Rukka Sombolinggi Sebut Ada Paradigma Negara yang Keliru soal Pengakuan Masyarakat Adat

 

BOGOR – Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyatakan bahwa dalam banyak kasus, perjuangan masyarakat adat terhambat oleh paradigma negara yang selalu menilai bahwa eksistensi masyarakat adat hanya diakui bilamana telah terbit peraturan tentang pengakuan masyarakat adat.

 

“Masyarakat adat itu sudah ada dan hidup secara turun temurun dalam wilayah adatnya jauh sebelum negara ini berdiri. Kalau negara tidak mengakui mereka beserta hak-hak kolektifnya (masyarakat adat) dengan alasan karena tidak adanya peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat, itu adalah paradigma negara yang keliru,” kata Rukka dalam acara diskusi publik di Joglo Keadilan, Kabupaten Bogor, Rabu (14/9/2022) sebagai rangkaian pelaksanaan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bekerjasama dengan PERADI Pergerakan.

 

Senada dengan itu, Sugeng Teguh Santoso, S.H., Ketua Dewan Pimpinan Pusat Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan), menyatakan bahwa macetnya Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat menunjukkan eksistensi masyarakat adat seperti antara ada dan tiada.

 

“Masyarakat adat itu seperti antara ada dan tiada. Sebab, jaminan pengakuan dan penghormatan konstitusional melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, tidak ditindaklanjuti dalam peraturan operasional dengan bentuk undang-undang. Hal ini terbukti dengan tidak disahkannya Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat yang sudah terparkir puluhan tahun,” kata Sugeng.

 

 

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional, telah menjamin pengakuan dan penghormatan Masyarakat Adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang berbunyi: “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

 

Sugeng menilai bahwa macetnya pengesahan RUU Masyarakat Adat akibat banyaknya kepentingan korporasi yang terganggu bilamana RUU disahkan. Ini akan menjadi tantangan bagi pembela hak-hak masyarakat adat.

 

“Upaya mewujudkan pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah bagian dari tantangan yang harus dihadapi oleh para peserta PKPA PPMAN Angkatan I ini, yang diharapkan menjadi advokat pembela hak-hak masyarakat adat. Tidak ada hak terwujud begitu saja, tanpa perjuangan mewujudkannya,” pesan Sugeng.

 

 

Hadir pula dalam acara diskusi publik itu, D.Y. Witanto selaku Asisten Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Kombes Pol. Veris Septiansyah, S.H., S.I.K., M.Si., perwakilan Mabes Polri.

 

Menurut Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Umum PPMAN, tujuan PKPA ini sebagai bentuk respon untuk memperkuat akses keadilan bagi masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum.

 

“Maksud penyelenggaraan PKPA ini, dalam rangka memfasilitasi peningkatan kapasitas kader masyarakat adat untuk membela kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh anggota komunitas adat,” kata Alam.

 

Artikel ini telah tayang di bogor-kita.com dengan Judul “Rukka Sombolinggi Sebut Ada Paradigma Negara yang Keliru soal Pengakuan Masyarakat Adat”.

PPMAN Kerjasama dengan PERADI Pergerakan Gelar PKPA di Bogor

 

BOGOR – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bekerjasama dengan Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan) menggelar Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan di Joglo Keadilan, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor. PKPA bertema besar Membentuk Kader Pembela Komunitas Masyarakat Adat yang Berperspektif HAM itu akan berlangsung mulai 14 September 2022 sampai dengan 27 September 2022.

 

Sejumlah narasumber atau pengajar dalam PKPA ini antara lain Sugeng Teguh Santoso (Ketua Umum Peradi Pergerakan), Rukka Sombolinggi (Sekjen AMAN), Usman Hamid (Direktur Amnesty International Indonesia) dan sebagainya.

 

Dalam informasi yang dihimpun Bogor-Kita.com, sebanyak 17 calon advokat dari sejumlah daerah di Indonesia akan mengikuti PKPA ini.

 

Menurut Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Umum PPMAN, tujuan PKPA ini sebagai bentuk respon untuk memperkuat akses keadilan bagi masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum.

 

Dikatakan Alam, PKPA merupakan salah satu syarat utama untuk menjadi advokat sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 2 ayat (1), yang mengatur bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat dan melakukan magang selama 2 tahun terus menerus pada kantor advokat/organisasi bantuan hukum dan telah dinyatakan lulus ujian advokat.

 

“Maksud penyelenggaraan PKPA ini, dalam rangka memfasilitasi peningkatan kapasitas kader masyarakat adat untuk membela kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh anggota komunitas adat,” kata Alam.

 

PKPA ini telah dibuka hari ini dengan diskusi publik dengan menghadirkan narasumber Rukka Sombolinggi (Sekjen AMAN), Sugeng Teguh Santoso, S.H. (Ketua Umum Peradi Pergerakan),  D.Y. Witanto (Asisten Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia) dan perwakilan Mabes Polri Kombes Pol. Veris Septiansyah, S.H., S.I.K., M.Si.M.H.

 

Artikel ini telah tayang di bogor-kita.com dengan Judul “PPMAN Kerjasama dengan PERADI Pergerakan Gelar PKPA di Bogor”.

Kader Komunitas Masyarakat Adat Tingkatkan Kapasitas Pembelaan Hukum Melalui Pendidikan Khusus Profesi Advokat

 

Jaminan konstitusional terhadap pengakuan dan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, pada kenyataannya masih terbentur oleh sistem penegakan hukum yang belum mampu menerjemahkan jaminan konstitusional ke dalam peraturan operasional teknis. Akibatnya, respon negara terhadap perjuangan masyarakat adat yang membela diri dan mempertahankan hak ulayat selalu diwarnai kriminalisasi, termasuk pembela masyarakat adatnya sebagai human right defenders.

 

Dalam acara diskusi publik, sebagai rangkaian pelaksanaan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bekerjasama dengan Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (PERADI PERGERAKAN), Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyatakan bahwa dalam banyak kasus, perjuangan masyarakat adat terhambat oleh paradigma negara yang selalu menilai bahwa eksistensi masyarakat adat hanya diakui bilamana telah terbit peraturan tentang pengakuan masyarakat adat.

