Perjuangan masyarakat adat terus disuarakan. Bahkan, 46 guru besar dan dosen yang bergabung dengan Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia juga menyatakan diri sebagai sahabat pengadilan (Amicus Curiae) untuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) selaku penggugat dalam perkara di PTUN Jakarta.
Seperti yang dikutip dalam antara, Hal ini diperkuat ketika Ketua Bidang Advokasi APHA Indonesia Yamin, S.S., S.H., M.Hum., M.H. menyerahkan amicus curiae ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Kamis, Ketua Umum APHA Indonesia Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum menjelaskan bahwa guru besar dan dosen mendukung AMAN menggugat Presiden RI dan DPR RI.
“Amicus curiae dalam register Perkara Nomor 542/G/TF/2023/PTUN.JKT,” kata Prof. Laksanto yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) ketika dikonfirmasi dari Semarang.
Pada kesempatan itu, Prof. Laksanto menyampaikan petitum penggugat yang memohon kepada majelis hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo menjatuhkan putusan dengan amar mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya.
Selain itu, menyatakan batal atau tidak sah tindakan administrasi pemerintahan Tergugat I dan Tergugat II yang tidak menindaklanjuti Surat Nomor 019/PPMAN/VII/2023 tertanggal 24 Juli 2023 perihal Permohonan Pembentukan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat.
Dalam petitum itu, penggugat memohon kepada majelis hakim mewajibkan Tergugat I dan Tergugat II untuk melakukan tindakan administrasi pemerintahan berupa menindaklanjuti Surat Nomor 019/PPMAN/VII/2023, kemudian menghukum Tergugat I dan Tergugat II membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini.
Sejumlah guru besar selain Prof. Laksanto yang menyatakan diri sebagai sahabat sahabat pengadilan untuk AMAN, antara lain: Prof. Dr. Dominikus Rato, S.H., M.Si.; Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum.; Prof. Dr. Sri Warjiyati,S.H., M.H.; Prof. Dr. Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.,C.M.C.; Prof. Dr. M. Syamsuddin, S.H., M. Hum.; Prof. Asmah; Prof. Dr. Yayan Sopyan, S.H., M.A., M.H.; dan Prof. Dr. Roberth K.R. Hammar.
Selain itu, Dr. Rina Yulianti, S.H., M.H. (Sekjen APHA Indonesia); Yamin, S.S., S.H., M.Hum., M.H.; Emanuel Raja Damaitu, S.H., M.H.; Dr. Ruliah, S.H., M.H.; Nur Aida, S.H, M.H., M.Si.; Dr. Marthen B. Salinding, S.H., M.H.; Dr. George Frans wanma; dan Dr. Ummu Salamah, S.H. M.A.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) beserta delapan orang anggota komunitas Masyarakat Adat yakni komunitas Masyarakat Adat Ngkiong di Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur; Masyarakat Adat Osing di Banyuwangi, Masyarakat Adat O’Hangana Manyawa (Tobelo Dalam) di Maluku Utara, sebagai Penggugat dalam Perkara No. 542/G/TF/2023/PTUN-JKT. Menyerahkan Kesimpulan di PTUN Jakartapada Kamis, 25 April 2024.
“Setelah proses pembuktian di persidangan selesai, maka penyerahan Kesimpulan adalah agenda terakhir sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan. Kami dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) sebagai kuasa hukum Para Penggugat telah mengajukan bukti-bukti di persidangan untuk menguatkan dalil-dalil gugatan, di antaranya 45 bukti surat, 6 orang saksi fakta, dan 3 orang ahli,” kata Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Badan Pelaksana PPMAN.
Alam menjelaskan, bahwa bukti-bukti surat dan saksi-saksi fakta yang diajukan di persidangan mengkonfirmasi akibat ketiadaan UU Tentang Masyarakat Hukum Adat, Para Penggugat mengalami kerugian faktual dan potensial, di antaranya: kriminalisasi, penggusuran dan perampasan wilayah adat, kehilangan identitas, dan keterancaman punah. Sementara itu, 3 orang ahli memiliki pendapat yang sama dan sejalan dengan Putusan No. 35/PUU-X/2012 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tanggal 6 Mei 2013 (“Putusan MK 35/2012”), bahwa Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat adalah perintah konstitusi melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945.
Ia juga menuturkan bahwa beberapa Peraturan Daerah (Perda) Tentang Masyarakat Adat tidak menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi Masyarakat Adat.
“Pertama, Perda Tentang Masyarakat Adat bukan perintah konstitusi. Yang diperintahkan konstitusi adalah pembentukan undang-undang tersendiri tentang pengakuan dan penghormatan Masyarakat Adat. Kedua, perda-perda tersebut tidak mampu menjamin kepastian hukum bagi Masyarakat Adat sesuai Putusan MK 35/2012 sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman. Ketiga, perda tentang Masyarakat Adat tidak memberikan kepastian hukum. Hal ini terbukti dimana masih maraknya penggusuran wilayah adat kriminalisasi Masyarakat, seperti yang dialami Mikael Ane sebagai Penggugat II dalam perkara ini, padahal di daerahnya telah ada Perda Tentang Masyarakat Adat, ” jelas Alam.
Menurut Alam, berdasarkan fakta sebagaimana pula terungkap di persidangan, pembentukan UU Tentang Masyarakat Adat adalah kebutuhan mendesak yang tidak dapat ditunda-tunda lagi seperti yang selama ini terjadi.
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, menuturkan bahwa gugatan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Tergugat I) dan Presiden Republik Indonesia (Tergugat II), diajukan karena berbagai upaya advokasi yang telah ditempuh selama ini tersumbat, sementara kerugian yang dialami Masyarakat Adat terus berlangsung.
“Organisasi AMAN sejak berdiri pada tahun 1999 melalui Kongres Masyarakat Adat Nusantara I, telah melakukan berbagai upaya advokasi untuk mendorong pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat melalui berbagai regulasi nasional, termasuk mendorong pembentukan Undang-Undang Masyarakat Adat. Namun, karena tidak kunjung ada itikad baik negara, maka pengadilan menjadi ruang untuk mendidik DPR dan Presiden tentang kewajiban-kewajiban hukum mereka dalam penyelenggara negara,” tegas Rukka.
