POLRI yang Presisi Melalui Penghormatan dan Perlindungan HAM bagi Masyarakat Adat

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendukung program Polri Presisi – prediktif, responsibilitas, transparansi, berkeadilan dengan merekomendasikan agenda strategis mewujudkan keadilan dan penghormatan hak asasi manusia dalam penanganan kasus terhadap masyarakat adat. Sejumlah langkah maju perlu diperkuat, sementara berbagai tantangan di tingkat substansi/kebijakan, struktur dan budaya di kepolisian dalam penanganan kasus kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum membutuhkan langkah perbaikan/koreksi.

 

UUD 1945 memberikan mandat khusus kepada Institusi Kepolisian sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Sesuai Pasal 4 UU No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian, dalam mewujudkan tujuannya Polri wajib menjunjung tinggi HAM.

 

Sebagai hasil reformasi, melalui Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 Polri dipisahkan dari institusi TNI, reformasi kelembagaan ini dipertegas melalui UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Paradigma aparat negara seharusnya menjaga berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta kewajiban perlindungan dan pengayoman, semangat penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.

 

Untuk memastikan implementasi penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia bagi pimpinan dan anggota Kepolisian Republik Indonesia, pimpinan Polri telah menerbitkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahkan dalam Perkap tersebut menegaskan pengakuan institusi Polri atas keberadaan masyarakat adat dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Budaya Lokal yang dimaksudnya dalam Peraturan Polri ini adalah adat, tradisi, kebiasaan atau tata nilai yang masih kuat dianut oleh masyarakat setempat dalam rangka memelihara keamanan, ketertiban dan ketenteraman di lingkungan warga masyarakat setempat.

 

Penyikapan kepolisian pada penanganan kasus-kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum merupakan penentu awal akses masyarakat adat pada keadilan. Sikap proaktif pimpinan polri dalam mengusut kasus kekerasan terhadap masyarakat adat yang melibatkan anggota Polri perlu diapresiasi. PPMAN mencatat, pada 2022 ini, misalnya, Divisi Propam dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri telah menindaklanjuti pengaduan PPMAN terkait dugaan pelanggaran disiplin dan kekerasan yang dilakukan oleh anggota dan pimpinan kepolisian di Polres Nagekeo, Nusa Tenggara Timur dalam rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Waduk Mbay/Lambo.

 

Di tengah kemajuan ini, dari bulan Januari hingga Juni 2022, PPMAN masih menerima pengaduan yang terkait anggota kepolisian sebagai pelaku tindak kekerasan, melakukan kriminalisasi terhadap pembela dan masyarakat adat yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari perampasan oleh industri ekstraktif disektor perkebunan dan pertambangan, maupun polri dianggap menghambat langkah korban memperjuangkan keadilan.

 

Dari 16 (enam belas) kasus yang didalami, terdapat 4 kasus di mana polisi dilaporkan melakukan kriminalisasi kepada pembela masyarakat adat. 4 kasus tersebut dialami oleh advokat pembela masyarakat adat yang tengah melakukan pendampingan kepada masyarakat adat tana’ai di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Ia dilaporkan karena memperjuangkan hak masyarakat adat yang berhadapan dengan perusahaan pemilik SKP HGU.

 

Kriminaliasasi juga dialami oleh Kepala Desa Kinipan di Kalimantan Tengah yang berjuang bersama masyarakat adat Kinipan dalam mempertahankan wilayah adatnya yang dirampas oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kriminalisasi yang dialami oleh Willem Hengky (Kepala Desa Kinipan) telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Palangkaraya, Willem tidak terbukti bersalah dari seluruh dakwaan dan pengadilan memerintahkan Willem Hengki segera dibebaskan dari tahanan. Kasus kriminalisasi lainnya dialami oleh masyarakat adat di Natumingka, Tano Batak, Sumatera Utara yang berhadapan dengan PT. Toba Pulp Lestari (PT.TPL). Di awal tahun 2022 Kepolisian juga melakukan penangkapan terhadap 3 (tiga) orang Masyarakat Adat Kaili Tado di Kabupaten Pasang Kayu, Sulawesi Barat yang mepertahankan wilayah adatnya dari perampasan lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Mamuang.

 

Berdasarkan pengaduan dan permohonan bantuan hukum yang diterima oleh Kantor Hukum Masyarakat Adat Nusantara di 7 (tujuh) Region, kemudian ditindaklanjuti melalui proses pendampingan hukum. Berdasarkan kasus-kasus tersebut PPMAN mengidentifikasi 9 (sembilan) pola pelanggaran yang dilakukan oleh polri terhadap masyarakat adat, yaitu: (1) Kriminalisasi dan Minimnya Akuntabilitas Penetapan Status Tersangka, (2) Penundaan Proses (undue delay), (3) Mengejar Pengakuan Tersangka, (4) Penangkapan Sewenang-Wenang, (5) Penahanan Sewenang- Wenang, (6) Permasalahan Akuntabilitas Penahanan, (7) Hak Penasihat Hukum yang Dibatasi, (8) Penyiksaan dan impunitas bagi pelaku (9) Pembunuhan di luar proses hukum (extra-judicial killing).

 

Sementara itu, menurut catatan Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM), berdasarkan jumlah aduan periode 1 Januari – 7 Juni 2022, Polri merupakan instansi yang paling banyak diadukan terkait pelanggaran HAM di komunitas masyarakat adat setelah pihak koorporasi dan pemerintah daerah. Dalam laporan tersebut, Komnas HAM menguraikan tindakan lainnya yang dialami masyarakat adat terkait dengan kekerasan oleh aparat, kriminalisasi dan diskriminasi penanganan laporan oleh polisi, dan permasalahan penetapan status tersangka pemimpin adat.

 

Meski perhatian Kepolisian terus meningkat pada isu akuntabilitas internal, kasus-kasus di atas menunjukkan masih adanya tantangan di lapis kebijakan/subtansi, struktur dan kultur hukum di tubuh kepolisian. Saat ini, juga belum ada rujukan kebijakan khusus di kepolisian tentang penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum dalam posisi sebagai korban, saksi maupun tersangka. Padahal, kebijakan ini akan menguatkan akses keadilan mengingat telah ada Peraturan Kapolri (PERKAP) No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 6 huruf (G) yang tegas menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas-tugasnya Kepolisian Republik Indonesia harus menghormati dan melindungi Hak Masyarakat Adat. Meningkatnya pelanggaran yang dialami oleh masyakat adat menunjukkan inkosistensi polri dalam mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak- hak khusus masyarakat adat.

 

Kebijakan khusus di kepolisian ini dibutuhkan mengingat tidaklah mudah mengubah persepsi individual aparat kepolisian mengenai masyarakat adat. Apalagi, program-program pendidikan untuk menguatkan perspektif keadilan dan ketrampilan penanganan kasus kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat masih terbatas.

 

Untuk mendukung terwujudnya POLRI Presisi melalui optimalisasi pemenuhan hak asasi manusia dalam penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum, PPMAN merekomendasikan kepada Kepolisian RI, yaitu:

 

  1. Pentingnya memperkuat pemahaman setiap anggota polri untuk menghormati hak-hak khusus masyarakat adat sebagaimana yang tertuang dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang hak masyarakat adat dalam implementasi tugas dan fungsi kepolisian;
  2. Pentingnya pimpinan polri membentuk satu kebijakan presisi untuk menjadi pedoman penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum;
  3. Pimpinan polri harus segera memastikan langkah pencegahan dan penanganan setiap anggota polri dalam situasi konflik sumber daya alam dimana proyek pembangunan stragis nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta yang mengancam keberadaan masyarakat adat;
  4. Perlu segera adanya reformasi Kepolisian baik di dalam fungsi penegakan hukum dan fungsi menjaga ketertiban. Termasuk didalamnya perbaikan kultur dan penegakan hukum terhadap anggota polri yang melakukan tindak pidana didalam menjalankan tugasnya;
  5. Memastikan langkah pencegahan dan penanganan kasus kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, yang juga mencakup upaya pemulihan bagi korban.