 

“Masyarakat adat itu sudah ada dan hidup secara turun temurun dalam wilayah adatnya jauh sebelum negara ini berdiri. Kalau negara tidak mengakui mereka beserta hak-hak kolektifnya (masyarakat adat) dengan alasan karena tidak adanya peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat, itu adalah paradigma negara yang keliru,” kata Rukka, Rabu (14/9/2022).

 

Senada dengan itu, Sugeng Teguh Santoso, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan), menyatakan bahwa macetnya Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat menunjukkan eksistensi masyarakat adat seperti antara ada dan tiada.

 

“Masyarakat adat itu seperti antara ada dan tiada. Sebab, jaminan pengakuan dan penghormatan konstitusional melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, tidak ditindaklanjuti dalam peraturan operasional dengan bentuk undang-undang. Hal ini terbukti dengan tidak disahkannya Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat yang sudah terparkir puluhan tahun,” kata Sugeng.

 

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD Tahun 1945”) sebagai landasan konstitusional, telah menjamin pengakuan dan pengormatan Masyarakat Adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

 

Sugeng menilai bahwa macetnya pengesahan RUU Masyarakat Adat akibat banyaknya kepentingan korporasi yang terganggu bilamana RUU disahkan. Ini akan menjadi tantangan bagi pembela hak-hak masyarakat adat.

 

“Upaya mewujudkan pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah bagian dari tantangan yang harus dihadapi oleh para peserta PKPA PPMAN Angkatan I ini, yang diharapkan menjadi advokat pembela hak-hak masyarakat adat. Tidak ada hak terwujud begitu saja, tanpa perjuangan mewujudkannya,” pesan Sugeng.

 

Hadir pula dalam acara diskusi publik itu, D.Y. Witanto selaku Asisten Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Kombes Pol. Veris Septiansyah

 

Menurut Syamsul Alam Agus, Ketua Umum PPMAN, tujuan PKPA ini sebagai bentuk respon untuk memperkuat akses keadilan bagi masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum.

 

“PKPA merupakan salah satu syarat utama untuk menjadi advokat sebagaimana ditegaskan
dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 2 ayat (1), yang mengatur bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat dan melakukan magang selama 2 tahun terus menerus pada kantor advokat/organisasi bantuan hukum dan telah dinyatakan lulus ujian advokat.

 

“Maksud penyelenggaraan PKPA ini, dalam rangka memfasilitasi peningkatan kapasitas kader masyarakat adat untuk membela kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh anggota komunitas adat” kata Alam.

 

Artikel ini telah tayang di dnewsstar.com dengan Judul “Kader Komunitas Masyarakat Adat Tingkatkan Kapasitas Pembelaan Hukum Melalui Pendidikan Khusus Profesi Advokat”.

 

Masyarakat Adat 2 Suku di Sikka Gelar Aksi Tolak Penanaman Pilar di Atas Tanah Eks HGU Nangahale

 

Ratusan masyarakat adat dua Suku di Kabupaten Sikka menggelar menggelar aksi penolakan terhadap peletakan titik koordinat dan penanaman pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale -Patiahu, Senin 14 November 2022 pagi.

 

Ratusan masyarakat adat dua suku tersebut antara lain suku Tana Puan Soge Natarmage dan Tana Puan Goban Runut.

 

Sebelum aksi, para tokoh adat menggelar ritual adat yang berlangsung di Balai Pertemuan Masyarakat Adat di Utanwair Desa Nangahale Kecamatan Talibura.

 

Usai menggelar ritual adat, Ratusan masyarakat ini pun Long Marc di sepanjang jalan Trans Flores Maumere -Larantuka menuju titik koordinat penanaman pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale – Patiahu.

 

Masyarakat membawa sejumlah baliho yang bertuliskan penolakan terhadap peletakan titik koordinat penanaman penanaman pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale – Patiahu.

 

Hingga saat ini, Ratusan masyarakat adat masih menggelar aksi penolakan terhadap peletakan titik koordinat dan penanaman pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale – Patiahu.

 

Sebelumnya, Pada tanggal 04 – 08 November 2022 lalu, Kantor pertanahan Kabupaten Sikka memasang pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale – Patiahu. Pemasangan pilar ini pun dikawal ketat TNI dan Polri serta Sat Pol PP kabupaten Sikka.

 

Video aksi Masyarakat adat Tana Pu’an Soge Natarmage dan Tana Puan Goban Runut pada Kamis (14/11/2022)

 

Artikel ini telah tayang di Tribunflores.com dengan judul Masyarakat Adat 2 Suku di Sikka Gelar Aksi Tolak Penanaman Pilar di Atas Tanah Eks HGU Nangahale, https://flores.tribunnews.com/2022/11/14/masyarakat-adat-2-suku-di-sikka-gelar-aksi-tolak-penanaman-pilar-di-atas-tanah-eks-hgu-nangahale.

PPMAN Gandeng Organisasi Profesi Pengacara untuk Membela Masyarakat Adat

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menggandeng organisasi profesi Kongres Advokat Indonesia (KAI) untuk memberikan bantuan hukum kepada Masyarakat Adat yang tidak terjangkau akses keadilan. Langkah strategis tersebut dikukuhkan kedua pihak dalam bentuk penandatanganan memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman yang dilakukan pada perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) PPMAN ke-9 di Joglo Keadilan, Kota Bogor pada Selasa, 27 September 2022.

 

Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus mengatakan bahwa MoU antara PPMAN dan KAI itu berisi tentang komitmen peningkatan kapasitas advokat PPMAN dalam pembelaan terhadap Masyarakat Adat. Menurutnya, MoU itu penting karena PPMAN bukan organisasi profesi advokat, tapi organisasi yang mendeklarasikan diri untuk menyatakan dukungan kepada Masyarakat Adat.

 

“Faktor ini yang mendorong kami menggandeng KAI untuk membela Masyarakat Adat,” kata Syamsul Alam usai penandatanganan MoU.

