SUKU MOI MELAWAN GUGATAN PT SORONG AGRO SAWITINDO

Siaran Pers Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua

 

Jakarta, 20 Oktober 2023 – Perusahaan PT Sorong Agro Sawitindo  (SAS) sebelumnya pemegang konsensi perkebunan kelapa sawit seluas 40.000 ribu hektar yang terletak di Kabupaten Sorong, Papua Barat. Awal tahun 2022 melalui SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2012 pemerintah mencabut izin pelepasan kawasan hutan yang dipegang PT SAS. BKPM kemudian mencabut izin  usaha  PT SAS melalui keputusan Nomor : 20221227-21-0006 tanggal 22 Desember 2022. Perusahaan tidak terima atas keputusan tersebut lalu mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta dengan perkara 368/G/2023/PTUN.JKT meminta pembatalan.

 

Sebelumnya Bupati Sorong tahun 2021 mencabut izin lokasi, izin lingkungan dan izin usaha PT SAS, tindakan bupati ini disambut baik masyarakat Suku Moi, dalam kasus ini perusahaan menggugat dan membatalkan keputusan bupati.

 

Suku Moi adalah Orang Asli Papua yang mewarisi, menguasai dan memiliki tanah dan hutan adat sudah sejak turun temurun hingga saat ini. Keberadaan  Suku Moi telah diakui Pemerintah  melalui Peraturan Daerah (perda) Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong, sebagaimana termuat dalam Pasal (2) yang berbunyi: “Dengan Peraturan Daerah ini Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong memberikan Pengakuan dan Perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong”. 

 

Suku Moi telah bersikap menjaga tanah dan hutan adat, mereka menolak perkebunan kelapa sawit PT Sorong Agro Sawitindo beroperasi diwilayah adatnya. Alasannya, perkebunan kelapa sawit merampas hak atas tanah dan/ hutan adat dan berpotensi menghilangkan sumber kehidupan masyarakat, dan mendatangkan malapetaka sosial dan lingkungan, sebagaimana dialami saudara mereka di daerah ini. Mereka memutuskan untuk mengelola sendiri tanah dan hutan adat di wilayah adatnya sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki dan diwariskan secara turun temurun.

 

Suku Moi khawatir Gugatan PT SAS akan menghilangkan hak-hak dan mata pencaharian masyarakat yang bersumber dari hutan, tanah, sungai dan kekayaan alam sekitarnya. Mereka  memutuskan untuk melawan Gugatan PT SAS dengan mengajukan permohonan Intervensi di PTUN Jakarta.

 

Permohonan intervensi ini kami lakukan untuk mempertahankan hak dan kepentingan kami sebagai masyarakat adat Suku Moi. Kami ingin Majelis hakim secara hati-hati memeriksa Gugatan ini karena kami akan dirugikan jika perusahaan memenangkan gugatan ini. Hakim harus lebih memperhatikan keberadaan dan hak kami “ujar Edison Sede (masyarakat adat suku Moi dari kampung Gisim)

 

Saya perempuan adat suku Moi keberatan gugatan Perusahaan, kami tidak mau kehilangan sumber penghidupan keluarga dari tanah dan hutan, kami Perempuan berkebun, mengambil sagu menjadi makanan, menjaga obat-obatan tradisional semua dari hutan. Jika Perusahaan masuk kami akan hilang. Ujar Solvina Klawom (perempuan adat suku Moi)  

 

Ayup Paa, pendamping masyarakat adat suku Moi mengatakan Tindakan pencabutan Izin Usaha PT SAS yang dilakukan oleh BPKM sudah seharusnya dilakukan, ada banyak pelanggaran yang dilakukan.  Selain ada penolakan masyarakat juga berdampak kepada lingkungan hidup. Akan lebih tepat jika BKPM mendorong kepada instansi lain seperti KLHK dan Pemda untuk segera mengakui hutan adat masyarakat. Masyarakat dapat mengembangkan sendiri kehidupan ekonominya tanpa harus memfasilitasi perkebunan skala besar yang membawa dampak negatif besar.

 

Berdasarkan hal tersebut kami Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua Bersama Masyarakat Adat Suku Moi menyatakan :

 

  1. Majelis Hakim Hakim Perkara 368/G/2023/PTUN.JKT menerima Permohonan Intervensi yang dilakukan Masyarakat Adat Suku Moi dan dalam memeriksa perkara mengutamakan keadilan bagi masyarakat adat suku moi sebagai pemilik tanah dan hutan adat ;
  2. Pihak Tergugat yakni BKPM melakukan tindakan lanjutan bersama lembaga pemerintahan lainnya (KHLK dan Pemerintah Daerah) segera melakukan pengakuan hutan adat masyarakat Suku Moi dengan tujuan melindungi hak-hak masyarakat ;
  3. BKPM dan KLHK membuka seluruh informasi pencabutan perizinan di Tanah Papua sebagai bentuk kewajiban yang telah diatur didalam berbagai peraturan perundang-undangan.

 

Kontak Person:

Ayub Paa (0812-4021-6526)

Judianto Simanjuntak (0857-7526-0228)

Tigor Hutapea (0812-8729-6684)

MASYARAKAT ADAT POCO LEOK LAPOR KOMNAS HAM KARENA ALAMI KRIMINALISASI OLEH KEPOLISIAN RESOR MANGGARAI

Jakarta, 20 Oktober 2023 – Adanya Tindakan Kekerasan, kesewenangan, ancaman dan intimidasi yang telah dilakukan oleh anggota Kepolisian Polres Manggarai, Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) terhadap Masyarakat Adat Poco Leok.

 

Tindakan intimidasi dan kriminalisasi yang telah dilakukan oleh Kepolisian Polres Manggarai merupakan tindakan pelanggaran hukum sebagaimana mandat dari Undang-undang Dasar 1945 yang terdapat pada Pasal 28 D ayat 1 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

 

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 3 ayat (3) “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Pasal 5 ayat (3) “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”. Hal ini merupakan pengingkaran terhadap fungsi kepolisian dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada Masyarakat sebagaimana amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 

Polres Manggarai telah melayangkan surat panggilan terhadap Masyarakat Adat Poco Leok terkait dengan dugaan tindak pidana dengan sengaja menghalangi atau merintangi Pembangunan Pengusahaan Panas Bumi dan/atau barang siapa dengan kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah yang terletak di Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai sebagaimana dimamksud dalam Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi.

 

Masyarakat Adat Poco Leok tidak mengetahui alasan Kepolisian Polres Manggarai melakukan pemanggilan tersebut. Masyarakat Adat menilai bahwa pemanggilan tersebut sangat tidak beralasan.

 

“Jika ada orang yang masuk ke wilayah tempat tinggal kami dan kami tidak kenal apalagi tahu tujuannya, wajar jika kami mempertahankan tanah tempat tinggal kami, kami tidak melakukan apapun, hanya mempertahankan tanah yang menjadi milik kami yang telah diwariskan oleh leluhur kami” ujar salah seorang warga yang enggan di sebut namanya dengan alasan keamanan dirinya.

