Masyarakat Adat 2 Suku di Sikka Gelar Aksi Tolak Penanaman Pilar di Atas Tanah Eks HGU Nangahale

 

Ratusan masyarakat adat dua Suku di Kabupaten Sikka menggelar menggelar aksi penolakan terhadap peletakan titik koordinat dan penanaman pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale -Patiahu, Senin 14 November 2022 pagi.

 

Ratusan masyarakat adat dua suku tersebut antara lain suku Tana Puan Soge Natarmage dan Tana Puan Goban Runut.

 

Sebelum aksi, para tokoh adat menggelar ritual adat yang berlangsung di Balai Pertemuan Masyarakat Adat di Utanwair Desa Nangahale Kecamatan Talibura.

 

Usai menggelar ritual adat, Ratusan masyarakat ini pun Long Marc di sepanjang jalan Trans Flores Maumere -Larantuka menuju titik koordinat penanaman pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale – Patiahu.

 

Masyarakat membawa sejumlah baliho yang bertuliskan penolakan terhadap peletakan titik koordinat penanaman penanaman pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale – Patiahu.

 

Hingga saat ini, Ratusan masyarakat adat masih menggelar aksi penolakan terhadap peletakan titik koordinat dan penanaman pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale – Patiahu.

 

Sebelumnya, Pada tanggal 04 – 08 November 2022 lalu, Kantor pertanahan Kabupaten Sikka memasang pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale – Patiahu. Pemasangan pilar ini pun dikawal ketat TNI dan Polri serta Sat Pol PP kabupaten Sikka.

 

Video aksi Masyarakat adat Tana Pu’an Soge Natarmage dan Tana Puan Goban Runut pada Kamis (14/11/2022)

 

Artikel ini telah tayang di Tribunflores.com dengan judul Masyarakat Adat 2 Suku di Sikka Gelar Aksi Tolak Penanaman Pilar di Atas Tanah Eks HGU Nangahale, https://flores.tribunnews.com/2022/11/14/masyarakat-adat-2-suku-di-sikka-gelar-aksi-tolak-penanaman-pilar-di-atas-tanah-eks-hgu-nangahale.

PPMAN Gandeng Organisasi Profesi Pengacara untuk Membela Masyarakat Adat

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menggandeng organisasi profesi Kongres Advokat Indonesia (KAI) untuk memberikan bantuan hukum kepada Masyarakat Adat yang tidak terjangkau akses keadilan. Langkah strategis tersebut dikukuhkan kedua pihak dalam bentuk penandatanganan memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman yang dilakukan pada perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) PPMAN ke-9 di Joglo Keadilan, Kota Bogor pada Selasa, 27 September 2022.

 

Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus mengatakan bahwa MoU antara PPMAN dan KAI itu berisi tentang komitmen peningkatan kapasitas advokat PPMAN dalam pembelaan terhadap Masyarakat Adat. Menurutnya, MoU itu penting karena PPMAN bukan organisasi profesi advokat, tapi organisasi yang mendeklarasikan diri untuk menyatakan dukungan kepada Masyarakat Adat.

 

“Faktor ini yang mendorong kami menggandeng KAI untuk membela Masyarakat Adat,” kata Syamsul Alam usai penandatanganan MoU.

 

Menurutnya, kerja sama melalui organisasi profesi advokat itu dapat memberikan dampak positif karena membuka ruang terhadap akses keadilan bagi Masyarakat Adat yang rentan dan tidak terjangkau oleh infrastruktur maupun layanan dukungan bantuan hukum.

 

“Jadi, kerja sama ini akan memperpendek akses Masyarakat Adat untuk mendapatkan keadilan secara cepat,” tandasnya.

 

Syamsul mengaku bahwa jumlah pengacara yang ada di PPMAN saat ini, masih minim jika dibandingkan dengan begitu banyaknya kasus hukum yang menjerat Masyarakat Adat di berbagai pelosok Nusantara. Selain itu, akses antara Masyarakat Adat dan posisi anggota PPMAN juga relatif jauh dan berhadapan dengan tantangan keterbatasan infrastruktur, khususnya di berbagai perdesaan, pegunungan, pesisir, dan pulau kecil. Ia menyatakan kalau umumnya para pengacara tinggal di kota, sedangkan keberadaan Masyarakat Adat tersebar di kampung maupun desa.

 

PPMAN menyusun beberapa strategi untuk meningkatkan kapasitas melalui pelatihan paralegal untuk kader Masyarakat Adat dan pelatihan pendidikan khusus profesi advokat agar para kader Masyarakat Adat yang memenuhi persyaratan, bisa juga menjadi advokat. Syamsul menyebut bahwa jumlah advokat dan ahli hukum yang dimiliki PPMAN saat ini, baru mencapai 126 orang. Selain itu, PPMAN juga telah melatih kader dari sejumlah komunitas Masyarakat Adat untuk menjadi paralegal. Saat ini, kader muda untuk itu telah mencapai 200 orang dan tersebar di seluruh Indonesia. Baru-baru ini, PPMAN pun telah menyelesaikan pendidikan advokat sebanyak 13 orang.

 

“Jumlah ini sangat jauh dari ideal,” ungkap Syamsul. “Saya kira (jumlah itu) masih jauh dari harapan: satu komunitas Masyarakat Adat memiliki satu advokat.” Syamsul menambahkan bahwa PPMAN akan selalu terbuka untuk melakukan perekrutan ke depannya.

 

Sebagai Ketua PPMAN, Syamsul mengatakan bahwa ia berharap ke depannya, PPMAN bukan hanya harus tetap ada, tetapi semakin kuat dan memperluas jaringan agar bisa membantu atau mendukung Masyarakat Adat untuk mendapatkan keadilan. Menurutnya, keadilan belum diraih oleh Masyarakat Adat karena kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat masih terus terjadi. Bahkan, kriminalisasi itu dapat berujung pada vonis yang tidak berkeadilan terhadap Masyarakat Adat, seperti kasus yang menimpa warga Masyarakat Adat Tobelo Dalam di Halmahera, Maluku Utara, yang divonis mati karena mempertahankan wilayah adatnya.

 

“Ini satu dari sekian banyak kasus yang dihadapi Masyarakat Adat,” ujarnya dengan penuh keprihatinan.

 

Sementara itu, Sekretaris Umum KAI Ibrahim Massidenreng menyatakan kegembiraannya untuk bekerja sama dengan PPMAN. Ia berharap kerja sama tersebut bisa memberikan manfaat bagi orang-orang yang membutuhkan keadilan, terutama Masyarakat Adat. Khusus bagi anggota KAI, katanya, hal itu bisa memberikan peluang pada peningkatan kapasitas, pengetahuan, dan keterampilan terkait pembelaan terhadap Masyarakat Adat.

 

 

“Tidak tertutup kemungkinan, teman-teman di KAI suatu waktu mendampingi kasus Masyarakat Adat atau setidaknya ikut melapisi tim-tim dalam pembelaan,” ujarnya.

Ibrahim menjelaskan bahwa KAI punya banyak pengalaman yang bisa dibagi terkait keadvokatan. Ia berharap PPMAN dan KAI bisa berkolaborasi dalam pendampingan Masyarakat Adat, termasuk kerja sama terhadap eksaminasi putusan yang melibatkan Masyarakat Adat.

 

“Harapan dengan MoU ini, (adalah) anggota KAI ikut terlibat dalam tim eksaminasi,” ujarnya.