Sementara itu, Fatiatulo Lazira, S.H., selaku Koordinator Tim Hukum menyatakan bahwa yang menjadi objek gugatan dalam perkara ini adalah tindakan administratif pemerintahan, dalam hal ini DPR dan Presiden yang bersikap abai atau diam terhadap permohonan Para Penggugat untuk membentuk Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat.
“RUU Tentang Masyarakat Adat telah beberapa kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) maupun Proglegnas Prioritas sejak tahun 2004 sampai dengan saat ini, namun tidak kunjung dibentuk. Karena penundaan berlarut tersebut, maka Para Penggugat mengajukan Surat Permohonan No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023, perihal: Permohonan Pembentukan UU Tentang Masyarakat Hukum Adat, kepada DPR dan Presiden sebagai penyelenggara yang secara atributf berwenang membentuk undang-undang, namun surat tersebut diabaikan. Sikap abai atau diam (by ommission) atas permohonan Para Penggugat itu merupakan tindakan administratif pemerintahan yang melanggar hukum dan dapat digugat di PTUN,” jelasnya.
Fati menegaskan bahwa Sikap abai atau diam penyelenggara negara bertentangan dengan fungsi pelayanan (service) sebagai salah satu fungsi administrasi pemerintahan.
“Kami berharap, majelis hakim menjalankan fungsinya sebagai ruang bagi para pencari keadilan demi tegaknya hukum dan keadilan sekaligus sarana kontrol atas penyelenggaraan fungsi penyelenggara negara. Pengadilan harus menjadi ruang untuk menyelesaikan aspirasi warga masyarakat yang tersumbat akibat fungsi penyelenggara negara tidak berjalan efektif dan menimbukan kerugian. Oleh karenanya, kami memilih judul Kesimpulan ‘Masyarakat Adat Menggugat Kewajiban Konstitusional Negara Melalui Jalan Pengadilan,” tutur Fati.
Masyarakat Adat Poco Leok di Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, terus berupaya menambah pengetahuan advokasi, untuk mempertahankan hak ulayat di daerahnya, yang kini berhadapan dengan pembangunan Geothermal.
Sebab itu, masyarakat adat di sana, yang terdiri 10 gendang (Suku Besar, terdiri dari: Gendang Tere, Gendang Lungar, Gendang Rebak, Gendang Cako, Gendang Jong, Gendang Nderu, Gendang Mori, Gendang Mocok, Gendang Mucu, dan Gendang Racang.) turut mengikuti pelatihan Advomasi kader masyarakat adat, yang dilaksanakan pada 20 hingga 22 April 2024 di Manggarai.
Pelatihan tersebut diperkuat oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Koalisi Advokasi Pocoleok yang beranggotakan JATAM, Eknas WALHI, TUK Indonesia, RMI, Solidaritas Perempuan, BRWA, Yayasan PUSAKA, SAINS, AKSI untuk Keadilan Gender, Sosial, dan Ecolocgical Justice, Trend Asia, YLBHI, Perempuan AMAN, JPIC OFM, JPIC SVD, Rumah AKSARA, WALHI NTT, Solidaritas Perempuan Flobamoratas, SUN SPIRIT, dan LBH Labuan Bajo.
Peserta yang hadir dalam pelatihan ini, merupakan utusan dari 10 gendang, dari kalangan orang muda, perempuan maupun laki-laki. Pelatihan ini dilakukan agar Masyarakat Adat dapat masalah terkait dengan Pembangunan proyek Geotermal tersebut. Mengindentifikasi aktor-aktor siapa saja yang terlibat dalam Pembangunan proyek geothermal, juga membuat langkah strategis bersama untuk mempersiapkan advokasi penolakan proyek pembangunan geothermal.
Dalam pelatihan ini, ada informasi dari Masyarakat Adat Poco Leok mengatakan bahwa, telah puluhan kali Masyarakat Adat Pocoleok melakukan aksi penolakan atas pembangunan Geotermal ini, namun pemerintah tetap melakukan pembangunan proyek tersebut.
Pelatihan difasilitasi oleh Anton Yohanis Balla. Menghadirkan dua narasumber yaitu Erasmus Cahyadi (Deputi 2, Bidang Politik dan Hukum) AMAN dan Syamsul Alam Agus (Pengacara Publik yang saat ini menjabat sebagai Ketua Badan Pelaksana PPMAN).
Kedua Narasumber memberikan materi mulai dari advokasi, prinsip-prinsip FPIC, aturan Internasional, Konstitusi dan Hukum Nasional, Investigasi dan Pendokumentasian, juga beberapa materi lainnya yang berhubungan, memiliki keterkaitan dengan kasus yang terjadi di Masyarakat Adat Poco Leok.
Masyarakat Adat di seluruh daerah di Indonesia perlu membekali diri, menambah pengetahuan advokasi, terkait masalah mempertahankan hak ulayat wilayah adat di daerah masing-masing.
Sebab itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) terus berupaya mengadakan pelatihan advokasi untuk kader pejuang masyarakat adat.
Kali ini, AMAN dan PPMAN mengadakan pelatihan advokasi di Dusun Utanwair, Desa Nangahale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, pada Selesa, 16 April 2024.
Kegiatan ini akan berlangsung selama tiga hari. Ketua Badan Pelaksana PPMAN Syamsul Alam Agus, dalam sambutannya mengtakan, PPMAN adalah Lembaga Bantuan Hukum bagi Masyarakat Adat. Selain membela Masyarakat Adat, PPMAN juga terus mengadakan pelatihan advokasi seperti ini.
“Semoga, pelatihan advokasi ini dapat memberikan pemahaman advokasi dan hukum bagi Masyarakat Adat. Sehingga dalam menghadapi suatu persoalan misalnya seperti perampasan hak atas tanah oleh pihak manapun, masyarakat adat sudah mengerti cara untuk mengatasi dan memperjuangkan hak-hak ulayat,” harap Alam.
“Kami dari PPMAN hadir untuk berjuang bersama masyarakat adat dalam memperjuangkan tanah ulayat masyarakat adat, bukan berjuang untuk tanah yang sudah dijual,” tegas Alam.
Kegiatan pelatihan advokasi itu dibuka oleh Deputi II Bidang Politik dan Advokasi Pengurus Besar AMAN, yakni Eras Mus Cahyadi.
