Press Release
Jakarta, 26 Oktober 2024, Kepolisian Polres melakkukan penahanan delapan (8) terhadap Masyarakat Adat Nangahale pada Jumat 25 Oktober 2024, hal ini berdasarkan surat pemanggilan untuk memberikan keterangan pada hari Selasa, tanggal 22 Oktober 2024 di Kepolisian Polres Sikka. Namun pada saat itu Pendamping dan penasihat hukum Masyarakat Adat Nangahale tidak berada di tempat, maka Masyarakat Adat tidak mendatangi Kepolisian, karena Masyarakat Adat membutuhkan pendamping dalam proses memberikan keterangan di Kepolisian. Berdasarkarkan situasi dan kondisi tersebut diatas, Kepolisian melakukan pemanggilan kembali kepada delapan (8) Masyarakat Adat tersebut untuk hadir pada hari Jumat 25 Oktober 2024.
Ratusan Masyarakat Adat Nangahale mendampingi, memantau dan memberikan dukungan kepada anggota Masyarakat Adat selama proses memberikan keterangan di Kepolisian. Delapan (8) orang Masyarakat Adat Nangahale didampingi oleh Penasihat hukum dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) yaitu Sdr Antonius Yohanis Balla. Berdasarkan informasi yang kami peroleh dari Sdr Yohanis Balla mengatakan bahwa kasus ini berawal dari peristiwa pada tanggal 29 Juli 2024 sekitar Jam 09.30 WIT, Dimana pada saat itu karyawan PT. Krisrama dipimpin oleh Rohaniawan Katolik Romo RD. Yan Faroka melakukan penebangan pohon/ tanaman Warga di Lokasi Pedan Nangahale. Pada saat itu banyak masyarakat adat Nangahale yang menyampaikan keberatan dan perlawanan terhadap tindakan penebangan pohon yang dipimpin oleh Rohaniawan Katolik tersebut. Tindakan perlawanan ini baru berhenti setelah Polisi dari Polsek Waigete datang dan menghentikan aksi perlawanan Masyarakat Adat tersebut. Masyarakat Adat mengalami kerugian berupa seratus empat puluh dua (142) berbagai jenis tanaman tumbang dan rusak.
Tindakan rohaniawan katolik bersama dengan PT Krisrama tersebut tidak berhenti, karena pada siang hari mereka melakukan penebangan pohon/tanaman warga disekitar halaman rumah Richyanto Fernandes dan sekitarnya. Warga yang protespun kembali melakukan keberatan di lokasi penebangan tersebut. Tindakan kesewenangan-wenangan yang dilakukan oleh keloimpok orang yang dipimpin oleh Rohaniawan Katolik tersebut berlanjut dengan cara memasang papan nama/plang yang berisikan tulisan: “TANAH INI MILIK PT. KRISRAMA KEUSKUPAN MAUMERE”. Atas tindakan tersebut Masyarakat Adat Nangahale marah dan melakukan pencabutan papan tersebut dan membakarnya. Masyarakat mengatakan bahwa tanah ini milik kami, proses HGU yang dilakukan tidak melalui proses diskusi dengan kami, kami tidak mengetahui terkait dengan proses pemberian HGU ini. Namun tindakan pencabutan papan tersebut yang menjadikan dasar bagi PT Krisrama melakukan laporan polisi dengan menggunakan Pasal 170 KUHP.
Merespon tindakan dari Kepolisian Polres Sikka yang melakukan penahanan terhadap delapan (8) Ketua PPMAN sdr Syamsul Alam Agus mengatakan bahwa tindakan Kepolisian Polres Sikka merupakan tindakan yang tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan hak asasi manusia dan ini menambah potensi konflik yang terjadi di Masyarakat Adat Nangahale. Tindakan kepolisian dengan melakukan penahanan tanpa mempertimbangkan bahwa mereka adalah Masyarakat Adat yang perlu mendapatkan perlindungan khusus dari Negara. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 D ayat 1 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Selanjutnya diatur pada Pasal 28 I ayat 3 Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Ayat 4 Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Alam menambahkan bahwa seharusnya Kepolisian Polres Sikka harus membaca Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dimana pada Pasal 2 menyebutkan Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Keberadaan Kepolisian terkesan berpihak pada PT Krisrama, dimana PT Krisrama adalah pihak yang selama ini mengambil tanah milik Masyarakat Adat Nangahale.
