Tim Independen Bank Pembangunan Jerman Rekomendasikan Penghentian Sementara Proyek Geotermal Poco Leok, Warga Tuntut Hentikan Permanen

Tim ini melakukan sosialisasi hasil temuan mereka setelah mengunjungi lokasi proyek pada September dan bertemu dengan berbagai pihak, baik warga yang kontra dan pro proyek, maupun pemerintah dan PT PLN

Floresa.co – Tim Independen Bank Pembangunan Jerman atau Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] yang mendanai proyek geotermal di Poco Leok menemukan proses yang dilakukan oleh pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara [PLN] tidak sesuai standar lingkungan dan sosial internasional.

 

Karena itu, tim utusan bank tersebut merekomendasikan penghentian sementara proyek ini.

 

Mereka juga merekomendasikan pihak PLN dan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai untuk memperbaiki proses mendapatkan persetujuan masyarakat.

 

Tim itu menyampaikan temuan dan rekomendasinya dalam sebuah rapat dengan warga Poco Leok secara daring pada 14 November.

 

Hadir pada pertemuan itu pihak dari Central Complaints Office atau Kantor Pusat Pengaduan Bank KfW yang berbasis di Frankfurt, Jerman; perwakilan Bank KfW Indonesia di Jakarta; dan tim independen dari Monkey Forest Consulting [MFC], berbasis di Filipina.

 

Ratusan warga adat dari 10 gendang atau kampung adat di Poco Leok juga ikut dalam rapat itu secara daring dari Kampung Lungar di Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai.

 

Beberapa lembaga advokasi turut hadir, seperti JPIC SVD Ruteng, Walhi NTT, Jaringan Advokasi Tambang, Sunspirit for Justice and Peacedan FIAN, lembaga yang berbasis di Jerman.

 

Dalam pemaparannya, Nestor Castro, salah satu anggota tim independen dari MFC menjelaskan, langkah yang dilakukan PLN sejak tahun 2022 untuk mendapatkan dukungan masyarakat terhadap proyek itu “tidak memadai.”

 

Nestor bersama Adi Prasetijo, antropolog Universitas Diponegoro Semarang sebelumnya berkunjung ke Poco Leok dan Ruteng pada awal September.  Kunjungan itu bagian dari rangkaian tinjauan lapangan untuk melakukan “validasi dan verifikasi” terhadap berbagai informasi yang sebelumnya diterima Bank KfW terkait polemik proyek tersebut.

 

Selain warga yang menolak, tim tersebut juga menemui para pendukung proyek, termasuk PT PLN dan Pemda Manggarai.

 

Tanpa Persetujuan Jadi Pemicu Perlawanan Semakin Konsisten 

Nestor berkata fokus penelitian lapangan yang ia lakukan adalah mengidentifikasi tingkat kepatuhan proses FPIC [Free Prior and Informed Consent] yang sedang berlangsung dengan standar yang relevan, “khususnya Standar Sosial Lingkungan Bank Dunia dan standar sosial lain yang relevan.”

 

Selain itu “meninjau pengelolaan dan usulan mitigasi risiko dan dampak terhadap masyarakat adat.”

 

FPIC merupakan prinsip internasional terkait pelaksanaan proyek yang menyatakan persetujuan warga harus diminta sebelum sebuah proyek dimulai (prior), diadakan secara independen atau bebas oleh warga sendiri (free) berdasarkan informasi yang memadai dan akurat yang disampaikan sebelumnya (informed). 

 

Standar-standar sosial tersebut, kata Nestor, seperti “menghormati hak dan budaya”, “menghindari dampak buruk pada masyarakat adat”, “persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan”, “konsultasi bermakna”, “berbagi manfaat”, “perlindungan hak atas tanah”, dan “mekanisme penyampaian keluhan sesuai budaya dan dapat diakses masyarakat adat.”

 

Ia menekankan soal prior dalam FPIC, “artinya sebelum proyek harus ada FPIC.”

 

Menurut Nestor. persetujuan dari masyarakat  tidak dilakukan oleh PLN sebelum proyek.

