Menyoal Perlindungan Hak Masyarakat Adat di Wilayah Operasional Bisnis

POSISI hukum masyarakat adat saat berhadapan dengan isu pembangunan maupun korporasi sangat lemah. Dalam banyak kasus, posisi masyarakat adat yang mempertahankan hak adatnya melawan kekuatan komplet korporasi yang dibelakangnya berdiri kekuatan negara memaksa masyarakat adat harus takluk. Fenomena ini muncul tekad kuat akan hadirnya komunitas masyarakat adat yang memiliki kapasitas advokasi. Dengan demikian dapat membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menjadi korban untuk mendapatkan akses keadilan.

 

Keinginan itu, yang melatari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menggelar diskusi yang menyoal pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di dalam dan sekitar wilayah operasional bisnis, dalam menjalankan protokol persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan. Selanjutnya akronimnya disebut Padiatapa.

 

Diskusi yang berlangsung di Palu, 28 November 2022 ini, diharapkan mendorong peran masyarakat adat memiliki kapasitas untuk mengimplementasikan prinsip Free, Prior and Informed Concern (FPIC). Khususnya penatakelolaan sumber daya alam masyarakat adat. Diskusi ini menghadirkan pembicara, Ridha Saleh mantan Anggota Komnas HAM kini Asisten Ahli Gubernur Sulteng. Syamsul Hadi, Direktur KMA Kementrian Pendidikan dan kebudayaan dan Syamsul Alam Agus, Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat. Kemudian Irma Suriani – Manager Lingkungan dan CSR PT Poso Energy – salah satu perusahaan milik Bukaka Group yang membangun PLTA di Poso.

 

Diskusi dibuka oleh Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, ia mengatakan, pentingnya prinsip FPIC bagi sebuah korporasi maupun lembaga negara melakukan kegiatan pembangunan di wilayah adat. Rukka bilang, FPIC itu ibarat masuk di rumah orang. Harus menyapa terlebih dahulu. Harus mendapatkan persetujuan untuk masuk atau tidak. Setelah dapat izin baru masuk. ”Yang selama ini terjadi, perusahaan masuk di wilayah adat masyarakat adat, tidak hanya masuk tanpa izin, tapi pencuri, merampok, setelah itu membakar rumah atau wilayah adat orang,” kritiknya.

 

Diskusi publik dilaksanakan sebagai salah satu kerangka kerja advokasi. Ini kata dia untuk memastikan prinsip Padiatapa diterapkan dalam level kebijakan publik terhadap perusahaan. Hal ini tidak terlepas massifnya pelanggaran HAM dalam wilayah operasi bisnis berupa kriminalisasi, intimidasi, kekerasan, dan represif terhadap masyarakat adat. Diskusi publik ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan paralegal bagi masyarakat adat yang akan dilaksanakan pada 29 November hingga 2 Desember 2022 di Tantena, Kabupatan Poso.

 

Syamsul Hadi, Direktur KMA, Kementrian Pendidikan dan kebudayaan, mengatakan masyarakat adat dilindungi oleh Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 18 B angka 2. Negara katanya mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya. Dan itu berlaku sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

 

Mengutip pasal 28I angka 3, Hadi kembali menambahkan, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Ini dilanjutkan dengan Amandemen UUD 1945 Pasal 32. Dimana Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Selain itu keberadaan Masyarakat adat juga telah mendapatkan Piagam Hak Asasi Manusia yang dimana mengatur tentang identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

 

Syamsul Alam Agus, Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat, menyampaikan, Indonesia harus menunjukkan komitmen mengimplementasikan prinsip yang tertuang dalam Declaration on the rights of Indigeneous Peoples (UNDRIP). Di dalamnya menetapkan hak individu dan kolektif masyarakat adat. Mulai dari hak Masyarakat adat untuk memelihara dan memperkuat institusi, budaya dan tradisi mereka sendiri. Termasuk untuk mengejar perkembangan mereka sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.

 

Alam ini menambahkan, dalam rangka melaksanakan royek seharusnya negara menggunakan prinsip Padiatapa kepada masyarakat yang akan terkena dampak dari pembangunan tersebut. Padiatapa merupakan hak yang dimiliki masyarakat adat untuk memberi tidak persetujuan proyek yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lahan, mata pencaharian dan lingkungan mereka. Sedangkan Asisten Ahli Gubernur Ridha Saleh, mengatakan, perlindungan masyarakat itu tanggung jawab kita bersama. Karena itu berkaitan hak mendasar yang melekat bagi masyarakat adat. Dan secara substansi menyangkut identitas atau hak asal-usul maupun akan akan masa depan. Sementara Irma Suriani, pada kesempatan itu, memaparkan soal program elektrifikasi di Sulawesi yang bersumber dari PLTA Poso yang dibangunnya. Ia juga menyampaikan budidaya sidat melalui fish way (jalan ikan) yang dibangunnya di lokasi PLTA.

