PPMAN Minta Kementerian ATR/BPN Selesaikan Konflik Agraria yang Merugikan Masy. Adat di Flores

Oleh Apriadi Gunawan


Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) meminta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk segera menyelesaikan konflik agraria yangmerugikan komunitas Masyarakat Adat di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).


Permintaan itu disampaikan oleh Koordinator PPMAN Region Bali Nusra Anton Yohanis Bala bersama Staf Bidang Pemantauan dan Dokumentasi Seknas PPMAN Surti Handayani saat menemui Wakil Menteri ATR/BPN Raja Juli Antoni di ruang kerjanya pada Selasa, 6 Desember 2022.


Anton Yohanis Bala menyatakan bahwa konflik agraria yang terjadi di Flores, tidak hanya melibatkan perusahaan sebagai pelaku, tapi juga institusi negara melalui kebijakannya, mulai dari penetapan kawasan hutan lindung, pertambangan, sampai Proyek Strategis Nasional (PSN) di Waduk Lambo, Kabupaten Nagekeo. Ia menyebut ada puluhan konflik agraria yang terjadi saat ini di wilayah adat di Flores.

“PPMAN minta semua konflik agraria yang merugikan Masyarakat Adat di Flores, segera diselesaikan,” katanya kepada Wakil Menteri ATR/BPN.


Anton menyebutkan bahwa konflik agraria yang amat merugikan Masyarakat Adat di sana, termasukkasus penyelesaian tanah eks HGU antara PT Renha Rosari Keuskupan Larantuka dan Masyarakat Adat Suku Tukan di Flores Timur serta PT Kristus Raja Keuskupan Maumere dan Masyarakat Adat Tana Ai suku Soge dan Goban di Sikka. Ia menerangkan kalau hingga kini, kasus tersebut masih menemui jalan buntu.

Dalam pemaparannya, Anton mengatakan kepada Raja Juli Antoni bahwa pemegang HGU adalah perusahaan-perusahaan milik gereja Katolik.


“Beliau (Raja Juli) sempat tersentak saat diberi tahu pemegang HGU itu adalah perusahaan-perusahaan milik gereja Katolik. Ada kesan kaget dan heran,” katanya.


Anton menjelaskan bahwa sudah pernah ada dialog untuk menyelesaikan kasus konflik agraria itu. Bahkan, pernah terbit dua kali Surat Keputusan (SK) Bupati Sikka tahun 2016 dan 2020 sebagai landasan hukum. Tapi, itu tetap tidak pernah tuntas dijalankan oleh pemerintah.


Anton menduga ada semacam kongkalikong atau permainan antara Pemerintah Daerah (Pemda) dan aparat Kementerian ATR/BPN di level provinsi dan kabupaten untuk memuluskan kepentingan perusahaan milik gereja Katolik dengan menabrak ketentuan hukum yang ada.


“Inilah inti dari maksud kedatangan PPMAN menemui Wakil Menteri ATR/BPN. Kami berharap Wakil Menteri ATR/BPN dapat melakukan pemantauan dan pengawasan atas proses pembaruan HGU agar tidak sewenang-wenang, menabrak aturan hukum, dan merugikan Masyarakat Adat yang sedang memperjuangkan hak-haknya,” ungkapnya.


Menanggapi hal itu, Raja Juli Antoni menyayangkan terjadinya konflik agraria yang melibatkan pihak gereja Katolik ini. Raja menanyakan apakah Masyarakat Adat punya sejarah penguasaan dan sudah berapa lama menempati lokasi tanah eks HGU tersebut.


Menjawab itu, Anton mengatakan, Masyarakat Adat sudah lama menempati tanah eks HGU. Ia juga menegaskan kalau Masyarakat Adat memiliki sejarah asal-usul yang jelas untuk memiliki tanah eks HGU tersebut. Karenanya, sebut Anton, mereka siap untuk kembali ke meja dialog untuk menyelesaikan persoalan konflik agraria tersebut.