“Pelatihan advokasi ini untuk memperkuat kapasitas pengetahuan tentang advokasi bagi masyarakat adat, untuk bisa menemukan jalan keluar ketika ada konflik yang dihadapi,” ujar Eras.
Eras berharap, kedepannya, sesama masyarakat adat tidak boleh terprovokasi dengan pihak luar dan juga tidak saling mengkhianati.
Sementara itu, Ketua Harian AMAN Daerah Flores Bagian Timur, Antonius Toni dalam sambutannya menyampaikan terima kasih kepada PB AMAN dan PPMAN yang sudah hadir untuk memberikan pelatihan advokasi kepada komunitas masyarakat adat di daerahnya.
“Semoga dengan kegiatan ini masyarakat adat yang hadir dalam kesempatan ini bisa mengikuti dengan baik sampai selesai sehingga pada proses menghadapi persoalan hak, masyarakat adat sudah paham dan siap berjuang sesuai prosedur hukum,” harapnya.
“Anggota Dewan Nasional AMAN Region Bali Nusa Tenggara, Jhon Bala, dalam media ini, mengharapkan selesai kegiatan ini masyarakat adat bisa terkonsolidasi dengan baik, bisa meningkatkan kapasitas pengetahuan tentang advokasi, dan menemukan jalan keluar dari konflik yang dihadapi,” tambahnya.
Selain itu, Kepala Desa Nangahale Sahanudin, yang hadir dalam keiatan tesebut juga menyampaikan terima kasih kepada AMAN dan PPMAN yang sudah memfasilitasi kegiatan pelatihan advokasi.
“Di Kabupaten Sikka ini banyak masyarakat yang belum terlalu paham akan hukum, sehingga dengan adanya kegiatan ini bisa memberikan pendidikan advokasi dan hukum bagi masyarakat,” ungkap Sahanudin.
Masyarakat adat Tana Pu’an Gobandi Flores nyatakan tetap mempertahankan hak atas tanah eks HGU Patiahu-Nangahale. Hal itu ditunjukkan saat pembacaan penyataan sikap di tengah areal, di Wairhek, Desa Likong Gete, Kecamatan Talibura, Rabu 03April 2024.
Tana Pu’an Goban, Leonardus mengatakan, mereka tetap konsisten pada komitmen awal secara kelembagaan untuk bersama-sama John Bala dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk mempertahankan hak-hak masyrakat adat.
Leo saat itu juga didampingi oleh sejumlah anggota komunitas adat dan pengurus harian AMAN Wilayah Flores Bagian Timur. Mereka berkumpul di tengah lahan eks perkebunan kelapa yang sekarang telah mereka kelola menjadi sawah.
Menurut Leo, ada indikasi kuat pemerintah dan PT Krisrama pada mekanisme penyelesaian konflik yang mereka tawarkan sendiri kepada masyarakat adat. “Ada indikasi SK HGU PT. Krisrama cacat administrasi berdasarkan PP 18 Tahun 2021 dan PERMEN ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2021,” tegasnya.
Kata Leo, pemerintah daerah dan para pihak yang terkait membiarkan dan patut diduga mengadu-domba untuk melemahkan perjuangan mereka dengan memunculkan sekelompok kecil anggota masyarakat adat yang mengkianati perjuangan dan mengatasnamakan diri sebagai suku Goban dan Suku Watu.
“Mereka membuat pernyataan penolakan terhadap bapak John Bala, AMANDA NTT dan tidak mengakui Tana Pu’an serta menyerahkan sebagian wilayah adat saya tanpa sepengetahuan saya sebagai Tana Pu’an (Fungsionaris Adat dengan struktur hirarkis paling tinggi). Berdasarkan tradisi dan adat yang berlaku di Tana Pu’an Goban pada umumnya apabila memutuskan sesuatu berkaitan dengan tanah adat atau upacara adat lainnya, maka kami sebagai Tanah Pu’an wajib diberitahu dan harus mendapat persetujuan dari kami,” jelasnya.
Selain itu, Leo mengatakan, ada upaya pihak tertentu yang secara sistematis hendak mengadu domba masyarakat adat dan pihak-pihak yang selama puluhan tahun berjuang bersama masyarakat adat. Pernyataan ini, berkaitan dengan pernyataan sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat adat menyatakan penolakan terhadap John Bala dan AMAN.
Ketua Pengurus Harian AMAN Wilayah Flores Bagian Timur, Antonius Toni menyatakan akan tetap mendukung perjuangan komunitas adat Tana Pu’an Soge dan komunitas adat Tana Pu’an Goban. “Kami menjalankan mandat organisasi untuk memperjuangkan hak-hak anggota kami termasuk kedua komunitas,” tegas Antonius Toni.
Perjuangan kedua komunitas adat tersebut untuk menuntut hak atas tanah eks HGU Patiahu Nangahale sudah berlangsung sejak akhir dekade 90 an. AMAN terbentuk pada tahun 1999. Kedua komunitas adat di atas adalah anggota AMAN
Jalan panjang perjuangan masyarakat adat terus berlanjut. Advokasi pengakuan masyarakat adat sudah berlangsung sejak tahun 1999 melalui Kongres Masyarakat Adat Nusantara I hingga advokasi RUU Masyarakat Adat masuk Prolegnas sejak 2004 hingga sekarang. Hingga pada 2023 mereka bersurat ke Presiden dan DPR pun tak kunjung mendapatkan respons positif.
Sementara, kasus kriminalisasi terus terjadi di wilayah masyarakat adat. Seperti yang terjadi pada Sorbatua Siallagan, Masyarakat Adat Tano Batak, saat ini, yang ditangkap sejumlah orang berpakaian preman, saat membeli pupuk bersama insterinya.
Sebelumnya, tahun 2024 ini, para saksi fakta, juga dihadirkan di PTUN Jakarta, memenuhi gugatan nomor 542/G/TF/2023/PTUN.JKT yang diajukan oleh sembilan penggugat; Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan tujuh penggugat dari individu masyarakat adat yang saat ini mendekam di dalam penjara karena dikriminalisasi saat mempertahankan wilayah adat. Begitu juga saksi ahli bahkan dihadirkan.