 

Ibrahim mengatakan, sejatinya MoU dapat menjadi payung yang nantinya harus dilengkapi dengan perjanjian tertentu, di mana pintu masuknya adalah legal standing advokat dulu. Ia menyatakan bahwa isu Masyarakat Adat harus lebih diperluas. Koalisi kedua organisasi juga berharap akan dapat memperluas gerakan. Menurutnya, semakin sering dan banyak advokat yang terlibat dalam pembelaan terhadap Masyarakat Adat, akan memberikan dukungan yang pula kian luas, sehingga upaya pembelaan terhadap Masyarakat Adat bisa mudah dilakukan, bahkan hingga ke pelosok desa sekali pun.

 

Oleh Apriadi Gunawan

Permohonan Uji Materiil terhadap Perpres 98/2021

 

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional atau Perpres 98/2021 yang mengatur tentang pasar karbon.

 

Ketentuan tersebut dipandang sebagai upaya mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia untuk pengendalian perubahan iklim. Namun, Perpres itu justru menunjukkan ketidakadilan negara melalui pengamputasian peran dan kedudukan Masyarakat Adat dalam pengelolaan karbon, di mana Masyarakat Adat tidak diakui sebagai subjek penyelenggara yang memilki hak atas karbon.

 

Padahal, Prinsip 22 dalam Rio Declaration on Environment and Development (Deklarasi Rio) menegaskan bahwa Masyarakat Adat mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan karena pengetahuan dan praktik tradisionalnya. Wilayah adat memiliki kontribusi langsung dalam mengurangi dampak perubahan iklim.

 

Hal tersebut dapat dilihat dari praktik tradisional yang dilakukan oleh Masyarakat Adat di Kasepuhan Cibarani dan Karang di Kabupaten Lebak, Banten, misalnya. Keduanya memiliki luas wilayah adat berupa hutan adatmasing-masing sekitar 490 hektar dan 462 hektar.

 

Di sana, hutan adat memiliki fungsi spiritualitas, sosial-budaya, jasa lingkungan, konservasi, dan ekonomi yang telah dirawat oleh Masyarakat Adatsecara turun-temurun dari generasi ke generasi. Dan pengakuan atas hal itu telah dinyatakanMahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 35/PUU-X/2012.

 

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi pernah menegaskan bahwa sebagian besar biodiversitas yang berada dalam kondisi baik di muka bumi ini, terdapat di dalam wilayah adat.

 

“Di tengah penghancuran(terhadap Masyarakat Adat dan wilayah adatnya), kita masih menyelamatkan 80 persenkeanekaragaman hayati di dunia,”

 

ujar Rukka yang percaya bahwa krisis iklim salah satunya disebabkan karena tindakan yang berasal dari cara pandang yang menghancurkan alam dan bersikap tidak adil pada sesama.

 

Menurutnya, solusi untuk keluar dari krisis, tak akan terjadi jika kita tidak mengubah cara kita menempatkan dan memandang Masyarakat Adat yang telah menjaga
keanekaragaman hayati yang tersisa.

 

Sementara itu, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)  organisasi sayap AMAN berbentuk perkumpulan yang keanggotaannya terdiri dari advokat dan/atau ahli hukum yang peduli dan berkomitmen pada kerja pembelaan dan pemajuan Masyarakat Adat – menilai Perpres 98/2022 bertentangan dengan asas keadilan, keterbukaan, dan partisipasi karena tidak memiliki keberpihakan dan tidak melibatkan Masyarakat Adat dalam prosesnya.

 

Selain itu, Perpres tersebut juga bertentangan dengan konstitusi dan sejumlah Undang-Undang (UU) terkait dengan tata kelola karbon, terutama dalam hal “hak menguasai negara” dan “dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” PPMAN mengingatkan bahwa pemerintah seharusnya menghormati, mendorong, dan mempertimbangkan tanggung jawabnya terhadap Masyarakat Adat dalam aksi menangani perubahan iklim seperti yang diutarakan melalui UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim.

 

Akan tetapi, muatan materi Perpres 98/2021 tidak mengatur secara jelas dan tegas pelibatan Masyarakat Adat dalam penyelenggaraan nilai ekonomi karbon. Maka, pada hari ini, 28 September 2022, PPMAN mengajukan pendaftaran permohonan uji materiil terhadap Perpres 98/2021.

 

Fatiatulo Lazira, S.H. – 0812-1387-776

Permohonan Uji Materiil Terhadap Perpres 98/2021

 

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional atau Perpres 98/2021 yang mengatur tentang pasar karbon.

 

Ketentuan tersebut dipandang sebagai upaya mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia untuk pengendalian perubahan iklim. Namun, Perpres itu justru menunjukkan ketidakadilan negara melalui pengamputasian peran dan kedudukan Masyarakat Adat dalam pengelolaan karbon, di mana Masyarakat Adat tidak diakui sebagai subjek penyelenggara yang memilki hak atas karbon.

 

Padahal, Prinsip 22 dalam Rio Declaration on Environment and Development (Deklarasi Rio) menegaskan bahwa Masyarakat Adat mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan karena pengetahuan dan praktik tradisionalnya. Wilayah adat memiliki kontribusi langsung dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Hal tersebut dapat dilihat dari praktik tradisional yang dilakukan oleh Masyarakat Adat di Kasepuhan Cibarani dan Karang di Kabupaten Lebak, Banten, misalnya. Keduanya memiliki luas wilayah adat berupa hutan adat masing-masing sekitar 490 hektar dan 462 hektar.

 

Di sana, hutan adat memiliki fungsi spiritualitas, sosial-budaya, jasa lingkungan, konservasi, dan ekonomi yang telah dirawat oleh Masyarakat Adatsecara turun-temurun dari generasi ke generasi. Dan pengakuan atas hal itu telah dinyatakanMahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 35/PUU-X/2012.

 

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi pernah menegaskan bahwa sebagian besar biodiversitas yang berada dalam kondisi baik di muka bumi ini, terdapat di dalam wilayah adat.

 

“Di tengah penghancuran(terhadap Masyarakat Adat dan wilayah adatnya), kita masih menyelamatkan 80 persenkeanekaragaman hayati di dunia,” ujar Rukka yang percaya bahwa krisis iklim salah satunya disebabkan karena tindakan yang berasal dari cara pandang yang menghancurkan alam dan bersikap tidak adil pada sesama. Menurutnya, solusi untuk keluar dari krisis, tak akan terjadi jika kita tidak mengubah cara kita menempatkan dan memandang Masyarakat Adat yang telah menjaga
keanekaragaman hayati yang tersisa.

 

Sementara itu, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) – organisasi sayap AMAN berbentuk perkumpulan yang keanggotaannya terdiri dari advokat dan/atau ahli hukum yang peduli dan berkomitmen pada kerja pembelaan dan pemajuan Masyarakat Adat – menilai Perpres 98/2022 bertentangan dengan asas keadilan, keterbukaan, dan partisipasi karena tidak memiliki keberpihakan dan tidak melibatkan Masyarakat Adat dalam prosesnya.

 

Selain itu, Perpres tersebut juga bertentangan dengan konstitusi dan sejumlah Undang-Undang (UU) terkait dengan tata kelola karbon, terutama dalam hal “hak menguasai negara” dan “dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” PPMAN mengingatkan bahwa pemerintah seharusnya menghormati, mendorong, dan mempertimbangkan tanggung jawabnya terhadap Masyarakat Adat dalam aksi menangani perubahan iklim seperti yang diutarakan melalui UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim.