Raja Juli pun meminta Masyarakat Adat untuk membuat laporan dan kronologi kasus agar bisa lebih konkret diawasi dan diselesaikan.


“Saya ingin konflik agraria ini cepat selesai,” katanya.

PPMAN : Kasus Perampasan Wilayah Adat Makin Meningkat

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) yang didukung Pengurus Besar (PB) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melakukan pelatihan paralegal untuk kader Komunitas masyarakat adat diregion Sulawesi Komunitas adat Pamona Sulawesi Tengah (Sulteng) pada 28/11/2022

“Mengingat beragamnya masalah hukum yang terjadi dan menimpa masyarakat adat diwilayah yang menjadi objek pembangunan negara, maka sangat diperlukan peran serta masyarakat adat itu sendiri untuk bersama berjuang,dan membantu komunitasnya dalam memperjuangkan hak-haknya,” kata Maulana Koordinator PPMAN Region Sulawesi.

 

Menurutnya, berdasarkan catatan akhir tahun 2021 dari AMAN menunjukan perampasan wilayah adat, kekerasan, kriminalisasi dan penyangkalan terhadap masyarakat adat masih terus berlangsung dan semakin meningkat.

 

AMAN dan PPMAN sepanjang tahun 2022 setidaknya menerima 35 kasus perampasan wilayah adat yang mencakup areal seluas 251.000 hektar dan berdampak pada 103.717 jiwa. Bahkan satu orang warga masyarakat adat Toruakat di Bolaang Mongondow Sulawesi Utara tertembak mati dalam bentrok dengan Perusahaan tambang PT. Bulawan Daya Lestari.

 

Sehingganya kata Maulana, pelatihan para legal ini bertujuan untuk kapasitas komunitas masyarakat adat, baik itu pengetahuan, wawasan, keterampilan, serta keahlian dalam mendampingi dan menangani kasus masyarakat adat yang menjadi korban dari rencana pembangunan negara.

 

Hal senada diungkapkan Noval A. Saputra Biro Advokasi PW AMAN Sulteng bahwa pelatihan paralegal ini diikuti oleh para pemuda-pemudi komunitas masyarakat adat di Region Sulawesi, para peserta selain mendapatkan materi inclass mereka juga diajak melakukan observasi di lingkungan PT. Poso Energi dan observasi di lingkungan Desa Kuku Kecamatan Pamona Utara Kabupaten Poso.

 

“Hemat saya, ini model pelatihan yang bisa dilakukan secara berkelanjutan di komunitas-komunitas lainnya, sehingga bisa menemukan dan mengenali peluang serta ancaman bagi komunitas masyarakat adat dengan memberdayakan pemuda dan perempuan,” tuturnya.

 

Kegiatan yang berlangsung dari 28 November sampai dengan 2 Desember itu diikuti sejumlah perwakilan dari setiap komunitas masyarakat adat dimasing-masing wilayah.

 

Berikut Nama-nama Komunitasnya :

  1. Komunitas Masyarakat Adat Pamona Kabupaten Poso Sulteng
  2. Komunitas Masyarakat Adat Togean Kabupaten Tojo Una una Sulteng
  3. Komunitas Masyarakat Adat Kaili Tado Sulteng-Sulbar
  4. Komunitas Masyarakat Adat Kasimbar Parimo Sulteng
  5. Komunitas Masyarakat Adat Mateko Kabupaten Gowa Sulsel
  6. Komunitas Masyarakat Adat Rampi Kabupaten Luwu Utara Sulsel
  7. Komunitas Masyarakat Adat Seko Kabupaten Luwu Utara Sulsel
  8. Komunitas Masyarakat Adat Pali Kabupaten Tanah Toraja Sulsel
  9. Komunitas Masyarakat Adat Sa’dan Kabupaten Tanah Toraja Sulsel
  10. Komunitas Masyarakat Adat Makale Kabupaten Tanah Toraja Sulsel
  11. Komunitas Masyarakat Adat Karama Kabupaten Mamuju Sulbar
    12 komunitas Masyarakat Adat Tabulahan Kabupaten Mamasa Sulbar
  12. Komunitas Masyarakat Adat Adolang Kabupaten Majene Sulbar
  13. Perwakilan Kader Organisasi Sayap (Perempuan AMAN dan Barisan Pemuda Adat Nusantara di Sulteng)