 

Pemanggilan terhadap Masyarakat Adat Poco Leok tersebut merupakan tindakan kesewenang-wenangan Polres Manggarai dengan menggunakan kekuasaannya. Ini MERUPAKAN KRIMINALISASI TERHADAP MASYARAKAT ADAT POCO LEOK untuk membungkam perjuangan masyarakat adat Poco Leok dalam mempertahankan wilayah adatnya.

 

Menyoroti masalah ini, KOALISI ADVOKASI POCO LEOK menyampaikan bahwa tindakan Kepolisian Resort (Polres) Manggarai yang melakukan Kekerasan, kesewenangan, ancaman dan intimidasi merupakan tindakan pelanggaran hukum. Untuk ini Koalisi Advokasi Poco Leok mengambil langkah hukum atas sikap dan tindakan dari Kepolisian Polres Manggarai.

 

Koalisi Advokasi Poco Leok telah mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk melaporkan tindakan Kepolisian Polres Manggarai yang telah melakukan kekerasan, kesewenangan, ancaman dan intimidasi terhadap Masyarakat Adat Poco Leok dengan melakukan pemanggilan dan meminta keterangan.

 

Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN,) Syamsul Alam Agus menyampaikan bahwa tindakan intimidasi, tekanan dan ancaman dengan cara memanggil Masyarakat Adat yang memiliki hak penuh atas tanah ulayatnya dan wilayah yang berpotensi terkena dampak dari rencana pembagunan geotermal telah melanggar Pasal 11 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang pelaksanaan Peraturan Kapolri nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 

“Pihak Kepolisian tidak memahami konteks persoalan Masyarakat Adat, melihat aturan hanya dari sisi sempit. Pihak Kepolisian sebaiknya menggali terlebih dahulu perihal konsep kepemilikan tanah komunal atau Ulayat dan Hak Asasi yang telah dijamin oleh undang-undang semisal Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan UU HAM. Peraturan Kapolri (Perkap) juga mengadopsi konsep HAM tersebut”, jelasnya.

 

Syamsul Alam Agus juga menambahkan, bahwa seharusnya Kepolisan Polres Manggarai memberikan perlindungan kepada Masyarakat Adat yang memiliki kerentanan, karena tanahnya diambil oleh orang tanpa persetujuan dari Masyarakat Adat. Namun kehadiran pihak Kepolisian tidak melindungi masyarakat tapi melindungi orang-orang atau perusahaan yang datang merusak tanah Masyarakat Adat.

 

“Konsep perlindungan itu kepada yang lemah, bukan kepada yang berkuasa dan kuat. Jangan di balik konsepnya,” tegasnya.

 

Sementara itu, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, mengatakan bahwa sejak awal rencana pembangunan geotermal di Poco Leok telah mendapat penolakan terkait rencana Pembangunan pembangkit listrik Geothermal (PLTP Ulumbu) di Poco Leok. namun Pemerintah tetap tidak menghiraukan penolakan tersebut dan malah mengerahkan Kepolisian untuk melakukan tindakan represif dan intimidasi terhadap Masyarakat Adat Poco Leok.

 

“Atas nama Proyek Strategis Nasional yang dibuat tanpa konsultasi terlebih dahulu, rakyat kecil rentan terusir dari wilayah mereka seperti yang dialami oleh Masyarakat Adat Poco Leok”, ujar Melky.

 

Erasmus Cahyadi, Deputi II Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menambahkan bahwa Koalisi melakukan pengaduan ke Komnas HAM agar Komnas HAM segera memberikan perlindungan kepada Masyarakat Adat Poco Leok dan memantau atas tindakan represif dan intimidasi yang telah dilakukan oleh Kepolisian Polres Manggarai, Erasmus Cahyadi juga mengharapkan Komnas HAM memberikan rekomendasi kepada Polres Manggarai agar menghentikan kriminalisasi kepada Masyarakat Adat Poco Leok.

 

Pria kelahiran Poco Leok ini juga menambahkan meminta kepada Komnas HAM untuk turun ke Poco Leok untuk bertemu dengan masyarakat dan menerima secara langsung pengaduan, serta meninjau lokasi pembangunan pembangkit listrik Geothermal (PLTP Ulumbu) di Poco Leok.

 

“Kunjungan Komnas HAM ke Poco Leok menjadi krusial tidak hanya bagi masyarakat akan tetapi juga bagi Komnas HAM menggali fakta sesungguhnya atas apa yang terjadi di lapangan,” jelas Erasmus.

 

Dihubungi melalui telephone, Komisioner Komnas HAM Bapak Hari Kurniawan, menyampaikan bahwa Komnas HAM akan melakukan rapat bersama untuk mengambil keputusan terkait dengan pengaduan dari Koalisi Advokasi Poco Leok, dan juga Komnas HAM akan segera memberikan perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat Poco Leok.

 

Kedepannya, Koalisi Advokasi Poco Leok akan terus melakukan pengaduan ke berbagai lembaga negara atas tindakan dan sikap Kepolisian yang tidak berpihak pada masyarakat dan juga akan meminta dukungan dari berbagai pihak baik nasional maupun internasional terkait dengan masalah yang menimpa Masyarakat Adat Poco Leok khususnya terkait dengan pembangunan Geotermal.

 

KOALISI ADVOKASI POCO LEOK

 

1. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
2. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
3. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
4. Trend Asia
5. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
6. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makasar
7. JPIC OFM
8. Justice, Peace and Integrity of Creation- Societas Verbi Divini (JPIC-SVD)
9. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur,
10. SUNSPIRIT for justice and peace is a civil society organization working in the area of social justice and peace in Indonesia.
11. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Labuan Bajo

 

Narahubung:
1. Ermelina Singereta (08121339904)
2. Muh. Jamil (082165470477)

PERNYATAAN SIKAP ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN) DAN PERHIMPUNAN PEMBELA MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (PPMAN) ATAS TINDAKAN BRUTAL POLISI MENEMBAKI KOMUNITAS MASYARAKAT ADAT BANGKAL KABUPATEN SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Bogor, 7 Oktober 2023

 

Hari ini kembali kita menyaksikan brutalitas aparat kepolisian dalam melakukan penanganan konflik ketika Komunitas Masyarakat Adat berhadapan dengan perusahaan. 1 (satu) nyawa melayang dan 2 (dua) lainnya terluka akibat peluru senjata pihak kepolisian. Puluhan orang lainnya turut ditangkap. Untuk menjawab tuntutan Masyarakat Adat atas lahan plasma yang puluhan tahun tak juga diberikan oleh PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) I, sebuah entitas bisnis milik Best Group, Polisi tak segan menembaki Masyarakat Adat yang seharusnya mereka lindungi.