Alam juga menambahkan bahwa Kepolisian memiliki PERKAP Nomor 8 Tahun 2009 Tentang pelaksanaan Peraturan Kapolri nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dimana ada pengaturan khusus untuk Masyarakat Adat, Kepolisian seharusnya memfasilitasi supaya ada dialog yang baik antara Masyarakat Adat dan PT Krisrama yang selama ini telah mengklaim tanah milik Masyrakat Adat Nangahale.
Dihubungi melalui telephon Sdr Anton Yohanis Balla yang merupakan pendamping hukum delapan (8) Masyarakat Adat menyampaikan, sangat mengayangkan sikap Kepolisian yang tidak mempertimbangkan kepentingan perempuan dan anak dalam proses hukum ini. Dimana ada dua (2) perempuan adat yang ditahan dan satu orangnya lagi terpaksa membawa anaknya ke dalam tahanan, karena anaknya masih kecil. Sikap kepolisian menunjukan sikap yang arogan dan tidak memiliki perspektif dalam proses penanganan kasus ini, dimana Masyarakat Adat mderupakan kelompok rentan dan posisi Perempuan dan anak merupakan kelompok yang lebih rentan dari subyek hukum apapun di negara ini.
Jhon menambahkan bahwa akan melaporkan peristiwa penahanan terhadap Masyarakat Adat Nangahale ini ke berbagai lembaga negara baik itu Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI dan berbagai lembaga lainnya yang memiliki keterkaitan dengan kasus ini. Kami juga melaporkan kasus ini ke Komisi 3 DPR RI dan melaporkan ke Vatikan sebagai organisasi tertinggi dalam gereja Katolik di dunia. Semmentara upaya hukum yang dilakukan adalah dengan segera mengajukan gugatan Pra Peradilan atas keputusan Kepolisian Polres Nagekeo yang telah melakukan penahahan terhadap delapan (8) Masyarakat Adat Nangahale.
dua dari delapan Masyarakat Adat yang ditahan adalah Perempuan Adat, salah satu dari kedua perempuan tersebut yakni sdri. Maria Magdalena Leny memiliki seorang anak yang masih berusia 3 tahun, saat ini anak Maria tidak mau kembali ke rumah dan masih berada di Kepolisian Polres Sikka, karena diketahui selama ini Maria mengasuh anaknya sendiri.
Berikut kronologi keberadaan anak Maria Magdalena Leny di Polres Sikka;
Anak ini berusia sekitar 3 tahun, sejak kemarin ikut sama ibunya ketika ditahan di Polres Sikka dengan tuduhan melanggar pasal 170 KUHP atas laporan PT. Krisrama milik Keuskupan Maumere.
Pada sekitar jam 12:53 Witeng, Penasihat Hukum Masyarakat Adat ditelpon oleh Penyidik Polres Sikka ( Nengah Redi) dan menyampaikan akan menitipkan Tahanan atas nama: Maria Magdalena Leny ke Rutan (Rumah Tahanan) Maumere agar lebih aman dengan anaknya di sana, Penasihat Hukum dan pihak keluarga Maria Magdalena Leny (Leny) diminta hadir untuk menyaksikan proses penitipan tahan di Rutan.
Sekitar pukul 13:04, Penyidik kembali menelpon Penasihat Hukum dan menyampaikan bahwa tersangka Leny bersedia menitip anaknya ke salah satu keluarganya bernama Yohanes Jawa (saudara-nya Leny), lalu Penasihat Hukum diminta agar menghubungi keluarga tersebut.