 

Jurnalis SMS Samsir

Sumber: https://matasms.com/ppman-kasus-perampasan-wilayah-adat-makin-meningkat/

Mendorong Masyarakat Adat Pastikan Implementasi FPIC

Oleh Apriadi Gunawan

 

Masyarakat Adat didorong untuk memiliki peran secara penuh untuk bersama-sama memastikan implementasi prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dalam tata kelola sumber daya alam. FPIC merupakan hak Masyarakat Adat untuk mengatakan “ya dan bagaimana” maupun “tidak” untuk pembangunan yang mempengaruhi sumber daya dan wilayah adat. Peran Masyarakat Adat dinilai penting mengingat beragamnya masalah hukum yang terjadi dan menimpa Masyarakat Adat di wilayah adat yang menjadi target pembangunan pemerintah maupun perusahaan.

 

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menegaskan pentingnya penerapan FPIC dan peran Masyarakat Adat dalam memastikan itu. Komunitas Masyarakat Adat yang memiliki kapasitas pembelaan juga diharapkan dapat membantu komunitas Masyarakat Adat lain yang menjadi korban untuk mendapatkan akses keadilan.

 

Rukka menerangkan, FPIC itu ibarat kita masuk ke rumah orang, jadi harus menyapa tuan rumah dan mendapat izin terlebih dahulu untuk bisa masuk.

 

“Yang terjadi selama ini, perusahaan masuk ke wilayah adat, tidak hanya tanpa izin, tapi mencuri, merampok. Setelah itu, membakar wilayah adat kita,” kata Rukka dalam sambutan membuka diskusi publik dengan topik “Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat yang Berada di Dalam dan Sekitar Wilayah Operasional Bisnis dalam Menjalankan Protokol Persetujuan atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA).”

 

Diskusi publik yang diselenggarakan atas kerja sama Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan AMAN itu berlangsung di Kota Palu, Sulawesi Tengah pada 28 November 2022. Diskusi menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai pihak, termasuk sektor pemerintah, masyarakat, dan privat.

 

Puluhan orang hadir dalam diskusi publik itu, di antaranya perwakilan berbagai organisasi masyarakat sipil, organisasi sayap AMAN PEREMPUAN AMAN dan BPAN, serta komunitas Masyarakat Adat, termasuk Pamona, Togean, Kaili Tado, Kasimbar, Mateko, Rampi, Seko, Pali Sadan, Makale, Karama, Tabulahan, Adolang, dan lain-lain.

 

Rukka sempat menyinggung soal “ethic” (etika) dalam ruang diskusi publik tersebut. Ia menerangkan bahwa etika adalah turunan yang menjadi hak sekaligus mekanisme dan alat. Etika itu kalau kita lihat hidupnya, di atas “mamak”-nya etika itu ada yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri. “Nasib kita, wilayah adat kita, adalah keputusan kita. Itulah yang disebut hak asasi manusia (HAM),” katanya mengingatkan.

 

Rukka menyebut bahwa HAM terdiri dari dua jenis, yaitu hak individu dan hak kolektif. Hak kolektif Masyarakat Adat menjadi hidup dari seluruh hak-hak Masyarakat Adat, termasuk di dalamnya hak untuk menentukan nasib sendiri.

 

Kaitannya dengan etika, Rukka mengatakan bahwa etika bukan menyatakan isme, tapi dia adalah hak kolektif dari Masyarakat Adat.