 

Oleh:

Syamsul Alam Agus SH, Ketua PPMAN

POLRI yang Presisi Melalui Penghormatan dan Perlindungan HAM bagi Masyarakat Adat

 

Catatan Peringatan HUT ke-76 Bhayangkara Polri

Jakarta, 1 Juli 2022

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendukung program Polri Presisi –
prediktif, responsibilitas, transparansi, berkeadilan dengan merekomendasikan agenda strategis
mewujudkan keadilan dan penghormatan hak asasi manusia dalam penanganan kasus terhadap
masyarakat adat. Sejumlah langkah maju perlu diperkuat, sementara berbagai tantangan di tingkat
substansi/kebijakan, struktur dan budaya di kepolisian dalam penanganan kasus kekerasan yang
dialami oleh masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum membutuhkan langkah
perbaikan/koreksi.

 

UUD 1945 memberikan mandat khusus kepada Institusi Kepolisian sebagai alat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum. Sesuai Pasal 4 UU No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian, dalam mewujudkan
tujuannya Polri wajib menjunjung tinggi HAM.

 

Sebagai hasil reformasi, melalui Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 Polri dipisahkan dari institusi TNI,
reformasi kelembagaan ini dipertegas melalui UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Paradigma aparat negara seharusnya menjaga berkembangnya sendi-sendi
demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta kewajiban perlindungan
dan pengayoman, semangat penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.

 

Untuk memastikan implementasi penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia bagi pimpinan
dan anggota Kepolisian Republik Indonesia, pimpinan Polri telah menerbitkan Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar
Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahkan
dalam Perkap tersebut menegaskan pengakuan institusi Polri atas keberadaan masyarakat adat dalam
pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Budaya Lokal yang dimaksudnya dalam Peraturan Polri ini
adalah adat, tradisi, kebiasaan atau tata nilai yang masih kuat dianut oleh masyarakat setempat dalam
rangka memelihara keamanan, ketertiban dan ketenteraman di lingkungan warga masyarakat
setempat.

 

Penyikapan kepolisian pada penanganan kasus-kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan
hukum merupakan penentu awal akses masyarakat adat pada keadilan. Sikap proaktif pimpinan polri
dalam mengusut kasus kekerasan terhadap masyarakat adat yang melibatkan anggota Polri perlu
diapresiasi. PPMAN mencatat, pada 2022 ini, misalnya, Divisi Propam dan Pengamanan (Propam)
Mabes Polri telah menindaklanjuti pengaduan PPMAN terkait dugaan pelanggaran disiplin dan
kekerasan yang dilakukan oleh anggota dan pimpinan kepolisian di Polres Nagekeo, Nusa Tenggara
Timur dalam rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Waduk Mbay/Lambo.
Di tengah kemajuan ini, dari bulan Januari hingga Juni 2022, PPMAN masih menerima pengaduan yang
terkait anggota kepolisian sebagai pelaku tindak kekerasan, melakukan kriminalisasi terhadap

 

pembela dan masyarakat adat yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari perampasan oleh
industri ekstraktif disektor perkebunan dan pertambangan, maupun polri dianggap menghambat
langkah korban memperjuangkan keadilan.

 

Dari 16 (enam belas) kasus yang di dalami, terdapat 4 kasus di mana polisi dilaporkan melakukan
kriminalisasi kepada pembela masyarakat adat. 4 kasus tersebut dialami oleh advokat pembela
masyarakat adat yang tengah melakukan pendampingan kepada masyarakat adat tana’ai di
Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Ia dilaporkan karena memperjuangkan hak masyarakat adat
yang berhadapan dengan perusahaan pemilik SKP HGU. Kriminaliasasi juga dialami oleh Kepala Desa
Kinipan di Kalimantan Tengah yang berjuang bersama masyarakat adat Kinipan dalam
mempertahankan wilayah adatnya yang dirampas oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Kriminalisasi yang dialami oleh Willem Hengky (Kepala Desa Kinipan) telah diputuskan oleh Pengadilan
Negeri Palangkaraya, Willem tidak terbukti bersalah dari seluruh dakwaan dan pengadilan
memerintahkan Willem Hengki segera dibebaskan dari tahanan. Kasus kriminalisasi lainnya dialami
oleh masyarakat adat di Natumingka, Tano Batak, Sumatera Utara yang berhadapan dengan PT. Toba
Pulp Lestari (PT.TPL). Diawal tahun 2022 Kepolisian juga melakukan penangkapan terhadap 3 (tiga)
orang Masyarakat Adat Kaili Tado di Kabupaten Pasang Kayu, Sulawesi Barat yang mepertahankan
wilayah adatnya dari perampasan lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT.
Mamuang.

 

 

Berdasarkan pengaduan dan permohonan bantuan hukum yang diterima oleh Kantor Hukum
Masyarakat Adat Nusantara di 7 (tujuh) Region, kemudian ditindaklanjuti melalui proses
pendampingan hukum. Berdasarkan kasus-kasus tersebut PPMAN mengidentifikasi 9 (sembilan) pola
pelanggaran yang dilakukan oleh polri terhadap masyarakat adat, yaitu: (1) Kriminalisasi dan
Minimnya Akuntabilitas Penetapan Status Tersangka, (2) Penundaan Proses (undue delay), (3)

 

Mengejar Pengakuan Tersangka, (4) Penangkapan Sewenang-Wenang, (5) Penahanan Sewenang-
Wenang, (6) Permasalahan Akuntabilitas Penahanan, (7) Hak Penasihat Hukum yang Dibatasi, (8)

 

Penyiksaan dan impunitas bagi pelaku (9) Pembunuhan di luar proses hukum (extra-judicial killing).
Sementara itu, menurut catatan Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM), berdasarkan
jumlah aduan periode 1 Januari – 7 Juni 2022, Polri merupakan instansi yang paling banyak diadukan
terkait pelanggaran HAM di komunitas masyarakat adat setelah pihak koorporasi dan pemerintah
daerah. Dalam laporan tersebut, Komnas HAM menguraikan tindakan lainnya yang dialami
masyarakat adat terkait dengan kekerasan oleh aparat, kriminalisasi dan diskriminasi penanganan
laporan oleh polisi, dan permasalahan penetapan status tersangka pemimpin adat.

 

Meski perhatian Kepolisian terus meningkat pada isu akuntabilitas internal, kasus-kasus di atas
menunjukkan masih adanya tantangan di lapis kebijakan/subtansi, struktur dan kultur hukum di tubuh
kepolisian. Saat ini, juga belum ada rujukan kebijakan khusus di kepolisian tentang penanganan kasus
masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum dalam posisi sebagai korban, saksi maupun
tersangka. Padahal, kebijakan ini akan menguatkan akses keadilan mengingat telah ada Peraturan
Kapolri (PERKAP) No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia
Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 6 huruf (G) yang tegas
menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas-tugasnya Kepolisian Republik Indonesia harus
menghormati dan melindungi Hak Masyarakat Adat.

 

Meningkatnya pelanggaran yang dialami oleh masyakat adat menunjukkan inkosistensi polri dalam mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-
hak khusus masyarakat adat.

