Tanggal 1 Juli 2025, Kepolisian Republik Indonesia kembali memperingati Hari Bhayangkara ke-79. Namun, peringatan ini berlangsung di tengah meningkatnya sorotan terhadap kinerja aparat kepolisian, terutama terkait praktik kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan wilayah, sumber daya, dan hak-hak dasarnya. Alih-alih hadir sebagai pelindung masyarakat, aparat sering kali tampil sebagai alat kekuasaan yang membungkam suara-suara keadilan.
Berbagai kasus menunjukkan pola sistematis kriminalisasi terhadap pimpinan komunitas adat, pejuang lingkungan, dan pemuda adat yang mempertahankan wilayahnya dari perampasan lahan oleh korporasi besar maupun proyek negara. Banyak dari mereka dituduh melanggar hukum pidana, padahal yang mereka lakukan semata-mata adalah upaya untuk mempertahankan hak atas hidup dan eksistensi adatnya. Kepolisian kerap menggunakan pasal-pasal karet, melakukan penangkapan tanpa dasar kuat dan mematuhi kitab hukum acara pidana (KUHAP), hingga mengabaikan prinsip-prinsip due process of law.
Pada periode Januari – Juni 2025, PPMAN mencatat kriminalisasi kurang lebih 20 (duapuluh) kasus yang dialami oleh pimpinan komunitas masyarakat adat atau para pembela masyarakat adat yang tengah melakukan advokasi kepada masyarakat adat. Anton Yohanis Bala, advokat pembela masyarakat adat di Sikka, Nusa Tenggara Timur di perhadapkan pada upaya kriminasasi saat membela ratusan anggota masyarakat adat yang berkonflik dengan PT. Krisrama di Maumere.
Di Maluku Utara, Perempuan Pembela HAM yang juga merupakan kepala suku Isam, Afrida Erna Ngato, di panggil oleh kepolisian Resort Halmahera Utara karena kegiatannya membela masyarakat adat yang mempertahankan wilayah adatnya dalam menghadapi aktifitas pertambangan emas yang dilakukan oleh PT. NHM.
Kami, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara, menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan hak-haknya secara damai dan konstitusional;
2. Menuntut Kapolri melakukan evaluasi menyeluruh terhadap jajaran kepolisian daerah yang terbukti berpihak pada kepentingan korporasi dan abai terhadap perlindungan hak masyarakat adat;
3. Menyerukan pembentukan mekanisme pengawasan independen terhadap kinerja kepolisian dalam menangani konflik agraria dan kasus-kasus yang melibatkan komunitas adat;
4. Mengajak seluruh elemen masyarakat, akademisi, dan tokoh bangsa untuk bersolidaritas melawan praktik impunitas dan ketidakadilan hukum yang menimpa masyarakat adat di berbagai wilayah Indonesia;
5. Menegaskan kembali bahwa kepolisian adalah alat negara yang bertanggung jawab melindungi seluruh warga negara tanpa diskriminasi, termasuk masyarakat adat yang dijamin keberadaannya oleh Konstitusi UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012.
Peringatan Hari Bhayangkara seharusnya menjadi momentum reflektif, bukan seremoni kosong. Sudah saatnya institusi kepolisian berdiri tegak bersama rakyat, bukan menjadi perpanjangan tangan kekuasaan dan perusahaan yang merampas keadilan. Jika tidak ada perubahan mendasar, maka krisis kepercayaan terhadap institusi ini hanya akan semakin dalam.
Bogor, 1 Juli 2025
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara
Syamsul Alam Agus
Ketua Badan Pelaksana