 

Pihak Kepolisian telah mengetahui bahwa konflik antara Masyarakat Adat dan perusahaan adalah akumulasi sikap perusahaan yang tidak tunduk pada sebuah proses perjanjian. Pihak Kepolisian juga mengetahui bahwa Masyarakat Adat Bangkal di Seruyan mayoritas merupakan Masyarakat Adat Dayak Temuan dan Kuhin. Akan tetapi, sepertinya pihak kepolisian lebih berpihak ke perusahaan, bukan menjadi pihak netral dalam melakukan pengamanan. Pihak Kepolisian diduga melanggar hak asasi manusia serta peraturan kepolisian terutama yang terkait prosedur penembakan, penanganan konflik sosial dan pedoman penanganan unjuk rasa.

 

Menyikapi brutalitas aparat kepolisian terhadap masyarakat sehingga menyebabkan 1 orang anggota Komunitas Masyarakat Adat meninggal dunia dan 2 lainnya terluka , Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyatakan beberapa hal sebagai berikut:

 

  1. Mengecam keras tindakan brutal (excessive power) aparat Kepolisian dalam melakukan penanganan konflik sosial dan unjuk rasa yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Bangkal, Seruyan, Kalimantan Tengah dengan melakukan penembakan dan penangkapan;
  2. Mengecam tindakan aparat Kepolisian melakukan pemblokiran akses keluar masuk kampung dan Desa Bangkal. Tindakan yang kami nilai telah melanggar konstitusi dan hak asasi manusia terutama hak dasar Masyarakat Adat atas akses ekonomi, sosial, politik dan budaya.
  3. Mendesak pihak Kepolisian membebaskan sejumlah Masyarakat Adat yang ditangkap ketika berunjuk rasa memprotes perusahaan;
  4. Mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk memberikan dan memenuhi hak-hak hukum Masyarakat Adat di Desa Bangkal, baik yang tertembak dan juga yang ditahan;
  5. Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar memerintahkan penarikan pasukan pengamanan perusahaan dan mengedepankan upaya dialog bersama semua pemangku kepentingan di Desa Bangkalan, Seruyan;
  6. Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar melakukan penyidikan terhadap pelaku penembakan di Desa Bangkal serta menonaktifkan Kapolres Seruyan dan Kapolda Kalteng sebagai pertanggung jawaban komando wilayah (command responsibility) sehingga terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia;
  7. Mendorong Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) membentuk Tim Pencari Fakta Independen agar melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Komunitas Adat Bangkal Seruyan sehingga hasil tersebut dapat digunakan sebagai bahan proses yudisial sebagai bentuk upaya selanjutnya;
  8. Mendesak agar dilakukan uji balistik oleh pihak independen agar peristiwa penembakan terhadap Komunitas Masyarakat Adat Bangkal dapat dijelaskan secara objektif
  9. Demikian pernyataan sikap ini disampaikan, agar menjadi masukan dan perhatian bagi Kepolisian Republik Indonesia dalam melakukan penanganan konflik di Komunitas Adat Bangkal, Seruyan, Kalimantan Tengah.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

 

Erasmus Cahyadi, S.H – Deputi II Sekjen AMAN bidang Politik dan Hukum (0812-8428-0644)
Syamsul Alam Agus, S.H – Ketua Badan Pelaksana PPMAN (0811-8889-083)

PPMAN: HENTIKAN UPAYA KRIMINALISASI MASYARAKAT ADAT POCO LEOK

SIARAN PERS

 

Manggarai (4/10/2023) – 7 (tujuh) warga Masyarakat Adat Poco Leok, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, mendapat pemanggilan klarifikasi di Kepolisian Resor Manggarai. Pemanggilan warga tersebut dilatarbelakangi oleh aktivitas warga Poco Leok yang menolak adanya pembangunan pembangkit listrik Geothermal (PLTP Ulumbu) di wilayah adat mereka.

 

Seperti yang diketahui bersama, pembangunan pembangkit listrik panas bumi di wilayah Poco Leok masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Masyarakat Adat Poco Leok telah melakukan 19 kali aksi penolakan terhadap proyek geothermal tersebut. Adapun alasan kepolisian melayangkan surat undangan klarifikasi kepada ketujuh warga Adat Poco Leok karena ada laporan informasi Nomor: Li-R/14/IX/Res.5.2/2023/Reskrim tanggal 27 September 2023 yang kemudian pada tanggal yang sama keluar Surat Perintah Penyelidikan Sp.Lidik/339/IX/2023/Sat Reskrim.

 

“Surat pemanggilan yang berkedok undangan wawancara/ klarifikasi oleh pihak Kepolisian Resor Manggarai terindikasi merupakan skenario penekanan terhadap penolakan Masyarakat Adat Poco Leok, dengan kata lain, pola lama dan sering digunakan penguasa membungkam suara rakyat tertindas,” tegas Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Sebagai informasi, ketujuh warga Masyarakat Adat Poco Leok yang dipanggil pihak Polres Manggarai telah menghubungi PPMAN untuk mendapatkan nasehat hukum dan pendampingan hukum. Masyarakat bingung kenapa aktivitas menyuarakan pendapat dan mempertahankan wilayah adat dianggap sebagai perbuatan kriminal.

 

“Siapa yang tidak kecewa, marah bahkan melawan ketika tanah adatnya terancam hilang? Komunitas Masyarkat Adat hanya mempertahankan apa yang menjadi hak mereka sesuai konstitusi. Negara sepatutnya mengedepankan dialog intensif bukan malah menekan warga dengan cara-cara seperti melakukan pemanggilan,” jelasnya lebih lanjut.

 

Ketujuh warga Adat Poco Leok yang dipanggil terancam mendapatkan kriminalisasi menggunakan Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Pasal 73 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang dan atau Pasal 212 KUHP yang mengatur tentang kekerasan terhadap pejabat dengan ancaman penjara 1 tahun 4 bulan.

 

“Meniadakan dialog, mengerahkan pasukan kemudian terjadi kekerasan di lapangan lalu masyarakat di kriminalisasi adalah pola yang biasa terjadi ketika negara dalam hal ini penguasa lebih berpihak kepada uang daripada warganya sendiri,” ungkapnya.

 

PPMAN mendesak Pemerintah dan pihak kepolisian agar segera menghentikan pemanggilan kepada warga Adat Poco Leok dan lebih mengutamakan proses dialog yang mengedepankan prinsip-prinsip kesetaraan, keterbukaan dan pemahaman atas isu Masyarakat Adat. PPMAN melihat praktek lapangan pelaksanaan PSN sering berujung pada represivitas dan perampasan ruang hidup masyarakat, sebagaimana yang terjadi di beberapa wilayah program PSN.

