Siaran Pers
Ruteng (Selasa, 05/09/2023) – sehari setelah nota pembelaan dibacakan, Mikael Ane (57 Tahun), seorang tokoh Masyarakat Adat Gendang Ngkiong divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Ruteng.
Adapun vonis yang dijatuhkan adalah pidana penjara 1 tahun 6 bulan kurungan, ditambah denda 300 juta rupiah subsidair 6 bulan kurungan. Rumah milik Mikael Ane juga terancam dihancurkan. Di dalam nota pembelaan (pledooi), Penasehat Hukum memberikan argumentasi hukum beserta dukungan bukti bahwa pasal dakwaan terhadap Mikael Ane telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Lebih jauh, Penasehat Hukum mengungkapkan sesuai amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2014 terkait Pasal 50 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 tentang Kehutanan bahwa terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan tidak dapat dikriminalisasi. Akibatnya, Mikael Ane menjadi korban peradilan sesat, sebuah peradilan yang tidak mencari kebenaran sejati (materiele waarheid).
Mikael Ane didakwa dalam dakwaan pertama dengan Pasal 36 angka 19 Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Jo Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima Miliar Rupiah).” Sedangkan dakwaan kedua menggunakan Pasal Pasal 40 ayat (2) Jo Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
“Kami akan banding, perjuangan mencari kebenaran materil tidak hanya di pengadilan negeri,” tegas Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) yang merupakan Penasehat Hukum dari Mikael Ane.
Lebih jauh, vonis pidana penjara terhadap Mikael Ane berpotensi menjadi ancaman serius terhadap eksistensi Masyarakat Adat Gendang Ngkiong dan lainnya di sekitar Taman Wisata Alam Ruteng. Apa sebab? Dari hasil overlay peta kawasan, terlihat irisan antara wilayah taman wisata dengan wilayah adat. Vonis tersebut juga dipandang sebagai bentuk pengingkaran amanat UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi, dan Persetujuan Indonesia di PBB atas Hak Masyarakat Adat.
“Kami menghormati putusan Hakim hari ini, namun kami mempunyai hak banding yang diatur oleh undang-undang untuk tidak setuju dengan cara pandang dan pertimbangan hakim berdasarkan alat bukti yang kami sampaikan. Lebih jauh, secara substansi dan kontekstual, putusan hari ini mengancam ruang hidup Masyarakat Adat sekitar taman wisata. Terdapat 60 Gendang di sana” paparnya lebih lanjut.
Pengacara PPMAN lainnya, Marselinus Suliman S.H, menjelaskan bahwa titik persoalan kasus ini adalah pandangan Hakim yang berpendapat bahwa pasal-pasal yang telah dicabut tersebut masih berlaku dan relevan akibat norma yang diatur oleh pasal aturan baru masih sama. Oleh karenanya, argumentasi penasehat hukum dikesampingkan.
“Siapa yang benar atau tidak terhadap asas legalitas tersebut harus di uji di tingkat yang lebih tinggi, yaitu pengadilan tinggi. Kami ingin menegaskan kembali perihal Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 5 Tahun 2014 yang mengatur bahwa demi hukum seseorang terdakwa lepas dari segala tuntutan apabila ia dikenakan pasal-pasal yang sudah tidak berlaku” jelasnya.
Pada sidang sebelumnya, Mikael Ane dituntut 3 tahun penjara ditambah denda Rp. 300 juta subsidair 6 bulan kurungan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Mikael Ane dengan pasal-pasal yang sudah tidak berlaku lagi. Alat bukti surat juga disampaikan untuk mendukung argumentasi Penasehat Hukum terdakwa.
“Pasal yang dituduhkan sudah dicabut oleh Pasal 112 UU Kerusakan Hutan yang kemudian juga telah dicabut oleh Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, atas dasar tersebut demi hukum sewajarnya Bapak Mikael Ane dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana menduduki kawasan hutan secara tidak sah,” tutupnya.
Sekedar untuk diketahui, Mikael Ane ditangkap, ditahan, dan diadili karena dianggap menduduki wilayah Taman Wisata Alam Ruteng. Di sisi lainnya, Mikael Ane dan leluhurnya telah ada dan berdiam di wilayah hutan tersebut sebelum Taman Wisata Alam Ruteng ada dan melakukan aktivitas. Atas situasi inilah upaya banding dilakukan oleh Penasehat Hukum Mikael Ane.
Informasi tambahan lainnya adalah upaya Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri di mana putusan tersebut dijatuhkan.
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi Tim Penasehat Hukum PPMAN:
1. Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812.1339.904
2. Marselinus Suliman, S.H – 0823.3630.0460
3. Maximilianus Herson Loi, S.H – 0812.3831.7885