 

Menurutnya, kerja sama melalui organisasi profesi advokat itu dapat memberikan dampak positif karena membuka ruang terhadap akses keadilan bagi Masyarakat Adat yang rentan dan tidak terjangkau oleh infrastruktur maupun layanan dukungan bantuan hukum.

 

“Jadi, kerja sama ini akan memperpendek akses Masyarakat Adat untuk mendapatkan keadilan secara cepat,” tandasnya.

 

Syamsul mengaku bahwa jumlah pengacara yang ada di PPMAN saat ini, masih minim jika dibandingkan dengan begitu banyaknya kasus hukum yang menjerat Masyarakat Adat di berbagai pelosok Nusantara. Selain itu, akses antara Masyarakat Adat dan posisi anggota PPMAN juga relatif jauh dan berhadapan dengan tantangan keterbatasan infrastruktur, khususnya di berbagai perdesaan, pegunungan, pesisir, dan pulau kecil. Ia menyatakan kalau umumnya para pengacara tinggal di kota, sedangkan keberadaan Masyarakat Adat tersebar di kampung maupun desa.

 

PPMAN menyusun beberapa strategi untuk meningkatkan kapasitas melalui pelatihan paralegal untuk kader Masyarakat Adat dan pelatihan pendidikan khusus profesi advokat agar para kader Masyarakat Adat yang memenuhi persyaratan, bisa juga menjadi advokat. Syamsul menyebut bahwa jumlah advokat dan ahli hukum yang dimiliki PPMAN saat ini, baru mencapai 126 orang. Selain itu, PPMAN juga telah melatih kader dari sejumlah komunitas Masyarakat Adat untuk menjadi paralegal. Saat ini, kader muda untuk itu telah mencapai 200 orang dan tersebar di seluruh Indonesia. Baru-baru ini, PPMAN pun telah menyelesaikan pendidikan advokat sebanyak 13 orang.

 

“Jumlah ini sangat jauh dari ideal,” ungkap Syamsul. “Saya kira (jumlah itu) masih jauh dari harapan: satu komunitas Masyarakat Adat memiliki satu advokat.” Syamsul menambahkan bahwa PPMAN akan selalu terbuka untuk melakukan perekrutan ke depannya.

 

Sebagai Ketua PPMAN, Syamsul mengatakan bahwa ia berharap ke depannya, PPMAN bukan hanya harus tetap ada, tetapi semakin kuat dan memperluas jaringan agar bisa membantu atau mendukung Masyarakat Adat untuk mendapatkan keadilan. Menurutnya, keadilan belum diraih oleh Masyarakat Adat karena kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat masih terus terjadi. Bahkan, kriminalisasi itu dapat berujung pada vonis yang tidak berkeadilan terhadap Masyarakat Adat, seperti kasus yang menimpa warga Masyarakat Adat Tobelo Dalam di Halmahera, Maluku Utara, yang divonis mati karena mempertahankan wilayah adatnya.

 

“Ini satu dari sekian banyak kasus yang dihadapi Masyarakat Adat,” ujarnya dengan penuh keprihatinan.

 

Sementara itu, Sekretaris Umum KAI Ibrahim Massidenreng menyatakan kegembiraannya untuk bekerja sama dengan PPMAN. Ia berharap kerja sama tersebut bisa memberikan manfaat bagi orang-orang yang membutuhkan keadilan, terutama Masyarakat Adat. Khusus bagi anggota KAI, katanya, hal itu bisa memberikan peluang pada peningkatan kapasitas, pengetahuan, dan keterampilan terkait pembelaan terhadap Masyarakat Adat.

 

 

“Tidak tertutup kemungkinan, teman-teman di KAI suatu waktu mendampingi kasus Masyarakat Adat atau setidaknya ikut melapisi tim-tim dalam pembelaan,” ujarnya.

Ibrahim menjelaskan bahwa KAI punya banyak pengalaman yang bisa dibagi terkait keadvokatan. Ia berharap PPMAN dan KAI bisa berkolaborasi dalam pendampingan Masyarakat Adat, termasuk kerja sama terhadap eksaminasi putusan yang melibatkan Masyarakat Adat.

 

“Harapan dengan MoU ini, (adalah) anggota KAI ikut terlibat dalam tim eksaminasi,” ujarnya.

 

Ibrahim mengatakan, sejatinya MoU dapat menjadi payung yang nantinya harus dilengkapi dengan perjanjian tertentu, di mana pintu masuknya adalah legal standing advokat dulu. Ia menyatakan bahwa isu Masyarakat Adat harus lebih diperluas. Koalisi kedua organisasi juga berharap akan dapat memperluas gerakan. Menurutnya, semakin sering dan banyak advokat yang terlibat dalam pembelaan terhadap Masyarakat Adat, akan memberikan dukungan yang pula kian luas, sehingga upaya pembelaan terhadap Masyarakat Adat bisa mudah dilakukan, bahkan hingga ke pelosok desa sekali pun.

 

Oleh Apriadi Gunawan

Permohonan Uji Materiil terhadap Perpres 98/2021

 

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional atau Perpres 98/2021 yang mengatur tentang pasar karbon.

 

Ketentuan tersebut dipandang sebagai upaya mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia untuk pengendalian perubahan iklim. Namun, Perpres itu justru menunjukkan ketidakadilan negara melalui pengamputasian peran dan kedudukan Masyarakat Adat dalam pengelolaan karbon, di mana Masyarakat Adat tidak diakui sebagai subjek penyelenggara yang memilki hak atas karbon.

 

Padahal, Prinsip 22 dalam Rio Declaration on Environment and Development (Deklarasi Rio) menegaskan bahwa Masyarakat Adat mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan karena pengetahuan dan praktik tradisionalnya. Wilayah adat memiliki kontribusi langsung dalam mengurangi dampak perubahan iklim.

 

Hal tersebut dapat dilihat dari praktik tradisional yang dilakukan oleh Masyarakat Adat di Kasepuhan Cibarani dan Karang di Kabupaten Lebak, Banten, misalnya. Keduanya memiliki luas wilayah adat berupa hutan adatmasing-masing sekitar 490 hektar dan 462 hektar.