 

Sumber: https://www.roemahkata.com/menyoal-perlindungan-hak-masyarakat-adat-di-wilayah-operasional-bisnis/

PPMAN Berikan Layanan Bantuan Hukum Gratis untuk Masyarakat Adat

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) melakukan pendampingan terhadap 2000 lebih masyarakat adat dari seluruh Nusantara yang hadir dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara Keenam (KMAN VI) yang dilaksanakan di Stadion Barnabas Youwe, Kabupaten Jayapura. PPMAN sebagai organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) hadir untuk memberikan bantuan hukum kepada kepada Masyarakat Adat yang saat ini berhadapan dengan kasus-kasus hukum.

 

PPMAN sebagai organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) hadir untuk memberikan bantuan hukum kepada kepada Masyarakat Adat yang saat ini berhadapan dengan kasus-kasus hukum.

Masyarakat Adat memerlukan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, pasal 1. Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum, pasal 2 penerima bantuan hukum adalah orang atau masyarakat yang miskin. Bantuan hukum yang diberikan oleh 25 orang advokat PPMAN ini dalam rangka untuk memberikan jaminan  perlindungan terhadap Masyarakat Adat yang hadir dalam KMAN VI, tak terkecuali kepada Masyarakat Adat di Papua yang kini menjadi tuan rumah.

 

Dalam pantauan PPMAN, proses KMAN VI ini berjalan dengan baik. Pada kongres ini, PPMAN membuka layanan bantuan hukum dengan tema “Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Adat” dalam rangka untuk menerima pengaduan dan konsultasi hukum yang dilakukan oleh Masyarakat Adat.

 

Anggota PPMAN menjalankan tugas dan fungsinya sebagai advokat, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal 1 angka a (1) Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini.Angka (2) Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Angka (9) bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu.  PPMAN sebagai organisasi yang menghimpun advokat dan ahli hukum memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan hukum baik itu dalam bentuk informasi hukum maupun tindakan pendampingan dalam proses peradilan kepada masyarakat.

 

Sumber: https://m.mediaindonesia.com/nusantara/532242/ppman-berikan-layanan-bantuan-hukum-gratis-untuk-masyarakat-adat

Hak Masyarakat Adat Tertahan di Konstitusi

Oleh Apriadi Gunawan

Sekretaris Jenderal (Sekjen)

 

AMAN Rukka Sombolinggi menyatakan bahwa saat ini hak Masyarakat Adat masih tertahan di konstitusi serta belum terwujud dalam undang-undang (UU) holistik yang komprehensif untuk bisa membuat Indonesia melaksanakan mandatnya dalam menghormati, mengakui, melindungi,dan memajukan hak Masyarakat Adat.

 

Pernyataan itu disampaikan Rukka dalam diskusi publik bertajuk “Pembela Masyarakat Adat Sebagai Human Rights Defenders, Peluang, dan Tantangan dalam Penegakan Hukum di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Gerakan) di Joglo Keadilan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Rabu (14/9/2022).

 

Rukka Sombolinggi juga menyatakan bahwa dalam banyak kasus, perjuangan Masyarakat Adat terhambat oleh paradigma negara yang menilai eksistensi Masyarakat Adat hanya dapat diakui bila telah terbit Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan Masyarakat Adat. Menurutnya, Masyarakat Adat itu sudah hidup secara turun-temurun di wilayah adatnya jauh sebelum negara ini berdiri.

 

“Kalau negara tidak mengakui Masyarakat Adat serta hak kolektifnya, dengan alasan tidak ada Perda tentang Pengakuan Masyarakat Adat, maka itu adalah paradigma negara yang keliru,” tandasnya.

 

Rukka mengatakan bahwa membela tanah leluhur di negeri ini, masih dianggap perbuatan melawan hukum. Itulah mengapa Masyarakat Adat atau para pemimpin adat kita kerap berhadapan dengan hukummaupun pengadilan, katanya.

 

“Ini kita sebut kriminalisasi,” ujarnya sembari menambahkan bahwa kita masih kurang pengacara untuk membela Masayarakat Adat yang dikriminalisasi.

 

Rukka mengingatkan bahwa respect (hormat) terhadap Masyarakat Adat saja tidaklah cukup. Katanya, itu biasanya hanya di atas kertas. Dibutuhkan tindakan aktif untuk memastikan Masyarakat Adat mendapatkan bantuan dalam memastikan berbagai aksi pemajuan hak, termasuk bagi para penegak hukum dan sistem peradilan di Indonesia. Selain itu, menurut Rukka, perlu berbagai aksi yang menarik,seperti penyuluhan untuk memastikan Masyarakat Adat dapat menikmati haknya dan sejajar dengan rakyat Indonesia lainnya.