Kali ini,tepatnya pada 28 Marat 2024 di PTUN Jakarta, Persidangan Gugatan Masyarakat Adat Terhadap Penguasa DPR RI dan Presiden RI dilakukan terkait dengan pemeriksaan Saksi atau Ahli Dari Pihak Tergugat I dan II, juga Pengajuan Bukti Surat dari Para Pihak.
Dalam proses persidangan itu, PPMAN mencatat peristiwa sebagai berikut:
Pihak Tergugat (DPR RI dan Presiden RI) tidak mengajukan Saksi ataupun Ahli baik hari ini maupun pada kesempatan kedua sehingga Hakim memberikan kesempatan pemeriksaan bukti surat yang diajukan oleh Para Pihak.
Pihak Tergugat belum meng-upload bukti surat di e-court, sehingga Hakim menerima bukti surat Tergugat dengan catatan bahwa Tergugat harus meng-upload bukti surat tersebut hari ini
Hakim mempersilahkan para pihak untuk membuat kesimpulan yang dokumen kesimpulan diberikan pada sidang berikutnya;
Sidang berikutnya dengan agenda “Kesimpulan” akan berlangsung pada tanggal 25 April 2024, Hari Kamis. Persidangan berlangsung secara online (e-court).
Sudah jatuh tertimpa tangga. Pepatah ini mungkin sedikit menggambarkan kondisi Masyarakat Adat Rebu Payung di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ini. Sudahlah ruang hidup mereka tergerus HGU perkebunan Sisal malah terjerat hukum atas laporan perusahaan yang menuding mereka melakukan penyerobotan lahan.
Pada 22 Maret 2024, Pengadilan Negeri Sumbawa Besar, NTB memvonis tujuh warga adat Rebu Payung. Mereka adalah, Gani, Samad, Syarafuddin, Ances, Rosdin, Amaq Mar, dan Sapo. Tujuh orang ini divonis tiga bulan penjara tanpa harus menjalani kurungan sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri Sumbawa Besar Nomor 3/Pid.C/2024/PN Sbw. Mereka terjerat hukum gara-gara laporan perusahaan perkebunan sisal, PT. Sumbawa Bangkit Sejahtera (SBS) atas tuduhan penyerobotan lahan.
Sidang Perkara ini dipimpin oleh Hakim Fransiskus Xaverius Lae dan Panitera pengganti Yoshua Ishak Maspaitella.
Febriyan Anindita, kuasa hukum warga adat mengatakan, ini bukan kasus pertama warga adat dijerat hukum atas tanahnya sendiri. Hal ini menegaskan bahwa konflik agraria di Sumbawa butuh perhatian khusus dari Pemerintah. Ia sangat menyayangkan nasib para petani yang sedang berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya harus berjuang juga untuk selamat dari jeratan hukum. Lantas dimana keberpihakan negara terhadap masyarakatnya, kalau ruang-ruang hidup mereka terus dirampas.
Advokat yang tergabung dalam Perhimpunan pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Region Bali Nusa Tenggara ini, juga mengatakan dengan tegas bahwa tidak menginginkan lagi adanya kasus yang sama terjadi di Kabupaten Sumbawa. Perkara ini terjadi karena adanya konflik agraria struktural. Bukan persoalan penyerobotan, atau penggarapan lahan tanpa izin pemilik. Tanah yang dikantongi HGU-nya oleh perusahaan itu tanah ulayat, tanah yang sudah digarap jauh sebelum perusahaan masuk ke wilayah tersebut.
Konflik seperti ini seharusnya bisa diselesaikan oleh pemerintah Kabupaten dengan melakukan mediasi tanpa harus mengorbankan masyarakat yang sudah lama tinggal di sekitar wilayah itu. Namun, Pemerintah seolah-olah tutup mata, membiarkan masalah ini bergulir begitu saja. Padahal pemerintah memiliki instrumen lengkap untuk memberikan ruang keadilan bagi masayarakat setempat. Kalau bukan kepada pemerintah kemana lagi masyarakat kecil harus berlindung. Saya berharap agar pemerintah lebih mengedepankan kepetingan masyarakat ketimbang kepetingan perusahaan atau investor, Ujar Pengacara yang sekaligus Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Sumbawa.
Hutan tidak sekadar sumber makanan, di sana, tempat bersemayam leluhur—menjaga hutan berarti menjaga asal dan untuk kelangsungan hidup Komunitas Adat O’Hongana Manyawa (Tobelo Dalam) subetnis Tobelo. Orang luar menyibut Suku Togutil, pada tiap masyarakat adat yang hidup di belatara Halmahera bagian utara, tengah, hingga timur.
Kata “Tugutil” sebenarnya adalah sebutan yang dikemukakan oleh peneliti asal Belanda, J. Platenkamp, untuk Suku Tobelo yang hidup di belantara Halmahera. Platenkamp sendiri memang dikenal sebagai salah satu orang asing yang tertarik meneliti komunitas Tugutil.
“Platenkamp pernah tinggal lama di kompleks Dufa-Dufa, Tobelo, Halmahera Utara. Ia lama menelusuri di Kampung Kusuri hingga Iga Labi-Labi,” ungkap Sosiolog Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Syaiful Madjid, ketika ditemui di rumahnya di Jati, Ternate, Maluku Utara, Jumat (5/4).
Peneliti Suku Tobelo ini bilang, kata Tugutil sebenarnya ada dalam Bahasa Tobelo, yakni O’Tau Gutili atau rumah obat.
Syaiful, dalam penelitiannya, juga mengidentifikasi Suku Tobelo dengan menyebutkan Tobelo Dalam dan Tobelo Luar. Tobelo Dalam, dalam penyebutan orang Tobelo sendiri, yakni O’Hongana Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di dalam hutan), sedangkan Tobelo Luar, yakni O’Hoberera Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di luar hutan).
“Saya tidak suka dengar orang bilang Suku Togutil primitif. Mereka, Tugutil juga punya makna soal kehidupan. Punya sistem nilai dan kepercayaan,” ungkap Syaiful, yang masa kecilnya berada di Dodaga, Halmahera Timur, tempat masyarakat Tobelo Dalam atau O’Hongana Manyawa bermukim.