 

“Komunitas tidak diberikan informasi yang memadai, yang mengakibatkan kebingungan dan ketidakpercayaan,” katanya.

 

Proses tersebut juga melalui mekanisme “partisipasi yang bermakna dan belum sepenuhnya selaras dengan standar internasional.”

 

Ia juga menyoroti aspek “Rencana Masyarakat Adat” atau Indigenous Peoples Plan [IPP]yakni kesepakatan kolaboratif dengan masyarakat adat terdampak proyek, terkait mitigasi dampak buruknya.

 

“Saya tahu PLN sedang menyusun IPP, tetapi dokumen tersebut seharusnya dibuat lebih awal,” katanya, menyebut bahwa “tidak ada rencana terstruktur untuk mengelola dampak proyek atau melibatkan masyarakat adat dalam pembuatan keputusan.”

 

Selain itu, lanjut Nestor, proses-proses tersebut “tidak melibatkan kelompok rentan, seperti perempuan, kaum muda dan warga yang paling miskin sehingga partisipasi yang inklusif tidak dijalankan.”

 

“Penentangan yang terus berlangsung dan konsisten dari masyarakat adat menunjukkan tidak tercapainya persetujuan yang tulus, dan [PLN] gagal dalam mengatasi keluhan dan kekhawatiran masyarakat secara efektif,” katanya.

 

Rekomendasi: Hindari Taktik Pemaksaan

Setelah pemaparan temuan-temuan tersebut, Nestor menyampaikan beberapa rekomendasi kepada PT PLN dan Pemda Manggarai, yang tujuan utamanya untuk “membangun kembali kepercayaan masyarakat.”

 

Rekomendasi pertama adalah “menghentikan sementara operasi proyek dan berfokus pada resolusi konflik di area Desa Mocok dan Desa Lungar, di mana FPIC belum diperoleh sebagaimana mestinya.”

 

Ia berkata, selama periode penghentian sementara itu, pemerintah dan perusahaan memperbaiki FPIC, dengan bermitra dengan masyarakat adat terdampak.

 

Ia meminta agar “memastikan catatan konsultasi dan IPP disepakati bersama dengan syarat-syarat persetujuan yang didefinisikan dengan jelas.”

 

Berbagai pihak, katanya, “menyusun dan menyelesaikan IPP yang berfokus pada mengurangi dampak negatif dan meningkatkan manfaat, dengan struktur tata kelola yang melibatkan perwakilan adat.”

 

Hal tersebut, lanjut Nestor, harus dibuat bersama dengan masyarakat yang terkena dampak dan diselesaikan sebagai bagian dari proses FPIC.

 

Selain itu, ia juga merekomendasikan agar pemerintah dan perusahaan menghindari tindakan “yang kemungkinan dapat meningkatkan ketegangan.”

 

“Pastikan memberikan waktu cukup untuk proses FPIC, hindari taktik pemaksaan atau hindari memberikan insentif hanya untuk mendapatkan persetujuan,” katanya.

 

 

Warga: Kami Mau Hentikan Selamanya

Merespons pemaparan tim independen, Maria Suryanti Jun, perempuan adat asal Kampung Mocok menyatakan, ia bersama warga telah berulang kali menyatakan penolakan terhadap proyek geotermal.

 

Karena itu, katanya, sikap mereka “bukan penghentian sementara seperti yang dikatakan Nestor.”

 

“Kami tidak mau revisi ulang kedatangan perusahaan, karena dari awal kami menolak proyek. Kami mau hentikan selamanya, tidak boleh datang lagi di wilayah adat kami,” katanya.

 

Ia secara khusus menyoroti ancaman kehilangan tanah dan air akibat proyek tersebut, yang menurutnya akan mengancam keberadaan budaya warga.

 

“Kami butuh empat belas mata air yang ada. Kami tidak setuju perusahaan geotermal. Budaya kami bergantung ke mata air itu,” lanjutnya.

 

 

Member of

Jl. Parakan Salak Desa No.1, Kemang, Kec. Kemang, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat 16310