 

Di sana, hutan adat memiliki fungsi spiritualitas, sosial-budaya, jasa lingkungan, konservasi, dan ekonomi yang telah dirawat oleh Masyarakat Adatsecara turun-temurun dari generasi ke generasi. Dan pengakuan atas hal itu telah dinyatakanMahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 35/PUU-X/2012.

 

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi pernah menegaskan bahwa sebagian besar biodiversitas yang berada dalam kondisi baik di muka bumi ini, terdapat di dalam wilayah adat.

 

“Di tengah penghancuran(terhadap Masyarakat Adat dan wilayah adatnya), kita masih menyelamatkan 80 persenkeanekaragaman hayati di dunia,”

 

ujar Rukka yang percaya bahwa krisis iklim salah satunya disebabkan karena tindakan yang berasal dari cara pandang yang menghancurkan alam dan bersikap tidak adil pada sesama.

 

Menurutnya, solusi untuk keluar dari krisis, tak akan terjadi jika kita tidak mengubah cara kita menempatkan dan memandang Masyarakat Adat yang telah menjaga
keanekaragaman hayati yang tersisa.

 

Sementara itu, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)  organisasi sayap AMAN berbentuk perkumpulan yang keanggotaannya terdiri dari advokat dan/atau ahli hukum yang peduli dan berkomitmen pada kerja pembelaan dan pemajuan Masyarakat Adat – menilai Perpres 98/2022 bertentangan dengan asas keadilan, keterbukaan, dan partisipasi karena tidak memiliki keberpihakan dan tidak melibatkan Masyarakat Adat dalam prosesnya.

 

Selain itu, Perpres tersebut juga bertentangan dengan konstitusi dan sejumlah Undang-Undang (UU) terkait dengan tata kelola karbon, terutama dalam hal “hak menguasai negara” dan “dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” PPMAN mengingatkan bahwa pemerintah seharusnya menghormati, mendorong, dan mempertimbangkan tanggung jawabnya terhadap Masyarakat Adat dalam aksi menangani perubahan iklim seperti yang diutarakan melalui UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim.

 

Akan tetapi, muatan materi Perpres 98/2021 tidak mengatur secara jelas dan tegas pelibatan Masyarakat Adat dalam penyelenggaraan nilai ekonomi karbon. Maka, pada hari ini, 28 September 2022, PPMAN mengajukan pendaftaran permohonan uji materiil terhadap Perpres 98/2021.

 

Fatiatulo Lazira, S.H. – 0812-1387-776

Permohonan Uji Materiil Terhadap Perpres 98/2021

 

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional atau Perpres 98/2021 yang mengatur tentang pasar karbon.

 

Ketentuan tersebut dipandang sebagai upaya mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia untuk pengendalian perubahan iklim. Namun, Perpres itu justru menunjukkan ketidakadilan negara melalui pengamputasian peran dan kedudukan Masyarakat Adat dalam pengelolaan karbon, di mana Masyarakat Adat tidak diakui sebagai subjek penyelenggara yang memilki hak atas karbon.

 

Padahal, Prinsip 22 dalam Rio Declaration on Environment and Development (Deklarasi Rio) menegaskan bahwa Masyarakat Adat mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan karena pengetahuan dan praktik tradisionalnya. Wilayah adat memiliki kontribusi langsung dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Hal tersebut dapat dilihat dari praktik tradisional yang dilakukan oleh Masyarakat Adat di Kasepuhan Cibarani dan Karang di Kabupaten Lebak, Banten, misalnya. Keduanya memiliki luas wilayah adat berupa hutan adat masing-masing sekitar 490 hektar dan 462 hektar.

 

Di sana, hutan adat memiliki fungsi spiritualitas, sosial-budaya, jasa lingkungan, konservasi, dan ekonomi yang telah dirawat oleh Masyarakat Adatsecara turun-temurun dari generasi ke generasi. Dan pengakuan atas hal itu telah dinyatakanMahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 35/PUU-X/2012.

 

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi pernah menegaskan bahwa sebagian besar biodiversitas yang berada dalam kondisi baik di muka bumi ini, terdapat di dalam wilayah adat.

 

“Di tengah penghancuran(terhadap Masyarakat Adat dan wilayah adatnya), kita masih menyelamatkan 80 persenkeanekaragaman hayati di dunia,” ujar Rukka yang percaya bahwa krisis iklim salah satunya disebabkan karena tindakan yang berasal dari cara pandang yang menghancurkan alam dan bersikap tidak adil pada sesama. Menurutnya, solusi untuk keluar dari krisis, tak akan terjadi jika kita tidak mengubah cara kita menempatkan dan memandang Masyarakat Adat yang telah menjaga
keanekaragaman hayati yang tersisa.

 

Sementara itu, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) – organisasi sayap AMAN berbentuk perkumpulan yang keanggotaannya terdiri dari advokat dan/atau ahli hukum yang peduli dan berkomitmen pada kerja pembelaan dan pemajuan Masyarakat Adat – menilai Perpres 98/2022 bertentangan dengan asas keadilan, keterbukaan, dan partisipasi karena tidak memiliki keberpihakan dan tidak melibatkan Masyarakat Adat dalam prosesnya.

 

Selain itu, Perpres tersebut juga bertentangan dengan konstitusi dan sejumlah Undang-Undang (UU) terkait dengan tata kelola karbon, terutama dalam hal “hak menguasai negara” dan “dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” PPMAN mengingatkan bahwa pemerintah seharusnya menghormati, mendorong, dan mempertimbangkan tanggung jawabnya terhadap Masyarakat Adat dalam aksi menangani perubahan iklim seperti yang diutarakan melalui UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim.

 

Akan tetapi, muatan materi Perpres 98/2021 tidak mengatur secara jelas dan tegas pelibatan Masyarakat Adat dalam penyelenggaraan nilai ekonomi karbon. Maka, pada hari ini, 28 September 2022, PPMAN mengajukan pendaftaran permohonan uji materiil terhadap Perpres 98/2021.