 

khusus di kepolisian ini dibutuhkan mengingat tidaklah mudah mengubah persepsi
individual aparat kepolisian mengenai masyarakat adat. Apalagi, program-program pendidikan untuk
menguatkan perspektif keadilan dan ketrampilan penanganan kasus kekerasan yang dialami oleh
masyarakat adat masih terbatas.

 

Untuk mendukung terwujudnya POLRI Presisi melalui optimalisasi pemenuhan hak asasi manusia
dalam penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum, PPMAN
merekomendasikan kepada Kepolisian RI, yaitu:

 

  1. 1. Pentingnya memperkuat pemahaman setiap anggota polri untuk menghormati hak-hakkhusus masyarakat adat sebagaimana yang tertuang dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-
    Bangsa tentang hak masyarakat adat dalam implementasi tugas dan fungsi kepolisian;
  2. Pentingnya pimpinan polri membentuk satu kebijakan presisi untuk menjadi pedoman
    penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum;
  3. Pimpinan polri harus segera memastikan langkah pencegahan dan penanganan setiap anggota
    polri dalam situasi konflik sumber daya alam dimana proyek pembangunan stragis nasional
    yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta yang mengancam keberadaan
    masyarakat adat;
  4. Perlu segera adanya reformasi Kepolisian baik di dalam fungsi penegakan hukum dan fungsi
    menjaga ketertiban. Termasuk didalamnya perbaikan kultur dan penegakan hukum terhadap
    anggota polri yang melakukan tindak pidana didalam menjalankan tugasnya;
  5. Memastikan langkah pencegahan dan penanganan kasus kekerasan dan penyiksaan yang
    dilakukan oleh aparat kepolisian, yang juga mencakup upaya pemulihan bagi korban.

 

Demikian pres release ini disampaikan untuk disiarkan.
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
Syamsul Alam Agus, Ketua PPMAN, 08118889083

PPMAN : Dialog Menyeluruh Solusi untuk Permasalahan Pro-Kontra Proyek Strategis Nasional di Rendu

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendesak pemerintah pusat agar segera memulai tahapan dialog yang bermartabat  guna merumuskan masalah dan solusi atau penyelesaian permasalahan pada rencana pembangunan waduk mbay di kawasan masyarakat adat rendu secara menyeluruh dan bermartabat.

 

Desakan tersebut disampaikan Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus, S.H., dalam keterangan pers di Nagekeo, pada Senin (25/4). terkait terjadinya polarisasi di masyarakat sehubungan dengan rencana pembangunan proyek strategis nasional (PSN) di kawasan masyarakat adat rendu. Bahkan dalam perkembangannya sebanyak 24 orang masyarakat adat ditangkap dan diperlakukan tidak manusiawi pada tanggal 4 April 2022 oleh anggota kepolisian resort Nagekeo.

 

Sejalan dengan itu PPMAN mengajak berbagai pihak agar menghentikan tindakan dalam bentuk apapun yang dapat berpotensi meningkatkan siklus kekerasan. “Kami mengajak para tokoh untuk bekerjasama membangun komunikasi yang dimulai dari bawah guna meredakan ketegangan, kekhawatiran dan sikap permusuhan agar relasi sosial diantara masyarakat sipil dapat dibangun kembali,” ajak Syamsul Alam.

 

Tak hanya itu, PPMAN juga meminta agar penegakan hukum yang dilakukan berlaku adil dan transparan terhadap semua pihak. Aparat penegakan hukum mengedepankan prinsip-prinsip HAM secara benar dan imparsial.

 

PPMAN berharap untuk penyelesaian polemik pro-kontra pembangunan waduk lambo, baik pemerintah maupun pihak kepolisian yang mengambil inisiatif dialog dapat menunjukan sikap netral, menghindari praktik diskriminasi dan stigmatisasi terhadap salah satu pihak.

 

Sebagaimana diketahui, pada tanggal 25 April 2022, Polres Nagekeo melaksanakan sebuah kegiatan dialog interaktif di Aula Polres Nagekeo. Dialog interaktif tersebut dipimpin oleh Kapolres Nagekeo, AKBP Yudha Pranata, S.I.K yang dimaksudkan untuk merespon surat permohonan PPMAN untuk berdialog dua arah terkait dengan proses hukum terhadap 24 orang masyarakat adat rendu yang ditangkap oleh aparat kepolisian pada tanggal 4 April 2022.

 

Selain itu, pengajuan dialog kepada kapolres Nagekeo, dimaksudkan oleh PPMAN untuk menyampaikan bahwa Masyarakat Adat rendu, Perempuan Adat Rendu dan 24 orang masayarakat adat yang ditangkap yang semuanya merupakan anggota Forum Perjuangan Penolakan Waduk Lambo(FPPWL), telah memberikan kuasa kepada sejumlah advokat PPMAN untuk mendampingi kepentingan hukum mereka.

 

Maksud dan tujuan dialog yang diajukan oleh PPMAN tersebut kemudian berubah menjadi penekanan yang dilakukan oleh sejumlah pihak yang hadir atas undangan Kapolres. Para pihak tersebut dinilai tidak memiliki kepentingan atas tujuan dialog yang diajukan oleh PPMAN. Situasi forum di aula Polres Nagekeo kemudian menjadi tidak kondusif, sejumlah pihak melontarkan kata-kata yang tidak sepantasnya dan merendahkan wibawa profesionalisme penegakan hukum.

 

Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Syamsul Alam Agus, S.H., menduga Kapolres Yudha telah mendapatkan informasi dan perkiraan intelijen yang keliru. sehingga, menyarankan agar Kapolres mengundang pihak-pihak yang mengidentifikasikan dirinya sebagai kelompok masyarakat yang pro pada pembangunan waduk lambo untuk hadir dalam dialog tersebut. tanpa melalui satu proses concern kepada pihak PPMAN format dialog dirubah secara sepihak dengan melibatkan orang-orang yang tidak berkepentingan pada maksud dan tujuan surat permohonan yang diajukan.

 

Lanjut Alam, informed consent menjadi kewajiban para pihak dalam dialog yang direncanakan karena merupakan prinsip atas persetujuan bebas yang diberikan oleh salah satu pihak terhadap suatu tindakan, setelah ia memperoleh semua informasi yang penting mengenai sifat serta konsekuensi tindakan tersebut.

 

Informed consent dibuat berdasarkan prinsip etika Outonomi (otonomi), Beneficence (Berbuat Baik), Justice (Keadilan), Non-maleficence (tidak merugikan), Veracity (Kejujuran), Fidelity (Menepati janji), Confidentiality (Kerahasiaan), dan Accountability (Akuntabilitas) yang berakar pada martabat manusia di mana otonomi dan integritas pribadi para pihak dilindungi dan dihormati.

 

Ketua Badan Pelaksana PPMAN kembali menegaskan bahwa Polri tidak saja dituntut profesional, tetapi juga akuntabel kepada pemangku kepentingan, antara lain dengan menggunakan kewenangannya secara bijak dan santun pada masyarakat yang dilayaninya serta mengedepankan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

 

“Itulah pentingnya berpedoman pada prinsip penegakan hak asasi manusia,” tegas Alam. Menurut Alam, aturan pelaksana di dalam mendorong penerapan nilai-nilai hak asasi manusia untuk memperkuat profesionalisme dan akuntabilitas aparat kepolisian telah diatur melalui Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip-Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, dimana diwajibkan bagi setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas atau dalam kehidupan sehari-hari untuk menerapkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia.

 

“Sekurang-kurangnya ada lima pedoman terkait prinsip penegakan hak asasi manusia;

 

(1) Menghormati martabat dan hak asasi manusia setiap orang; (2) Bertindak secara adil dan tidak diskriminatif; (3) Berperilaku sopan; (4) Menghormati norma agama, etika, dan susila; (5) Menghargai budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia,” jelas Alam.