 

“Dalam prakteknya, PSN kerap bermasalah dan melahirkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Ambil contoh kasus Waduk Lambo di Rendu Botowe dan kasus Rempang Eco City Batam. Hari ini di Poco Leok. Pemerintah seolah-olah tidak belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut. Kami harap segera hentikan upaya-upaya pembungkaman terhadap rakyat, agar kita dapat disebut beradab,” tutupnya.

 

Sebagai informasi tambahan, pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu yang menyasar Wilayah Adat Poco Leok, Manggarai, NTT, bermula dari penetapan Menteri ESDM di tahun 2017 atas wilayah Flores sebagai Pulau Panas Bumi. Penetapan tersebut termuat di dalam SK Menteri ESDM No.2268 K/MEM/2017. Kemudian, melihat potensi wilayah, PT PLN sebagai pemilik PLTP Ulumbu berniat mengembangkan kapasitas dari 7,5 MW menjadi 40 MW. Terpilih wilayah Poco Leok yang terdiri dari 14 Kampung Adat di 3 Desa.

 

Perluasan proyek panas bumi PLTP Ulumbu berdasarkan pada SK Nomor HK/417/2022 tentang Penetapan Lokasi Perluasan PLTP Unit 5-6 di Poco Leok yang diteken Bupati Manggarai. Poco Leok juga telah ditetapkan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), dan didanai oleh Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) melalui PT PLN (Persero). Terdapat 60 titik rencana pemboran yang dapat berakibat pada kerusakan lingkungan serta hilangnya ruang hidup Masyarakat Adat Poco Leok. Masalah terjadi ketika proyek tersebut tidak melibatkan partisipasi dan pendapat warga Adat Poco Leok. Pemerintah tidak mengakui adanya Masyarakat Adat Poco Leok.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

 

Syamsul Alam Agus, S.H (Ketua Badan Pengurus PPMAN) – 0811.8889.083
Ermelina Singereta, S.H, M.H (Manager Litigasi PPMAN) – 0812.1339.904

PERLAWANAN MIKAEL ANE, MASYARAKAT ADAT GENDANG NGKIONG, DALAM MENCARI KEADILAN ATAS KRIMINALISASI DIRINYA BERLANJUT KE TINGKAT BANDING

SIARAN PERS

 

Ruteng (22/09/2023) – Mikael Ane (57 Tahun), seorang tokoh Masyarakat Adat Ngkiong, secara resmi telah mengajukan upaya hukum Banding ke Pengadilan Tinggi Kupang. Upaya hukum tersebut dikarenakan dirinya mengalami kriminalisasi atas tuduhan menduduki wilayah hutan Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng tanpa ijin sehingga dilaporkan oleh pihak pengelola. Padahal sejauh apa yang dipahami oleh Mikael Ane sendiri dan didukung oleh keterangan baik saksi maupun saksi ahli, lahan tersebut merupakan lahan miliknya yang diperoleh turun-temurun.

 

Berdasarkan overlay peta wilayah, terungkap bahwa wilayah kelola TWA Ruteng bersinggungan langsung dengan wilayah kelola Gendang Ngkiong, termasuk milik Mikael Ane.

 

Pada pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri Ruteng, Mikael Ane dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan dan denda Rp. 300 (tiga ratus) juta subsidair 6 bulan penjara.

 

Tidak hanya itu, rumah Mikael Ane juga dirampas oleh Negara untuk dihancurkan. Dirinya di dakwa dengan dakwaan pertama Pasal 36 angka 19 Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Jo Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kemudian, dakwaan kedua menggunakan Pasal 40 ayat (2) Jo Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Memori Banding Mikael Ane telah diterima oleh Panitera PN Ruteng pada tanggal 21 September 2023 dengan Nomor Akta 34/Akta Pid.B/LH/2023/PN Rtg.

 

“Perlawanan Mikael Ane merupakan perjuangan seluruh Masyarakat Adat Manggarai pada khususnya. Mengapa? Apa yang dialami oleh Mikael Ane dipastikan juga akan dialami oleh semua Masyarakat Adat yang wilayah adat mereka di klaim secara sepihak oleh Negara. Bagaimana mungkin seseorang yang telah mendiami sebuah wilayah kelola jauh sebelum Negara lahir kemudian dirinya di pidana?” ungkap Maximilianus Herson Loi, S.H, salah seorang Penasehat Hukum Mikael Ane yang berasal dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Alasan Mikael Ane melakukan upaya hukum Banding tidak bukan ialah agar Negara sadar bahwa menjadi tugas dan kewajiban Negara sesuai amanat UUD Tahun 1945 untuk memberikan perlindungan serta pengakuan kepada Masyarakat Adat secara substantif, bukan hanya melihat bukti administratif. Karena penerapan hukum tidak hanya bicara tentang apa yang tertulis, tetapi juga melihat apa yang telah berlaku dan menjadi kebiasaan di dalam kehidupan masyarakat.

 

Lebih lanjut, pasal-pasal yang dituduhkan kepada Mikael Ane merupakan pasal-pasal yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Oleh karenanya demi kepastian hukum dalam upaya pemenuhan rasa keadilan di masyarakat, kekeliruan Hakim tingkat pertama perlu dikoreksi oleh tingkat yang lebih tinggi.

 

“Bukankah tujuan hukum adalah memberikan kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi setiap warga negara? Klien kami diakui sebagai Masyarakat Adat, tetapi tidak diakui hak-haknya. Pasal-pasal dakwaan sudah dicabut dan tidak berlaku ditambah dengan Majelis Hakim PN Ruteng di dalam pertimbangannya sangat sempit, memakai konstruksi hukum kaca mata kuda, tidak melihat realitas sehingga dalam penerapan hukum menjadi keliru,” paparnya lebih lanjut.

 

Penasehat Hukum Mikael Ane lainnya, Ermelina Singereta, S.H, M.H, memberikan penekanan penting mengapa upaya hukum Banding harus dilakukan selain menggunakan alasan-alasan yuridis. Ermelina melihat bahwa upaya kliennya dapat menjadi langkah positif bagi edukasi publik dan aparat hukum terkait isu Masyarakat Adat. Dimensi hak ekonomi, politik, sosial dan budaya Masyarakat Adat belum menjadi pusat pengembangan hukum di Indonesia.

 

“Isu Masyarakat Adat hanya muncul di permukaan, sepintas diakui sebagai bahan justifikasi atau rasionalisasi aturan hukum. Tapi dari aspek substansi, Masyarakat Adat dipersulit dalam memperoleh perlindungan dan pengakuan dari negara. Keterlambatan negara dalam menjalankan kewajibannya berbuah kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang mengelola lahan mereka sendiri,” jelasnya.

 

Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebutkan telah terjadi 301 kasus konflik wilayah adat selama 2019-2023. Kemudian, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menyebutkan hingga Agustus 2023 masih ada sekitar 23,17 juta Hektare wilayah adat yang belum mendapat pengakuan dari Pemerintah Daerah. PPMAN sendiri mencatat dari 27 kasus yang terjadi rentang waktu Januari hingga Juni 2023, 11 kasus diantara terkait dengan persoalan pengelolaan wilayah dan sumber daya.