 

Akan tetapi, muatan materi Perpres 98/2021 tidak mengatur secara jelas dan tegas pelibatan Masyarakat Adat dalam penyelenggaraan nilai ekonomi karbon. Maka, pada hari ini, 28 September 2022, PPMAN mengajukan pendaftaran permohonan uji materiil terhadap Perpres 98/2021.

 

Fatiatulo Lazira, S.H. – 0812-1387-776

POLRI yang Presisi Melalui Penghormatan dan Perlindungan HAM bagi Masyarakat Adat

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendukung program Polri Presisi – prediktif, responsibilitas, transparansi, berkeadilan dengan merekomendasikan agenda strategis mewujudkan keadilan dan penghormatan hak asasi manusia dalam penanganan kasus terhadap masyarakat adat. Sejumlah langkah maju perlu diperkuat, sementara berbagai tantangan di tingkat substansi/kebijakan, struktur dan budaya di kepolisian dalam penanganan kasus kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum membutuhkan langkah perbaikan/koreksi.

 

UUD 1945 memberikan mandat khusus kepada Institusi Kepolisian sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Sesuai Pasal 4 UU No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian, dalam mewujudkan tujuannya Polri wajib menjunjung tinggi HAM.

 

Sebagai hasil reformasi, melalui Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 Polri dipisahkan dari institusi TNI, reformasi kelembagaan ini dipertegas melalui UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Paradigma aparat negara seharusnya menjaga berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta kewajiban perlindungan dan pengayoman, semangat penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.

 

Untuk memastikan implementasi penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia bagi pimpinan dan anggota Kepolisian Republik Indonesia, pimpinan Polri telah menerbitkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahkan dalam Perkap tersebut menegaskan pengakuan institusi Polri atas keberadaan masyarakat adat dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Budaya Lokal yang dimaksudnya dalam Peraturan Polri ini adalah adat, tradisi, kebiasaan atau tata nilai yang masih kuat dianut oleh masyarakat setempat dalam rangka memelihara keamanan, ketertiban dan ketenteraman di lingkungan warga masyarakat setempat.

 

Penyikapan kepolisian pada penanganan kasus-kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum merupakan penentu awal akses masyarakat adat pada keadilan. Sikap proaktif pimpinan polri dalam mengusut kasus kekerasan terhadap masyarakat adat yang melibatkan anggota Polri perlu diapresiasi. PPMAN mencatat, pada 2022 ini, misalnya, Divisi Propam dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri telah menindaklanjuti pengaduan PPMAN terkait dugaan pelanggaran disiplin dan kekerasan yang dilakukan oleh anggota dan pimpinan kepolisian di Polres Nagekeo, Nusa Tenggara Timur dalam rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Waduk Mbay/Lambo.

 

Di tengah kemajuan ini, dari bulan Januari hingga Juni 2022, PPMAN masih menerima pengaduan yang terkait anggota kepolisian sebagai pelaku tindak kekerasan, melakukan kriminalisasi terhadap pembela dan masyarakat adat yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari perampasan oleh industri ekstraktif disektor perkebunan dan pertambangan, maupun polri dianggap menghambat langkah korban memperjuangkan keadilan.

 

Dari 16 (enam belas) kasus yang didalami, terdapat 4 kasus di mana polisi dilaporkan melakukan kriminalisasi kepada pembela masyarakat adat. 4 kasus tersebut dialami oleh advokat pembela masyarakat adat yang tengah melakukan pendampingan kepada masyarakat adat tana’ai di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Ia dilaporkan karena memperjuangkan hak masyarakat adat yang berhadapan dengan perusahaan pemilik SKP HGU.

 

Kriminaliasasi juga dialami oleh Kepala Desa Kinipan di Kalimantan Tengah yang berjuang bersama masyarakat adat Kinipan dalam mempertahankan wilayah adatnya yang dirampas oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kriminalisasi yang dialami oleh Willem Hengky (Kepala Desa Kinipan) telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Palangkaraya, Willem tidak terbukti bersalah dari seluruh dakwaan dan pengadilan memerintahkan Willem Hengki segera dibebaskan dari tahanan. Kasus kriminalisasi lainnya dialami oleh masyarakat adat di Natumingka, Tano Batak, Sumatera Utara yang berhadapan dengan PT. Toba Pulp Lestari (PT.TPL). Di awal tahun 2022 Kepolisian juga melakukan penangkapan terhadap 3 (tiga) orang Masyarakat Adat Kaili Tado di Kabupaten Pasang Kayu, Sulawesi Barat yang mepertahankan wilayah adatnya dari perampasan lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Mamuang.

 

Berdasarkan pengaduan dan permohonan bantuan hukum yang diterima oleh Kantor Hukum Masyarakat Adat Nusantara di 7 (tujuh) Region, kemudian ditindaklanjuti melalui proses pendampingan hukum. Berdasarkan kasus-kasus tersebut PPMAN mengidentifikasi 9 (sembilan) pola pelanggaran yang dilakukan oleh polri terhadap masyarakat adat, yaitu: (1) Kriminalisasi dan Minimnya Akuntabilitas Penetapan Status Tersangka, (2) Penundaan Proses (undue delay), (3) Mengejar Pengakuan Tersangka, (4) Penangkapan Sewenang-Wenang, (5) Penahanan Sewenang- Wenang, (6) Permasalahan Akuntabilitas Penahanan, (7) Hak Penasihat Hukum yang Dibatasi, (8) Penyiksaan dan impunitas bagi pelaku (9) Pembunuhan di luar proses hukum (extra-judicial killing).

 

Sementara itu, menurut catatan Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM), berdasarkan jumlah aduan periode 1 Januari – 7 Juni 2022, Polri merupakan instansi yang paling banyak diadukan terkait pelanggaran HAM di komunitas masyarakat adat setelah pihak koorporasi dan pemerintah daerah. Dalam laporan tersebut, Komnas HAM menguraikan tindakan lainnya yang dialami masyarakat adat terkait dengan kekerasan oleh aparat, kriminalisasi dan diskriminasi penanganan laporan oleh polisi, dan permasalahan penetapan status tersangka pemimpin adat.

 

Meski perhatian Kepolisian terus meningkat pada isu akuntabilitas internal, kasus-kasus di atas menunjukkan masih adanya tantangan di lapis kebijakan/subtansi, struktur dan kultur hukum di tubuh kepolisian. Saat ini, juga belum ada rujukan kebijakan khusus di kepolisian tentang penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum dalam posisi sebagai korban, saksi maupun tersangka. Padahal, kebijakan ini akan menguatkan akses keadilan mengingat telah ada Peraturan Kapolri (PERKAP) No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 6 huruf (G) yang tegas menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas-tugasnya Kepolisian Republik Indonesia harus menghormati dan melindungi Hak Masyarakat Adat. Meningkatnya pelanggaran yang dialami oleh masyakat adat menunjukkan inkosistensi polri dalam mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak- hak khusus masyarakat adat.

 

Kebijakan khusus di kepolisian ini dibutuhkan mengingat tidaklah mudah mengubah persepsi individual aparat kepolisian mengenai masyarakat adat. Apalagi, program-program pendidikan untuk menguatkan perspektif keadilan dan ketrampilan penanganan kasus kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat masih terbatas.