 

Sementara, Koordinator PPMAN Region Bali – Nusra, Anton Johanis Bala, S.H. yang juga hadir di Mapolres Nagekeo mengatakan kita harus mengedepankan dialog damai sebagai strategi utama penyelesaian siklus kekerasan sekaligus pembuka jalan untuk isu-isu lain, seperti ketidakadilan, diskriminasi, hak ulayat dan sebagainya.

 

“Terkait dengan polemik pembangunan Proyek Strategis Nasional Waduk Lambo, PPMAN mengingatkan kepada pemerintah untuk mengedepankan prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) dalam proses pengambilan keputusan. Persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan bertujuan untuk membangun partisipasi dan konsultasi bottom-up dari penduduk asli sebelum dimulainya pembangunan di tanah leluhur atau menggunakan sumber daya di wilayah penduduk asli,” katanya.

 

“Sekali lagi bagi PPMAN hanya dengan menggunakan media dialog maka permasalahan di proyek strategis nasional dapat diurai dengan jernih dan diselesaikan secara adil dan bermartabat,’’ tutup Anton Johanis.

PPMAN: Hentikan Intimidasi Kekerasan pada Masyarakat Adat Rendu

 

Kritik keras datang dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) terhadap sikap pihak kepolisian pada Masyarakat Adat Rendu, dalam kasus permasalahan pembangunan Waduk Mbay atau Lambo di Nagakeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). PPMAN menganggap, tindakan kekerasan, kesewenangan, ancaman dan intimidasi yang telah dilakukan oleh anggota Kepolisian Polres Nagekeo terhadap Masyarakat Adat Rendu merupakan tindakan pelanggaran hukum.

PPMAN menyebut, tindakan kepolisian tersebut melanggar Pasal 18 B ayat 2. Yang mana pasal tersebut menyebutkan, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Selain itu, Pasal 28 I ayat 3 juga diatur, indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Berdasarkan pada konstitusi itu, masyarakat adat sepatutnya dilindungi, dihormati dan diakui oleh Pemerintah, baik itu pemerintah pusat, provinsi maupun pemerintah daerah.

Dalam kasus pembangunan Waduk Lambo, Masyarakat Adat Rendu yang tergabung dalam Forum Perjuangan Penolakan Waduk Lambo (FPPWL) melakukan penolakan dan meminta agar waduk itu pembangunannya dipindahkan ke lokasi lain, yang masih berada di wilayah Masyarakat Adat Rendu.

Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus menguraikan, pada 4 April 2022 lalu, masyarakat adat telah mengetahui akan dilaksanakan ritual adat di pintu masuk Lokasi Proyek Waduk Lambo oleh Suku Gaja yang tidak punya hubungan langsung dengan Tanah di Lowo Se. Oleh karena itu Masyarakat Adat Rendu Woe Diri Ke’o Sao Aja Ulu yang memiliki hubungan langsung dengan tanah di Lowo Se datang ke rumah adat untuk memantau dan melihat Suku Gaja yang hendak pergi menjalankan ritual adat di pintu masuk lokasi.

“Begitu melihat Suku Gaja hendak ke Lokasi Pintu Masuk Lokasi, Masyarakat Adat Rendu Woe Diri Keo, Sao Aja Ulu yang sudah menunggu di rumah adat menegur Suku Gaja (dengan ucapan adat),” kata Syamsul Alam Agus, dalam siaran pers yang diterima, Sabtu (14/5/2022).

Dalam prosesi tersebut situasi menjadi memanas dan akhirnya aparat Polres Nagekeo yang datang bersama Kelompok Masyarkaat Adat Suku Gaja menangkap 24 orang Masyarakat Adat Rendu “Woe Diri Ke’o Sa’o Aja Ulu” dan membawa mereka ke Kantor Polres Nagekeo.

Di Kantor Polres Nagekeo, masyarakat adat diduga mengalami tindakan kekerasan psikis berupa ancaman, tekanan, hinaan, dan cacian. Bahkan pada saat di Kantor Polres, anggota polisi membiarkan oknum seorang wartawan melakukan penghinaan dan kekerasan terhadap seorang tokoh Masyarakat adat.

Polres Nagekeo yang dipimpin oleh Yudha Pranata juga diduga melakukan tindakan kriminalisasi terhadap tiga orang masyarakat adat dan mengancam masyarakat adat akan melakukan proses hukum jika Masyarakat adat tidak menyetujui pembangunan Waduk Lambo tersebut. Masyarakat adat yang berada di bawah tekanan, ancaman dan intimidasi terpaksa menyetujui dan menandatangani surat persetujuan rencana pembangunan waduk Lambo.

“Polres Nagekeo mengumpul semua wartawan untuk melakukan konferensi pers dengan masyarakat adat untuk menyampaikan ke publik bahwa masyarakat adat menyetujui pembangunan Waduk Lambo tersebut,” lanjut Syamsul.

Beberapa hari kemudian, 9 April 2022, Polres Nagekeo mendatangi masyarakat adat, dengan alasan karena Polres Nagekeo melihat ada aktivitas masyarakat adat yang melakukan penolakan pembangunan Waduk Lambo. Di situ pihak kepolisian mengancam dan mengintimidasi masyarakat adat jika masih ada penolakan, maka kasus hukumnya akan diproses.

Masyarakat adat menyampaikan protes atas sikap kepolisian, dan keesokan harinya pihak kepolisian mengirimkan surat pemanggilan kepada beberapa masyarakat adat untuk dimintai keterangannya pada 11 April 2022

Menyoroti masalah ini, PPMAN yang telah mendapatkan kuasa dari Masyarakat Adat Rendu menyampaikan, tindakan Polres Nagekeo melakukan tindakan intimidasi, ancaman dan kekerasan terhadap Masyarakat adat merupakan tindakan pelanggaran hukum.

“Untuk ini PPMAN akan mengambil langkah hukum atas sikap dan tindakan dari Polres Nagekeo. PPMAN mendatangi Propam Mabes Polri melaporkan tindakan Polres Nagekeo yang telah melakukan tindakan intimidasi, mengancam, menekan dan yang telah melakukan kekerasan terhadap masyarakat adat di Rendu.”

Syamsul mengatakan, tindakan intimidasi, tekanan dan ancaman telah melanggar Pasal 11 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Polres Nagekeo harus segera menghentikan segala tindakan intimidasi dan pengancaman kepada Masyarakat Adat Rendu.

Koordinator Region PPMAN untuk Bali Nusra, Antonius Yohanis Bala menambahkan, sikap Polres Nagekeo tidak mencerminkan sikap aparat penegak hukum yang memberikan perlindungan kepada masyarakat. Ia menyebut PPMAN akan terus mengawal laporan atas perilaku aparat kepolisian ini di tingkat Nasional.

Pihaknya juga akan melaporkan sikap Polres Nagekeo ini ke berbagai lembaga dan juga Komisi 3 DPR-RI untuk mendapatkan perhatian dari berbagai pihak atas sikap kesewenangan yang dilakukan oleh Polres Nagekeo terhadap masyarakat adat.

“PPMAN meminta dan mendesak agar Kapolri, segera memerintahkan Kapolda NTT memberikan teguran dan peringatan kepada Kapolres Nagekeo yang telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk menakuti masyarakat adat karena seharusnya kepolisian hadir untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat,” kata Yohanis.

Selain itu PPMAN juga akan meminta dukungan dari berbagai lembaga untuk melakukan pengawasan khususnya pengawasan anggaran terhadap rencana pembangunan Waduk Lambo tersebut. Hal ini sangat penting untuk mengetahui transparan anggaran dalam pembangunan waduk tersebut.