 

“Protektif dan promotif ini sebenarnya tanggung jawab negara. Mengapa itu tidak dilakukan? Karena yang terjadi adalah berbagai kebijakan yang lahir digunakan sebagai alat hukum untuk menginvasi dan mengusir Masyarakat Adat dari wilayah adat,” ungkapnya.

 

Rukka menegaskan bahwa realitas itulah yang akan dibela oleh pengacara kita. Di negeri ini, sistem keadilan dibuat untuk terus mengalahkan kita. Ia mencontohkan bagaimana Masyarakat Adat yangmembela diri mempertahankan wilayah adatnya, malah disebut kriminal atau melakukan tindakan melawan hukum hanya karena perusahaan punya izin.

 

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Peradi Pergerakan Sugeng Teguh Santoso yang hadir dalam diskusi, menyatakan bahwa macetnya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Adat menunjukkan eksistensi Masyarakat Adat itu seperti ada dan tiada. Padahal, sudah ada jaminan pengakuan dan penghormatan konstitusional melalui Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD)1945. Namun, itu tidak ditindaklanjuti dalam peraturan operasional dalam bentuk UU.

 

“Ini terbukti dengan tidak disahkannya RUU tentang Masyarakat Adat yang sudah terparkir puluhan tahun,” kata Sugeng.

 

Menurutnya, kemacetan itu diakibatkan oleh banyaknya kepentingan korporasi yang terganggu bila RUU disahkan. Itu akan menjadi tantangan bagi pembela hak Masyarakat Adat, terutama PPMAN, katanya.

 

“Kalian (para pembela hak Masyarakat Adat) diharapkan menjadi advokat pembela hak Masyarakat Adat. Tidak ada hak terwujud begitu saja tanpa perjuangan untuk mewujudkannya,” lanjut Sugeng di acara diskusi yang dirangkai dengan pelaksanaan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) PPMAN Angkatan I.

 

Turut hadir dalam acara rangkaian PKPA itu, termasuk Asisten Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia D. Y. Witanto dan Komisaris Besar Polisi Veris Septiansyah.

 

Ketua Umum PPMAN Syamsul Alam Agus mengatakan bahwa tujuan diselenggarakannya PKPA itu adalah untuk memperkuat akses keadilan bagi Masyarakat Adat yang berhadapan dengan hukum.

“PKPA ini diselenggarakan dalam rangka memfasilitasi peningkatan kapasitas kader Masyarakat Adat untuk membela kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh Masyarakat Adat,” katanya.

PPMAN Buka Klinik Hukum untuk Masyarakat Adat

Oleh Apriadi Gunawan


Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) membuka klinik hukum bagi Masyarakat Adat dan komunitas lokal yang ingin mencari keadilan. Klinik hukum yang didirikan pada 12 Juni 2022 itubertujuan untuk menerima pengaduan dan melakukan konsultasi hukum atas masalah hukum, terutama bagi Masyarakat Adat yang mengalami masalah hukum, namun tidak memiliki akses untuk mendapatkan bantuan hukum.


Ketua Badan Pelaksana PPMAN Syamsul Alam Agus mengatakan bahwa Masyarakat Adat memiliki hak untuk mendapatkan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.


“Pemberian bantuan hukum ini, kita lakukan secara gratis. Tidak terbatas untuk Masyarakat Adat, tapi juga komunitas lokal. Ini kita lakukan untuk menjamin terlaksananya dan tercapainya keadilan bagi masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya yang mengalami ketidakadilan hukum,” kata Syamsul Alam pada Selasa (14/6/2022).


Syamsul mengatakan, dalam praktiknya, PPMAN mengajak Indonesia Police Watch (IPW) untuk merespons dugaan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian, seperti yang terjadi di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia mengakui bahwa sejauh ini, kegiatan pengaduan dan konsultasi hukum telah berproses dengan baik. Masyarakat pun tetap melakukan pengaduan dan berkonsultasi dengan PPMAN dan IPW.


Berdasarkan catatan PPMAN dan IPW, pengaduan umumnya terkait dengan masalah hukum yang dialami dan dihadapi oleh Masyarakat Adat Rendu, khususnya pembangunan Waduk Lambo.


Masyarakat Adat Rendu melakukan penolakan atas penetapan lokasi pembangunan waduk itu karena berpotensi menghilangkan identitas Masyarakat Adat, di mana di wilayah adat tersebut terdapat area atau tempat untuk ritual, kuburan leluhur, pengembalaan, pertanian dan permukiman. Masyarakat Adat Rendu meminta agar pembangunan waduk dipindahkan ke Malawaka dan Lowopebhu.


Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso membenarkan bahwa sejauh ini, klinik hukum banyak menerima pengaduan dari Masyarakat Adat Rendu, termasuk penangkapan paksa, pemborgolan, dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat setempat.