 

“Fakta dan data yang tersedia sering tidak menjadi sumber rujukan, terutama oleh aparat penegak hukum dalam melihat kesulitan yang dialami oleh Masyarakat Adat. Aktivitas Mikael Ane mengelola lahannya sendiri bukanlah sebuah tindakan melawan hukum akan tetapi sebuah langkah pemenuhan hak dasar yang justru dilindungi oleh hukum,” ucapnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

 

Ermelina Singereta, S.H, M.H (0812.1339.904)

Marselinus Suliman, S.H (0823.3630.0460)

Maximilianus Herson Loi, S.H (0812.3831.7885)

PERNYATAAN SIKAP Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) atas Perampasan Wilayah Adat dan Tindak Kekerasan Terhadap Masyarakat Adat Melayu di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau

Memalukan, Demi Proyek Strategis Nasional, Pemerintah Bebas Langgar HAM

 

Jakarta, 17 September 2023

 

Keselamatan dan identitas Masyarakat Adat dari Suku Bangsa Melayu yang hidup secara turun temurun di 16 Kampung Tua di Pulau Rempang Batam sedang terancam serius. Hal ini disebabkan karena negara lebih pro pada investasi asing yang berlindung di balik nama Proyek Strategis Nasional dan dibekingi oleh kebijakan serta aparat negara yang menindas.

 

Pemerintah melalui Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) secara arogan memobilisasi aparat bersenjata (TNI, POLRI, dan Satpol PP) dan secara paksa mengusir Masyarakat Adat di Pulau Rempang Batam dari tanah dan akar budaya yang telah mereka warisi dari leluhur mereka selama ratusan tahun atau setidak-tidaknya sejak awal abad 18.

 

Peristiwa ini menambah daftar kelam kekejaman negara terhadap Masyarakat Adat, terutama selama hampir 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo berkuasa. Di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, kasus-kasus perampasan wilayah adat meningkat seiring pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan proyek-proyek investasi lainnya. Atas nama investasi, Pemerintah tidak ragu merampas, menggusur, dan melakukan kekerasan terhadap Masyarakat Adat yang telah hidup ratusan tahun di atas wilayah adatnya.

 

Komnas HAM melaporkan bahwa sepanjang 8 bulan terakhir tahun 2023, telah terjadi 692 konflik agrarian. AMAN sendiri mencatat bahwa telah terjadi 301 kasus terkait perampasan wilayah adat selama 2019 – 2023.

 

Berbagai kasus yang terjadi memperlihatkan bahwa Pemerintah telah bersikap main kuasa, arogan, dan tidak tahu malu karena melanggar prinsip-prinsip dasar negara serta tidak memenuhi tujuan Indonesia merdeka. Pemerintah saat ini lupa bahwa pemerintahan negara Indonesia merdeka berkewajiban untuk memajukan kesejahteraan umum, melindungi segenap tumpah darah Indonesia, dan seterusnya, sebagai idea yang dicita citakan. Artinya, keseluruhan tindakan pemerintahan seharusnya mengacu pada tujuan bernegara tersebut. Itulah pula yang menjadi alasan mengapa negara merdeka seharusnya berbeda dengan penjajah.

 

Jangankan legalitas penguasaan Masyarakat Adat secara kolektif, penguasaan pribadi sebagai warga negara saja cukup sulit didapatkan anggota-anggota Masyarakat Adat di Pulau Rempang. Jika ditelusuri kenyataan ini tidak dapat terlepas dari adanya keputusan-keputusan pejabat publik pemerintahan yang tidak diketahui apalagi disetujui Masyarakat Adat di Pulau Rempang. Melalui Keppres Nomor 28 Tahun 1992, Pemerintah Orde Baru memperluas HPL yang telah diberikan kepada BP Batam hingga ke seluruh daratan Pulau Rempang dan Pulau Galang. Walikota Batam melanjutkan hal itu dengan menerbitkan Surat Edaran yang ditujukan kepada camat se-Kota Batam yang memperkecil kemungkinan bagi masyarakat untuk mendapatkan status hak atas tanahnya.

 

Lebih sulit lagi karena pada tahun 2023 pemerintah mengalokasikan Pulau Rempang menjadi lokasi Proyek Strategis Nasional dengan nama Rempang Eco City dengan Permenko No 7 Tahun 2023. Lalu ketika kekerasan terhadap Masyarakat Adat di Pulau Rempang mendapatkan sorotan dan kritikan, publik malah seolah digiring untuk memahami aksi-aksi kekerasan itu sebagai upaya penertiban dan pengosongan lahan serta menuding Masyarakat Adat yang menolak sebagai pihak yang bersalah karena mereka tidak punya sertifikat. Anggapan-anggapan yang dikembangkan ini harus diakui merupakan bentuk dari hilangnya empati dan kebijaksanaan.

 

Peristiwa perampasan wilayah adat dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat di Pulau Rempang sebagaimana umumnya juga terjadi di berbagai tempat di Indonesia akhir-akhir ini merepresentasikan kegagalan negara untuk melaksanakan konstitusi, khususnya untuk menghormati dan melindungi Masyarakat Adat dan hak-hak tradisionalnya, terutama dalam hal ini hak atas wilayah adat sebagai ruang hidup.

 

Tidak hanya itu, peristiwa ini juga menggambarkan kegagalan negara untuk mengimplementasikan Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat sebagaimana Pemerintah Indonesia telah setujui, serta sejumlah perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, antara lain: Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; Konvensi ILO 111, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.

 

Oleh sebab itu, kami berpandangan bahwa peristiwa kekerasan yang terjadi di Pulau Rempang adalah akibat dari adanya upaya sistematis Pemerintah untuk hanya mengakomodasi kepentingan Korporasi tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan, serta memberangus peradaban yang turut berkontribusi membentuk karakter bangsa Indonesia.