Sumber : https://betahita.id/news/detail/7531/ppman-hentikan-intimidasi-kekerasan-pada-masyarakat-adat-rendu.html?v=1652711511

PPMAN Sebut Penangkapan 24 Warga MA Rendu Adalah Bentuk Kriminalisasi Paling Nyata Dari Penguasa

 

Perhimpunan Pengacara Masyarakat  Adat Nusantara (PPMAN) Region Bali Nusa Tenggara mengatakan, penangkapan terhadap 24 warga Masyarakat Adat Rendu yang sedang berjuang mempertahankan hak – hak konstitusi mereka merupakan bentuk kriminalisasi paling nyata yang dilakukan oleh penguasa terhadap Masyarakat Adat  dalam beberapa dekade terakhir ini.

Hal ini dikatakan Antonius Johanis Bala, SH., Koordinator PPMAN Region Bali – Nusra hari ini, Rabu (06/04/2022) dalam menyikapi tindakan aparat Kepolisian Resor (Polres) Nagekeo yang telah melakukan penangkapan secara paksa terhadap 24 orang Masyarakat Adat Rendu untuk dibawa ke kantor Kepolisian Resor Nagekeo.

Antonius Johanis Bala, SH mengatakan pihak PPMAN sangat kecewa dengan tindakan aparat Kepolisian Resor (Polres) Nagekeo yang melakukan tindakan kekerasan dan kriminalisasi  serta intimidasi terhadap Masyarakat Adat Rendu yang ditangkap dan dibawa ke kantor polisi karena tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum dan konstitusi akan keberadaan Masyarakat Adat yang sesungguhnya telah dilindungi oleh konstitusi seperti yang dimandatkan dalam Undang – Undang Dasar 1945.

Polisi juga lanjut Antonius Johanis Bala, sesungguhnya telah melanggar Undang – Undang Nomor 39 Tahun 2006 tentang Hak Azasi Manusia.

“Pembangunan waduk Lambo menimbulkan pro dan kontra terhadap Masyarakat Adat yang ada di Rendu. Dan situasi ini dimanfaatkan oleh Kepolisian Resor Nagekeo untuk membenturkan pendapat masyarakat yang pro dan kontra terhadap pembangunan waduk Lambo tersebut dengan membuat skenario untuk menciptakan konflik horisontal antara Masyarakat Adat dari suku yang berbeda dengan Masyarakat Adat suku Rendu,” kata Antonius Johanis Bala.

Antonius Johanis Bala mengungkapkan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) yang telah mendapatkan kuasa dari Masyarakat Adat Rendu menyampaikan sikap tegas dengan mengambil langkah hukum atas sikap dan tindakan Kepolisian Polres Nagekeo atas peristiwa penangkapan terhadap Masyarakat Adat Rendu tersebut.

Pihak PPMAN menjelaskan, tindakan Ketua Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL), Bernadinus Gaso yang menyetujui pembangunan waduk Lambo merupakan tindakan yang dilakukan dalam posisi dan kondisi tertekan dan tidak bebas, karena adanya tekanan, paksaan dan ancaman yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian Polres Nagekeo.

Dilanjutkan Antonius Johanis Bala atau yang biasa disapa John Bala ini mengungkapkan, pernyataan sikap yang disampaikan oleh Ketua Forum, Bernadinus tersebut tidak mewakili seluruh kepentingan Masyarakat Adat Rendu karena dapat dipastikan tidak ada proses konsolidasi dan koordinasi secara baik dengan Masyarakat Adat lainnya disaat Ketua Forum mengambil keputusan untuk menyetujui pembangunan waduk Lambo tersebut. Hal ini dapat dilihat dari semua alat komunikasi yang mereka miliki diambil dan disita serta ditahan oleh aparat kepolisian di kantor Polres Nagekeo, sehingga dapat dipastikan ada keterbatasan akses bagi Ketua Forum untuk meminta pendapat, sikap dan keputusan dari Masyarakat Adat lainnya.

Ketua Yayasan Bapikir ini menambahkan, tindakan Kepolisian Resor Nagekeo yang menjemur Masyarakat Adat pada terik matahari merupakan tindakan yang tidak manusiawi dan tidak mencerminkan sebagai aparat penegak hukum yang baik, karena aparat kepolisian yang baik tidak akan memperlakukan masyarakat dengan beradab dan santun serta melindungi kepentingan masyarakat, namun pada kasus waduk Lambo sangat terlihat bahwa Kepolisian Resor Nagekeo tunduk dan patuh untuk menjalankan perintah – perintah dari pengusaha, pemilik modal atau perusahaan yang akan membangunkan proyek di waduk Lambo.

Sementara itu Ermelina Singereta SH., Manager Bidang Advokasi PPMAN saat dihubungi secara terpisah melalui telephone selulernya mengatakan, Masyarakat Adat Rendu melakukan konferensi pers di Kantor Kepolisian Resor Nagekeo menunjukan Masyarakat Adat tidak memiliki sikap dan keputusan yang bebas untuk menolak, dan dapat diduga konferensi pers tersebut dilakukan atas perintah pihak kepolisian untuk menyampaikan persetujuan terhadap pembangunan waduk Lambo yang selama ini ditolak oleh mereka.

Ermelina menjelaskan pihak PPMAN telah membuatkan laporan atas sikap Polres Nagekeo ke Propam Mabes Polri beberapa waktu lalu dan Propam Mabes Polri telah mendelegasikan laporan PPMAN ke Polda NTT, namun hingga saat ini PPMAN belum mendapatkan respon atas surat perkembangan laporan yang telah kirimkan ke Propam Polda NTT.

“Nah, ini menunjukan sikap ketidakpedulian dan ketidakprofesioalnya aparat Kepolisian di Polda NTT. Sesungguhnya sikap seperti ini sangat merugikan masyarakat NTT. Disamping melaporkan ke Propam Mabes Polri, PPMAN juga telah membuatkan laporan ke Kompolnas RI, Komisi Nasional Hak Azasi Manusia dan Komnas Perempuan,” tandas Ermelina.

Advokat Perempuan kelahiran Manggarai ini menegaskan, pihak PPMAN akan mengirimkan surat ke Mabes Polri dan kembali membuatkan laporan ke Propam Mabes Polri, lembaga negara lainnya dan juga ke Komisi III DPR RI (Komisi Hukum) yang merupakan  mitra kerja dari Mabes Polri.

“Hal ini sangat penting dilakukan agar Komisi III DPR RI dapat melakukan evaluasi terhadap kinerja dari aparat Kepolisian Republik Indonesia dan segera melakukan pemeriksaan serta  evaluasi terhadap kinerja dari Kapolres Nagekeo yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya dalam memberikan perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat Rendu, namun sebaliknya  menjalankan fungsi dan tugasnya untuk melindungi para pengusaha,” tegas Ermelina Singereta.

Pihaknya berjanji akan terus mengkawal dan mendampingi Masyarakat Adat Rendu dan mengambil beberapa tindakan hukum lainnya, agar  tercapainya keadilan bagi Masyarakat Adat Rendu yang memiliki hak penuh atas tanah leluhurnya. ***(welano)

Sumber : https://www.jongflores.com/2022/04/ppman-sebut-penangkapan-24-warga-ma.html

PPMAN Beberkan Dugaan Pelanggaran HAM dan Konstitusi Oleh Aparat Polres Nagekeo

Koordinator Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Jhon Bala, mengecam tindakan Aparat Polres Nagekeo atas peristiwa penangkapan terhadap masyarakat adat Rendu pada 4 April 2022 lalu.