“Apa yang dilakukan aparat kepolisian terhadap Masyarakat Adat Rendu, merupakan tindakan unprocedural (tidak sesuai dengan ketentuan atau prosedur hukum yang berlaku), pelanggaran disiplin, dan pelanggaran kode etik karena ada penangkapan terhadap Masyarakat Adat Rendu yang menolak pembangunan Waduk Lambo,” kata Sugeng.


Ia menyatakan bahwa penolakan yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Rendu bukan merupakan tindak pidana. Sehingga, polisi tidak perlu bertindak represif dan melakukan penangkapan terhadap Masyarakat Adat Rendu.


Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, kepolisian berkewajiban melindungi keyakinan Masyarakat Adat, bukan melakukan tindakan represif.


“Hak menyatakan pendapat dalam menolak pembangunan waduk yang dilakukan Masyarakat Adat Rendu, harus dihargai dan dihormati. Tidak boleh serta-merta diproses hukum,” ujarnya.


Sugeng juga mengkritik adanya kepala adat yang dilaporkan karena diduga melanggar Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dengan laporan Tipe A. Menurutnya, pelaporan itu salah kaprah karena pemimpin ritual adat memiliki hak untuk memegang parang adat.


“Kegiatan-kegiatan adat tidak dapat dikriminalkan,” tandasnya.


Ketua Region PPMAN Bali Nusra Anton Yohanis Bala yang hadir dalam kegiatan konsultasi hukum yang diselenggarakan oleh PPMAN, mengecam tindakan Lurah Danga yang berupaya menghentikan kegiatan itu dengan alasan warga yang hadir berasal dari luar Kelurahan Danga serta penyelenggaran kegiatantidak dilaporkan kepada pihak kelurahan. Padahal, tuan rumah dan PPMAN telah memberitahukan kegiatan kepada pegurus RT (Rukun Tetangga) setempat.


“Lurah Danga (menyalahgunakan kekuasaan) abuse of power, dia telah melakukan pelanggaran hukum. Kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat, sementara hak masyarakat untuk diperlakukan sama di hadapan hukum,” kata Yohanis Bala di lokasi berlangsungnya kegiatan klinik hukum yang diselenggarakan di rumah anggota PPMAN di Kelurahan Danga, Kabupaten Nagekeo, NTT.


Yohanis Bala mengatakan, seharusnya pihak kelurahan mendukung kegiatan klinik hukum itu karena sangat bermanfaat untuk masyarakat yang mencari keadilan. Ia menegaskan bahwa PPMAN berkomitmen untuk terus membantu masyarakat yang mengalami ketidakadilan hukum, khususnya Masyarakat Adat Rendu.

“PPMAN akan terus mendampingi Masyarakat Adat Rendu hingga mereka mendapatkan keadilan.Sebaliknya, kita akan melaporkan pihak-pihak yang selama ini menyalahgunakan kewenangannya untuk menindas Masyarakat Adat Rendu,” Yohanis Bala.

Komunitas Masyarakat Adat Tingkatkan Kapasitas Pembelaan Hukum Melalui Pendidikan Khusus Profesi Advokat

Jaminan konstitusional terhadap pengakuan dan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, pada kenyataannya masih terbentur oleh sistem penegakan hukum yang belum mampu menerjemahkan jaminan konstitusional ke dalam peraturan operasional teknis. Akibatnya, respon negara terhadap perjuangan masyarakat adat yang membela diri dan mempertahankan hak ulayat selalu diwarnai kriminalisasi, termasuk pembela masyarakat adatnya sebagai human right defenders.

 

Dalam acara diskusi publik (Rabu, 14/9/2022) sebagai rangkaian pelaksanaan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bekerjasama dengan Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (PERADI PERGERAKAN), Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyatakan bahwa dalam banyak kasus, perjuangan masyarakat adat terhambat oleh paradigma negara yang selalu menilai bahwa eksistensi masyarakat adat hanya diakui bilamana telah terbit peraturan tentang pengakuan masyarakat adat.

 

“Masyarakat adat itu sudah ada dan hidup secara turun temurun dalam wilayah adatnya jauh sebelum negara ini berdiri. Kalau negara tidak mengakui mereka beserta hak-hak kolektifnya (masyarakat adat) dengan alasan karena tidak adanya peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat, itu adalah paradigma negara yang keliru” kata Rukka.

 

Senada dengan itu, Sugeng Teguh Santoso, S.H., Ketua Dewan Pimpinan Pusat Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan), menyatakan bahwa macetnya Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat menunjukkan eksistensi masyarakat adat seperti antara ada dan tiada.

 

“Masyarakat adat itu seperti antara ada dan tiada. Sebab, jaminan pengakuan dan penghormatan konstitusional melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, tidak ditindaklanjuti dalam peraturan operasional dengan bentuk undang-undang. Hal ini terbukti dengan tidak disahkannya Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat yang sudah terparkir puluhan tahun”, kata Sugeng.