 

Masyarakat Adat Melayu di Pulau Rempang, seperti Masyarakat Adat lainnya di seluruh nusantara, merupakan komponen penting dalam menjaga identitas Indonesia sebagai bangsa yang besar dan beragam. Atas dasar tersebut kami menyatakan sikap:

 

  1. Mengecam, menolak, dan mendesak pemerintah dan investor untuk menghentikan tindakan perampasan wilayah adat dan segala tindak kekerasan kepada warga dan Masyarakat Adat di Pulau Rempang Batam;
  2. Mendesak Pemerintah khususnya BP Batam mencegah eskalasai konflik yang akan berdampak pada peningkatan korban lebih lanjut dengan tidak mengejar target relokasi 28 September 2023;
  3. Mendesak Pemerintah RI, BP Batam, PT MEG dan setiap Investor baik dalam maupun luar negeri untuk menghormati serta mengakui hak-hak dasar Masyarakat Adat Pulau Rempang Batam;
  4. Mendesak Pemerintah Joko Widodo untuk bertanggung jawab melakukan Langkah-langkah konkret guna memulihkan Masyarakat Adat di Pulau Rempang yang telah menjadi korban dari peristiwa ini;
  5. Mendesak Kepolisian untuk segera melepaskan seluruh warga yang ditangkap dan menghentikan penyidikan karena warga tersebut sedang melakukan tindakan konstitusional untuk membela hak-hak mereka yang dirampas oleh penguasa;
  6. Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang agar Masyarakat Adat tidak selalu menjadi korban dari kebijakan dan pembangunan, tetapi sebaliknya dihormati dan dilindungi sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan hak asasi manusia;
  7. Mendesak Pemerintah untuk membentuk tim independen yang bertugas untuk mencari fakta dan selanjutnya mengaudit kebijakan terkait penguasaan negara dan investasi yang berdampak pada perampasan wilayah adat Masyarakat Adat di Pulau Rempang.

 

Demikian pandangan dan sikap kami atas konflik yang terjadi di Pulau Rempang. Agar menjadi perhatian semua pihak, terutama Pemerintah Republik Indonesia, untuk tidak mengulangi aksi intimidasi dan kekerasan terhadap warga negaranya di seluruh wilayah Indonesia. Terima kasih.

 

Narahubung:

 

Erasmus Cahyadi, S.H – Deputi II Sekjen AMAN bidang Politik dan Hukum (0812-8428-0644)
Syamsul Alam Agus, S.H – Ketua Badan Pelaksana PPMAN (0811-8889-083)

 

***

AKIBAT PUTUSAN PN RUTENG, MIKAEL ANE MENJADI KORBAN PERADILAN SESAT -Potret Buram Atas Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia-

Siaran Pers

 

Ruteng (Selasa, 05/09/2023) – sehari setelah nota pembelaan dibacakan, Mikael Ane (57 Tahun), seorang tokoh Masyarakat Adat Gendang Ngkiong divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Ruteng.

 

Adapun vonis yang dijatuhkan adalah pidana penjara 1 tahun 6 bulan kurungan, ditambah denda 300 juta rupiah subsidair 6 bulan kurungan. Rumah milik Mikael Ane juga terancam dihancurkan. Di dalam nota pembelaan (pledooi), Penasehat Hukum memberikan argumentasi hukum beserta dukungan bukti bahwa pasal dakwaan terhadap Mikael Ane telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

Lebih jauh, Penasehat Hukum mengungkapkan sesuai amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2014 terkait Pasal 50 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 tentang Kehutanan bahwa terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan tidak dapat dikriminalisasi. Akibatnya, Mikael Ane menjadi korban peradilan sesat, sebuah peradilan yang tidak mencari kebenaran sejati (materiele waarheid).

 

Mikael Ane didakwa dalam dakwaan pertama dengan Pasal 36 angka 19 Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Jo Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima Miliar Rupiah).” Sedangkan dakwaan kedua menggunakan Pasal Pasal 40 ayat (2) Jo Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

 

“Kami akan banding, perjuangan mencari kebenaran materil tidak hanya di pengadilan negeri,” tegas Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) yang merupakan Penasehat Hukum dari Mikael Ane.

 

Lebih jauh, vonis pidana penjara terhadap Mikael Ane berpotensi menjadi ancaman serius terhadap eksistensi Masyarakat Adat Gendang Ngkiong dan lainnya di sekitar Taman Wisata Alam Ruteng. Apa sebab? Dari hasil overlay peta kawasan, terlihat irisan antara wilayah taman wisata dengan wilayah adat. Vonis tersebut juga dipandang sebagai bentuk pengingkaran amanat UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi, dan Persetujuan Indonesia di PBB atas Hak Masyarakat Adat.

 

“Kami menghormati putusan Hakim hari ini, namun kami mempunyai hak banding yang diatur oleh undang-undang untuk tidak setuju dengan cara pandang dan pertimbangan hakim berdasarkan alat bukti yang kami sampaikan. Lebih jauh, secara substansi dan kontekstual, putusan hari ini mengancam ruang hidup Masyarakat Adat sekitar taman wisata. Terdapat 60 Gendang di sana” paparnya lebih lanjut.

 

Pengacara PPMAN lainnya, Marselinus Suliman S.H, menjelaskan bahwa titik persoalan kasus ini adalah pandangan Hakim yang berpendapat bahwa pasal-pasal yang telah dicabut tersebut masih berlaku dan relevan akibat norma yang diatur oleh pasal aturan baru masih sama. Oleh karenanya, argumentasi penasehat hukum dikesampingkan.

 

“Siapa yang benar atau tidak terhadap asas legalitas tersebut harus di uji di tingkat yang lebih tinggi, yaitu pengadilan tinggi. Kami ingin menegaskan kembali perihal Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 5 Tahun 2014 yang mengatur bahwa demi hukum seseorang terdakwa lepas dari segala tuntutan apabila ia dikenakan pasal-pasal yang sudah tidak berlaku” jelasnya.

 

Pada sidang sebelumnya, Mikael Ane dituntut 3 tahun penjara ditambah denda Rp. 300 juta subsidair 6 bulan kurungan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Mikael Ane dengan pasal-pasal yang sudah tidak berlaku lagi. Alat bukti surat juga disampaikan untuk mendukung argumentasi Penasehat Hukum terdakwa.

 

“Pasal yang dituduhkan sudah dicabut oleh Pasal 112 UU Kerusakan Hutan yang kemudian juga telah dicabut oleh Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, atas dasar tersebut demi hukum sewajarnya Bapak Mikael Ane dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana menduduki kawasan hutan secara tidak sah,” tutupnya.

 

Sekedar untuk diketahui, Mikael Ane ditangkap, ditahan, dan diadili karena dianggap menduduki wilayah Taman Wisata Alam Ruteng. Di sisi lainnya, Mikael Ane dan leluhurnya telah ada dan berdiam di wilayah hutan tersebut sebelum Taman Wisata Alam Ruteng ada dan melakukan aktivitas. Atas situasi inilah upaya banding dilakukan oleh Penasehat Hukum Mikael Ane.

 

Informasi tambahan lainnya adalah upaya Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri di mana putusan tersebut dijatuhkan.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi Tim Penasehat Hukum PPMAN:

 

1. Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812.1339.904
2. Marselinus Suliman, S.H – 0823.3630.0460
3. Maximilianus Herson Loi, S.H – 0812.3831.7885

JPU GUNAKAN PASAL YANG TIDAK BERLAKU, PLEDOI PPMAN: DEMI HUKUM, TUNTUTAN HARUS DINYATAKAN TIDAK DAPAT DITERIMA

Siaran Pers

 

Ruteng (Senin, 04/09/2023) – Tim Penasehat Hukum tokoh adat Ngkiong, Mikael Ane, sesuai agenda sidang membacakan nota pembelaan (pledoi) terhadap kliennya. Nota pembelaan sebanyak 59 halaman tersebut mengupas fakta-fakta hukum, baik kesaksian di muka persidangan maupun bukti surat yang menunjukkan bahwa kliennya tidak bersalah mengolah lahan di lahan adatnya sendiri.

