RILIS: Pembela Masyarakat Adat Poco Leok Buat Pengaduan ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial

Tim Kuasa Hukum Lima orang Masyarakat Adat Poco Leok yang tergabung dalam Advokasi pembangunan Geothermal (PLTP Ulumbu) di wilayah adat, membuat pengaduan ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial terkait dengan ketidakprofesionalan Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Permohonoan Konsinyasi Nomor 1/Pdt P-Kons/2024/PN Rtg. Antara PT PLN Persero dengan Lima Masyarakat Adat Poco Leok.

 

Kelima  Masyarakat Adat Poco Leok itu yakni Ignasius Nasat, Nikolaus Panas, Yoseph Kapas, Mikael Gamal, dan Karolus Maja.

 

Pengaduan tersebut disampaikan pada dua lembaga Negara terkait dengan penetapan Pengadilan Negeri Ruteng yang menjalani persidangan tanpa kehadiran para Termohon. Bagaimana tidak, sidang dimulai pada pukul 09.00 WIT, sementara Relaas, baru diserahkan pada Para Termohon pada pukul 12.00 WIT.

 

Begini kronologinya:

Sebelumnya,  pada 17 Mei 2024, Pengadilan Negeri Ruteng menjalani persidangan penitipan ganti kerugian (konsinyasi) No.1/PDT-P-Kons/2024/PN Rtg yang dimohon oleh PT PLN (Persero) unit Induk pembangunan Nusa Tenggara Timur (UIP)Nusra.

 

Dalam persidangan pertama, para Termohon tidak dapat menghadiri persidangan sebab relaas panggilan persidangan pertama itu,  kepada para Termohon, baru diserahkan oleh Juru sita pengadilan Negeri Ruteng pada Jumat 17 Mei 2024 pukul 12.00 WITA. Padahal, persidangan akan dilangsungkan pada  hari itu juga, Jumat  17 Mei 2024 pukul 09:00 WITA di Pengadilan Negeri Ruteng. Sehingga, dengan jarak tempat tinggalnya Para Termohon yang terlampau jauh, tidak memungkinkan Para Termohon untuk dapat hadir di persidangan itu.

 

Atas Nama Proyek Strategis Nasional, 9 Orang Masyarakat Adat Poco Leok Menjadi Korban Kekerasan

“Terkait dengan terbatasnya waktu pengiriman relaas panggilan sidang oleh Juru Sita Pengadilan Negeri Ruteng, kami menduga adanya kesengajaan mengingat relaas panggilan sudah ditandatangani oleh Juru sita pengganti Pengadilan Negeri Ruteng Luther viktor Manawe, pada 13 Mei 2024 oleh Juru Sita Pengadilan. Namun, baru terdistribusi kepada Para Termohon pada 17 Maret 2024 sesuai dengan jadwal persidangan, sehingga tidak memungkinkan Para Termohon untuk hadir dalam persidangan,” kata Gregorius B Djako, advokat pembela masyarakat adat.

 

Gregorius B Djako, yang juga Staf Bidang Litigasi di Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) itu mengatakan, tindakan ketua Pengadilan Negeri Ruteng yang juga Hakim, yang telah memutuskan permohonan ini, tidak profesional dalam menangani perkara ini.

 

Katanya, prilaku hakim ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 UU RI No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menurutnya, seorang hakim diwajibkan untuk menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di tengah masyarakat.

 

“Seorang hakim harus memiliki integritas dan berkepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum serta wajib menaati kode etik dan pedoman prilaku hakim,” ujar  Gregorius.

 

PERNYATAAN SIKAP MASYARAKAT SIPIL ATAS PENGERAHAN APARAT BERSENJATA DAN TINDAKAN BRUTAL TERHADAP MASYARAKAT ADAT POCOLEOK MANGGARAI

Selain itu, Gregorius mengnyayangkan, Ketua pengadilan Negeri Ruteng memutuskan permohonan konsinyasi tanpa kehadiran Para Termohon, sehingga tidak memberikan rasa keadilan bagi Masyarakat Adat Pocoleok.

 

Sementara itu, salah satu anggota koalisi Advokasi Pocoleok, yang sehari-hari mendampingi Para Termohon, menyesalkan prilaku hakim Ketua Pengadilan Negeri Ruteng yang secara sadar, tidak bersikap adil serta profesional dalam memutuskan perkara.

 

“Tindakan hakim bertentangan dengan keputusan bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang kode etik dan pedoman perilaku hakim,” tegasnya.

 

Ia bilang, seorang hakim minimal harus bersikap mandiri, berprilaku adil dan bersikap profesional, yang artinya hakim membuka ruang sebesar-besarnya agar Masyarakat pencari keadilan mendapatkan keadilan Hakiki dalam setiap keputusannya.

 

“Sikap Hakim pengadilan Negeri Ruteng, jauh dari prilaku yang harus digunakan oleh seorang hakim yang juga menjadi wakil Tuhan di Bumi,” kesalnya.

 

Harapannya, agar Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung dapat memberikan peringatan dan teguran serta sanksi kepada Ketua Pengadilan Negeri Ruteng yang dalam memimpin persidangan jauh dari sikap profesional.

 

Sebab, katanya, dampak putusan pengadilan menghilangkan hak-hak konstitusi para termohon dan juga Masyarakat  Adat Pocoleok yang lainnya, yang sedang mempertahankan hak-haknya atas tanah ulayat.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi narahubung berikut ini:

Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904

Previous
Next

Berita & Artikel Terbaru

Form Konsultasi

Member of

tes-removebg-preview
Jl. Parakan Salak Desa No.1, Kemang, Kec. Kemang, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat 16310