 

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD Tahun 1945”) sebagai landasan konstitusional, telah menjamin pengakuan dan pengormatan Masyarakat Adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang berbunyi: “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

 

Sugeng menilai bahwa macetnya pengesahan RUU Masyarakat Adat akibat banyaknya kepentingan korporasi yang terganggu bilamana RUU disahkan. Ini akan menjadi tantangan bagi pembela hak-hak masyarakat adat.

 

“Upaya mewujudkan pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah bagian dari tantangan yang harus dihadapi oleh para peserta PKPA PPMAN Angkatan I ini, yang diharapkan menjadi advokat pembela hak-hak masyarakat adat. Tidak ada hak terwujud begitu saja, tanpa perjuangan mewujudkannya”, pesan Sugeng.

 

Hadir pula dalam acara diskusi publik itu, D.Y. Witanto selaku Asisten Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Kombes Pol. Veris Septiansyah, S.H., S.I.K., M.Si., dan M.H.

 

Menurut Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Umum PPMAN, tujuan PKPA ini sebagai bentuk respon untuk memperkuat akses keadilan bagi masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum.

 

“PKPA merupakan salah satu syarat utama untuk menjadi advokat sebagaimana ditegaskan
dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 2 ayat (1), yang mengatur bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat dan melakukan magang selama 2 tahun terus menerus pada kantor advokat/organisasi bantuan hukum dan telah dinyatakan lulus ujian advokat.

 

“Maksud penyelenggaraan PKPA ini, dalam rangka memfasilitasi peningkatan kapasitas kader masyarakat adat untuk membela kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh anggota komunitas adat” kata Alam.

 

Artikel ini telah tayang di aspirasirakyatnusantara.com dengan Judul “Komunitas Masyarakat Adat Tingkatkan Kapasitas Pembelaan Hukum Melalui Pendidikan Khusus Profesi Advokat”.

Rukka Sombolinggi Sebut Ada Paradigma Negara yang Keliru soal Pengakuan Masyarakat Adat

 

BOGOR – Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyatakan bahwa dalam banyak kasus, perjuangan masyarakat adat terhambat oleh paradigma negara yang selalu menilai bahwa eksistensi masyarakat adat hanya diakui bilamana telah terbit peraturan tentang pengakuan masyarakat adat.

 

“Masyarakat adat itu sudah ada dan hidup secara turun temurun dalam wilayah adatnya jauh sebelum negara ini berdiri. Kalau negara tidak mengakui mereka beserta hak-hak kolektifnya (masyarakat adat) dengan alasan karena tidak adanya peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat, itu adalah paradigma negara yang keliru,” kata Rukka dalam acara diskusi publik di Joglo Keadilan, Kabupaten Bogor, Rabu (14/9/2022) sebagai rangkaian pelaksanaan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bekerjasama dengan PERADI Pergerakan.

 

Senada dengan itu, Sugeng Teguh Santoso, S.H., Ketua Dewan Pimpinan Pusat Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan), menyatakan bahwa macetnya Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat menunjukkan eksistensi masyarakat adat seperti antara ada dan tiada.

 

“Masyarakat adat itu seperti antara ada dan tiada. Sebab, jaminan pengakuan dan penghormatan konstitusional melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, tidak ditindaklanjuti dalam peraturan operasional dengan bentuk undang-undang. Hal ini terbukti dengan tidak disahkannya Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat yang sudah terparkir puluhan tahun,” kata Sugeng.

 

 

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional, telah menjamin pengakuan dan penghormatan Masyarakat Adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang berbunyi: “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

 

Sugeng menilai bahwa macetnya pengesahan RUU Masyarakat Adat akibat banyaknya kepentingan korporasi yang terganggu bilamana RUU disahkan. Ini akan menjadi tantangan bagi pembela hak-hak masyarakat adat.

 

“Upaya mewujudkan pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah bagian dari tantangan yang harus dihadapi oleh para peserta PKPA PPMAN Angkatan I ini, yang diharapkan menjadi advokat pembela hak-hak masyarakat adat. Tidak ada hak terwujud begitu saja, tanpa perjuangan mewujudkannya,” pesan Sugeng.

 

 

Hadir pula dalam acara diskusi publik itu, D.Y. Witanto selaku Asisten Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Kombes Pol. Veris Septiansyah, S.H., S.I.K., M.Si., perwakilan Mabes Polri.

 

Menurut Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Umum PPMAN, tujuan PKPA ini sebagai bentuk respon untuk memperkuat akses keadilan bagi masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum.

 

“Maksud penyelenggaraan PKPA ini, dalam rangka memfasilitasi peningkatan kapasitas kader masyarakat adat untuk membela kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh anggota komunitas adat,” kata Alam.