Dalam adat Tobelo, setiap kelahiran bayi perempuan dirayakan dengan lima bibit pohon, sedangkan bayi laki-laki ditandai dengan 10 bibit pohon. “Lelaki Tobelo bertanggung jawab dalam mencari nafkah, sehingga mereka harus menanam pohon lebih banyak. Tradisi ini menjadi contoh bagaimana manusia hidup harmoni dengan alam sekitar,” ujarnya.
Komunitas O’Hongana Manyawa mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari dengan cara berburu, meramu, berladang-berpindah, dan mencari ikan atau kombinasi dari cara-cara tersebut. Pemenuhan kebutuhan komunitas ini masih bersifat subsisten, karena mereka hidup selaras dengan kondisi alam sekitarnya sesuai dengan nilai-nilai kearifan lingkungan.
Pengetahuan dan kepercayaan mereka pada kesatuan hutan itu menjadi kekuatan yang dapat memengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan dalam kehidupan sehari-hari komunitas ini.
“Dalam alam pemahaman mereka tentang bagaimana memperlakukan hutan merupakan jaminan bagi ketahanan pangan mereka, hutan tidak hanya merupakan sumber daya ekonomi, tetapi telah menjadi suatu kosmos di mana aspek-aspek religi, sistem pertanian dan perburuan, serta aspek kebudayaan yang lain berinteraksi membangun suatu kehidupan yang utuh,” jelas Syaiful.
Hal ini sangat berkaitan dengan pemaknaan kosmologi sosial komunitas O’Hongana Manyawa yang membagi lingkungan ekologi hutan ke dalam satu kesatuan (kesatuan rumah, kesatuan pemukiman, dan kesatuan hutan).
Konseptualisasi diri dan lingkungan O’Hongana Manyawa yang tertuang dalam tradisi lisan Wawango (hidup) dan Lilingiri (cari) menjadi acuan untuk menginterpretasi kehidupannya di lingkungan hutan, begitu juga perilaku sosial komunitas O’Hongana Manyawa dalam mengelola hasil hutan erat kaitannya dengan sistem nilai yang terdapat dalam tradisi lisan yang mengatur sikap dan pola tindakan dari komunitas O’Hongana Manyawa dalam melindungi hutan di kesatuan hutan masing-masing.
Bagi O’Hongana Manyawa pada umumnya, nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Wowango ditempatkan untuk kepentingan komunitas O’Hongana Manyawa pada masa akan datang (masa depan), dalam arti: setiap warga komunitas dituntut untuk menjaga dan melestarikan hutan beserta isinya untuk kelangsungan kehidupan anak cucu mereka.
Sementara itu, nilai yang ada di dalam tradisi Lilingiri, yakni berisi aturan-aturan yang menentukan sikap dan perilaku O’Hongana Manyawa dalam pemenuhan kebutuhan meramu dan berburu di dalam kehidupan mereka di hutan.
“Bagi orang O’Hingana Manyawa, anak yang sudah sudah bisa berburu, memasang jerat, adalah mereka yang sudah bisa mengidentifikasi masa depan dan bertahan hidup,” katanya
Penyebaran Suku Tobelo
“Asal mula mereka itu dari Telaga Lina di Halmahera Bagian Utara, kemudian menyebar ke hutan-hutan di Halmahera, seperti Halmahera Tengah dan Halmahera Timur,” ungkap Syaiful Madjid.
Syaiful bilang, Suku Tobelo Dalam terbagi menjadi empat, yakni Modole (mendiami Halmahera Timur-Halmahera Tengah), Boeng (mendiami Halmahera Utara, Halmahera Timur-Halmahera Tengah), Pagu (Halmahera Utara), dan Hoku.
Terkhusus Hoku, sub suku ini disebut juga Canga atau orang Tobelo yang berada di pesisir. Sub suku ini, menurut Syaiful, dinyatakan punah. “Kemungkinan besar, suku yang berada di Naulu, Maluku, yang biasa dibilang Halefuru adalah orang Hoku, sebab, ada sebagian dialek yang mirip dengan Bahasa Tobelo,” ungkapnya.
Dalam catatan-catatan penelitian sejarah menyebutkan, daratan Halmahera bagian utara hingga tengah banyak dihuni oleh Suku Tobelo yang asal muasalnya dari Telaga Lina. Mereka adalah kelompok etnis paling banyak yang tersebar di Maluku Utara.
Telaga Lina menjadi ‘rumah’ awal peradaban Suku Tobelo membangun kampung atau wilayah yang disebut hoana.
Leirissa dalam disertasinya tentang Masyarakat Halmahera dan Raja Jailolo: Studi tentang Sejarah Masyarakat Maluku Utara menyebutkan, sejak pindah ke pesisir, masyarakat Tobelo terbagi menjadi empat hoana, dan ketika mereka pindah ke Distrik Kau (sekarang Kao, Halmahera Utara), terbentuk lagi empat hoana.
Solidaritas setiap hoana tergantung pada cikal-bakal pemujaan yang dilakukan dalam tempat pemujaan bersama yang disebut O Halu.
Syaiful menyayangkan soal pemberitaan beberapa media yang cenderung menyudutkan O’Hongana Manyawa. Beberapa media bahkan menyebutkan suku ini belum beradab, primitif, kelaparan di hutan, dan sebagainya. Padahal, O’Hongana Manyawa punya sistem kepercayaan dan sistem nilai.
Hasil penelitian, ada 21 Mata Rumah O’Hongana Manyawa di daratan Halmahera. Satu Mata Rumah terdiri dari 4 sampai 5 Kepala Keluarga. Wilayah Hidup mereka kini berada di Taman Nasional dan paling banyak wilayah hidup mereka dikuasai oleh Izin pertambangan Nikel dari PT IWIP PT WBN dan subkontraktor lainnya. Akibat dari itu, tidak sedikit yang terusir dari hutan, tempat mereka tinggal.
Jauh sebelum adanya Taman Nasional, bahkan sebelum Indonesia merdeka, O’Hongana Manyawa sudah punya pengetahun mengelolah wilayah hidup mereka di hutan. Pembagian wilayah itu disebut dengan O’Tau Moi atau Satuan Rumah, yang dihuni oleh satu Mata Rumah atau satu kelompok terdiri dari 4 sampai 5 Kepala Keluarga.