 

“Mengapa hak kolektif itu penting? Karena tanpa hak kolektif atas nasib kita, atas wilayah adat kita, atas kehidupan kita, maka kita tidak mungkin lagi bisa menikmati hak-hak asasi yang bersinar di sini,” ungkapnya.

 

Terkait dengan “free” (bebas), menurutnya, itu berarti Masyarakat Adat tidak boleh diintervensi, ditekan, dan diintimidasi. Ketika melakukan proses, Masyarakat Adat harus bebas dari intervensi dan intimidasi.

“Kalau ada kepala desa atau polisi mengawal musyawarah adat, itu sudah dipastikan bukan free. Apalagi datang Koramil, intel-intel, awasi kita punya acara, itu pasti sudah bukan free,” tandasnya.

 

Dalam kesempatan itu, Rukka juga menyoal tentang informasi yang kerap dimanipulasi untuk kepentingan perusahaan. Informasi menjadi senjata utama dari perampasan wilayah adat.

 

“Yang disampaikan, informasi yang manis. Tidak pernah disampaikan kepada Masyarakat Adat, informasi yang benar,” ungkap Rukka. Padahal, lanjutnya, informasi dari A sampai Z itu harus disampaikan secara utuh. Namun, yang paling banyak dikeluhkan, perusahaan dan pemerintah kerap tidak transparan dalam menyampaikan informasi, bahkan tidak pernah membuka dokumen izin ke Masyarakat Adat. “Entah apa yang disembunyikan, padahal itu informasi publik. Tidak pernah dibuka, tapi dia (perusahaan) mengancam (dengan bilang bahwa) dia sudah punya izin. Banyak sekali kasus seperti ini.”

 

Catatan Akhir Tahun AMAN tahun lalu, menunjukkan berbagai data terkait maraknya perampasan wilayah adat, kekerasan, kriminalisasi, dan penyangkalan terhadap Masyarakat Adat yang masih terus berlangsung dan semakin meningkat.

 

Sepanjang tahun 2022, PPMAN dan AMAN telah menerima 35 kasus perampasan wilayah adat yang mencakup area seluas 251 ribu hektar dan berdampak pada 103.717 jiwa. Bahkan, satu orang anggota komunitas Masyarakat Adat di Kecamatan Kasimbar, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, tertembak mati dalam bentrok dengan aparat kepolisian saat aksi menentang Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Trio Kencana.

 

Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seharusnya dapat menunjukkan komitmen terhadap implementasi prinsip yang tertuang dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP) yang tegas menetapkan hak individu dan hak kolektif Masyarakat Adat, mulai dari hak Masyarakat Adat untuk memelihara dan memperkuat kelembagaan adat, budaya, tradisi, bahasa, dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi Masyarakat Adat sendiri.

 

Pria yang akrab disapa Alam itu menambahkan bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan atau proyek, seharusnya negara menggunakan prinsip FPIC kepada Masyarakat Adat maupun masyarakat lokal yang akan terkena dampak dari pembangunan.

 

“PADIATAPA (FPIC) merupakan hak yang dimiliki Masyarakat Adat dan masyarakat setempat lainnya untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan mereka atas setiap pembangunan atau proyek yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lahan, mata pencaharian, dan lingkungan mereka,” terangnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ridha Saleh selaku Asisten Ahli Gubernur Sulawesi Tengah, mengatakan bahwa perlindungan masyarakat itu tanggung jawab kita bersama karena itu terkait dengan hak mendasar yang melekat bagi Masyarakat Adat dan secara substansi menyangkut identitas atau hak asal-usul kita.

Keberadaan Masyarakat Adat.

 

Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Sjamsul Hadi mengatakan bahwa keberadaan Masyarakat Adat dilindungi oleh konstitusi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Pasal 18B angka 2, di mana negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pasal 28I angka 3, juga disebutkan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

 

Sjamsul menambahkan, keberadaan Masyarakat Adat juga telah mendapatkan Piagam Hak Asasi Manusia, di mana itu mengatur tentang identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman.