 

Artikel ini telah tayang di bogor-kita.com dengan Judul “Rukka Sombolinggi Sebut Ada Paradigma Negara yang Keliru soal Pengakuan Masyarakat Adat”.

PPMAN Kerjasama dengan PERADI Pergerakan Gelar PKPA di Bogor

 

BOGOR – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bekerjasama dengan Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan) menggelar Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan di Joglo Keadilan, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor. PKPA bertema besar Membentuk Kader Pembela Komunitas Masyarakat Adat yang Berperspektif HAM itu akan berlangsung mulai 14 September 2022 sampai dengan 27 September 2022.

 

Sejumlah narasumber atau pengajar dalam PKPA ini antara lain Sugeng Teguh Santoso (Ketua Umum Peradi Pergerakan), Rukka Sombolinggi (Sekjen AMAN), Usman Hamid (Direktur Amnesty International Indonesia) dan sebagainya.

 

Dalam informasi yang dihimpun Bogor-Kita.com, sebanyak 17 calon advokat dari sejumlah daerah di Indonesia akan mengikuti PKPA ini.

 

Menurut Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Umum PPMAN, tujuan PKPA ini sebagai bentuk respon untuk memperkuat akses keadilan bagi masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum.

 

Dikatakan Alam, PKPA merupakan salah satu syarat utama untuk menjadi advokat sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 2 ayat (1), yang mengatur bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat dan melakukan magang selama 2 tahun terus menerus pada kantor advokat/organisasi bantuan hukum dan telah dinyatakan lulus ujian advokat.

 

“Maksud penyelenggaraan PKPA ini, dalam rangka memfasilitasi peningkatan kapasitas kader masyarakat adat untuk membela kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh anggota komunitas adat,” kata Alam.

 

PKPA ini telah dibuka hari ini dengan diskusi publik dengan menghadirkan narasumber Rukka Sombolinggi (Sekjen AMAN), Sugeng Teguh Santoso, S.H. (Ketua Umum Peradi Pergerakan),  D.Y. Witanto (Asisten Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia) dan perwakilan Mabes Polri Kombes Pol. Veris Septiansyah, S.H., S.I.K., M.Si.M.H.

 

Artikel ini telah tayang di bogor-kita.com dengan Judul “PPMAN Kerjasama dengan PERADI Pergerakan Gelar PKPA di Bogor”.

Kader Komunitas Masyarakat Adat Tingkatkan Kapasitas Pembelaan Hukum Melalui Pendidikan Khusus Profesi Advokat

 

Jaminan konstitusional terhadap pengakuan dan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, pada kenyataannya masih terbentur oleh sistem penegakan hukum yang belum mampu menerjemahkan jaminan konstitusional ke dalam peraturan operasional teknis. Akibatnya, respon negara terhadap perjuangan masyarakat adat yang membela diri dan mempertahankan hak ulayat selalu diwarnai kriminalisasi, termasuk pembela masyarakat adatnya sebagai human right defenders.

 

Dalam acara diskusi publik, sebagai rangkaian pelaksanaan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bekerjasama dengan Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (PERADI PERGERAKAN), Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyatakan bahwa dalam banyak kasus, perjuangan masyarakat adat terhambat oleh paradigma negara yang selalu menilai bahwa eksistensi masyarakat adat hanya diakui bilamana telah terbit peraturan tentang pengakuan masyarakat adat.

 

“Masyarakat adat itu sudah ada dan hidup secara turun temurun dalam wilayah adatnya jauh sebelum negara ini berdiri. Kalau negara tidak mengakui mereka beserta hak-hak kolektifnya (masyarakat adat) dengan alasan karena tidak adanya peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat, itu adalah paradigma negara yang keliru,” kata Rukka, Rabu (14/9/2022).

 

Senada dengan itu, Sugeng Teguh Santoso, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan), menyatakan bahwa macetnya Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat menunjukkan eksistensi masyarakat adat seperti antara ada dan tiada.

 

“Masyarakat adat itu seperti antara ada dan tiada. Sebab, jaminan pengakuan dan penghormatan konstitusional melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, tidak ditindaklanjuti dalam peraturan operasional dengan bentuk undang-undang. Hal ini terbukti dengan tidak disahkannya Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat yang sudah terparkir puluhan tahun,” kata Sugeng.

 

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD Tahun 1945”) sebagai landasan konstitusional, telah menjamin pengakuan dan pengormatan Masyarakat Adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

 

Sugeng menilai bahwa macetnya pengesahan RUU Masyarakat Adat akibat banyaknya kepentingan korporasi yang terganggu bilamana RUU disahkan. Ini akan menjadi tantangan bagi pembela hak-hak masyarakat adat.