 

Untuk mendukung terwujudnya POLRI Presisi melalui optimalisasi pemenuhan hak asasi manusia dalam penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum, PPMAN merekomendasikan kepada Kepolisian RI, yaitu:

 

  1. Pentingnya memperkuat pemahaman setiap anggota polri untuk menghormati hak-hak khusus masyarakat adat sebagaimana yang tertuang dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang hak masyarakat adat dalam implementasi tugas dan fungsi kepolisian;
  2. Pentingnya pimpinan polri membentuk satu kebijakan presisi untuk menjadi pedoman penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum;
  3. Pimpinan polri harus segera memastikan langkah pencegahan dan penanganan setiap anggota polri dalam situasi konflik sumber daya alam dimana proyek pembangunan stragis nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta yang mengancam keberadaan masyarakat adat;
  4. Perlu segera adanya reformasi Kepolisian baik di dalam fungsi penegakan hukum dan fungsi menjaga ketertiban. Termasuk didalamnya perbaikan kultur dan penegakan hukum terhadap anggota polri yang melakukan tindak pidana didalam menjalankan tugasnya;
  5. Memastikan langkah pencegahan dan penanganan kasus kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, yang juga mencakup upaya pemulihan bagi korban.

 

Oleh:

Syamsul Alam Agus SH, Ketua PPMAN

POLRI yang Presisi Melalui Penghormatan dan Perlindungan HAM bagi Masyarakat Adat

 

Catatan Peringatan HUT ke-76 Bhayangkara Polri

Jakarta, 1 Juli 2022

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendukung program Polri Presisi –
prediktif, responsibilitas, transparansi, berkeadilan dengan merekomendasikan agenda strategis
mewujudkan keadilan dan penghormatan hak asasi manusia dalam penanganan kasus terhadap
masyarakat adat. Sejumlah langkah maju perlu diperkuat, sementara berbagai tantangan di tingkat
substansi/kebijakan, struktur dan budaya di kepolisian dalam penanganan kasus kekerasan yang
dialami oleh masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum membutuhkan langkah
perbaikan/koreksi.

 

UUD 1945 memberikan mandat khusus kepada Institusi Kepolisian sebagai alat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum. Sesuai Pasal 4 UU No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian, dalam mewujudkan
tujuannya Polri wajib menjunjung tinggi HAM.

 

Sebagai hasil reformasi, melalui Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 Polri dipisahkan dari institusi TNI,
reformasi kelembagaan ini dipertegas melalui UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Paradigma aparat negara seharusnya menjaga berkembangnya sendi-sendi
demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta kewajiban perlindungan
dan pengayoman, semangat penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.

 

Untuk memastikan implementasi penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia bagi pimpinan
dan anggota Kepolisian Republik Indonesia, pimpinan Polri telah menerbitkan Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar
Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahkan
dalam Perkap tersebut menegaskan pengakuan institusi Polri atas keberadaan masyarakat adat dalam
pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Budaya Lokal yang dimaksudnya dalam Peraturan Polri ini
adalah adat, tradisi, kebiasaan atau tata nilai yang masih kuat dianut oleh masyarakat setempat dalam
rangka memelihara keamanan, ketertiban dan ketenteraman di lingkungan warga masyarakat
setempat.

 

Penyikapan kepolisian pada penanganan kasus-kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan
hukum merupakan penentu awal akses masyarakat adat pada keadilan. Sikap proaktif pimpinan polri
dalam mengusut kasus kekerasan terhadap masyarakat adat yang melibatkan anggota Polri perlu
diapresiasi. PPMAN mencatat, pada 2022 ini, misalnya, Divisi Propam dan Pengamanan (Propam)
Mabes Polri telah menindaklanjuti pengaduan PPMAN terkait dugaan pelanggaran disiplin dan
kekerasan yang dilakukan oleh anggota dan pimpinan kepolisian di Polres Nagekeo, Nusa Tenggara
Timur dalam rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Waduk Mbay/Lambo.
Di tengah kemajuan ini, dari bulan Januari hingga Juni 2022, PPMAN masih menerima pengaduan yang
terkait anggota kepolisian sebagai pelaku tindak kekerasan, melakukan kriminalisasi terhadap

 

pembela dan masyarakat adat yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari perampasan oleh
industri ekstraktif disektor perkebunan dan pertambangan, maupun polri dianggap menghambat
langkah korban memperjuangkan keadilan.

 

Dari 16 (enam belas) kasus yang di dalami, terdapat 4 kasus di mana polisi dilaporkan melakukan
kriminalisasi kepada pembela masyarakat adat. 4 kasus tersebut dialami oleh advokat pembela
masyarakat adat yang tengah melakukan pendampingan kepada masyarakat adat tana’ai di
Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Ia dilaporkan karena memperjuangkan hak masyarakat adat
yang berhadapan dengan perusahaan pemilik SKP HGU. Kriminaliasasi juga dialami oleh Kepala Desa
Kinipan di Kalimantan Tengah yang berjuang bersama masyarakat adat Kinipan dalam
mempertahankan wilayah adatnya yang dirampas oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Kriminalisasi yang dialami oleh Willem Hengky (Kepala Desa Kinipan) telah diputuskan oleh Pengadilan
Negeri Palangkaraya, Willem tidak terbukti bersalah dari seluruh dakwaan dan pengadilan
memerintahkan Willem Hengki segera dibebaskan dari tahanan. Kasus kriminalisasi lainnya dialami
oleh masyarakat adat di Natumingka, Tano Batak, Sumatera Utara yang berhadapan dengan PT. Toba
Pulp Lestari (PT.TPL). Diawal tahun 2022 Kepolisian juga melakukan penangkapan terhadap 3 (tiga)
orang Masyarakat Adat Kaili Tado di Kabupaten Pasang Kayu, Sulawesi Barat yang mepertahankan
wilayah adatnya dari perampasan lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT.
Mamuang.

 

 

Berdasarkan pengaduan dan permohonan bantuan hukum yang diterima oleh Kantor Hukum
Masyarakat Adat Nusantara di 7 (tujuh) Region, kemudian ditindaklanjuti melalui proses
pendampingan hukum. Berdasarkan kasus-kasus tersebut PPMAN mengidentifikasi 9 (sembilan) pola
pelanggaran yang dilakukan oleh polri terhadap masyarakat adat, yaitu: (1) Kriminalisasi dan
Minimnya Akuntabilitas Penetapan Status Tersangka, (2) Penundaan Proses (undue delay), (3)

 

Mengejar Pengakuan Tersangka, (4) Penangkapan Sewenang-Wenang, (5) Penahanan Sewenang-
Wenang, (6) Permasalahan Akuntabilitas Penahanan, (7) Hak Penasihat Hukum yang Dibatasi, (8)

 

Penyiksaan dan impunitas bagi pelaku (9) Pembunuhan di luar proses hukum (extra-judicial killing).
Sementara itu, menurut catatan Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM), berdasarkan
jumlah aduan periode 1 Januari – 7 Juni 2022, Polri merupakan instansi yang paling banyak diadukan
terkait pelanggaran HAM di komunitas masyarakat adat setelah pihak koorporasi dan pemerintah
daerah. Dalam laporan tersebut, Komnas HAM menguraikan tindakan lainnya yang dialami
masyarakat adat terkait dengan kekerasan oleh aparat, kriminalisasi dan diskriminasi penanganan
laporan oleh polisi, dan permasalahan penetapan status tersangka pemimpin adat.