 

Fatiatulo Lazira, S.H. – 0812-1387-776

POLRI yang Presisi Melalui Penghormatan dan Perlindungan HAM bagi Masyarakat Adat

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendukung program Polri Presisi – prediktif, responsibilitas, transparansi, berkeadilan dengan merekomendasikan agenda strategis mewujudkan keadilan dan penghormatan hak asasi manusia dalam penanganan kasus terhadap masyarakat adat. Sejumlah langkah maju perlu diperkuat, sementara berbagai tantangan di tingkat substansi/kebijakan, struktur dan budaya di kepolisian dalam penanganan kasus kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum membutuhkan langkah perbaikan/koreksi.

 

UUD 1945 memberikan mandat khusus kepada Institusi Kepolisian sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Sesuai Pasal 4 UU No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian, dalam mewujudkan tujuannya Polri wajib menjunjung tinggi HAM.

 

Sebagai hasil reformasi, melalui Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 Polri dipisahkan dari institusi TNI, reformasi kelembagaan ini dipertegas melalui UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Paradigma aparat negara seharusnya menjaga berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta kewajiban perlindungan dan pengayoman, semangat penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.

 

Untuk memastikan implementasi penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia bagi pimpinan dan anggota Kepolisian Republik Indonesia, pimpinan Polri telah menerbitkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahkan dalam Perkap tersebut menegaskan pengakuan institusi Polri atas keberadaan masyarakat adat dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Budaya Lokal yang dimaksudnya dalam Peraturan Polri ini adalah adat, tradisi, kebiasaan atau tata nilai yang masih kuat dianut oleh masyarakat setempat dalam rangka memelihara keamanan, ketertiban dan ketenteraman di lingkungan warga masyarakat setempat.

 

Penyikapan kepolisian pada penanganan kasus-kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum merupakan penentu awal akses masyarakat adat pada keadilan. Sikap proaktif pimpinan polri dalam mengusut kasus kekerasan terhadap masyarakat adat yang melibatkan anggota Polri perlu diapresiasi. PPMAN mencatat, pada 2022 ini, misalnya, Divisi Propam dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri telah menindaklanjuti pengaduan PPMAN terkait dugaan pelanggaran disiplin dan kekerasan yang dilakukan oleh anggota dan pimpinan kepolisian di Polres Nagekeo, Nusa Tenggara Timur dalam rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Waduk Mbay/Lambo.

 

Di tengah kemajuan ini, dari bulan Januari hingga Juni 2022, PPMAN masih menerima pengaduan yang terkait anggota kepolisian sebagai pelaku tindak kekerasan, melakukan kriminalisasi terhadap pembela dan masyarakat adat yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari perampasan oleh industri ekstraktif disektor perkebunan dan pertambangan, maupun polri dianggap menghambat langkah korban memperjuangkan keadilan.

 

Dari 16 (enam belas) kasus yang didalami, terdapat 4 kasus di mana polisi dilaporkan melakukan kriminalisasi kepada pembela masyarakat adat. 4 kasus tersebut dialami oleh advokat pembela masyarakat adat yang tengah melakukan pendampingan kepada masyarakat adat tana’ai di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Ia dilaporkan karena memperjuangkan hak masyarakat adat yang berhadapan dengan perusahaan pemilik SKP HGU.

 

Kriminaliasasi juga dialami oleh Kepala Desa Kinipan di Kalimantan Tengah yang berjuang bersama masyarakat adat Kinipan dalam mempertahankan wilayah adatnya yang dirampas oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kriminalisasi yang dialami oleh Willem Hengky (Kepala Desa Kinipan) telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Palangkaraya, Willem tidak terbukti bersalah dari seluruh dakwaan dan pengadilan memerintahkan Willem Hengki segera dibebaskan dari tahanan. Kasus kriminalisasi lainnya dialami oleh masyarakat adat di Natumingka, Tano Batak, Sumatera Utara yang berhadapan dengan PT. Toba Pulp Lestari (PT.TPL). Di awal tahun 2022 Kepolisian juga melakukan penangkapan terhadap 3 (tiga) orang Masyarakat Adat Kaili Tado di Kabupaten Pasang Kayu, Sulawesi Barat yang mepertahankan wilayah adatnya dari perampasan lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Mamuang.

 

Berdasarkan pengaduan dan permohonan bantuan hukum yang diterima oleh Kantor Hukum Masyarakat Adat Nusantara di 7 (tujuh) Region, kemudian ditindaklanjuti melalui proses pendampingan hukum. Berdasarkan kasus-kasus tersebut PPMAN mengidentifikasi 9 (sembilan) pola pelanggaran yang dilakukan oleh polri terhadap masyarakat adat, yaitu: (1) Kriminalisasi dan Minimnya Akuntabilitas Penetapan Status Tersangka, (2) Penundaan Proses (undue delay), (3) Mengejar Pengakuan Tersangka, (4) Penangkapan Sewenang-Wenang, (5) Penahanan Sewenang- Wenang, (6) Permasalahan Akuntabilitas Penahanan, (7) Hak Penasihat Hukum yang Dibatasi, (8) Penyiksaan dan impunitas bagi pelaku (9) Pembunuhan di luar proses hukum (extra-judicial killing).

 

Sementara itu, menurut catatan Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM), berdasarkan jumlah aduan periode 1 Januari – 7 Juni 2022, Polri merupakan instansi yang paling banyak diadukan terkait pelanggaran HAM di komunitas masyarakat adat setelah pihak koorporasi dan pemerintah daerah. Dalam laporan tersebut, Komnas HAM menguraikan tindakan lainnya yang dialami masyarakat adat terkait dengan kekerasan oleh aparat, kriminalisasi dan diskriminasi penanganan laporan oleh polisi, dan permasalahan penetapan status tersangka pemimpin adat.

