DI PERSIDANGAN KRIMINALISASI MASYARAKAT ADAT NGKIONG, AHLI NILAI JPU TIDAK UPDATE PASAL PERUNDANG-UNDANGAN

Ruteng (21/8/2023) – Babak lanjutan persidangan di Pengadilan Negeri Ruteng, dengan terdakwa Mikael Ane, seorang tokoh Masyarakat Adat Gendang Ngkiong, yang di dakwa menduduki kawasan hutan, menghadirkan 2 Ahli untuk dimintai keterangannya. Para ahli tersebut adalah Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Ahli hukum pidana, Dr. Ahmad Sofian, S.H, M.H.

 

Agenda sidang Perkara dengan nomor 34/Pid.B/LH/2023/PN.Rtg tersebut ditujukan untuk mendengarkan keterangan ahli dan pandangan keilmuannya agar ditemukan kebenaran hukum tidak hanya formil namun juga materiil.

 

Dr. Ahmad Sofian, S.H, M.H., saat memberikan Keterangan sebagai Ahli Hukum Pidana
Dr. Ahmad Sofian, S.H, M.H., saat memberikan Keterangan sebagai Ahli Hukum Pidana

 

Di dalam persidangan tersebut, ketika ditanya oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ahmad Sofian sebagai ahli menyatakan bahwa JPU tidak memperhatikan dan update (mengikuti perkembangan) perubahan aturan perundang-undangan. Ahli tidak mau menjawab pertanyaan JPU karena apa yang ditanyakan sudah tidak berlaku lagi.

 

“Bagaimana saya menjawab rumusan unsur pasal yang sudah tidak berlaku lagi?” tegas Ahmad Sofian.

 

Di hadapan persidangan, JPU mendakwa Mikael Ane melakukan perbuatan sebagaimana di maksud dalam Pasal 78 ayat 2 UU 41/1999 tentang Kehutanan. Sedangankan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112, maka ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

Pasal 78 ayat 2 UU 41/1999 tentang Kehutanan, yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima Miliar Rupiah).”

 

Ahli juga menyampaikan pendapat terkait rumusan dakwaan kedua, yaitu Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengenaan pasal tersebut dikarenakan dalam dakwaan Mikael Ane dituduh melakukan aktivitas di dalam wilayah Taman Wisata Alam Ruteng.

 

“Pasal ini merupakan delik materiil yang mesti dibuktikan secara ilmu pengetahuan mengenai dampak kerusakan ekosistem sebagai akibat dari perbuatan terdakwa,” jelasnya lebih lanjut.

 

Bunyi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah “setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam”.

 

Sementara itu, pendamping hukum dari Mikael Ane, Maximilianus Herson Loi, S.H, memandang bahwa keterangan ahli pada hari ini menguatkan argumentasi hukum eksepsi yang sempat dilayangkan sebelum pemeriksaan saksi dan ahli. Oleh karenya, maka klien mereka layak untuk dilepaskan berdasarkan hukum.

 

“Selama persidangan berlangsung JPU tidak membuktikan delik materilnya yang sesuai dengan rumusan pasal dalam Dakwaan Kedua. Yang ada pembuktiannya Hanyar berdasarkan Keterangan Saksi Fakta yang sebenarnya bertolakbelakang dengan rumusan delik yang dimaksud dalam pasal tersebut ( psl 33 ayat 3 UU.No.5/1990 ttg Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya)”, paparnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi pendamping hukum Bapak Mikael Ane:

 

1. Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904
2. Herson, S.H – 0812-3831-7885

 

***

Member of

Jl. Parakan Salak Desa No.1, Kemang, Kec. Kemang, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat 16310