SIARAN PERS : PPMAN Desak Menteri ATR/BPN Audit Penerbitan SK Pemberian SHGU PT. Krisrama di Wilayah Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut, Tana Ai, Nusa Tenggara Timur.

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendesak Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap Surat Keputusan Pemberian Surat Hak Guna Usaha (HGU) PT. Krisrama Nomor: 1/HGU/BPN.53/VII/2023 yang mencakup wilayah adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut di Nangahale. SK HGU ini diduga dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat setempat dan mengabaikan hak-hak konstitusional mereka atas tanah adat.

Masyarakat adat melaporkan bahwa mereka menempati wilayah tersebut berdasar asal usul secara turun temurun yang kemudian akhirnya wilayah adat mereka termasuk dalam klaim HGU tersebut. Wilayah adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut di Nangahale merupakan tanah yang memiliki nilai spiritual, budaya, dan ekonomi yang sangat penting. Selain itu, keberadaan HGU ini telah memicu konflik agraria, ketegangan sosial, dan kerusakan lingkungan di kawasan tersebut.

 

PPMAN mengingatkan bahwa pelanggaran terhadap wilayah adat merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) yang mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak tradisionalnya. Selain itu, pemerintah wajib mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukanlah bagian dari hutan negara.

 

Pelanggaran Prinsip dan Hak Konstitusional

 

PPMAN menilai bahwa penerbitan SK HGU PT. Krisrama melanggar prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang mensyaratkan persetujuan masyarakat adat sebelum wilayah mereka digunakan untuk kepentingan lain. Selain itu, langkah ini bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18B Ayat (2) yang mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat, serta Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara.

 

“Wilayah adat bukan sekadar lahan kosong, tetapi pusat kehidupan dan identitas masyarakat adat. Penerbitan SK HGU tanpa persetujuan masyarakat adat adalah bentuk pengabaian hak dan ketidakadilan,” ujar Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara.

 

Penghilangan Barang Bukti Kasus Pidana

 

Selain penggusuran, delapan anggota masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut saat ini sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Sikka. 2 (dua) diantara 8 (delapan) terdakwa adalah perempuan. Penahanan ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan hak atas tanah mereka yang di laporkan oleh PT. Krisrama.

 

 

Penggusuran yang dilakukan oleh PT. Krisrama pada tanggal 22 Januari 2025 tidak hanya menghancurkan rumah dan tanaman produktif masyarakat adat namun telah menyebabkan salah satu obyek yang dijadikan sebagai barang bukti pembelaan perkara pidana yang sedang disidangkan di PN Maumere ikut dihancurkan oleh PT. Krisrama.

 

Gregorius B. Djako, S.H., advokat pembela masyarakat adat yang terhimpun di PPMAN juga merupakan kuasa hukum dari 8 (delapan) korban kriminalisasi PT. Krisrama menilai tindakan penggusuran tersebut merupakan tindak pidana yang telah menyebabkan potensi hilang atau rusaknya barang bukti sebagaimana isi dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap 8 anggota masyarakat adat yg persidangannya sedang berproses di Pengadilan Negeri Maumere.

 

“Tindakan pihak perusahaan sebagai pelaku penggusuran telah memenuhi unsur pidana sebagaimana ditegaskan pada Pasal 170 Ayat (1) KUHPidana Atau Pasal 406 Ayat (1) KUHPidana Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana, olehnya akan dilakukan langkah hukum yang tegas atas tindak pidana tersebut”, jelas Gregorius.

 

Tuntutan kepada Menteri ATR/BPN

 

Pada 31 Januari 2025, PPMAN telah mendatangani kantor kementerian ATR/BPN untuk menyampaikan pengaduan dan desakan kepada menteri ATR/BPN untuk segera melakukan audit menyeluruh atas terbitnya Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Nusa Tenggara Timur Nomor : 1/HGU/BPN.53/VII/2023 yang diberikan kepada PT. Krisrama.

 

Atas peristiwa penggusuran yang dilakukan oleh PT. Krisrama pada tanggal 22 Januari 2025, PPMAN berpandangan :

 

  • Tindakan PT. Krisrama menggusur rumah warga dan merobohkan pohon dan tanaman warga dengan menggunakan alat berat dapat dikatakan melanggar salah satu kewajiban yang disebutkan dalam surat keputusan pemberian/perpanjangan HGU. Sesuai dengan ketentuan Pasal 84 dan Lampiran IV Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 18 tahun 2021, bentuk surat keputusan perpanjangan HGU salah satunya berisi diktum yang mewajibkan pemilik HGU untuk menyelesaikan keberatan, permasalahan atau penguasaan dan/atau pemilikan pihak lain yang timbul di kemudian hari, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

  • Metode penggusuran rumah dan perobohan pohon dan tanaman yang dimiliki oleh pihak lain bukan termasuk cara penyelesaian yang diperbolehkan oleh peraturan perundang- undangan yang berlaku. Tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan dan diktum di dalam surat keputusan pemberian HGU yang membolehkan pihak Perusahaan untuk menggunakan metode kekerasan dalam rangka melaksanakan haknya. Dengan demikian, tindakan Perusahaan dapat dikualifikasi sebagai perbuatan pidana karena menghancurkan, merusak, atau membuat tidak bisa dipakai barang milik orang lain.