 

“Upaya mewujudkan pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah bagian dari tantangan yang harus dihadapi oleh para peserta PKPA PPMAN Angkatan I ini, yang diharapkan menjadi advokat pembela hak-hak masyarakat adat. Tidak ada hak terwujud begitu saja, tanpa perjuangan mewujudkannya,” pesan Sugeng.

 

Hadir pula dalam acara diskusi publik itu, D.Y. Witanto selaku Asisten Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Kombes Pol. Veris Septiansyah

 

Menurut Syamsul Alam Agus, Ketua Umum PPMAN, tujuan PKPA ini sebagai bentuk respon untuk memperkuat akses keadilan bagi masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum.

 

“PKPA merupakan salah satu syarat utama untuk menjadi advokat sebagaimana ditegaskan
dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 2 ayat (1), yang mengatur bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat dan melakukan magang selama 2 tahun terus menerus pada kantor advokat/organisasi bantuan hukum dan telah dinyatakan lulus ujian advokat.

 

“Maksud penyelenggaraan PKPA ini, dalam rangka memfasilitasi peningkatan kapasitas kader masyarakat adat untuk membela kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh anggota komunitas adat” kata Alam.

 

Artikel ini telah tayang di dnewsstar.com dengan Judul “Kader Komunitas Masyarakat Adat Tingkatkan Kapasitas Pembelaan Hukum Melalui Pendidikan Khusus Profesi Advokat”.

 

Masyarakat Adat 2 Suku di Sikka Gelar Aksi Tolak Penanaman Pilar di Atas Tanah Eks HGU Nangahale

 

Ratusan masyarakat adat dua Suku di Kabupaten Sikka menggelar menggelar aksi penolakan terhadap peletakan titik koordinat dan penanaman pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale -Patiahu, Senin 14 November 2022 pagi.

 

Ratusan masyarakat adat dua suku tersebut antara lain suku Tana Puan Soge Natarmage dan Tana Puan Goban Runut.

 

Sebelum aksi, para tokoh adat menggelar ritual adat yang berlangsung di Balai Pertemuan Masyarakat Adat di Utanwair Desa Nangahale Kecamatan Talibura.

 

Usai menggelar ritual adat, Ratusan masyarakat ini pun Long Marc di sepanjang jalan Trans Flores Maumere -Larantuka menuju titik koordinat penanaman pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale – Patiahu.

 

Masyarakat membawa sejumlah baliho yang bertuliskan penolakan terhadap peletakan titik koordinat penanaman penanaman pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale – Patiahu.

 

Hingga saat ini, Ratusan masyarakat adat masih menggelar aksi penolakan terhadap peletakan titik koordinat dan penanaman pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale – Patiahu.

 

Sebelumnya, Pada tanggal 04 – 08 November 2022 lalu, Kantor pertanahan Kabupaten Sikka memasang pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale – Patiahu. Pemasangan pilar ini pun dikawal ketat TNI dan Polri serta Sat Pol PP kabupaten Sikka.

 

Video aksi Masyarakat adat Tana Pu’an Soge Natarmage dan Tana Puan Goban Runut pada Kamis (14/11/2022)

 

Artikel ini telah tayang di Tribunflores.com dengan judul Masyarakat Adat 2 Suku di Sikka Gelar Aksi Tolak Penanaman Pilar di Atas Tanah Eks HGU Nangahale, https://flores.tribunnews.com/2022/11/14/masyarakat-adat-2-suku-di-sikka-gelar-aksi-tolak-penanaman-pilar-di-atas-tanah-eks-hgu-nangahale.

PPMAN Gandeng Organisasi Profesi Pengacara untuk Membela Masyarakat Adat

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menggandeng organisasi profesi Kongres Advokat Indonesia (KAI) untuk memberikan bantuan hukum kepada Masyarakat Adat yang tidak terjangkau akses keadilan. Langkah strategis tersebut dikukuhkan kedua pihak dalam bentuk penandatanganan memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman yang dilakukan pada perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) PPMAN ke-9 di Joglo Keadilan, Kota Bogor pada Selasa, 27 September 2022.

 

Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus mengatakan bahwa MoU antara PPMAN dan KAI itu berisi tentang komitmen peningkatan kapasitas advokat PPMAN dalam pembelaan terhadap Masyarakat Adat. Menurutnya, MoU itu penting karena PPMAN bukan organisasi profesi advokat, tapi organisasi yang mendeklarasikan diri untuk menyatakan dukungan kepada Masyarakat Adat.

 

“Faktor ini yang mendorong kami menggandeng KAI untuk membela Masyarakat Adat,” kata Syamsul Alam usai penandatanganan MoU.

 

Menurutnya, kerja sama melalui organisasi profesi advokat itu dapat memberikan dampak positif karena membuka ruang terhadap akses keadilan bagi Masyarakat Adat yang rentan dan tidak terjangkau oleh infrastruktur maupun layanan dukungan bantuan hukum.