Menurut Jhon, aparat Polres Nagekeo melakukan penangkapan secara paksa terhadap 24 orang masyarakat adat Rendu, dimana tindakan tersebut merupakan salah satu bentuk tindakan yang telah melanggar Undang-undang Nomor 39 Tahun 2006 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
“Tindakan dan perilaku kekerasan dan intimidasi yang telah dilakukan oleh Kepolisian Polres Nagekeo terhadap masyarakat adat Rendu, merupakan tindakan pelanggaran hukum dan konstitusi yang dimana keberadaan Masyarakat Adat telah dilindungi oleh konstitusi sebagaimana mandat dari Undang-undang Dasar 1945,” tegas Jhon dalam keterangan yang diterima media, Rabu (6/4) pagi.

Jhon mengatakan, pembangunan waduk Lambo menimbulkan pro dan kontra terhadap masyarakat adat yang ada di Rendu. Masyarakat adat yang melakukan penolakan dan tergabung dalam “Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo” kemudian dimanfaatkan oleh Kepolisian Polres Nagekeo dengan membenturkan pendapat masyarakat yang pro dan kontra terhadap pembangunan waduk tersebut.
“Kepolisian sengaja melakukan dan menciptakan skenario ini untuk menciptakan atau membuatkan konflik horisontal antara masyarakat adat dari suku yang berbeda dengan masyarakat adat Rendu,” ujarnya.

Dasar itu, dirinya yang telah mendapatkan kuasa dari Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo menyampaikan sikap tegas dan langkah hukum atas sikap dan tindakan Kepolisian Polres Nagekeo atas peristiwa penangkapan terhadap masyarakat adat Rendu tersebut.

Selain itu, lanjutnya, tindakan dari Ketua Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo dengan menyetujui pembangunan waduk Lambo merupakan tindakan yang dilakukan dalam posisi dan kondisi tidak bebas karena adanya tekanan, paksaan dan ancaman yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian Polres Nagekeo.

“Sikap dari Ketua Forum tersebut tidak mewakili seluruh kepentingan masyarakat adat Rendu. Hal ini dapat saya sampaikan karena dapat dipastikan tidak ada proses konsolidasi dan koordinasi dengan masyarakat adat lainnya saat ketua forum mengambil keputusan untuk menyetujui pembangunan Waduk Lambo tersebut. Seluruh peralatan komunikasi Masyarakat Adat yang tergabung dalam Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo ditahan, disimpan atau disita oleh Kepolisian dan ini atas perintah dari Kapolres Nagekeo. Maka ada keterbatasan akses bagi ketua forum untuk meminta pendapat, sikap dan keputusan dari masyarakat adat lainnya,” jelas Jhon.

Ia juga menambahkan bahwa tindakan Kepolisian Polres Nagekeo dengan menjemur masyarakat adat merupakan tindakan yang tidak manusiawi dan tidak mencerminkan sebagai aparat penegak hukum yang baik.

“Seharusnya Kepolisian melindungi kepentingan masyarakat, namun pada kasus waduk Lambo sangat terlihat bahwa Kepolisian Polres Nagekeo tunduk dan patuh untuk menjalankan perintah-perintah dari pengusaha, pemilik modal atau perusahaan yang akan membangun waduk di Lambo,” tegasnya.

Di tempat terpisah, Ermelina Singereta, yang merupakan Manager Bidang Advokasi PPMAN mengatakan bahwa masyarakat adat yang tergabung dalam Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo melakukan konferensi pers di Kantor Kepolisian Polres Nagekeo dan ini menunjukan bahwa masyarakat adat tidak memiliki sikap dan keputusan yang bebas untuk menolak.

“Dapat dikatakan masyarakat adat melakukan konferensi pers untuk melaksanakan perintah dari Kepolisian untuk menyampaikan persetujuan pembangunan waduk Lambo tersebut dan ini sudah menjadi kebiasaan di Instansi Kepolisian,” ujar Ermelina via gawainya.

Pengacara perempuan yang berdomisili di Jakarta ini juga menambahkan bahwa PPMAN telah membuatkan laporan atas sikap Polres Nagekeo ke Propam Mabes Polri dan Propam Mabes Polri telah mendelegasikan laporan PPMAN ke Polda NTT.

Namun sampai saat ini PPMAN belum mendapatkan respon atas surat perkembangan laporan yang telah kirimkan ke Propam Polda NTT.

“Ini menunjukan sikap ketidakpedulian dan tidak profesioalnya aparat Kepolisian di Polda NTT, selain itu PPMAN telah membuatkan laporan ke Komponas RI, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komnas Perempuan,” tegasnya.

Atas peristiwa yang terjadi pada tanggal 04 April 2022, PPMAN akan mengirimkan surat ke Mabes Polri dan juga membuatkan laporan kembali ke Propam Mabes Polri, lembaga Negara dan juga ke Komisi III DPR RI (komisi hukum) yang merupakan mitra kerja dari Mabes Polri.

Hal ini, kata Ermelina, sangat penting agar Komisi III DPR RI melakukan evaluasi terhadap kinerja dari aparat Kepolisian. Kami juga meminta agar Mabes Polri segera melakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap kinerja dari Kapolres Nagekeo yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat Rendu, namun menjalankan fungsi dan tugasnya untuk melindungi para pengusaha.

PPMAN akan terus mengawal dan mendampingi masyarakat adat dan mengambil beberapa tindakan hukum lainnya, hal ini sangat penting untuk tercapainya keadilan bagi masyarakat adat yang memiliki hak penuh atas tanah leluhurnya,” tutup Ermelina.

Untuk diketahui, sebelumnya pada Desember 2021 lalu, Kepolisian Polres Nagekeo telah dilaporkan ke Propam Mabes Polri terkait dengan tindakan represif yang dilakukan terhadap masyarakat adat Rendu. ***

sumber : https://www.floreseditorial.com/news/pr-3973152703/ppman-beberkan-dugaan-pelanggaran-ham-dan-konstitusi-oleh-aparat-polres-nagekeo

UU IKN Ingkari Konstitusi: Rakyat Minta Pembatalan Lewat Judicial Review

 

Jakarta/Kalimantan Timur, 1 April 2022 –

 

Hari ini,

Rakyat Indonesia mendaftarkan gugatan Judicial Review atas Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) ke Mahkamah Konstitusi. Seperti halnya UU Cipta Kerja dan UU Minerba, proses pembentukan UU IKN
ini bertentangan dengan UUD 1945 dan melabrak semua asas formil pembentukanperundang-undangan, partisipasi publik dan kedayagunaan-kehasilgunaan [1]. Regulasi hukum di rezim pemerintahan Joko Widodo dan DPR RI telah dibajak segelintir oligarki untuk mengamankan kepentingan bisnis mereka dan lagi-lagi rakyat diabaikan. Gugatan didaftarkan oleh Busyro Muqoddas dari Muhammadiyah, Trisno Rahardjo Dosen  Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ibu Dahlia dari Suku Paser Balik, Penajam Paser Utara Kalimantan Timur, Rukka Sombolinggi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Zenzi Suhadi dari WALHI Eksekutif Nasional.

 

“JR UU IKN ini merupakan satu di antara banyak regulasi hasil kerja kilat antara pemerintahan Presiden Jokowi dan DPR RI yang digugat oleh rakyat. Sebelumnya ada UU Cipta Kerja yang digugat di MK dan telah dinyatakan cacat prosedural. Begitu juga UU Minerba yang saat ini masih dalam proses persidangan. Pemerintah dan DPR
benar-benar telah menghancurkan tatanan demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,” kata Muhammad Arman, Kuasa Hukum Aliansi Rakyat Gugat Pemindahan Ibu Kota Negara (ARGUMEN).