Kedua, disebut O’Gogere atau Satuan Pemukiman, tempat berkumpul, yang dihuni sekitar lima sampai tujuh kelompok. Lokasi Satuan Pemukiman ini berada di Tofu, Akejira, Halmahera Timur.
Ketiga adalah Satuan Hutan yang terbagi menjadi tiga yakni:
Manga Wowango: Hutan tempat bersemayamnya roh leluhur atau hutan lindung).
Pongana: Hutan Primer atau hutan industri, dan
Raki Ma’Amoko: Dusun raja, kebun besar, sumber pangan. Di dalamnya terdapat pohon sagu, langsat, dan lainnya.
Wilayah ini nyaris hilang dengan adanya izin Usaha pertambangan Nikel secara besar-besaran di hutan Halmahera yakni Halmaha Timur dan Halmahera Tengah.
O’Hongana Manyawa punya sistem sosial. Ada penyebutan Dimono (Orang yang Dituakan/Pemimpin) bukan Kepala Suku. Penyebutan Kepala Suku terhadap Dimono adalah penyebutan orang luar.
Orientasi nilai Komunitas O’Hongana Manyawa dalam kehidupan sehari-hari yang mana sangat bertalian dengan keberadaan mereka di alam hutan, proses kehidupan komunitas ini menyatuh dengan apa yang berada di lingkungan mereka. Alam pengetahuan mereka, hutan bukan hanya sebagai lingkungan tempat tinggal dan tempat mendapatkan bahan makanan, tetapi lebih jauh lagi dianggap sebagai sumber kehidupan (disebut Manga Wowango) dan sekaligus muara bagi eksistensi dalam perkembangan kehidupan komunitas O’Hongana Manyawa, dalam hutan mereka dilahirkan, hidup dan meninggal serta kemudian mengikuti kehidupan anak cucu mereka.
Orientasi nilai yang masih dipertahankan oleh Komunitas O’Hongana Manyawa di Hutan ini, sumber kehidupan (manga wowango) di dalam hutan menurut anggapan komunitas O’Hongana Manyawa tidak akan habis sampai ke anak-cucu mereka, oleh karena itu menjaga hutan sama dengan menjaga keluarga mereka. Bagi Komunitas O’Hongana Manyawa, “Hutan ini milik kami” ( Na Tangomi Mia Fongana).
Bagi komunitas O’Hongana Manyawa, kehidupan manusia di hutan tidak akan lepas dengan ruh-ruh leluhur yang tetap berada di lingkungan kehidupan sekitar mereka. Dengan memelihara dan melestarikan hutan maka dengan sendiri menghormati sekaligus memuja ruh-ruh orang yang telah meninggal terutama ruh para leluhur mereka oleh karena itu pada daerah-daerah tertentu, Dalam kehidupan komunitas O’Hongana Manyawa membatasi ikatan kesatuan hidup setempat menurut batas wilayah dalam bentuk kesatuan hutan (O’Hangana Moi) diperuntuk untuk daerah jelajah setiap kesatuan rumah yang berada di hutan tersebut.
Penentuan suatu kewilayahan kesatuan hutan memang sulit (bagi orang luar) menentukan batas-batas yang secara nyata. Namun di balik itu, bagi komunitas O’Hongana Manyawa dalam kesatuan hutan mereka memiliki tanda-tanda khusus yang harus dihormati dan ditaati sebagai batas wilayah larangan (Madodongu).
Salah satu wilayah hutan yang dianggap sakral bagi Komunitas O’Hongana Manyawa berada di wilayah Mein, bagian timur Kontrak Karya PT WBN dan daerah hutan Aruku Mangaili Sigi-Sigi Sebelah barat Akejira dalam wilayah Kontrak Karya PT WBN. Bagi Komunitas O’Hongana Manyawa yang berada dalam wilayah itu berkewajiban untuk dan merawat dan melestarikan hutan itu untuk kelangsungan hidup komuntas tersebut. Leluhur O’Hongana Manyawa bersemayam di daerah tesebut. Daerah Mein dan Aruku Mangaili hampir semua kelompok O’Hongona Manyawa yang ada di hutan ini sering mengunjungi daerah ini sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur mereka (O’Gomanga Jou Madutu).
Stigma Negatif dan Perampasan Ruang Hidup O’Hongana Manyawa
Sejak dulu, O’Hongana Manyawa mendapat stikma sebagai pembunuh. Sementara O’Hoberera Manyawa, di masa kolonial, ada yang disebut sebagai Canga. Pemerintah kolonial menganggap Canga adalah Perempak–bajak laut. Lalu dihabisi oleh Kolonial.
Stigma juga dibangun oleh beberapa media di luar Maluku Utara, termasuk media arus utama, yang sebenarnya tidak masuk–turun langsung mengunjungi O’Hongana Manyawa lalu membuat berita yang menyudutkan suku O’Hongana Manyawa.
Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik Pasal 8 menyebutkan Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Begitu juga diatur dalam Peraturan Dewan Pers nomor: 02/PERATURAN-DP/XI/2022 Tentang Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman.
Sungguh, narasi yang dibangun oleh media tertentu ini, dapat mencelakai atau membuat O’Hongana Manyawa akan kehilangan ruang hidup, karena tidak diakui sebagai Suku yang mempertahankan tradisi. Lalu, membuat izin pertambangan leluasa masuk pada hutan adat.
Lihat saja Pasal 18B ayat (2): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Sebab itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) punya pekerjaan rumah yang perli diseriusi; terkait masyrakat adat yang terancam punah karena kehilangan tanah juga ‘dibunuh’ lewat narasi pemberitaan yang sepihak.
***
Tahun 2011, saya ke Dodaga, Tukur-Tukur, dan Titipa, wilayah pemukiman O’Hongana Manyawa. Di permukiman atau reseltlement, ada program dari pemerintah melalui Kementerian Sosial menyebut Program Tuna Budaya. Suku saya ini dianggap tidak berbudaya.
O’Hongana Manyawa pun menjadi sasaran tuduhan jika terjadi pembunuhan di hutan Halmahera. Kini, 6 orang masyarakat adat O’Hongana Manyawa di Taukur-Tukur dan Dodaga mendekam di penjara. Sebelumnya mereka divonis hukuman mati.
