objek yang sedang disengketakan untuk menghormati proses Hukum pada saat perkara bergulir di Pengadilan.
Melarang pihak lain yaitu petani KK pindah yang ditempatkan oleh pihak KUD Semegah dan PT. KGP melakukan aktivitas di atas tanah sengketa ini, membuat Masyarakat Adat setempat mengalami beberapa kali intimidasi dari pihak PT. KGP, KUD Semegah bahkan dari pihak Kepolisian berupa panggilan-panggilan dari Polsek hingga Polres Sanggau.
Hingga pada saat ini proses hukum di lembaga peradilan sudah berakhir dengan keluarnya Putusan Peninjauan Kembali Nomor : 826 PK/Pdt/2020 tanggal 12 November 2020 dengan keputusan yang pada intinya menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali yaitu dari kelompok Masyarakat Adat penggugat penyerah lahan/tanah dari Kecamatan Tayan Hulu dan Kembayan.
Meskipun Putusan Pengadilan tidak mengabulkan sepenuhnya gugatan Masyarakat Adat Sanjan Kunut dan beberapa wilayah lainya yang tergabung dalam gugatan tersebut, namun mereka sampai saat ini masih mengupayakan Keadilan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam berupa tanah/lahan warisan turun temurun dari orang tua mereka, yang diserahkan untuk dikelola oleh pihak perusahaan sejak tahun 1999 lalu.
Hingga saat ini mereka masih menolak keberadaan petani KK pindah yang ditempatkan oleh pihak manajemen PT KGP bersama KUD Semegah, sehingga pada saat ini empat orang Tokoh Masyarakat dari kampung Sanjan Kunut kembali dilaporkan ke Polres Sanggau dengan tuduhan tindak Pidana “Penyerobotan Lahan”.
Atas tuduhan itu, Masyarakat Adat kampung Sanjan Kunut MEMBANTAH tuduhan yang di tuduhkan kepada mereka oleh para pelapor.
Faktanya adalah, masyarakat adat penyerah lahan sampai dengan saat ini masih belum mendapatkan Keadilan atas pengelolaan Sumber Daya Alam berupa tanah warisan leluhur turun temurun yang dikelola oleh PT KGP sejak tahun 1999 lalu.
Adapun tuduhan yang dilayangkan kepada MA oleh para pelapor adalah semata tudahan yang tidak mendasar, bagaimana mungkin sebagai Masyarakat Adat asli yang memang lahir dan dibesarkan di wilayah adat kampung Sanjan Kunut oleh orang tua dan leluhur terdahulu, bahkan sebelum NKRI terbentuk leluhur mereka sudah mendiami wilayah ini lalu mereka di tuduh sebagai “Penyerobot Lahan” oleh pihak Perusahaan dan KUD Semegah yang baru datang, dan hanya sebagai pengelola lahan/tanah sesuai penyerahan Masyarakat Adat setempat dengan perjanjian dan pernyataan baik lisan saat sosialisasi maupun tertulis.
Adapun penolakan yang diupayakan selama ini oleh Masyarakat Adat Sanjan Kunut adalah berupa penolakan atas keberadaan petani KK pindah, yang pada prinsipnya tidak memiliki dasar untuk menduduki tanah/lahan milik Masyarakat Adat Hibun Sanjan Kunut.
Petani KK pindah ini pada dasarnya memiliki lahan penyerahan ditempat atau kampungnya masing-masing, bukan diwilayah kampung Sanjan Kunut, Dusun Sanjan Kunut, Desa Kedakas, Kecamatan Tayan Hulu, Kabupaten Sanggau.
Oleh karena penyerahan petani KK pindah ini bukan di wilayah kampung Sanjan Kunut, maka Masyarakat Adat Komunitas Hibun kampung Sanjan Kunut MENOLAK keberadaan petani KK Pindah di atas wilayah penyerahan MA Sanjan Kunut, akibat penolakan ini empat orang tokoh masyarakat kampung Sanjan Kunut dilaporkan ke pihak Kepolisian Polres Sanggau dengan tuduhan “Penyerobotan Lahan”.
Adapun menjadi alasan menolak Petani KK Pindah untuk menduduki tanah/lahan diwilayah adat kampung Sanjan Kunut adalah karena beberapa hal sebagai berikut :
Bahwa jika petani KK pindah menduduki lahan di wilayah Dsn Sanjan Kunut, Desa Kedakas, maka hal ini akan menimbulkan konflik Horizontal sesama petani yang berkepanjangan dan membahayakan sesama petani.