 

Meski perhatian Kepolisian terus meningkat pada isu akuntabilitas internal, kasus-kasus di atas
menunjukkan masih adanya tantangan di lapis kebijakan/subtansi, struktur dan kultur hukum di tubuh
kepolisian. Saat ini, juga belum ada rujukan kebijakan khusus di kepolisian tentang penanganan kasus
masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum dalam posisi sebagai korban, saksi maupun
tersangka. Padahal, kebijakan ini akan menguatkan akses keadilan mengingat telah ada Peraturan
Kapolri (PERKAP) No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia
Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 6 huruf (G) yang tegas
menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas-tugasnya Kepolisian Republik Indonesia harus
menghormati dan melindungi Hak Masyarakat Adat.

 

Meningkatnya pelanggaran yang dialami oleh masyakat adat menunjukkan inkosistensi polri dalam mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-
hak khusus masyarakat adat.

 

khusus di kepolisian ini dibutuhkan mengingat tidaklah mudah mengubah persepsi
individual aparat kepolisian mengenai masyarakat adat. Apalagi, program-program pendidikan untuk
menguatkan perspektif keadilan dan ketrampilan penanganan kasus kekerasan yang dialami oleh
masyarakat adat masih terbatas.

 

Untuk mendukung terwujudnya POLRI Presisi melalui optimalisasi pemenuhan hak asasi manusia
dalam penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum, PPMAN
merekomendasikan kepada Kepolisian RI, yaitu:

 

  1. 1. Pentingnya memperkuat pemahaman setiap anggota polri untuk menghormati hak-hakkhusus masyarakat adat sebagaimana yang tertuang dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-
    Bangsa tentang hak masyarakat adat dalam implementasi tugas dan fungsi kepolisian;
  2. Pentingnya pimpinan polri membentuk satu kebijakan presisi untuk menjadi pedoman
    penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum;
  3. Pimpinan polri harus segera memastikan langkah pencegahan dan penanganan setiap anggota
    polri dalam situasi konflik sumber daya alam dimana proyek pembangunan stragis nasional
    yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta yang mengancam keberadaan
    masyarakat adat;
  4. Perlu segera adanya reformasi Kepolisian baik di dalam fungsi penegakan hukum dan fungsi
    menjaga ketertiban. Termasuk didalamnya perbaikan kultur dan penegakan hukum terhadap
    anggota polri yang melakukan tindak pidana didalam menjalankan tugasnya;
  5. Memastikan langkah pencegahan dan penanganan kasus kekerasan dan penyiksaan yang
    dilakukan oleh aparat kepolisian, yang juga mencakup upaya pemulihan bagi korban.

 

Demikian pres release ini disampaikan untuk disiarkan.
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
Syamsul Alam Agus, Ketua PPMAN, 08118889083

PPMAN : Dialog Menyeluruh Solusi untuk Permasalahan Pro-Kontra Proyek Strategis Nasional di Rendu

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendesak pemerintah pusat agar segera memulai tahapan dialog yang bermartabat  guna merumuskan masalah dan solusi atau penyelesaian permasalahan pada rencana pembangunan waduk mbay di kawasan masyarakat adat rendu secara menyeluruh dan bermartabat.

 

Desakan tersebut disampaikan Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus, S.H., dalam keterangan pers di Nagekeo, pada Senin (25/4). terkait terjadinya polarisasi di masyarakat sehubungan dengan rencana pembangunan proyek strategis nasional (PSN) di kawasan masyarakat adat rendu. Bahkan dalam perkembangannya sebanyak 24 orang masyarakat adat ditangkap dan diperlakukan tidak manusiawi pada tanggal 4 April 2022 oleh anggota kepolisian resort Nagekeo.

 

Sejalan dengan itu PPMAN mengajak berbagai pihak agar menghentikan tindakan dalam bentuk apapun yang dapat berpotensi meningkatkan siklus kekerasan. “Kami mengajak para tokoh untuk bekerjasama membangun komunikasi yang dimulai dari bawah guna meredakan ketegangan, kekhawatiran dan sikap permusuhan agar relasi sosial diantara masyarakat sipil dapat dibangun kembali,” ajak Syamsul Alam.

 

Tak hanya itu, PPMAN juga meminta agar penegakan hukum yang dilakukan berlaku adil dan transparan terhadap semua pihak. Aparat penegakan hukum mengedepankan prinsip-prinsip HAM secara benar dan imparsial.

 

PPMAN berharap untuk penyelesaian polemik pro-kontra pembangunan waduk lambo, baik pemerintah maupun pihak kepolisian yang mengambil inisiatif dialog dapat menunjukan sikap netral, menghindari praktik diskriminasi dan stigmatisasi terhadap salah satu pihak.

 

Sebagaimana diketahui, pada tanggal 25 April 2022, Polres Nagekeo melaksanakan sebuah kegiatan dialog interaktif di Aula Polres Nagekeo. Dialog interaktif tersebut dipimpin oleh Kapolres Nagekeo, AKBP Yudha Pranata, S.I.K yang dimaksudkan untuk merespon surat permohonan PPMAN untuk berdialog dua arah terkait dengan proses hukum terhadap 24 orang masyarakat adat rendu yang ditangkap oleh aparat kepolisian pada tanggal 4 April 2022.

 

Selain itu, pengajuan dialog kepada kapolres Nagekeo, dimaksudkan oleh PPMAN untuk menyampaikan bahwa Masyarakat Adat rendu, Perempuan Adat Rendu dan 24 orang masayarakat adat yang ditangkap yang semuanya merupakan anggota Forum Perjuangan Penolakan Waduk Lambo(FPPWL), telah memberikan kuasa kepada sejumlah advokat PPMAN untuk mendampingi kepentingan hukum mereka.

 

Maksud dan tujuan dialog yang diajukan oleh PPMAN tersebut kemudian berubah menjadi penekanan yang dilakukan oleh sejumlah pihak yang hadir atas undangan Kapolres. Para pihak tersebut dinilai tidak memiliki kepentingan atas tujuan dialog yang diajukan oleh PPMAN. Situasi forum di aula Polres Nagekeo kemudian menjadi tidak kondusif, sejumlah pihak melontarkan kata-kata yang tidak sepantasnya dan merendahkan wibawa profesionalisme penegakan hukum.

 

Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Syamsul Alam Agus, S.H., menduga Kapolres Yudha telah mendapatkan informasi dan perkiraan intelijen yang keliru. sehingga, menyarankan agar Kapolres mengundang pihak-pihak yang mengidentifikasikan dirinya sebagai kelompok masyarakat yang pro pada pembangunan waduk lambo untuk hadir dalam dialog tersebut. tanpa melalui satu proses concern kepada pihak PPMAN format dialog dirubah secara sepihak dengan melibatkan orang-orang yang tidak berkepentingan pada maksud dan tujuan surat permohonan yang diajukan.

 

Lanjut Alam, informed consent menjadi kewajiban para pihak dalam dialog yang direncanakan karena merupakan prinsip atas persetujuan bebas yang diberikan oleh salah satu pihak terhadap suatu tindakan, setelah ia memperoleh semua informasi yang penting mengenai sifat serta konsekuensi tindakan tersebut.

 

Informed consent dibuat berdasarkan prinsip etika Outonomi (otonomi), Beneficence (Berbuat Baik), Justice (Keadilan), Non-maleficence (tidak merugikan), Veracity (Kejujuran), Fidelity (Menepati janji), Confidentiality (Kerahasiaan), dan Accountability (Akuntabilitas) yang berakar pada martabat manusia di mana otonomi dan integritas pribadi para pihak dilindungi dan dihormati.