 

Meski perhatian Kepolisian terus meningkat pada isu akuntabilitas internal, kasus-kasus di atas menunjukkan masih adanya tantangan di lapis kebijakan/subtansi, struktur dan kultur hukum di tubuh kepolisian. Saat ini, juga belum ada rujukan kebijakan khusus di kepolisian tentang penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum dalam posisi sebagai korban, saksi maupun tersangka. Padahal, kebijakan ini akan menguatkan akses keadilan mengingat telah ada Peraturan Kapolri (PERKAP) No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 6 huruf (G) yang tegas menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas-tugasnya Kepolisian Republik Indonesia harus menghormati dan melindungi Hak Masyarakat Adat. Meningkatnya pelanggaran yang dialami oleh masyakat adat menunjukkan inkosistensi polri dalam mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak- hak khusus masyarakat adat.

 

Kebijakan khusus di kepolisian ini dibutuhkan mengingat tidaklah mudah mengubah persepsi individual aparat kepolisian mengenai masyarakat adat. Apalagi, program-program pendidikan untuk menguatkan perspektif keadilan dan ketrampilan penanganan kasus kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat masih terbatas.

 

Untuk mendukung terwujudnya POLRI Presisi melalui optimalisasi pemenuhan hak asasi manusia dalam penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum, PPMAN merekomendasikan kepada Kepolisian RI, yaitu:

 

  1. Pentingnya memperkuat pemahaman setiap anggota polri untuk menghormati hak-hak khusus masyarakat adat sebagaimana yang tertuang dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang hak masyarakat adat dalam implementasi tugas dan fungsi kepolisian;
  2. Pentingnya pimpinan polri membentuk satu kebijakan presisi untuk menjadi pedoman penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum;
  3. Pimpinan polri harus segera memastikan langkah pencegahan dan penanganan setiap anggota polri dalam situasi konflik sumber daya alam dimana proyek pembangunan stragis nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta yang mengancam keberadaan masyarakat adat;
  4. Perlu segera adanya reformasi Kepolisian baik di dalam fungsi penegakan hukum dan fungsi menjaga ketertiban. Termasuk didalamnya perbaikan kultur dan penegakan hukum terhadap anggota polri yang melakukan tindak pidana didalam menjalankan tugasnya;
  5. Memastikan langkah pencegahan dan penanganan kasus kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, yang juga mencakup upaya pemulihan bagi korban.

 

Oleh:

Syamsul Alam Agus SH, Ketua PPMAN

POLRI yang Presisi Melalui Penghormatan dan Perlindungan HAM bagi Masyarakat Adat

 

Catatan Peringatan HUT ke-76 Bhayangkara Polri

Jakarta, 1 Juli 2022

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendukung program Polri Presisi –
prediktif, responsibilitas, transparansi, berkeadilan dengan merekomendasikan agenda strategis
mewujudkan keadilan dan penghormatan hak asasi manusia dalam penanganan kasus terhadap
masyarakat adat. Sejumlah langkah maju perlu diperkuat, sementara berbagai tantangan di tingkat
substansi/kebijakan, struktur dan budaya di kepolisian dalam penanganan kasus kekerasan yang
dialami oleh masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum membutuhkan langkah
perbaikan/koreksi.

 

UUD 1945 memberikan mandat khusus kepada Institusi Kepolisian sebagai alat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum. Sesuai Pasal 4 UU No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian, dalam mewujudkan
tujuannya Polri wajib menjunjung tinggi HAM.

 

Sebagai hasil reformasi, melalui Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 Polri dipisahkan dari institusi TNI,
reformasi kelembagaan ini dipertegas melalui UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Paradigma aparat negara seharusnya menjaga berkembangnya sendi-sendi
demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta kewajiban perlindungan
dan pengayoman, semangat penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.

 

Untuk memastikan implementasi penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia bagi pimpinan
dan anggota Kepolisian Republik Indonesia, pimpinan Polri telah menerbitkan Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar
Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahkan
dalam Perkap tersebut menegaskan pengakuan institusi Polri atas keberadaan masyarakat adat dalam
pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Budaya Lokal yang dimaksudnya dalam Peraturan Polri ini
adalah adat, tradisi, kebiasaan atau tata nilai yang masih kuat dianut oleh masyarakat setempat dalam
rangka memelihara keamanan, ketertiban dan ketenteraman di lingkungan warga masyarakat
setempat.

 

Penyikapan kepolisian pada penanganan kasus-kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan
hukum merupakan penentu awal akses masyarakat adat pada keadilan. Sikap proaktif pimpinan polri
dalam mengusut kasus kekerasan terhadap masyarakat adat yang melibatkan anggota Polri perlu
diapresiasi. PPMAN mencatat, pada 2022 ini, misalnya, Divisi Propam dan Pengamanan (Propam)
Mabes Polri telah menindaklanjuti pengaduan PPMAN terkait dugaan pelanggaran disiplin dan
kekerasan yang dilakukan oleh anggota dan pimpinan kepolisian di Polres Nagekeo, Nusa Tenggara
Timur dalam rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Waduk Mbay/Lambo.
Di tengah kemajuan ini, dari bulan Januari hingga Juni 2022, PPMAN masih menerima pengaduan yang
terkait anggota kepolisian sebagai pelaku tindak kekerasan, melakukan kriminalisasi terhadap

 

pembela dan masyarakat adat yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari perampasan oleh
industri ekstraktif disektor perkebunan dan pertambangan, maupun polri dianggap menghambat
langkah korban memperjuangkan keadilan.

 

Dari 16 (enam belas) kasus yang di dalami, terdapat 4 kasus di mana polisi dilaporkan melakukan
kriminalisasi kepada pembela masyarakat adat. 4 kasus tersebut dialami oleh advokat pembela
masyarakat adat yang tengah melakukan pendampingan kepada masyarakat adat tana’ai di
Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Ia dilaporkan karena memperjuangkan hak masyarakat adat
yang berhadapan dengan perusahaan pemilik SKP HGU. Kriminaliasasi juga dialami oleh Kepala Desa
Kinipan di Kalimantan Tengah yang berjuang bersama masyarakat adat Kinipan dalam
mempertahankan wilayah adatnya yang dirampas oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Kriminalisasi yang dialami oleh Willem Hengky (Kepala Desa Kinipan) telah diputuskan oleh Pengadilan
Negeri Palangkaraya, Willem tidak terbukti bersalah dari seluruh dakwaan dan pengadilan
memerintahkan Willem Hengki segera dibebaskan dari tahanan. Kasus kriminalisasi lainnya dialami
oleh masyarakat adat di Natumingka, Tano Batak, Sumatera Utara yang berhadapan dengan PT. Toba
Pulp Lestari (PT.TPL). Diawal tahun 2022 Kepolisian juga melakukan penangkapan terhadap 3 (tiga)
orang Masyarakat Adat Kaili Tado di Kabupaten Pasang Kayu, Sulawesi Barat yang mepertahankan
wilayah adatnya dari perampasan lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT.
Mamuang.