Bahwa berdasarkan sosialisasi pihak manajemen PT. KGP dan Surat Pernyataan Masyarakat Adat dari Dsn Sanjan Kunut, desa Kedakas tertanggal 19 November 1999 terkait pembukaan dan pengelolaan lahan/tanah di wilayah Dsn Sanjan Kunut, bahwa pengelolaan lahan diwilayah ini merujuk pada satu periode tanaman pohon kelapa sawit selama 35 tahun dan setelahnya maka lahan/tanah milik Masyarakat Adat Sanjan Kunut dikembalikan kepada Masyarakat Adat Sanjan Kunut sesuai dengan luas penyerahan masing-masing. (Surat Pernyataan 19 November 1999 terlampir).
Bahwa perlu diketahui bersama bahwa sampai dengan saat ini status lahan penyerahan Masyarakat Adat kampung Sanjan Kunut masih berstatus konflik, hal ini dikarenakan belum adanya penyelesaian konflik yang baik dengan saling menghormati dan menghargai hak masing-masing diantara dua pihak yaitu Masyarakat Adat sebagai penyerah lahan dan PT. KGP sebagai pengelola lahan.
Terkait dengan gugatan Masyarakat Adat pada tahun 2017 hingga 2020 lalu, hal ini dikarenakan adanya pengingkaran perjanjian saat sosialisasi dan Surat Pernyataan yang dibuat oleh Masyarakat Adat Sanjan Kunut saat penyerahan lahan pada 19 November 1999 silam.
Yang dimaksud dengan pengingkaran oleh Pihak PT. KGP dalam point 4 diatas adalah pengingkaran dengan mengabaikan perjanjian lisan saat sosialisasi pembukaan kebun oleh manajeman PT KGP beberapa tahun lalu dan Surat Pernyataan Masyarakat Adat yang meminta pembangunan kebun kelapa sawit plasma berdampingan dengan kebun Inti perusahaan. Hal ini dimintai oleh masyarakat karena mengingat setelah habis periode tanaman kelapa sawit, maka tanah tersebut dikembalikan secara untuh kepada masyarakat adat penyerah ataupun ahli warisnya sesuai dengan penyampaian pihak manajemen PT. KGP saat sosialisasi pembukaan lahan dan kebun dikampung Sanjan Kunut pada tahun 1999 silam.
Jika sudah habis masa periode tanaman kelapa sawit, dan jika pihak PT.KGP masih melanjutkan pengelolaan tanah/lahan milik masyarakat adat Dsn Sanjan Kunut, maka kedua belah pihak yang terdiri dari pihak Masyarakat Adat Sanjan Kunut dan Pihak Manajemen PT. KGP harus duduk bersama untuk melakukan musyawarah ulang dan membuat perjanjian kembali untuk kelanjutan pengelolaan lahan/tanah milik masyarakat adat kampung Sanjan Kunut.
Oleh karena beberapa hal tersebut diatas, pernyataan tuduhan “Penyerobotan Lahan” yang dituduhkan kepada Tokoh Masyarakat Adat maupun anggota Masyarakat Adat kampung Sanjan Kunut adalah salah sasaran.
Untuk petani KK pindah, Masyarakat Adat Sanjan Kunut juga menyarankan agar menduduki posisi lahan plasma dipenyerahan masing-masing wilayah/kampungnya, agar tidak timbul persoalan konflik horizontal sesama petani penyerah lahan/tanah dikemudian hari dengan melakukan kordinasi yang baik dengan pihak manajemen PT. KGP.
Selain tuduhan “penyerobotan lahan”, empat orang Tokoh Masyarakat Sanjan Kunut ini juga dituduh melakukan kesalahan yang merugikan KUD Semegah, dengan menjual TBS Kelapa Sawit kepada pihak luar yaitu RAM penampung dan pabrik bukan PKS PT. KGP.
Berdasarkan pengakuan dari masyarakat Sanjan Kunut, bahwa mereka menjual TBS keluar dikarenakan KUD Semegah kurang lebih 3 tahun terakhir ini sudah off membeli TBS dan bahkan kantor KUD Semegah pun sudah tutup.
Demikian kronologis penolakan Masyarakat Adat Komunitas Hibun Sanjan Kunut atas keberadaan petani KK Pindah diwilayah Hibun Sanjan Kunut dan tuduhan-tuduhan pihak PT KGP dan KUD Semegah, kepada tokoh masyarakat dan Masyarakat Adat Sanjan Kunut.