 

Ketua Badan Pelaksana PPMAN kembali menegaskan bahwa Polri tidak saja dituntut profesional, tetapi juga akuntabel kepada pemangku kepentingan, antara lain dengan menggunakan kewenangannya secara bijak dan santun pada masyarakat yang dilayaninya serta mengedepankan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

 

“Itulah pentingnya berpedoman pada prinsip penegakan hak asasi manusia,” tegas Alam. Menurut Alam, aturan pelaksana di dalam mendorong penerapan nilai-nilai hak asasi manusia untuk memperkuat profesionalisme dan akuntabilitas aparat kepolisian telah diatur melalui Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip-Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, dimana diwajibkan bagi setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas atau dalam kehidupan sehari-hari untuk menerapkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia.

 

“Sekurang-kurangnya ada lima pedoman terkait prinsip penegakan hak asasi manusia;

 

(1) Menghormati martabat dan hak asasi manusia setiap orang; (2) Bertindak secara adil dan tidak diskriminatif; (3) Berperilaku sopan; (4) Menghormati norma agama, etika, dan susila; (5) Menghargai budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia,” jelas Alam.

 

Sementara, Koordinator PPMAN Region Bali – Nusra, Anton Johanis Bala, S.H. yang juga hadir di Mapolres Nagekeo mengatakan kita harus mengedepankan dialog damai sebagai strategi utama penyelesaian siklus kekerasan sekaligus pembuka jalan untuk isu-isu lain, seperti ketidakadilan, diskriminasi, hak ulayat dan sebagainya.

 

“Terkait dengan polemik pembangunan Proyek Strategis Nasional Waduk Lambo, PPMAN mengingatkan kepada pemerintah untuk mengedepankan prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) dalam proses pengambilan keputusan. Persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan bertujuan untuk membangun partisipasi dan konsultasi bottom-up dari penduduk asli sebelum dimulainya pembangunan di tanah leluhur atau menggunakan sumber daya di wilayah penduduk asli,” katanya.

 

“Sekali lagi bagi PPMAN hanya dengan menggunakan media dialog maka permasalahan di proyek strategis nasional dapat diurai dengan jernih dan diselesaikan secara adil dan bermartabat,’’ tutup Anton Johanis.

PPMAN: Hentikan Intimidasi Kekerasan pada Masyarakat Adat Rendu

 

Kritik keras datang dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) terhadap sikap pihak kepolisian pada Masyarakat Adat Rendu, dalam kasus permasalahan pembangunan Waduk Mbay atau Lambo di Nagakeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). PPMAN menganggap, tindakan kekerasan, kesewenangan, ancaman dan intimidasi yang telah dilakukan oleh anggota Kepolisian Polres Nagekeo terhadap Masyarakat Adat Rendu merupakan tindakan pelanggaran hukum.

PPMAN menyebut, tindakan kepolisian tersebut melanggar Pasal 18 B ayat 2. Yang mana pasal tersebut menyebutkan, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Selain itu, Pasal 28 I ayat 3 juga diatur, indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Berdasarkan pada konstitusi itu, masyarakat adat sepatutnya dilindungi, dihormati dan diakui oleh Pemerintah, baik itu pemerintah pusat, provinsi maupun pemerintah daerah.

Dalam kasus pembangunan Waduk Lambo, Masyarakat Adat Rendu yang tergabung dalam Forum Perjuangan Penolakan Waduk Lambo (FPPWL) melakukan penolakan dan meminta agar waduk itu pembangunannya dipindahkan ke lokasi lain, yang masih berada di wilayah Masyarakat Adat Rendu.

Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus menguraikan, pada 4 April 2022 lalu, masyarakat adat telah mengetahui akan dilaksanakan ritual adat di pintu masuk Lokasi Proyek Waduk Lambo oleh Suku Gaja yang tidak punya hubungan langsung dengan Tanah di Lowo Se. Oleh karena itu Masyarakat Adat Rendu Woe Diri Ke’o Sao Aja Ulu yang memiliki hubungan langsung dengan tanah di Lowo Se datang ke rumah adat untuk memantau dan melihat Suku Gaja yang hendak pergi menjalankan ritual adat di pintu masuk lokasi.

“Begitu melihat Suku Gaja hendak ke Lokasi Pintu Masuk Lokasi, Masyarakat Adat Rendu Woe Diri Keo, Sao Aja Ulu yang sudah menunggu di rumah adat menegur Suku Gaja (dengan ucapan adat),” kata Syamsul Alam Agus, dalam siaran pers yang diterima, Sabtu (14/5/2022).

Dalam prosesi tersebut situasi menjadi memanas dan akhirnya aparat Polres Nagekeo yang datang bersama Kelompok Masyarkaat Adat Suku Gaja menangkap 24 orang Masyarakat Adat Rendu “Woe Diri Ke’o Sa’o Aja Ulu” dan membawa mereka ke Kantor Polres Nagekeo.

Di Kantor Polres Nagekeo, masyarakat adat diduga mengalami tindakan kekerasan psikis berupa ancaman, tekanan, hinaan, dan cacian. Bahkan pada saat di Kantor Polres, anggota polisi membiarkan oknum seorang wartawan melakukan penghinaan dan kekerasan terhadap seorang tokoh Masyarakat adat.

Polres Nagekeo yang dipimpin oleh Yudha Pranata juga diduga melakukan tindakan kriminalisasi terhadap tiga orang masyarakat adat dan mengancam masyarakat adat akan melakukan proses hukum jika Masyarakat adat tidak menyetujui pembangunan Waduk Lambo tersebut. Masyarakat adat yang berada di bawah tekanan, ancaman dan intimidasi terpaksa menyetujui dan menandatangani surat persetujuan rencana pembangunan waduk Lambo.

“Polres Nagekeo mengumpul semua wartawan untuk melakukan konferensi pers dengan masyarakat adat untuk menyampaikan ke publik bahwa masyarakat adat menyetujui pembangunan Waduk Lambo tersebut,” lanjut Syamsul.

Beberapa hari kemudian, 9 April 2022, Polres Nagekeo mendatangi masyarakat adat, dengan alasan karena Polres Nagekeo melihat ada aktivitas masyarakat adat yang melakukan penolakan pembangunan Waduk Lambo. Di situ pihak kepolisian mengancam dan mengintimidasi masyarakat adat jika masih ada penolakan, maka kasus hukumnya akan diproses.

Masyarakat adat menyampaikan protes atas sikap kepolisian, dan keesokan harinya pihak kepolisian mengirimkan surat pemanggilan kepada beberapa masyarakat adat untuk dimintai keterangannya pada 11 April 2022

Menyoroti masalah ini, PPMAN yang telah mendapatkan kuasa dari Masyarakat Adat Rendu menyampaikan, tindakan Polres Nagekeo melakukan tindakan intimidasi, ancaman dan kekerasan terhadap Masyarakat adat merupakan tindakan pelanggaran hukum.

“Untuk ini PPMAN akan mengambil langkah hukum atas sikap dan tindakan dari Polres Nagekeo. PPMAN mendatangi Propam Mabes Polri melaporkan tindakan Polres Nagekeo yang telah melakukan tindakan intimidasi, mengancam, menekan dan yang telah melakukan kekerasan terhadap masyarakat adat di Rendu.”