 

UU IKN dibahas secara super kilat dalam 17 hari. DPR RI dan pemerintah tidak memberi ruang partisipasi publik yang baik padahal merekalah yang paling banyak menanggung implikasi dari regulasi predatoris ini. UU IKN bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

 

Tim Kuasa Hukum ARGUMEN menilai bahwa regulasi ini tidak punya kebermanfaatan bagi rakyat banyak di situasi pandemi dan krisis ekonomi yang melanda warga. UU IKN juga telah menempatkan masyarakat adat semakin terpinggirkan sebab komunitas tidak pernah diajak bicara padahal mereka telah lama hidup di dalam wilayah yang dijadikan lokasi pemindahan ibu kota negara. Bahkan alokasi wilayah yang telah ditetapkan
pemerintah untuk kawasan IKN mencapai 256.142 hektar dimana di dalamnya juga terdapat kehidupan masyarakat adat.

 

“Tata kelola lingkungan dan hak atas tanah di indonesia yang amburadul, menimbulkan bencana dan konflik, karena kajian kelayakan suatu usaha senantiasa dilakukan untuk melegitimasi keputusan politik penguasa, bukan untuk melihat suatu usaha layak atau tidak. Begitu juga dengan pemindahan IKN ini,” kata Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional WALHI.

 

Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN menegaskan “Tidak adanya partisipasi penuh dan efektif masyarakat adat dalam pembentukan UU IKN adalah satu dari sekian banyak bentuk diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat di Indonesia. Pembangunan IKN tanpa persetujuan (Free Prior Informed Consent -FPIC) dari Masyarakat Adat adalah pelanggaran konstitusi sekaligus menjadi penanda suksesi yang paripurna penghancuran keberadaan Masyarakat Adat di IKN dan penegasan terhadap watak pemerintahan yg berkuasa hari ini sebagai pemerintah yang otoritarian sekaligus tunduk pada kepentingan para oligarki.”

 

Catatan media:
[1] Dalam dokumen JR, Tim Penggugat dari Aliansi Rakyat Gugat Pemindahan Ibu Kota Negara (ARGUMEN) mengatakan bahwa UU IKN ini bertentangan dengan – sedikitnya ada 8 pasal dalam UUD 1945 yang seharusnya menjadi falsafah dalam proses penyusunan hukum di negara ini. Pasal-pasal tersebut yakni:

 

a. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, menyatakan:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945”;
b. Pasal 22A UUD 1945, menyatakan:
“Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan
undang-undang”;
c. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, menyatakan:
“Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;
d. Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 menyatakan:

“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”;

e. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”;
f. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakan:
“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”;
g. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”;
h. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 menyatakan:

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman
dan peradaban”;

 

Kontak Media:
Muhammad Arman, Tim Kuasa Hukum Aliansi Rakyat Gugat Pemindahan Ibu Kota
Negara (ARGUMEN), +62 812-1879-1131
Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, +62 812-8985-0005
Rukka Sambolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara -AMAN, +62 812 1060794

Presiden Jokowi Resmikan PLTA Poso di Tengah Derita Berkempanjangan Warga

Demi listrik untuk industri, ratusan hektar wilayah adat masyarakat Danau Poso akan rusak bahkan akan
ditenggelamkan. Masyarakat Adat Danau Poso bersama koalisi organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari
KPA, WALHI, AMAN, JATAM, Solidaritas Perempuan, dan Bersihkan Indonesia, mengecam sikap pemerintah yangterus memaksa pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso yang mempertaruhkan keselamatan rakyat dan lingkungan.

 

Mega Proyek PLTA Poso yang berkapasitas 515 MW, telah menimbulkan berbagai masalah seperti perampasan tanah, kerusakan lingkungan dan kemiskinan. Padahal Danau Poso sebagai identitas dan sumber kehidupan masyarakat adat di sekitar Danau Poso sejak beratus tahun lamanya, menjadi tulang punggung perekonomian warga.

 

Kehidupan dan masa depan ribuan warga yang bermukim di hulu-hilir Danau Poso, sangat bergantung pada Danau terbesar ketiga di Indonesia itu. Lahan pertanian seperti sawah dan kebun di pinggiran danau misalnya, pengelolaannya mengikuti siklus air dari Danau Poso. Demikian juga dengan nelayan tradisional dan penambang pasir tradisional yang menjadikan Danau Poso sebagai sumber mata pencaharian. Danau Purba Jantungnya Wallace ini juga kaya akan biota laut yang selama ini terus dijaga oleh masyarakat, bahkan oleh para peneliti dunia menjadi laboratorium alam.

 

Kini, Danau Poso itu dicaplok, aliran airnya dibendung untuk membangkitan sumber energi listrik. Air sungai yang selama ini esensial bagi warga setempat, dimanfaatkan oleh PLTA Poso untuk menghidupkan 11 turbin PLTA Poso I (4×30 MW), PLTA Poso II (3×65 MW), dan PLTA extension (4×50 MW). Untuk memaksimalkan turbin PLTA, PT Poso Energy melakukan pengerukan sepanjang 12,8 km di outlet Danau Poso dan mereklamasi wilayah adat Danau Poso dengan dalih penataan sungai.

 

Untuk menjaga pasokan kebutuhan PLTA Poso, perusahaan mulai membicarakan rencana pembebasan tanah di sekeliling Danau Poso. PLTA Poso bertujuan untuk pemenuhan keterbutuhan listrik, sehingga skema pembebasan tanahnya kemungkinan besar menggunakan skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Namun sejauh apa proses pembebasan lahan 18 desa di sekeliling Danau Poso untuk PLTA I, maupun lokasi rencana PLTA III, tidak pernah ada keterbukaan proses penetapan lokasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum ditentukan.

 

Pembangunan PLTA Poso I telah ditentang masyarakat Danau Poso sejak awal pembangunan, karena sama sekali tidak mengikutsertakan peran dan partisipasi masyarakat, khususnya masyarakat adat. Suara-suara penolakan warga pun telah berulang kali disampaikan ke pemerintah, namun tidak digubris terlebih ditindaklanjuti. Kehadiran PLTA Poso juga pernah telah menyebabkan konflik antar masyarakat di Desa Sulewana dan Desa Peura, yang berlanjut hingga saat ini, beberapa mengalami intimidasi, dan ada proses ganti rugi yang tidak sesuai dan persoalan lainnya.

 

Terkait konteks keterlibatan, perempuan menghadapi tantangan berlapis karena sering kali tidak dianggap sebagai pemegang kepentingan untuk hadir dan menyampaikan pendapatnya. Padahal, peran dan pengalaman perempuan sangat relevan di berbagai lini kehidupan masyarakat, termasuk di dalam pengelolaan sumber-sumber agraria dan pelestarian lingkungan. Pemerintah justru terus mendorong agar PLTA ini untuk segera dioperasikan, meski hingga hari ini warga setempat menolak keras.

 

Upaya paksa pemerintah dalam pembangunan PLTA, mempertaruhkan keselamatan dan masa depan warga dan ruang hidupnya. Hal ini bisa terlihat dari kejadian uji coba pintu air bendungan PLTA Poso I pada April 2020 lalu yang mengakibatkan sekitar 266 hektar lahan sawah dan kebun di 16 desa/kelurahan di sekeliling Danau Poso tenggelam-terendam air; ladang penggembalaan tenggelam; 94 kerbau Desa Tokilo mati dalam rentang 2 bulan; hilangnya Tradisi Budaya Danau Mosango di wilayah Kompodongi; dan mata pencaharian nelayan tradisional terganggu. Uji coba yang dilakukan PLTA Poso ini juga merusak siklus air dan keanekaragaman hayati Danau Poso; mencemari sumber air warga; dan merendam rawa yang berperan penting bagi perkembangbiakan biota Danau Poso.