 

 

Berdasarkan pengaduan dan permohonan bantuan hukum yang diterima oleh Kantor Hukum
Masyarakat Adat Nusantara di 7 (tujuh) Region, kemudian ditindaklanjuti melalui proses
pendampingan hukum. Berdasarkan kasus-kasus tersebut PPMAN mengidentifikasi 9 (sembilan) pola
pelanggaran yang dilakukan oleh polri terhadap masyarakat adat, yaitu: (1) Kriminalisasi dan
Minimnya Akuntabilitas Penetapan Status Tersangka, (2) Penundaan Proses (undue delay), (3)

 

Mengejar Pengakuan Tersangka, (4) Penangkapan Sewenang-Wenang, (5) Penahanan Sewenang-
Wenang, (6) Permasalahan Akuntabilitas Penahanan, (7) Hak Penasihat Hukum yang Dibatasi, (8)

 

Penyiksaan dan impunitas bagi pelaku (9) Pembunuhan di luar proses hukum (extra-judicial killing).
Sementara itu, menurut catatan Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM), berdasarkan
jumlah aduan periode 1 Januari – 7 Juni 2022, Polri merupakan instansi yang paling banyak diadukan
terkait pelanggaran HAM di komunitas masyarakat adat setelah pihak koorporasi dan pemerintah
daerah. Dalam laporan tersebut, Komnas HAM menguraikan tindakan lainnya yang dialami
masyarakat adat terkait dengan kekerasan oleh aparat, kriminalisasi dan diskriminasi penanganan
laporan oleh polisi, dan permasalahan penetapan status tersangka pemimpin adat.

 

Meski perhatian Kepolisian terus meningkat pada isu akuntabilitas internal, kasus-kasus di atas
menunjukkan masih adanya tantangan di lapis kebijakan/subtansi, struktur dan kultur hukum di tubuh
kepolisian. Saat ini, juga belum ada rujukan kebijakan khusus di kepolisian tentang penanganan kasus
masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum dalam posisi sebagai korban, saksi maupun
tersangka. Padahal, kebijakan ini akan menguatkan akses keadilan mengingat telah ada Peraturan
Kapolri (PERKAP) No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia
Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 6 huruf (G) yang tegas
menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas-tugasnya Kepolisian Republik Indonesia harus
menghormati dan melindungi Hak Masyarakat Adat.

 

Meningkatnya pelanggaran yang dialami oleh masyakat adat menunjukkan inkosistensi polri dalam mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-
hak khusus masyarakat adat.

 

khusus di kepolisian ini dibutuhkan mengingat tidaklah mudah mengubah persepsi
individual aparat kepolisian mengenai masyarakat adat. Apalagi, program-program pendidikan untuk
menguatkan perspektif keadilan dan ketrampilan penanganan kasus kekerasan yang dialami oleh
masyarakat adat masih terbatas.

 

Untuk mendukung terwujudnya POLRI Presisi melalui optimalisasi pemenuhan hak asasi manusia
dalam penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum, PPMAN
merekomendasikan kepada Kepolisian RI, yaitu:

 

  1. 1. Pentingnya memperkuat pemahaman setiap anggota polri untuk menghormati hak-hakkhusus masyarakat adat sebagaimana yang tertuang dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-
    Bangsa tentang hak masyarakat adat dalam implementasi tugas dan fungsi kepolisian;
  2. Pentingnya pimpinan polri membentuk satu kebijakan presisi untuk menjadi pedoman
    penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum;
  3. Pimpinan polri harus segera memastikan langkah pencegahan dan penanganan setiap anggota
    polri dalam situasi konflik sumber daya alam dimana proyek pembangunan stragis nasional
    yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta yang mengancam keberadaan
    masyarakat adat;
  4. Perlu segera adanya reformasi Kepolisian baik di dalam fungsi penegakan hukum dan fungsi
    menjaga ketertiban. Termasuk didalamnya perbaikan kultur dan penegakan hukum terhadap
    anggota polri yang melakukan tindak pidana didalam menjalankan tugasnya;
  5. Memastikan langkah pencegahan dan penanganan kasus kekerasan dan penyiksaan yang
    dilakukan oleh aparat kepolisian, yang juga mencakup upaya pemulihan bagi korban.

 

Demikian pres release ini disampaikan untuk disiarkan.
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
Syamsul Alam Agus, Ketua PPMAN, 08118889083

PPMAN : Dialog Menyeluruh Solusi untuk Permasalahan Pro-Kontra Proyek Strategis Nasional di Rendu

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendesak pemerintah pusat agar segera memulai tahapan dialog yang bermartabat  guna merumuskan masalah dan solusi atau penyelesaian permasalahan pada rencana pembangunan waduk mbay di kawasan masyarakat adat rendu secara menyeluruh dan bermartabat.

 

Desakan tersebut disampaikan Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus, S.H., dalam keterangan pers di Nagekeo, pada Senin (25/4). terkait terjadinya polarisasi di masyarakat sehubungan dengan rencana pembangunan proyek strategis nasional (PSN) di kawasan masyarakat adat rendu. Bahkan dalam perkembangannya sebanyak 24 orang masyarakat adat ditangkap dan diperlakukan tidak manusiawi pada tanggal 4 April 2022 oleh anggota kepolisian resort Nagekeo.