Tahun itu juga saya melihat banyak problem yang dihadapi O’Hongana Manyawa, di sana. Di belakang kampung ada pembangunan Irigasi. Kampung nyaris terancam banjir. Warga Dodaga Juga berkebun di Hutan. Tahun itu, ada beberapa perempuan adat, dilarang masuk ke hutan. Mereka dicegat oleh pihak Dinas Kehutanan dengan alasan bahwa itu hutan lindung yang tidak bisa dimasuki orang.
Hutan di Wilayah Tukur-Tukur Dodaga juga sering menjadi lokasi penanaman pohon dari program ANTAM, program reboisasi.
Pada Selasa, 28 April 2023, saya berkunjung ke Kelompok Maratana, Turaji, dan Hidete bersama Istrinya, di wilayah Halmahera Timur. Di Hutan mereka, saya masuk melalui jalur PT.WANA KENCANA MINERAL, salah satu perusahaan nikel di sana. kurang lebih 24 km jalan kaki hingga sampai ke kelompok Maratana. Mereka sangat khawatir dengan keberadaan orang luar. Sebab, sebagian kelompok mereka pernah diracuni oleh orang luar, yang ingin mengambil wilayah mereka. Termasuk Suami Maratana Diracuni.
Maratana kini sudah keluar hutan dan tinggal sementara di perkampungan di desa Saolat. Salah satu warga menampung Maratana, membuat bivak kecil di samping rumah mereka untuk ditinggali Maratana. Sebab, Maratana tidak bisa tinggal di dalam rumah yang berdinding. Maratana keluar hutan karena wilayah hidupnya terancam akan diambil oleh perusahaan. Namun, ia tetap merindukan pulang ke hutan tempat ia hidup dan mati di sana.
Kasus lainnya, tidak sedikit orang luar, atau orang pesisir penjelajah hutan, masuk ke dalam melakukan pengkaplingan lahan O’Hongana Manyawa untuk dijual ke perusahaan. Akibatnya, banyak terjadi kasus pembunuhan di hutan Halmahera.
Seperti kasus tahun pembunuhan di daerah Waci, di Halmahera Timur pada tahun 2014. Korban adalah pencari gaharu. Namun, yang dituduh membunuh adalah Bokum dan Nuhu, Suku Tobelo Dalam, O’Hongana Manyawa yang mendiami hutan Akejira, Wilayah Konsesi PT WBN dan PT IWIP. Mereka lalu divonus 15 tahun penjara. Nuhu pun meninggal dunia akibat sakit yang diderita karena ada benturan keras di dada Nuhu. pada tahun 2019 di rutan di dan dikebumikan di Ternate.
Bokum dibebaskan pada Januari 2022. Saat keluar, saya orang yang menjemput Bokum, tidak sedikit orang lain juga datang mau ambil Bokum untuk minta tanda tangan jual beli tanah wilayah Bokum. Sementara Bokum tidak bida baca tulis.
Tahun 2023 hingga tapatnya 2024 ini, saya sering mengunjungi keluarga Bokum di Hutan Akejira, Halmahera Tengah. Bokum dan keluarganya trauma, dan tidak akan berani keluar jauh dari daerah hutan maupun Ternate tempat ia dipenjara.
Sekitar pukul 09.00 WIB, Bapak Sorbatua Siallagan bersama istrinya, saat belanja pupuk di Tanjung Dolok (sekitar Simpang Simarjarunjung Jalan Parapat-Medan). Setelah pupuk sudah dimuat ke mobil dan akan pulang tiba-tiba, sekitar 10 orang mendatangi dan menarik Sorbatua Siallagan dari dalam mobil yang dikendarainya.
Kejadian itu membuat istri Sorbatua kaget. Ia lalu berusaha menahan suaminya dari penangkapan orang yang tidak dikenal. Namun, istri Sorbatua tak berdaya. Sorbatua Siallagan langsung dimasukkan ke mobil berwarna hitam yang dikendarai para penangkap itu.
Menurut pengakuan istri Sorbatua, saat penangkapan, yang menangkap berkata bahwa sudah dua kali pemanggilan terhadap Sorbatua. Istri Sorbatua mengaku, sampai saat ini, mereka tidak menerima surat perintah penangkapan.
Sekitar pukul 10.50 WIB, keluarga dari Dolok Parmonangan bergerak ke Polsek Tiga Dolok – Simalungun untuk memastikan keberadaan Sorbatua. Sayangnya, ketika tiba di sana, Polsek mengatakan bahwa informasi yang diterima dari Polres Simalungun yang bersangkutan (Sorbatua Siallagan) tidak ada di Polres Simalungun.
Saat ini keluarga dan komunitas Dolok Parmonangan sedang mencari Ketua Sorbatua Siallagan.
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., CCMs., Advokat Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Yang Mulia Majelis Hakim Pemeriksa sengketa TUN No. 542/G/TF/2023/PTUN-Jkt di PTUN Jakarta, Para Penggugat dan para Kuasa Hukum para Penggugat, Kuasa Hukum DPR dan Kuasa Hukum Presiden/Pemerintah. Perkenankan saya menyampaikan usulan/masukan sehubungan dengan pemeriksaan sengketa tata usaha negara ini berikut ini.
Pertama, Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang diajukan oleh para penggugat melalui para kuasa hukumnya pada hakikatnya merupakan gugatan yang berisi tuntutan terhadap “sikap diam/abai” pejabat pemerintahan dalam melaksanakan kewenangan yang ada padanya untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan, yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan, dapat dikualifikasi sebagai tindakan berupa tidak melakukan perbuatan konkret (by omission) atau dalam Bahasa Latin disebut sebagai passivum inesse actionem (tindakan faktual pasif) yang dilakukan oleh badan atau pejabat administrasi pemerintahan dalam perspektif Pasal 4 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Perbuatan melanggar hukum tersebut terjadi karena sikap diam/abai terhadap permohonan yang diajukan oleh AMAN dkk., yang pernah mengajukan Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023, perihal: Permohonan Pembentukan UU Tentang Masyarakat Hukum Adat, kepada DPR dan Presiden. Tindak lanjut atas permohonan tersebut sebenarnya merupakan kewajiban dari DPR dan Presiden berdasarkan kewenangan konstitusional yang diatribusikan oleh Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 UUD Negara RI Tahun 1945 yang memberikan kewenangan kepada DPR dan Presiden untuk melakukan tindakan faktual dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat adat yang salah satunya adalah melalui tindakan pengaturan oleh negara (moderantibus actionem civitatis) untuk membentuk undang-undang yang berkaitan dengan kewajiban konstitusional negara guna melaksanakan Pasal 18 B ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa: “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Hal itu berarti konstitusi secara eksplisit memerintahkan DPR dan Presiden sebagai pihak yang berwenang melakukan tindakan faktual untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat antara lain dengan membentuk undang-undang untuk membentuk UU Tentang Masyarakat Hukum Adat.
