Kepada Yth.
1. Kepala Kepolisian Republik Indonesia; +62 811 8836 555
2. Ketua Komisi III DPR RI email set_komisi3@dpr.go.id
3. Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur +62 812 1000 9900 ; email hum4s@gmail.com
4. Pimpinan Komisi Kepolisian Nasional RI +62 821 1303 2098 ; email sekretariat@kompolnas.go.id
5. Pimpinan Komisi Hak Asasi Manusia RI +62 812 9401 766 ; email pengaduan@komnasham.go.id
6. Pimpinan Komnas Perempuan +62 813 1712 8173 ; email pengaduan@komnasperempuan.go.id
Subjek: Mendesak Penghentian Penangkapan dan Penahanan Masyarakat Adat, Termasuk Perempuan Adat
Kepada Yang Terhormat,
1. Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo, Kepala Kepolisian RI.
2. Habiburokhman, Ketua Komisi III DPR RI.
3. Irjen Pol. Daniel Tahi Monang Silitonga, S.H., M.A., Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Nusa Tenggara Timur (NTT)
4. Irjen Pol. (Purn) DR. Benny Mamoto S.H Msi, Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas)
5. Dr. Atnike Nova Sigiro, M.Sc, M.Sw., Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
6. Andy Yentriyani, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
Kami yang bertanda tangan di bawah ini, dengan penuh rasa prihatin dan desakan tinggi, mengajukan surat ini terkait penangkapan dan penahanan 8 (delapan) orang masyarakat adat, termasuk perempuan adat, oleh pihak kepolisian di Polres Sikka, Nusa Tenggara Timur. Tindakan ini tidak hanya mencederai hak asasi manusia, tetapi juga melanggar hak-hak masyarakat adat yang telah diakui secara nasional dan internasional.
Latar Belakang:
Penangkapan yang terjadi pada 25 Oktober 2024 melibatkan 8 (delapan) masyarakat adat, termasuk 2 (dua) diantaranya adalah perempuan adat, yang selama ini berperan penting dalam menjaga adat dan tanah leluhur mereka. Penahanan ini dilakukan terkait dengan konflik agraria antara masyarakat adat di Nangahale dan PT. Kristus Raja Maumere. Hal ini jelas-jelas mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang dijamin oleh Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta berbagai peraturan internasional, termasuk Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.
Permintaan Kami:
1. Segera membebaskan seluruh masyarakat adat, termasuk perempuan adat, yang ditahan.
Penahanan ini tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan hak asasi manusia serta berpotensi memperburuk situasi konflik yang ada.
2. Menghentikan tindakan intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.
Masyarakat adat seharusnya dilindungi, bukan malah dijadikan objek kriminalisasi hanya karena mempertahankan hak atas tanah dan identitas budaya mereka.
3. Menjamin keamanan masyarakat adat yang terdampak dan memberikan mereka akses pada bantuan hukum.
Kami meminta agar masyarakat adat yang menjadi korban memiliki hak untuk didampingi kuasa hukum dan bebas dari ancaman serta tekanan dari pihak manapun.
Penutup:
Kami berharap tindakan ini mendapatkan perhatian serius dan tindak lanjut segera demi keadilan serta perlindungan hak masyarakat adat. Kami, sebagai masyarakat yang peduli terhadap hak asasi manusia dan keberlanjutan budaya lokal, mengajak pihak berwenang untuk menjunjung tinggi komitmen terhadap perlindungan hak masyarakat adat serta mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.
Atas perhatian dan kerja samanya, kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Nama-nama dan Organisasi yang Mendukung :
1. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
2. Kaoem Telapak
3. Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN)
Lampiran;
Kronologi Kasus:
1. Pada tanggal 29 Juli 2024 sekitar Jam 09.30 Witeng Karyawan PT. Krisrama dipimpin oleh RD. Yan Faroka melakukan penebangan pohon/ tanaman Warga di Lokasi Pedan Nangahale. Cukup banyak masyarakat yang melakukan keberatan dan perlawanan terhadap tindakan tersebut di Lapangan. Tindakan ini baru berhenti setelah Polisi dari Polsek Waigete datang dan menghentikan menjelang waktu makan siang. Seluruh kerugian warga hari itu 142 berbagai jenis tanaman tumbang dan rusak.
2. Setelah makan siang rupanya para karyawan dan RD. Yan Faroka dari PT. Krisrama tidak menghentikan kegiatan penebangan pohon/tanaman warga tersebut. Mereka melakukan lagi disekitar halaman rumah Richyanto Fernandes dan sekitarnya. Warga yang protespun kembali melakukan keberatan di lokasi penebangan tersebut.
3. Pada saat warga masyarakat melakukan protes di lokasi penebangan, sekitar pukul 15: 00 Witeng terdengar kabar bahwa Karyawan PT. Krisrama sedang memasang papan nama yang berisikan tulisan: “TANAH INI MILIK PT. KRISRAMA KEUSKUPAN MAUMERE”. Sontak warga yang sedang marah atas tindakan penebangan sebelumnya dengan segera bergerak menuju lokasi pemasangan papan nama tersebut di halaman pekarangan rumah saudara: ” Nikolaus Don Thomas” yang sudah ditempati puluhan tahun sebelum SK. HGB diterbitkan.
4. Dengan penuh kemarahan mereka mencabut papan nama tersebut lalu membakarnya.
5. Ada satu kesadaran di mereka bahwa, tidak mau melakukan kontak fisik dengan para karyawan yang sedang melakukan penebangan tanama/pohon warga di dua lokasi yang berdekatan tersebut. Tapi untuk papan nama ini kami harus cabut sebagai bukti bahwa SK. HGU terbit tanpa kesepakatan dengan kami yang berada di dalam lokasi tanah negara tersebut.
6. Atas tindakan tersebut masyarakat dilaporkan oleh PT. Krisrama dengan tuduhan sesuai pasal 170 KUHP.
7. Pada tanggal 25 Oktober mereka di tahan oleh Polres Sikka.