 

Sejalan dengan itu PPMAN mengajak berbagai pihak agar menghentikan tindakan dalam bentuk apapun yang dapat berpotensi meningkatkan siklus kekerasan. “Kami mengajak para tokoh untuk bekerjasama membangun komunikasi yang dimulai dari bawah guna meredakan ketegangan, kekhawatiran dan sikap permusuhan agar relasi sosial diantara masyarakat sipil dapat dibangun kembali,” ajak Syamsul Alam.

 

Tak hanya itu, PPMAN juga meminta agar penegakan hukum yang dilakukan berlaku adil dan transparan terhadap semua pihak. Aparat penegakan hukum mengedepankan prinsip-prinsip HAM secara benar dan imparsial.

 

PPMAN berharap untuk penyelesaian polemik pro-kontra pembangunan waduk lambo, baik pemerintah maupun pihak kepolisian yang mengambil inisiatif dialog dapat menunjukan sikap netral, menghindari praktik diskriminasi dan stigmatisasi terhadap salah satu pihak.

 

Sebagaimana diketahui, pada tanggal 25 April 2022, Polres Nagekeo melaksanakan sebuah kegiatan dialog interaktif di Aula Polres Nagekeo. Dialog interaktif tersebut dipimpin oleh Kapolres Nagekeo, AKBP Yudha Pranata, S.I.K yang dimaksudkan untuk merespon surat permohonan PPMAN untuk berdialog dua arah terkait dengan proses hukum terhadap 24 orang masyarakat adat rendu yang ditangkap oleh aparat kepolisian pada tanggal 4 April 2022.

 

Selain itu, pengajuan dialog kepada kapolres Nagekeo, dimaksudkan oleh PPMAN untuk menyampaikan bahwa Masyarakat Adat rendu, Perempuan Adat Rendu dan 24 orang masayarakat adat yang ditangkap yang semuanya merupakan anggota Forum Perjuangan Penolakan Waduk Lambo(FPPWL), telah memberikan kuasa kepada sejumlah advokat PPMAN untuk mendampingi kepentingan hukum mereka.

 

Maksud dan tujuan dialog yang diajukan oleh PPMAN tersebut kemudian berubah menjadi penekanan yang dilakukan oleh sejumlah pihak yang hadir atas undangan Kapolres. Para pihak tersebut dinilai tidak memiliki kepentingan atas tujuan dialog yang diajukan oleh PPMAN. Situasi forum di aula Polres Nagekeo kemudian menjadi tidak kondusif, sejumlah pihak melontarkan kata-kata yang tidak sepantasnya dan merendahkan wibawa profesionalisme penegakan hukum.

 

Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Syamsul Alam Agus, S.H., menduga Kapolres Yudha telah mendapatkan informasi dan perkiraan intelijen yang keliru. sehingga, menyarankan agar Kapolres mengundang pihak-pihak yang mengidentifikasikan dirinya sebagai kelompok masyarakat yang pro pada pembangunan waduk lambo untuk hadir dalam dialog tersebut. tanpa melalui satu proses concern kepada pihak PPMAN format dialog dirubah secara sepihak dengan melibatkan orang-orang yang tidak berkepentingan pada maksud dan tujuan surat permohonan yang diajukan.

 

Lanjut Alam, informed consent menjadi kewajiban para pihak dalam dialog yang direncanakan karena merupakan prinsip atas persetujuan bebas yang diberikan oleh salah satu pihak terhadap suatu tindakan, setelah ia memperoleh semua informasi yang penting mengenai sifat serta konsekuensi tindakan tersebut.

 

Informed consent dibuat berdasarkan prinsip etika Outonomi (otonomi), Beneficence (Berbuat Baik), Justice (Keadilan), Non-maleficence (tidak merugikan), Veracity (Kejujuran), Fidelity (Menepati janji), Confidentiality (Kerahasiaan), dan Accountability (Akuntabilitas) yang berakar pada martabat manusia di mana otonomi dan integritas pribadi para pihak dilindungi dan dihormati.

 

Ketua Badan Pelaksana PPMAN kembali menegaskan bahwa Polri tidak saja dituntut profesional, tetapi juga akuntabel kepada pemangku kepentingan, antara lain dengan menggunakan kewenangannya secara bijak dan santun pada masyarakat yang dilayaninya serta mengedepankan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

 

“Itulah pentingnya berpedoman pada prinsip penegakan hak asasi manusia,” tegas Alam. Menurut Alam, aturan pelaksana di dalam mendorong penerapan nilai-nilai hak asasi manusia untuk memperkuat profesionalisme dan akuntabilitas aparat kepolisian telah diatur melalui Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip-Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, dimana diwajibkan bagi setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas atau dalam kehidupan sehari-hari untuk menerapkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia.

 

“Sekurang-kurangnya ada lima pedoman terkait prinsip penegakan hak asasi manusia;

 

(1) Menghormati martabat dan hak asasi manusia setiap orang; (2) Bertindak secara adil dan tidak diskriminatif; (3) Berperilaku sopan; (4) Menghormati norma agama, etika, dan susila; (5) Menghargai budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia,” jelas Alam.

 

Sementara, Koordinator PPMAN Region Bali – Nusra, Anton Johanis Bala, S.H. yang juga hadir di Mapolres Nagekeo mengatakan kita harus mengedepankan dialog damai sebagai strategi utama penyelesaian siklus kekerasan sekaligus pembuka jalan untuk isu-isu lain, seperti ketidakadilan, diskriminasi, hak ulayat dan sebagainya.

 

“Terkait dengan polemik pembangunan Proyek Strategis Nasional Waduk Lambo, PPMAN mengingatkan kepada pemerintah untuk mengedepankan prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) dalam proses pengambilan keputusan. Persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan bertujuan untuk membangun partisipasi dan konsultasi bottom-up dari penduduk asli sebelum dimulainya pembangunan di tanah leluhur atau menggunakan sumber daya di wilayah penduduk asli,” katanya.

 

“Sekali lagi bagi PPMAN hanya dengan menggunakan media dialog maka permasalahan di proyek strategis nasional dapat diurai dengan jernih dan diselesaikan secara adil dan bermartabat,’’ tutup Anton Johanis.