Selanjutnya sekita pukul 13:33, Penyidik yang sama kembali menelpon dan menyampaikan apabila sulit menghubungi keluarga, maka polisi akan mengantar anak itu sendiri ke rumah keluarganya tersebut, tapi Penasihat Hukum menjawab “sabar masih diusahakan untuk keluarganya datang”.
Penyidik semacam gelisah dan menelephone secara terus- menerus kepada Penasihat Hukum Masyarakat Adat, untuk memastikan keluarga anak sudah datang atau belum.
Sekitar pukul 16.53, saudara Yohanes Jawa dan Thomas Tapang tiba di rumah Penasihat Hukum kemudian bergabung dengan beberapa keluarga Masyarakat Adat yang ditahan dan berangkat menuju polres sikka.
Setiba di Polres Sikka mereka bertemu dengan Penyidik dan mengantar Penasihat Hukum serta keluarga ke ruangan Restotif Justuce untuk bertemu dengan Leny juga anak-nya, kebetulan di situ juga ada dari pihak Dinas sosial.
pihak Dinas Sosial menjelaskan bahwa “ini lingkungan tidak kondusif, banyak nyamuk dan tempat ini merupakan tahanan orang dewasa maka akan sangat mempengaruhi mental dan psikologi anak”, oleh karena itu keluarga diminta untuk bawah pulang anak ini.
Thomas Tapang (saudara Leny) mengatakan “kami bersedia, tapi seandainya anak mau, kalau anak tidak mau bagaimana nanti”, Lalu Penyidik minta Tersangka Leny melepaskan anaknya main di luar, tapi anak tidak mau dan tetap dalam pangkuan ibunya.
Kemudian Penyidik meminta Penasihat Hukum dan keluarga semuanya keluar termasuk Leny dan anaknya. Sampai di luar anak tetap tidak mau pisah dengan Leny ibunya. Polisi kemudian bersiasat dan membujuk anak itu dengan memberikan HP-nya agar anak tersebut menonton film animasi, sambil meminta ibunya mengendap-endap masuk ke dalam ruang tahanan.
Setelah ibunya masuk, Yohanes Jawa (paman dari sang anak) sempat menggendong anak itu secara paksa sambil berusaha membawa keluar dari tempat tersebut, tapi baru sekitar 9 langkah anak itu tetap berteriak dan menolak, anak itu pun kembali berlari mencari ibunya di tempat semula tapi ibunya tidak ada lagi, lalu dibujuk oleh pihak Dinas Sosial dan Seorang polisi akan tetapi anak itu tetap tidak mau, Akhirnya anak tersebut berdiri sendiri di pojok depan Ruangan Restorative Justice.
Setelah anak berlari menuju ruang tahanan untuk memcari ibunya. Karena pintuh terkunci, maka anak itu berusaha memanjat jendela untuk melihat ibunya. Salah seorang Polwan sempat mengatakan “jika mama sudah pulang ke kampung”, tapi anak itu tetap mencari ibunya di situ.
Karena tidak tega melihat keadaan anak itu dan kecil kemungkinan dia mau ikut dengan keluarga ibunya, maka Penasihat Hukum dan keluarga memutuskan untuk pulang saja.
Setelah Penasihat Hukum dan keluarga pulang dan tiba di rumah John Bala, Penyidik Polres Sikka datang menemui mereka dan meminta keluarga menjemput lagi anak itu, katanya anak itu sudah mau ikut keluarga untuk pulang, tapi Thomas Tapang menolak, karena kawatir anak ini tetap tidak mau bersama keluarga ibunya.
Kepada Maria Lensiana Ledu, polisi minta untuk kembali ke Polres untuk menanda-tangani surat penyataan menolak anak untuk dibawah pulang, tapi semua mereka menolak permohonan tersebut.