 

Di dalam persidangan hari ini, Mikael Ane di damping 2 orang penasehat hukumnya, yaitu Maximilianus Herson Loi, S.H dan Marselinus Suliman, S.H. Keduanya merupakan advokat Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Maximilianus Herson Loi membuka pembelaan yang diberi judul “Hentikan Kriminalisasi Terhadap Masyarakat Adat Gendang Ngkiong” dengan penekanan bahwa kliennya adalah korban penegakan hukum yang tidak adil (unfair) yang sarat pelanggaran terhadap hak asasi manusia sebagaimana tercantum di dalam Konstitusi dan Deklarasi HAM PBB, termasuk pengakuan dunia terhadap hak-hak Masyarakat Adat sebagaimana diatur di dalam United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat) di mana Indonesia ikut mendukung dan menandatangani deklarasi tersebut.

 

Belum lagi adanya pengakuan oleh Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Manggarai Timur. Artinya, Mikael Ane adalah anggota Masyarakat Adat yang wajib dihormati hak-hak dasarnya termasuk wilayah adatnya.

 

“Bahwa kita mengetahui, Gendang Ngkiong telah ada sejak ratusan tahun lalu dengan struktur dan kelembagaan, ritus dan hukum adat yang hidup sampai saat ini. Oleh sebab itu, patut dipertanyakan alasan pihak Taman Wisata Alam Ruteng melaporkan Bapak Mikael Ane karena mengolah lahannya sendiri. Ini jelas kriminalisasi, oleh karenanya demi hukum tuntutan harus dinyatakan tidak dapat diterima,” ucap Herson.

 

Pada sidang sebelumnya, Mikael Ane dituntut 3 tahun penjara ditambah denda Rp. 300 juta subsidair 6 bulan kurungan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Mikael Ane dengan pasal-pasal yang sudah tidak berlaku lagi. Alat bukti surat juga disampaikan untuk mendukung argumentasi Penasehat Hukum terdakwa.

 

“Pasal yang dituduhkan sudah dicabut oleh Pasal 112 UU Kerusakan Hutan yang kemudian juga telah dicabut oleh Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, atas dasar tersebut demi hukum sewajarnya Bapak Mikael Ane dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana menduduki kawasan hutan secara tidak sah,” jelas Hesron.

 

Penasehat Hukum terdakwa lainnya, Marselinus Suliman, S.H, menyampaikan antara fakta persidangan dan alat bukti yang diajukan mendukung pernyataan bahwa Mikael Ane tidak melakukan tindak pidana sebagaimana dituduhkan. Disajikan bukti peta overlay wilayah adat Gendang Ngkiong dan Taman Wisata ALam Ruteng di mana saling beririsan atau dengan kata lain terjadi tumpang tindih kawasan.

 

“Tidak ada bukti yang cukup kuat menjelaskan proses pelepasan hak atas wilayah hutan adat Ngkiong sebagaimana di klaim oleh pihak Taman Wisata Alam Ruteng. Lok Pahar adalah wilayah Adat, bukan Taman Wisata. Sesuatu alas hak haruslah diperoleh dengan itikad baik, bukan sebaliknya, menunjukkan peta kawasan tanpa ada sejarah yang kuat asal-usul dan cara perolehannya,” terang Marselinus.

 

Marselinus juga merujuk bukti putusan Mahkamah Konstitusi serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 5 Tahun 2014 untuk menjelaskan mengapa kliennya harus dibebaskan demi hukum.

 

“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2014 menjelaskan jika masyarakat yang hidup turun-temurun di dalam hutan tidak dapat di proses secara hukum. Kemudian SEMA Nomor 5 Tahun 2014 mengatur dengan jelas apabila seseorang terdakwa dituntut dengan pasal yang sudah tidak berlaku lagi maka harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum,” tegas Marselinus.

 

Sementara itu, Ketua Badan Pengurus PPMAN Syamsul Alam Agus, menyampaikan kepatuhan terhadap asas legalitas. Asas legalitas adalah suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini juga melindungi dari penyalahgunaan wewenang hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan dilarang. Asas ini juga mengatur bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang. Oleh karenanya, penting untuk disampaikan agar persidangan yang dipimpin oleh Majelis Hakim yang mulia tidak menjadi sebuah “peradilan sesat” karena menghukum seseorang tanpa sebuah dasar hukum yang jelas.

 

“Dalam hukum pidana, dikenal asas legalitas. Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu. Asas ini di masa kini lebih sering diselaraskan dengan asas non retroaktif, atau asas bahwa peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut. Kami berharap Majelis Hakim tidak memaksakan sebuah keputusan yang bertentangan dengan hukum dan keadilan, agar tidak menjadi peradilan sesat,” ujarnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi Tim Penasehat Hukum PPMAN:

 

1. Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812.1339.904
2. Marselinus Suliman, S.H – 0823.3630.0460
3. Maximilianus Herson Loi, S.H – 0812.3831.7885

PPMAN: TUNTUTAN 3 TAHUN PENJARA KEPADA MIKAEL ANE MERUPAKAN BURUK RUPA PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA TERHADAP MASYARAKAT ADAT

Siaran Pers

 

Ruteng (31/08/2023) – Mikael Ane, seorang tokoh Masyarakat Adat Ngkiong, Manggarai, NTT terancam 3 tahun penjara ditambah denda Rp. 300 juta subsidair 6 bulan penjara. Ancaman tersebut dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) hari ini.

 

Mikael Ane dituduh melanggar Pasal 36 angka 19 dan Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Singkatnya, ia didakwa atas tindakan penyerobotan lahan Taman Wisata Alam Ruteng.

 

Pasca pembacaan tuntutan, Penasehat Hukum terdakwa dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Marsel Suliman S.H, mengungkapkan keprihatinan atas situasi hukum yang berlaku tanpa melihat kondisi substansi Masyarakat Adat.

 

“Tuntutan tersebut menguatkan asumsi kami bahwa Masyarakat Adat sangat rentan terusir dari wilayahnya sendiri. Klien kami mengolah tanah adatnya, yang di klaim sepihak sebagai tanah Taman Wisata Alam Ruteng. Apa artinya? Hal ini berarti tidak ada pengakuan (rekognisi) dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat,” ungkapnya.

 

Advokat tersebut melanjutkan penjelasannya atas sikap kliennya dalam memandang putusan atas dirinya. Kliennya tetap akan memperjuangkan hak dasar sebagai Masyarakat Adat sebagaimana ditegaskan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B.

