Bupati Sikka dan Rombongan Panitia Tanah B yang dipimpin Ka-Kanwil BPN NTT, Pada Senin (20/6) dihadang dan dipukul mundur Masyarakat Adat Tana Ai (Soge dan Goban) di lokasi HGU Patiahu. Masyarakat Adat melakukan penghadangan dan memblokir jalan negara ke arah Timur di Lokasi HGU Patiahu itu untuk mencegah akses Panitia Tanah B Kanwil BPN-NTT melakukan peninjauan titik tanda batas yang sebelumnya ditanam dan ditetapkan tanpa melibatkan dan mendapat persetujuan mereka.
Hal ini dilakukan Masyarakat Adat (Soge & Goban) dengan maksud untuk menjelaskan kepada Bupati dan Panitia Tanah B, bahwa proses ijin Pembaruan HGU oleh PT. Kristus Raja (Krisrama) Maumere milik Keuskupan itu belum clean & clear seperti yang disarankan oleh peraturan hukum. Artinya, belum terjadi kesepakatan antara pihak PT. Krisrama dengan Masyarakat Adat mengenai luas lahan, tata letak lokasi HGU, kewajiban Plasma 20% dan lain-lain.
Masyarakat Adat masih sangat ingat isi pernyataan Kepala Kantor Pertanahan Sikka pada 22 Desember 2021 di Ruangan Bupati Sikka, “Apabila penanaman Pilar/Tanda Batas yang akan dilakukan oleh PT. Krisrama di lapangan mendapat penolakan warga, maka sebaiknya di hentikan dan berunding dulu, kalau tidak demikian ATR/BPN akan sulit mengeluarkan ijin dan penerbitan sertifikat karena belum clean & clear di lapangan” ungkap seorang Pejabat Negara kantor Pertanahan Sikka. inilah yang menjadi rujukan aksi Masyarakat Adat.
“Jadi kalau publik selama ini mendapatkan informasi bahwa proses pengurusan Permohonan Pembaruan HGU PT. Krisrama itu sudah beres, maka kami tegaskan bahwa itu informasi Hoax”. Ucap John Bala sebagai Koordinator PPMAN Region Bali Nusra. Hal yang sesungguhnya terjadi adalah sebaliknya. Begini penjelasannya :
Pemda Gagal Mefasilitasi kesepakatan
Untuk penyelesaian konflik ini Pemda Sikka pernah mengeluarkan dua Surat Keputusan (SK) Bupati, yaitu: SK No. 444/HK/2016 dan SK No. 134/HK/2020 tentang Pembentukan Tim Terpadu Penyelesaian Masalah HGU. Masyarakat Adat setuju menjalankan SK ini secara saksama. Mereka bersedia diidentifikasi dan diverifikasi sebagai Masyarakat Adat atau tidak, bersedia pula untuk diuji apakah memiliki hubungan hukum (hak asal-usul) dengan tanah bekas HGU tersebut atau tidak, mereka juga bersedia berunding agar tanah bekas HGU itu dibagi dalam 4 Blok (HGU,Masyakat Adat, Konservasi dan Fasilitas Publik). Namun, semua ini berjalan tidak tuntas. Secara sepihak Pemda menghentikan pelaksanaan SK ini tanpa alasan yang jelas. Bagi Masyarakat Adat, tindakan Pemda ini membekas dihati dan perasaan mereka sebagai “Penipuan yang Keji”.
Dua Kali Upaya Tata Batas Not Legitimate
Hal menarik yang kemudian terjadi adalah, ketika SK-nya tidak mau dilaksanakan hingga tuntas, tapi Pemda tetap aktif seolah-olah tanpa dosa melakukan langkah-langkah pemaksaan kepada Masyarakat Adat untuk menyetujui Permohonan Pembaruan HGU-nya PT. Krisrama.
Dua kali penanaman pilar/tanda di Lokasi HGU adalah contohnya. Penanaman pertama sekitar Februari 2022 yang diawali pertemuan dan difasilitasi oleh Pemda pada 22 Desember 2021. Masyarakat Adat menolak, tapi tetap dilakukan dengan pengawasan Pemda, Polisi dan Militer. Kegiatan ini berhasil digagalkan oleh Masyarakat Adat dengan mencabut sebagian besar pilar yang sudah ditanam tersebut lalu diantar ke rumah Bupati Sikka.
Gagal pada penanaman pertama itu, kalau merujuk pada peraturan hukum dan pernyataan Kepala Kantor Pertanahan Sikka tersebut di atas, mestinya dilakukan perundingan dulu antara para pihak baru dilaksanakan kegiatan penanaman pilar/tanda batas berikutnya. Namun pada Nopember 2023, tanpa proses perundingan antara para pihak yang bersengketa sebelumnya, terjadi lagi kegiatan penanaman pilar/tanda batas dan titik koordinat. “Kali ini bukan hanya PT. Krisrama dan Pemda yang melakukan, tapi sudah dihadiri langsung oleh Kanwil BPN NTT secara langsung dan dikawal secara ketat oleh Pol PP, Kepolisian dan Militer” ungkap John Bala.
Kegiatan ini tidak berhasil digagalkan oleh Masyarakat Adat secara langsung, kerena pengawalan yang sangat ketat. Oleh karena itu, mereka kemudian melilih cara perlawanan dengan membuat aksi pencabutan pilar secara adat setelahnya dan membuat surat penolakan kepada Ka-Kanwil BPN – NTT melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sikka.
John Bala kembali menegaskan bahwa perlawanan dan penolakan Masyarakat Adat (Soge & Goban) terhadap Panitia B Kanwil BPN – NTT dan Bupati Sikka dilapangan merupakan sebuah tindakan konstruktif untuk memastikan dan menunjukan bahwa proses Penetapan HGU atas permohonan PT. Krisrama Keuskupan Maumere itu belum memenuhi syarat atau cacat administratif.
***