Syamsul mengatakan, tindakan intimidasi, tekanan dan ancaman telah melanggar Pasal 11 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Polres Nagekeo harus segera menghentikan segala tindakan intimidasi dan pengancaman kepada Masyarakat Adat Rendu.

Koordinator Region PPMAN untuk Bali Nusra, Antonius Yohanis Bala menambahkan, sikap Polres Nagekeo tidak mencerminkan sikap aparat penegak hukum yang memberikan perlindungan kepada masyarakat. Ia menyebut PPMAN akan terus mengawal laporan atas perilaku aparat kepolisian ini di tingkat Nasional.

Pihaknya juga akan melaporkan sikap Polres Nagekeo ini ke berbagai lembaga dan juga Komisi 3 DPR-RI untuk mendapatkan perhatian dari berbagai pihak atas sikap kesewenangan yang dilakukan oleh Polres Nagekeo terhadap masyarakat adat.

“PPMAN meminta dan mendesak agar Kapolri, segera memerintahkan Kapolda NTT memberikan teguran dan peringatan kepada Kapolres Nagekeo yang telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk menakuti masyarakat adat karena seharusnya kepolisian hadir untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat,” kata Yohanis.

Selain itu PPMAN juga akan meminta dukungan dari berbagai lembaga untuk melakukan pengawasan khususnya pengawasan anggaran terhadap rencana pembangunan Waduk Lambo tersebut. Hal ini sangat penting untuk mengetahui transparan anggaran dalam pembangunan waduk tersebut.

Sumber : https://betahita.id/news/detail/7531/ppman-hentikan-intimidasi-kekerasan-pada-masyarakat-adat-rendu.html?v=1652711511

PPMAN Sebut Penangkapan 24 Warga MA Rendu Adalah Bentuk Kriminalisasi Paling Nyata Dari Penguasa

 

Perhimpunan Pengacara Masyarakat  Adat Nusantara (PPMAN) Region Bali Nusa Tenggara mengatakan, penangkapan terhadap 24 warga Masyarakat Adat Rendu yang sedang berjuang mempertahankan hak – hak konstitusi mereka merupakan bentuk kriminalisasi paling nyata yang dilakukan oleh penguasa terhadap Masyarakat Adat  dalam beberapa dekade terakhir ini.

Hal ini dikatakan Antonius Johanis Bala, SH., Koordinator PPMAN Region Bali – Nusra hari ini, Rabu (06/04/2022) dalam menyikapi tindakan aparat Kepolisian Resor (Polres) Nagekeo yang telah melakukan penangkapan secara paksa terhadap 24 orang Masyarakat Adat Rendu untuk dibawa ke kantor Kepolisian Resor Nagekeo.

Antonius Johanis Bala, SH mengatakan pihak PPMAN sangat kecewa dengan tindakan aparat Kepolisian Resor (Polres) Nagekeo yang melakukan tindakan kekerasan dan kriminalisasi  serta intimidasi terhadap Masyarakat Adat Rendu yang ditangkap dan dibawa ke kantor polisi karena tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum dan konstitusi akan keberadaan Masyarakat Adat yang sesungguhnya telah dilindungi oleh konstitusi seperti yang dimandatkan dalam Undang – Undang Dasar 1945.

Polisi juga lanjut Antonius Johanis Bala, sesungguhnya telah melanggar Undang – Undang Nomor 39 Tahun 2006 tentang Hak Azasi Manusia.

“Pembangunan waduk Lambo menimbulkan pro dan kontra terhadap Masyarakat Adat yang ada di Rendu. Dan situasi ini dimanfaatkan oleh Kepolisian Resor Nagekeo untuk membenturkan pendapat masyarakat yang pro dan kontra terhadap pembangunan waduk Lambo tersebut dengan membuat skenario untuk menciptakan konflik horisontal antara Masyarakat Adat dari suku yang berbeda dengan Masyarakat Adat suku Rendu,” kata Antonius Johanis Bala.

Antonius Johanis Bala mengungkapkan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) yang telah mendapatkan kuasa dari Masyarakat Adat Rendu menyampaikan sikap tegas dengan mengambil langkah hukum atas sikap dan tindakan Kepolisian Polres Nagekeo atas peristiwa penangkapan terhadap Masyarakat Adat Rendu tersebut.

Pihak PPMAN menjelaskan, tindakan Ketua Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL), Bernadinus Gaso yang menyetujui pembangunan waduk Lambo merupakan tindakan yang dilakukan dalam posisi dan kondisi tertekan dan tidak bebas, karena adanya tekanan, paksaan dan ancaman yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian Polres Nagekeo.

Dilanjutkan Antonius Johanis Bala atau yang biasa disapa John Bala ini mengungkapkan, pernyataan sikap yang disampaikan oleh Ketua Forum, Bernadinus tersebut tidak mewakili seluruh kepentingan Masyarakat Adat Rendu karena dapat dipastikan tidak ada proses konsolidasi dan koordinasi secara baik dengan Masyarakat Adat lainnya disaat Ketua Forum mengambil keputusan untuk menyetujui pembangunan waduk Lambo tersebut. Hal ini dapat dilihat dari semua alat komunikasi yang mereka miliki diambil dan disita serta ditahan oleh aparat kepolisian di kantor Polres Nagekeo, sehingga dapat dipastikan ada keterbatasan akses bagi Ketua Forum untuk meminta pendapat, sikap dan keputusan dari Masyarakat Adat lainnya.

Ketua Yayasan Bapikir ini menambahkan, tindakan Kepolisian Resor Nagekeo yang menjemur Masyarakat Adat pada terik matahari merupakan tindakan yang tidak manusiawi dan tidak mencerminkan sebagai aparat penegak hukum yang baik, karena aparat kepolisian yang baik tidak akan memperlakukan masyarakat dengan beradab dan santun serta melindungi kepentingan masyarakat, namun pada kasus waduk Lambo sangat terlihat bahwa Kepolisian Resor Nagekeo tunduk dan patuh untuk menjalankan perintah – perintah dari pengusaha, pemilik modal atau perusahaan yang akan membangunkan proyek di waduk Lambo.

Sementara itu Ermelina Singereta SH., Manager Bidang Advokasi PPMAN saat dihubungi secara terpisah melalui telephone selulernya mengatakan, Masyarakat Adat Rendu melakukan konferensi pers di Kantor Kepolisian Resor Nagekeo menunjukan Masyarakat Adat tidak memiliki sikap dan keputusan yang bebas untuk menolak, dan dapat diduga konferensi pers tersebut dilakukan atas perintah pihak kepolisian untuk menyampaikan persetujuan terhadap pembangunan waduk Lambo yang selama ini ditolak oleh mereka.

Ermelina menjelaskan pihak PPMAN telah membuatkan laporan atas sikap Polres Nagekeo ke Propam Mabes Polri beberapa waktu lalu dan Propam Mabes Polri telah mendelegasikan laporan PPMAN ke Polda NTT, namun hingga saat ini PPMAN belum mendapatkan respon atas surat perkembangan laporan yang telah kirimkan ke Propam Polda NTT.

“Nah, ini menunjukan sikap ketidakpedulian dan ketidakprofesioalnya aparat Kepolisian di Polda NTT. Sesungguhnya sikap seperti ini sangat merugikan masyarakat NTT. Disamping melaporkan ke Propam Mabes Polri, PPMAN juga telah membuatkan laporan ke Kompolnas RI, Komisi Nasional Hak Azasi Manusia dan Komnas Perempuan,” tandas Ermelina.