Kedua, tindakan perlindungan oleh negara (status praesidio mensurae) terhadap hak-hak rakyat in casu masyarakat adat seharusnya berupa: tindakan pengaturan (regulatory actio), tindakan memberikan jaminan atas hak-hak masyarakat adat (actio cavendi iura populorum indigenarum), tindakan memenuhi kebutuhan masyarakat adat (actus ad usus necessarios in communitatibus indigenae) dan tindakan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran atas hak-hak masyarakat adat (lex cogendi si est violatio iurium populorum indigenarum). Keseluruhan rangkaian tindakan perlindungan terhadap masyarakat adat tersebut saling terkait/tak terpisahkan yang berada dalam lingkup fungsi pemerintahan (munera imperium). Jika gugatan dari para penggugat tersebut dikaitkan dengan hukum positif, Pasal 3 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017 telah mengatur secara limitatif kriteria permohonan yang dapat diajukan melalui mekanisme fiktif positif/permohonan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan untuk mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan, yaitu: a. Permohonan dalam lingkup kewenangan badan dan/atau pejabat pemerintahan; b. Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan; c. Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan yang belum pernah ditetapkan dan/atau dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan; dan d. Permohonan untuk kepentingan Termohon secara langsung. Tindakan faktual pasif yang dipersoalkan dalam gugatan penggugat adalah tindakan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat yang terdiri dari rangkaian tindakan yang saling terkait sebagaimana telah disampakan di atas yang terdiri diekspresikan dalam bentuk serangkaian tindakan untuk melaksanakan kewajiban vide Pasal 18 B ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 dan menindaklanjuti permohonan yang diajukan oleh AMAN dkk., yang pernah mengajukan Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023. Dalam hal ini isu hukumnya bukan semata-mata hanya soal pembentukan UU Perlindungan Masyarakat Adat, tetapi pada hakikatnya (in essentia) adalah tindakan untuk memberikan perlindungan (opus providere tutelam) bagi masyarakat adat.
Ketiga, Rancangan Undang-Undang Tentang Masyarakat Hukum Adat telah beberapa kali masuk dalam Proglegnas, termasuk ke dalam Prolegnas Priotas, sebagai berikut: a) Prolegnas Periode 2005-2009, dengan judul “RUU tentang Hak-Hak Masyarakat Adat”, dengan nomor urut 101; RUU tentang Pengakuan dan Penghormatan Masyarakat Adat dan Tradisinya, dengan nomor urut 273, berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 01/DPR-RI/III/2004-2005 Tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005-2009; b) Prolegnas Periode 2009-2014, dengan judul “RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat” dengan nomor urut 161. Pada tahun 2013, RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas 2014, dengan nomor urut 26. c) Prolegnas Periode 2015-2019, dengan judul “RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat”, dengan nomor urut 42. Pada tahun 2017, RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas, dengan nomor urut 45. d) Prolegnas Periode 2020-2024, dengan judul “RUU tentang Masyarakat Hukum Adat, dengan nomor urut 160. Pada tahun 2020, RUU tentang Masyarakat Hukum Adat ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas, dengan nomor urut 22. RUU yang beberapa kali dimasukkan ke dalam Prolegnas dan tak kunjung diselesaikan selain telah melanggar prinsip anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) sebagaiman diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU APBN karena perencanaan yang kunjung direalisasikan dengan dibentuk dan disahkannya UU terkait, juga tindakan perencanaan (consilio opus) yang tak kunjung diselesaikan serta melampaui batas tahun anggaran tahunan (one year budgeting) itu juga melanggar asas kepastian hukum (principium certitudinis legalis) dalam lingkup Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Keempat, DPR dan Presiden sesungguhnya telah diwajibkan oleh UUD Negara RI Tahun 1945 untuk membentuk UU Tentang Masyarakat Hukum Adat, namun dengan perencanaan yang tidak pasti, mendiamkan permohonan untuk melaksanakan kewajiban tersebut (Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023) dan serangkaian tindakan yang menunjukkan sikap abai (indifferens habitus) dan tindakan penundaan berlarut (mora actio) yang dilakukan DPR dan Presiden telah mengakibatkan pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Hukum Adat terkatung-katung/tidak jelas (exilii), sehingga berdampak pada ketidakpastian hukum (legalis dubitationem). Tidak ada perlindungan hukum terhadap masyarakat adat in casu Para Penggugat yang mengalami kerugian yang nyata mulai dari praktik penggusuran perampasan wilayah adat, kriminalisasi Masyarakat Adat dan hilangnya identitas Para Penggugat sebagai Masyarakat Adat di Indonesia yang dikemukakan secara lengkap dalam fakta-fakta hukum gugatan para penggugat perlu ditempatkan dalam konteks tindakan faktual pasif yang menimbulkan kerugian terhadap hak-hak masyarakat adat vide Pasal 18 B jo Pasal 28I ayat (3) dan (4) UUD Negara RI 1945 ((3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah) serta Pasal 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 6 ayat (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah; dan Pasal 6 ayat (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman).
Demikian, keterangan yang merupakan usulan/masukan bagi pertimbangan Majelis Hakim pemeriksa sengketa TUN No. No. 542/G/TF/2023/PTUN-Jkt jika berkenan dipertimbangkan. Atas kebijaksanaan Majelis Hakim yang memberikan kesempatan menyampaikan masukan/usulan ini, saya menghaturkan terima sebesar-besarnya.
Jakarta, 21 Maret 2024
Hormat saya,
(Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., CCMs., Advokat)