 

“Bapak Mikael Ane tetap konsisten dan tetap berjuang atas pengakuan wilayah adatnya sebagaimana diakui di dalam konstitusi,” terangnya

 

Persoalan yang dihadapi oleh Mikael Ane bukanlah hal baru di republik ini. PPMAN mengungkapkan bahwa selama Januari sampai Juni 2023, telah terjadi konflik yang terkait wilayah kelola adat dan sumber daya alam. Umumnya bermuara pada upaya kriminalisasi Masyarakat Adat.

 

“Kasus Bapak Mikael Ane menambah daftar panjang ancaman kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat,” terang Syamsul Alam Agus, S.H, Ketua Badan Pengurus PPMAN.

 

Pria yang kerap disapa dengan nama Alam tersebut juga menambahkan akan situasi ke depan yang mungkin terjadi terhadap Masyarakat Adat di seluruh Indonesia dengan berkaca pada tuntutan terhadap Mikael Ane.

 

“Pengakuan dan perlindungan dari negara sering terlambat dibandingkan dengan keluarnya ijin-ijin penguasaan lahan baik oleh korporat maupun negara itu sendiri melalui badan usaha miliknya. Kami kuatir, status Masyarakat Adat hanyalah sebatas tulisan di atas kertas, tidak nyata di lapangan,” tambahnya.

 

Sebagai informasi tambahan, Mikael Ane juga dituntut dirampas bangunan rumahnya untuk dihancurkan. Ia dikenakan tuntutan tidak hanya fisik namun juga mental karena terancam kehilangan semua yang ia miliki dan usahakan sepanjang hidupnya. Atas dasar itulah, Marsel Suliman bersama tim Penasehat Hukum lainnya akan mengajukan nota pembelaan (pledoi) menjelaskan posisi kasus yang menimpa klien mereka. Tanggal 4 September 2023 diagendakan pembacaan pledoi yang dimaksud.

 

“Persoalan batas wilayah dan proses penetapannya harus dilihat tidak hanya apa yang tertulis, tetapi bagaimana cara negara memperlakukan Masyarakat Adat sebagai entitas komunitas yang lebih dulu ada daripada negara itu sendiri. Mikael Ane layak dibebaskan dari tuntutan karena apa yang dikerjakan adalah wilayah adat mereka. Di dalam pembelaan nanti akan kami jelaskan”, terangnya.

 

Marsel Suliman juga menyoroti pengenaan pasal tuntutan yang dikenakan terhadap kliennya. Ia mengungkapkan jika pasal yang dikenakan adalah pasal yang sudah tidak berlaku lagi. Pasal yang dituduhkan sudah dicabut oleh Pasal 112 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Kerusakan Hutan sebagaimana diubah terakhir kalinya dengan Pasal 37 UU Cipta Kerja. Semakin kuat dugaan kriminalisasi dilakukan agar Masyarakat Adat kehilangan ruang hidup dan kelola atas tanah adat mereka.

 

“Pasal 78 ayat (2) itu sudah tidak berlaku lagi. Sudah di cabut oleh Pasal 112 UU Kerusakan Hutan. Kuat dugaan bahwa kasus ini dipaksakan sebagai upaya pelemahan Masyarakat Adat mengelola wilayah adatnya. Pertanyaan paling segera untuk dijawab adalah, mana yang terpenting, manusia untuk hutan atau hutan untuk manusia?” terangnya.

 

Di persidangan sebelumnya dengan agenda pemeriksaan keterangan Ahli, terungkap bahwa undang- Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak ditetapkan dan disahkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja tanggal 30 Desember Tahun 2022.

 

Dalam Pasal 185 Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, berbunyi; “Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O2O Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.

 

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

 

Marsel Suliman, S.H – 082336300460

Ermelina Singereta, S.H, M.H – 08121339904

TUNTUTAN JPU TERHADAP DUA ORANG O’HONGANA MANYAWA BUKTI KETIDAKADILAN NEGARA TERHADAP MASYARAKAT ADAT

PRESS RELEASE

 

Halmahera Timur  – Tim kuasa hukum terdakwa Samuel Gebe (36) dan Alen Baikole (31) menyatakan keberatan atas tuntutan 18 tahun penjara terhadap kliennya. Mereka menilai bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) keliru menerapkan tuntutan berdasarkan fakta persidangan (30/8/2023).

 

Di dalam persidangan, tidak ada keterangan saksi yang melihat langsung, mendengarkan dan mengetahui bahwa kliennya merencanakan atau merancang pembunuhan, selain itu tidak ada satu saksi pun yang melihat langsung kliennya yang melakukan pembunuhan, saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan oleh Jaksa penuntut Umum merupakan saksi yang mengetahui peristiwa tersebut berdasarkan informasi dari pihak lainnya yang masih harus divalidasi kebenarannya. Oleh sebabnya, kesaksian tersebut tidak bernilai sebagai alat bukti yang sah.

 

“Saksi-saksi yang dihadirkan JPU hanyalah saksi testimonium de Auditu, saksi yang mendengarkan dari pihak lainnya. Maka nilai pembuktiannya diragukan kebenarannya,” ini pun sudah disampaikan oleh Ahli yang kami ajukan pada agenda keterangan Ahli pada persidangan yang lalu, ungkap Hendra Kasim, S.H, M.H, salah seorang Kuasa Hukum terdakwa.

 

Hendra Kasim juga menyoroti penerapan pasal tuntutan pembunuhan berencana merupakan sebuah pasal paksaan terhadap kliennya. Stigmatisasi lebih kental dibandingkan dengan alat bukti yang disajikan di muka persidangan. Di dalam tuntutan JPU, disebutkan melalui keterangan saksi bahwa ada serangan dari “orang utan” yang memiliki ciri-ciri celana merah dan rambut panjang atau gondrong.

 

“Fakta persidangan, menurut pandangan kami, sangat jelas dipengaruhi asumsi stigmatisasi. Identifikasi liar atas ciri-ciri fisik disematkan kepada ciri-ciri suku tertentu. Di pihak lain, dalam fakta yang terungkap di persidangan tidak ada satu pun saksi yang memberikan keterangan secara nyata dengan ciri-ciri yang disebutkan atau dituduhkan oleh JPU,” lanjutnya.

 

Menyikapi tuntutan JPU yang telah dibacakan, tim kuasa hukum akan segera membuat nota pembelaan terhadap kliennya. Diharapkan, melalui pembelaan tersebut dapat menerangkan secara jelas posisi kasus yang dihadapi kliennya.

 

“Fakta bahwa telah terjadi pembunuhan adalah benar, namun siapa yang membunuh ini yang paling penting untuk kita temukan bersama-sama. Sebab keadilan tidak memandang bentuk fisik apalagi latar belakang etnis. Kami akan siapkan pledoi dengan sebaik-baiknya,” terangnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi kuasa hukum terdakwa:

 

Hendra Kasim, S.H, M.H – 0823 4499 9986
Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812 1339 904