Menyoal Perlindungan Hak Masyarakat Adat di Wilayah Operasional Bisnis

POSISI hukum masyarakat adat saat berhadapan dengan isu pembangunan maupun korporasi sangat lemah. Dalam banyak kasus, posisi masyarakat adat yang mempertahankan hak adatnya melawan kekuatan komplet korporasi yang dibelakangnya berdiri kekuatan negara memaksa masyarakat adat harus takluk. Fenomena ini muncul tekad kuat akan hadirnya komunitas masyarakat adat yang memiliki kapasitas advokasi. Dengan demikian dapat membantu komunitas masyarakat adat lainnya yang menjadi korban untuk mendapatkan akses keadilan.

 

Keinginan itu, yang melatari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menggelar diskusi yang menyoal pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di dalam dan sekitar wilayah operasional bisnis, dalam menjalankan protokol persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan. Selanjutnya akronimnya disebut Padiatapa.

 

Diskusi yang berlangsung di Palu, 28 November 2022 ini, diharapkan mendorong peran masyarakat adat memiliki kapasitas untuk mengimplementasikan prinsip Free, Prior and Informed Concern (FPIC). Khususnya penatakelolaan sumber daya alam masyarakat adat. Diskusi ini menghadirkan pembicara, Ridha Saleh mantan Anggota Komnas HAM kini Asisten Ahli Gubernur Sulteng. Syamsul Hadi, Direktur KMA Kementrian Pendidikan dan kebudayaan dan Syamsul Alam Agus, Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat. Kemudian Irma Suriani – Manager Lingkungan dan CSR PT Poso Energy – salah satu perusahaan milik Bukaka Group yang membangun PLTA di Poso.

 

Diskusi dibuka oleh Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, ia mengatakan, pentingnya prinsip FPIC bagi sebuah korporasi maupun lembaga negara melakukan kegiatan pembangunan di wilayah adat. Rukka bilang, FPIC itu ibarat masuk di rumah orang. Harus menyapa terlebih dahulu. Harus mendapatkan persetujuan untuk masuk atau tidak. Setelah dapat izin baru masuk. ”Yang selama ini terjadi, perusahaan masuk di wilayah adat masyarakat adat, tidak hanya masuk tanpa izin, tapi pencuri, merampok, setelah itu membakar rumah atau wilayah adat orang,” kritiknya.

 

Diskusi publik dilaksanakan sebagai salah satu kerangka kerja advokasi. Ini kata dia untuk memastikan prinsip Padiatapa diterapkan dalam level kebijakan publik terhadap perusahaan. Hal ini tidak terlepas massifnya pelanggaran HAM dalam wilayah operasi bisnis berupa kriminalisasi, intimidasi, kekerasan, dan represif terhadap masyarakat adat. Diskusi publik ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan paralegal bagi masyarakat adat yang akan dilaksanakan pada 29 November hingga 2 Desember 2022 di Tantena, Kabupatan Poso.

 

Syamsul Hadi, Direktur KMA, Kementrian Pendidikan dan kebudayaan, mengatakan masyarakat adat dilindungi oleh Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 18 B angka 2. Negara katanya mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya. Dan itu berlaku sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

 

Mengutip pasal 28I angka 3, Hadi kembali menambahkan, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Ini dilanjutkan dengan Amandemen UUD 1945 Pasal 32. Dimana Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Selain itu keberadaan Masyarakat adat juga telah mendapatkan Piagam Hak Asasi Manusia yang dimana mengatur tentang identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

 

Syamsul Alam Agus, Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat, menyampaikan, Indonesia harus menunjukkan komitmen mengimplementasikan prinsip yang tertuang dalam Declaration on the rights of Indigeneous Peoples (UNDRIP). Di dalamnya menetapkan hak individu dan kolektif masyarakat adat. Mulai dari hak Masyarakat adat untuk memelihara dan memperkuat institusi, budaya dan tradisi mereka sendiri. Termasuk untuk mengejar perkembangan mereka sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.