 

Di tengah derita dan jeritan warga itu, Presiden Jokowi justru meresmikan PLTA Poso Energy pada Jumat 25 Februari 2022. Sebuah langkah yang jelas-jelas melukai hati ribuan warga di sekitar Danau Poso, diiringi dengan rasa bangga telah meresmikan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) terbesar di Indonesia. Dengan mengatasnamakan EBT, melalui proyek ini pemerintah berdalih mengupayakan menjaga lingkungan dengan meninggalkan batubara. Nyatanya PLTA Poso yang selama ini sudah berjalan telah mengganggu ekologi, bahkan menyebabkan hilangnya endemik ikan yang berada di sungai Poso. Pun mengancam keberlangsungan kehidupan ribuan masyarakat adat yang tinggal di sekitar Danau Poso. Ironi apabila menyebut penenggelaman wilayah adat Danau Poso ialah untuk mengejar perkembangan EBT, tanpa memikirkan jauh resikonya terhadap masyarakat Danau Poso.

 

PLTA Poso dibangun bukan untuk kepentingan masyarakat Danau Poso. Presiden Jokowi lebih mengutamakan kepentingan korporasi, daripada warga yang selama ratusan tahun menjadikan Danau Poso sebagai sumber kehidupannya. Didukung dengan berbagai fasilitas kebijakan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten, kepentingan korporasi melenggang tanpa mempertimbangkan situasi dan keberlangsungan kehidupan manusia, ekosistem, dan lingkungan, bahkan mengabaikan pemenuhan hak asasi manusia. Listrik sebanyak 515 MW tidak mungkin dapat diserap seluruhnya oleh masyarakat di Poso atau pun bagian Sulawesi Tengah lainnya. PLTA Poso dibangun demi menjaga pasokan listrik industri tambang, terutama pemurnian tambang. Listrik yang dihasilkan oleh PLTA Poso, yaitu untuk mendukung industri tambang, terutama pemurnian tambang di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah.

 

Hal ini tidak berlebihan, mengingat PLTA Poso milik PT Poso Energy ialah anak usaha Kalla Energy yang merupakan sub-holding dari konsorsium bisnis Kalla Group. Kalla Group juga memiliki bisnis smelter untuk pemurnian tambang. Informasi lain juga menyebutkan bahwa di Sulawesi Tengah telah berdiri 20 pabrik pemurnian tambang yang memerlukan pasokan listrik yang tinggi.

 

Berdasar catatan potensi daya rusak lingkungan, praktik pelepasan tanah yang dipaksakan, jejak perusahaan dan daftar hitam penerima manfaat PLTA Poso, maka bukan tanpa sebab Masyarakat Adat Danau Poso menolak hadirnya PLTA Poso.

 

Untuk itu, melalui pernyataan sikap bersama ini, Masyarakat Adat Danau Poso bersama KPA, WALHI, AMAN, JATAM, Solidaritas Perempuan, dan Bersihkan Indonesia, menuntut:

 

  1. Presiden harus memastikan hak konstitusional Masyarakat Adat Danau Poso tidak terampas oleh
    kepentingan perusahaan dan melindungi serta menjamin pemenuhan hak atas sumber agraria
    masyarakat.
  2. Presiden dan Gubernur Sulawesi Tengah harus bertanggungjawab untuk segera menyelesaikan
    konflik agraria yang selama ini dialami Masyarakat Adat Danau Poso dan perusahaan.
  3. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk segera mencabut izin PT. Poso Energi secara
    keseluruhan, diutamakan PLTA I yang telah menggusur, menenggelamkan sawah dan kebun,
    merusak wayamasapi dan keramba, serta menghilangkan budaya, adat, dan pekerjaan tradisional.
  4. PT. Poso Energi segera tuntaskan masalah-masalah dampak lingkungan, sosial dan ekonomi yang
    ditimbulkan oleh operasional PLTA Poso seperti penggusuran dan pengerukan sungai.
  5. Kepala Balai Wilayah Sungai Sulawesi III mengembalikan siklus normal air Danau Poso seperti
    semula dan menentukan batas sempadan Danau Poso pada 509 Mdpl.
  6. Pemerintah Daerah untuk melibatkan Masyarakat Adat Danau Poso dalam setiap proses
    pengambilan kebijakan mengenai danau.
  7. Komnas HAM bersama Komnas Perempuan segera melakukan investigasi mendalam, terkait
    operasional PLTA Poso yang menenggelamkan wilayah sekitar Danau Poso sehingga
    menyebabkan tercerabutnya akar adat, budaya, dan sumber penghidupan Masyarakat Adat Danau
    Poso dan mengkondisikan lokasi menjadi ruang yang aman dan kondusif bagi seluruh warga,
    utamanya anak dan perempuan

 

Demikian pernyataan rilis ini kami sampaikan untuk diketahui dan segera ditindaklanjuti oleh para pemangku kepentingan dan kewenangan sebagaimana mestinya.

 

Narahubung:
● Masyarakat Adat Danau Poso : +62 822-9950-2992 (Yombu Wuri )
● Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) : +62 858 5223 3755 (Linda DR)
● Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) : +63 999 4120 029 (Dwi Sawung)
● Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) : +62 812 1879 1131 (Muhammad Arman)
● Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) : +62 813 1978 9181 (Melky Nahar)
● Solidaritas Perempuan : +62 812 3610 2978 (Gita Ayu A)
● Gerakan #BersihkanIndonesia : +62 898 9937 398 (Cyva)

PPMAN Adukan Masalah Kekerasan Terhadap Masyarakat Adat Rendu Ke Komisi Negara

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengadu ke Komnas HAM atas dugaan tindakan represif, anarkis dan intimidasi yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Polres Nagekeo terhadap masyarakat adat Desa Rendu Butowe, Kabupaten Nagekeo, NTT pada 09 Desember 2021 lalu.

Dalam Press Release yang diterima rri.co.id,  Minggu ( 16/01) ,Ketua PPMAN, Syamsul Alam Agus mengatakan, pengaduan ke komisi negara tersebut untuk memastikan perlindungan dan pencegahan tidak berulangnya pelanggaran HAM yang dialami oleh masyarakat adat Rendu. Menurutnya tindakan represif dari aparat Kepolisian Polres Nagekeo merupakan salah satu praktik arogansi dari aparat negara terhadap masyarakat adat Rendu, yang menolak pembangunan proyek strategis nasional Bendungan Mbay/ Lambo di Desa Rendubotowe.

“Sejumlah anggota kepolisian dari resort Ngakeo diduga telah melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2006 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan tersebut telah melanggar peraturan kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tugas kepolisian negara Republik Indonesia,”Kata Syamsul

Menurut ketua PPMAN itu, pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian,membatasi atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) akan  terus membela hak-hak masyarakat adat Rendu dan mengecam atas tindakan arogansi dan represif anggota polres Nagekeo. Selain pelaporan disampaikan kepada Propam Mabes Polri dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). PPMAN juga telah melakukan pertemuan dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadukan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Resort Nagekeo.

Merespon pengaduan yang disampaikan oleh PPMAN, Amirudin Al Rahab, Wakil Ketua Komnas HAM yang menerima pengurus sekretariat Nasional PPMAN menjelaskan, tugas dan kewajiban Komnas HAM yang diatur oleh UU dan Konstitusi RI.

“Komnas HAM akan segera membentuk tim dan akan melakukan pemantauan lapangan, memeriksa pihak-pihak yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM tersebut,” jelas Komisioner Amirudin.

Sumber : https://rri.co.id/ende/1329-polkam/1327746/ppman-adukan-masalah-kekerasan-terhadap-masyarakat-adat-rendu-ke-komisi-negara