Advokat Perempuan kelahiran Manggarai ini menegaskan, pihak PPMAN akan mengirimkan surat ke Mabes Polri dan kembali membuatkan laporan ke Propam Mabes Polri, lembaga negara lainnya dan juga ke Komisi III DPR RI (Komisi Hukum) yang merupakan  mitra kerja dari Mabes Polri.

“Hal ini sangat penting dilakukan agar Komisi III DPR RI dapat melakukan evaluasi terhadap kinerja dari aparat Kepolisian Republik Indonesia dan segera melakukan pemeriksaan serta  evaluasi terhadap kinerja dari Kapolres Nagekeo yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya dalam memberikan perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat Rendu, namun sebaliknya  menjalankan fungsi dan tugasnya untuk melindungi para pengusaha,” tegas Ermelina Singereta.

Pihaknya berjanji akan terus mengkawal dan mendampingi Masyarakat Adat Rendu dan mengambil beberapa tindakan hukum lainnya, agar  tercapainya keadilan bagi Masyarakat Adat Rendu yang memiliki hak penuh atas tanah leluhurnya. ***(welano)

Sumber : https://www.jongflores.com/2022/04/ppman-sebut-penangkapan-24-warga-ma.html

PPMAN Beberkan Dugaan Pelanggaran HAM dan Konstitusi Oleh Aparat Polres Nagekeo

Koordinator Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Jhon Bala, mengecam tindakan Aparat Polres Nagekeo atas peristiwa penangkapan terhadap masyarakat adat Rendu pada 4 April 2022 lalu.

Menurut Jhon, aparat Polres Nagekeo melakukan penangkapan secara paksa terhadap 24 orang masyarakat adat Rendu, dimana tindakan tersebut merupakan salah satu bentuk tindakan yang telah melanggar Undang-undang Nomor 39 Tahun 2006 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
“Tindakan dan perilaku kekerasan dan intimidasi yang telah dilakukan oleh Kepolisian Polres Nagekeo terhadap masyarakat adat Rendu, merupakan tindakan pelanggaran hukum dan konstitusi yang dimana keberadaan Masyarakat Adat telah dilindungi oleh konstitusi sebagaimana mandat dari Undang-undang Dasar 1945,” tegas Jhon dalam keterangan yang diterima media, Rabu (6/4) pagi.

Jhon mengatakan, pembangunan waduk Lambo menimbulkan pro dan kontra terhadap masyarakat adat yang ada di Rendu. Masyarakat adat yang melakukan penolakan dan tergabung dalam “Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo” kemudian dimanfaatkan oleh Kepolisian Polres Nagekeo dengan membenturkan pendapat masyarakat yang pro dan kontra terhadap pembangunan waduk tersebut.
“Kepolisian sengaja melakukan dan menciptakan skenario ini untuk menciptakan atau membuatkan konflik horisontal antara masyarakat adat dari suku yang berbeda dengan masyarakat adat Rendu,” ujarnya.

Dasar itu, dirinya yang telah mendapatkan kuasa dari Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo menyampaikan sikap tegas dan langkah hukum atas sikap dan tindakan Kepolisian Polres Nagekeo atas peristiwa penangkapan terhadap masyarakat adat Rendu tersebut.

Selain itu, lanjutnya, tindakan dari Ketua Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo dengan menyetujui pembangunan waduk Lambo merupakan tindakan yang dilakukan dalam posisi dan kondisi tidak bebas karena adanya tekanan, paksaan dan ancaman yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian Polres Nagekeo.

“Sikap dari Ketua Forum tersebut tidak mewakili seluruh kepentingan masyarakat adat Rendu. Hal ini dapat saya sampaikan karena dapat dipastikan tidak ada proses konsolidasi dan koordinasi dengan masyarakat adat lainnya saat ketua forum mengambil keputusan untuk menyetujui pembangunan Waduk Lambo tersebut. Seluruh peralatan komunikasi Masyarakat Adat yang tergabung dalam Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo ditahan, disimpan atau disita oleh Kepolisian dan ini atas perintah dari Kapolres Nagekeo. Maka ada keterbatasan akses bagi ketua forum untuk meminta pendapat, sikap dan keputusan dari masyarakat adat lainnya,” jelas Jhon.

Ia juga menambahkan bahwa tindakan Kepolisian Polres Nagekeo dengan menjemur masyarakat adat merupakan tindakan yang tidak manusiawi dan tidak mencerminkan sebagai aparat penegak hukum yang baik.

“Seharusnya Kepolisian melindungi kepentingan masyarakat, namun pada kasus waduk Lambo sangat terlihat bahwa Kepolisian Polres Nagekeo tunduk dan patuh untuk menjalankan perintah-perintah dari pengusaha, pemilik modal atau perusahaan yang akan membangun waduk di Lambo,” tegasnya.

Di tempat terpisah, Ermelina Singereta, yang merupakan Manager Bidang Advokasi PPMAN mengatakan bahwa masyarakat adat yang tergabung dalam Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo melakukan konferensi pers di Kantor Kepolisian Polres Nagekeo dan ini menunjukan bahwa masyarakat adat tidak memiliki sikap dan keputusan yang bebas untuk menolak.

“Dapat dikatakan masyarakat adat melakukan konferensi pers untuk melaksanakan perintah dari Kepolisian untuk menyampaikan persetujuan pembangunan waduk Lambo tersebut dan ini sudah menjadi kebiasaan di Instansi Kepolisian,” ujar Ermelina via gawainya.

Pengacara perempuan yang berdomisili di Jakarta ini juga menambahkan bahwa PPMAN telah membuatkan laporan atas sikap Polres Nagekeo ke Propam Mabes Polri dan Propam Mabes Polri telah mendelegasikan laporan PPMAN ke Polda NTT.

Namun sampai saat ini PPMAN belum mendapatkan respon atas surat perkembangan laporan yang telah kirimkan ke Propam Polda NTT.

“Ini menunjukan sikap ketidakpedulian dan tidak profesioalnya aparat Kepolisian di Polda NTT, selain itu PPMAN telah membuatkan laporan ke Komponas RI, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komnas Perempuan,” tegasnya.

Atas peristiwa yang terjadi pada tanggal 04 April 2022, PPMAN akan mengirimkan surat ke Mabes Polri dan juga membuatkan laporan kembali ke Propam Mabes Polri, lembaga Negara dan juga ke Komisi III DPR RI (komisi hukum) yang merupakan mitra kerja dari Mabes Polri.

Hal ini, kata Ermelina, sangat penting agar Komisi III DPR RI melakukan evaluasi terhadap kinerja dari aparat Kepolisian. Kami juga meminta agar Mabes Polri segera melakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap kinerja dari Kapolres Nagekeo yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat Rendu, namun menjalankan fungsi dan tugasnya untuk melindungi para pengusaha.

PPMAN akan terus mengawal dan mendampingi masyarakat adat dan mengambil beberapa tindakan hukum lainnya, hal ini sangat penting untuk tercapainya keadilan bagi masyarakat adat yang memiliki hak penuh atas tanah leluhurnya,” tutup Ermelina.

Untuk diketahui, sebelumnya pada Desember 2021 lalu, Kepolisian Polres Nagekeo telah dilaporkan ke Propam Mabes Polri terkait dengan tindakan represif yang dilakukan terhadap masyarakat adat Rendu. ***

sumber : https://www.floreseditorial.com/news/pr-3973152703/ppman-beberkan-dugaan-pelanggaran-ham-dan-konstitusi-oleh-aparat-polres-nagekeo