 

  • Selain sanksi pidana, Perusahaan juga dapat dikenakan sanksi administratif berupa pembatalan HGU. Pembatalan dapat berakibat hapusnya HGU perusahaan. Menurut ketentuan Pasal 34 huruf b, dan Pasal 31 huruf b angka 1 PP Nomor 18 tahun 2021

 

 

pembatalan HGU dapat dilakukan apabila pemegang hak tidak melaksanakan kewajiban atau melanggar larangan. Dalam UUPA dan PP Nomor 18/2021 memang tidak memasukkan penyelesaian keberatan, permasalahan atau penguasaan dan/atau pemilikan oleh pihak lain sebagai salah satu kewajiban pemegang HGU. Namun, Lampiran IV Permen ATR/Ka. BPN Nomor 18 tahun 2021 yang mengatur mengenai formal surat keputusan perpanjangan HGU, menjadikannya sebagai salah satu kewajiban. Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan pertanahan, penyelesaian yang dimaksud dalam Permen No. 18/2021 adalah dengan menempuh jalan musyawarah. Karena sudah disebutkan sebagai kewajiban dalam salah satu diktum surat keputusan pemberian HGU maka PT. Krisrama dapat dikatakan tidak melaksanakan syarat (kewajiban) tertentu yang menjadi alasan bagi Kepala Kantor Pertanahan/Kakanwil Pertanahan/Menteri untuk membatalkan HGU nya.

 

  • Selain dengan alasan tidak melaksanakan salah satu kewajiban, HGU Krisrama dapat juga dibatalkan karena alasan cacat administrasi. Sesuai dengan ketentuan Permen ATR/Ka. BPN No. 18/2021, pemberian atau perpanjangan HGU mensyaratkan tidak adanya keberatan, sengketa, konflik atau perkara dengan pihak lain yang ditemukan pada saat pemeriksaan lapangan. Apabila dalam pemberian atau perpanjangan HGU PT. Krisrama proses ini tidak dilakukan, maka dapat dikatakan terjadi cacat administrasi dalam bentuk cacat prosedur dalam pemberian atau perpanjangannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal ayat (1) huruf b, pembatalan dengan alasan cacat administrasi dapat dilakukan oleh Kepala Kantor/Kakanwil/Menteri apabila HGU belum berusia lima tahun terhitung sejak diterbitkannya sertifikat baik karena pemberian ataupun perpanjangan.

 

PPMAN mendesak Menteri ATR/BPN untuk:

 

  1. Menggelar audit menyeluruh terhadap penerbitan pemberian SHGU Krisrama untuk memastikan prosesnya sesuai dengan hukum dan regulasi yang berlaku.
  2. Mencabut HGU yang diterbitkan secara tidak sah, apabila ditemukan pelanggaran hukum atau pengabaian hak masyarakat adat.
  3. Menghentikan aktivitas Krisrama di wilayah adat suku soge natarmage dan goban runut, hingga masalah ini terselesaikan secara adil.
  4. Memastikan perlindungan hukum atas wilayah masyarakat adat, sebagai wujud komitmen pemerintah dalam melindungi masyarakat adat.

 

Komitmen untuk Menegakkan Keadilan

 

PPMAN menegaskan bahwa tindakan ini tidak hanya soal konflik tanah, tetapi juga soal melindungi warisan budaya dan keberlanjutan masyarakat adat. PPMAN bersama masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut di Nangahale siap mengambil langkah hukum dan advokasi lebih lanjut jika pemerintah tidak segera bertindak untuk menyelesaikan masalah ini.

“Pemerintah harus hadir sebagai pelindung masyarakat adat, bukan menjadi pendukung korporasi yang mengabaikan keadilan sosial,” tegas Alam. “Kami mendesak transparansi dan keberpihakan kepada masyarakat adat yang selama ini menjaga tanah mereka dengan penuh tanggung jawab.”

 

 

Kami menantikan tindakan nyata dari Menteri ATR/BPN untuk segera menyelesaikan permasalahan ini secara adil. Masyarakat adat akan terus memperjuangkan hak-hak mereka melalui jalur hukum dan mekanisme advokasi lainnya hingga keadilan ditegakkan.

 

 

Bogor, 31 Januari 2025

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)

 

Kontak :

  • Syamsul Alam Agus, 08118889083
  • Gregorius B Djako, 08129967730

Member of

tes-removebg-preview
Jl. Parakan Salak Desa No.1, Kemang, Kec. Kemang, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat 16310