 

“Jadi, kerja sama ini akan memperpendek akses Masyarakat Adat untuk mendapatkan keadilan secara cepat,” tandasnya.

 

Syamsul mengaku bahwa jumlah pengacara yang ada di PPMAN saat ini, masih minim jika dibandingkan dengan begitu banyaknya kasus hukum yang menjerat Masyarakat Adat di berbagai pelosok Nusantara. Selain itu, akses antara Masyarakat Adat dan posisi anggota PPMAN juga relatif jauh dan berhadapan dengan tantangan keterbatasan infrastruktur, khususnya di berbagai perdesaan, pegunungan, pesisir, dan pulau kecil. Ia menyatakan kalau umumnya para pengacara tinggal di kota, sedangkan keberadaan Masyarakat Adat tersebar di kampung maupun desa.

 

PPMAN menyusun beberapa strategi untuk meningkatkan kapasitas melalui pelatihan paralegal untuk kader Masyarakat Adat dan pelatihan pendidikan khusus profesi advokat agar para kader Masyarakat Adat yang memenuhi persyaratan, bisa juga menjadi advokat. Syamsul menyebut bahwa jumlah advokat dan ahli hukum yang dimiliki PPMAN saat ini, baru mencapai 126 orang. Selain itu, PPMAN juga telah melatih kader dari sejumlah komunitas Masyarakat Adat untuk menjadi paralegal. Saat ini, kader muda untuk itu telah mencapai 200 orang dan tersebar di seluruh Indonesia. Baru-baru ini, PPMAN pun telah menyelesaikan pendidikan advokat sebanyak 13 orang.

 

“Jumlah ini sangat jauh dari ideal,” ungkap Syamsul. “Saya kira (jumlah itu) masih jauh dari harapan: satu komunitas Masyarakat Adat memiliki satu advokat.” Syamsul menambahkan bahwa PPMAN akan selalu terbuka untuk melakukan perekrutan ke depannya.

 

Sebagai Ketua PPMAN, Syamsul mengatakan bahwa ia berharap ke depannya, PPMAN bukan hanya harus tetap ada, tetapi semakin kuat dan memperluas jaringan agar bisa membantu atau mendukung Masyarakat Adat untuk mendapatkan keadilan. Menurutnya, keadilan belum diraih oleh Masyarakat Adat karena kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat masih terus terjadi. Bahkan, kriminalisasi itu dapat berujung pada vonis yang tidak berkeadilan terhadap Masyarakat Adat, seperti kasus yang menimpa warga Masyarakat Adat Tobelo Dalam di Halmahera, Maluku Utara, yang divonis mati karena mempertahankan wilayah adatnya.

 

“Ini satu dari sekian banyak kasus yang dihadapi Masyarakat Adat,” ujarnya dengan penuh keprihatinan.

 

Sementara itu, Sekretaris Umum KAI Ibrahim Massidenreng menyatakan kegembiraannya untuk bekerja sama dengan PPMAN. Ia berharap kerja sama tersebut bisa memberikan manfaat bagi orang-orang yang membutuhkan keadilan, terutama Masyarakat Adat. Khusus bagi anggota KAI, katanya, hal itu bisa memberikan peluang pada peningkatan kapasitas, pengetahuan, dan keterampilan terkait pembelaan terhadap Masyarakat Adat.

 

 

“Tidak tertutup kemungkinan, teman-teman di KAI suatu waktu mendampingi kasus Masyarakat Adat atau setidaknya ikut melapisi tim-tim dalam pembelaan,” ujarnya.

Ibrahim menjelaskan bahwa KAI punya banyak pengalaman yang bisa dibagi terkait keadvokatan. Ia berharap PPMAN dan KAI bisa berkolaborasi dalam pendampingan Masyarakat Adat, termasuk kerja sama terhadap eksaminasi putusan yang melibatkan Masyarakat Adat.

 

“Harapan dengan MoU ini, (adalah) anggota KAI ikut terlibat dalam tim eksaminasi,” ujarnya.

 

Ibrahim mengatakan, sejatinya MoU dapat menjadi payung yang nantinya harus dilengkapi dengan perjanjian tertentu, di mana pintu masuknya adalah legal standing advokat dulu. Ia menyatakan bahwa isu Masyarakat Adat harus lebih diperluas. Koalisi kedua organisasi juga berharap akan dapat memperluas gerakan. Menurutnya, semakin sering dan banyak advokat yang terlibat dalam pembelaan terhadap Masyarakat Adat, akan memberikan dukungan yang pula kian luas, sehingga upaya pembelaan terhadap Masyarakat Adat bisa mudah dilakukan, bahkan hingga ke pelosok desa sekali pun.

 

Oleh Apriadi Gunawan