 

Alam ini menambahkan, dalam rangka melaksanakan royek seharusnya negara menggunakan prinsip Padiatapa kepada masyarakat yang akan terkena dampak dari pembangunan tersebut. Padiatapa merupakan hak yang dimiliki masyarakat adat untuk memberi tidak persetujuan proyek yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lahan, mata pencaharian dan lingkungan mereka. Sedangkan Asisten Ahli Gubernur Ridha Saleh, mengatakan, perlindungan masyarakat itu tanggung jawab kita bersama. Karena itu berkaitan hak mendasar yang melekat bagi masyarakat adat. Dan secara substansi menyangkut identitas atau hak asal-usul maupun akan akan masa depan. Sementara Irma Suriani, pada kesempatan itu, memaparkan soal program elektrifikasi di Sulawesi yang bersumber dari PLTA Poso yang dibangunnya. Ia juga menyampaikan budidaya sidat melalui fish way (jalan ikan) yang dibangunnya di lokasi PLTA.

 

Sumber: https://www.roemahkata.com/menyoal-perlindungan-hak-masyarakat-adat-di-wilayah-operasional-bisnis/

PPMAN Berikan Layanan Bantuan Hukum Gratis untuk Masyarakat Adat

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) melakukan pendampingan terhadap 2000 lebih masyarakat adat dari seluruh Nusantara yang hadir dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara Keenam (KMAN VI) yang dilaksanakan di Stadion Barnabas Youwe, Kabupaten Jayapura. PPMAN sebagai organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) hadir untuk memberikan bantuan hukum kepada kepada Masyarakat Adat yang saat ini berhadapan dengan kasus-kasus hukum.

 

PPMAN sebagai organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) hadir untuk memberikan bantuan hukum kepada kepada Masyarakat Adat yang saat ini berhadapan dengan kasus-kasus hukum.

Masyarakat Adat memerlukan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, pasal 1. Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum, pasal 2 penerima bantuan hukum adalah orang atau masyarakat yang miskin. Bantuan hukum yang diberikan oleh 25 orang advokat PPMAN ini dalam rangka untuk memberikan jaminan  perlindungan terhadap Masyarakat Adat yang hadir dalam KMAN VI, tak terkecuali kepada Masyarakat Adat di Papua yang kini menjadi tuan rumah.

 

Dalam pantauan PPMAN, proses KMAN VI ini berjalan dengan baik. Pada kongres ini, PPMAN membuka layanan bantuan hukum dengan tema “Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Adat” dalam rangka untuk menerima pengaduan dan konsultasi hukum yang dilakukan oleh Masyarakat Adat.

 

Anggota PPMAN menjalankan tugas dan fungsinya sebagai advokat, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal 1 angka a (1) Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini.Angka (2) Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Angka (9) bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu.  PPMAN sebagai organisasi yang menghimpun advokat dan ahli hukum memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan hukum baik itu dalam bentuk informasi hukum maupun tindakan pendampingan dalam proses peradilan kepada masyarakat.

 

Sumber: https://m.mediaindonesia.com/nusantara/532242/ppman-berikan-layanan-bantuan-hukum-gratis-untuk-masyarakat-adat

Hak Masyarakat Adat Tertahan di Konstitusi

Oleh Apriadi Gunawan

Sekretaris Jenderal (Sekjen)

 

AMAN Rukka Sombolinggi menyatakan bahwa saat ini hak Masyarakat Adat masih tertahan di konstitusi serta belum terwujud dalam undang-undang (UU) holistik yang komprehensif untuk bisa membuat Indonesia melaksanakan mandatnya dalam menghormati, mengakui, melindungi,dan memajukan hak Masyarakat Adat.

 

Pernyataan itu disampaikan Rukka dalam diskusi publik bertajuk “Pembela Masyarakat Adat Sebagai Human Rights Defenders, Peluang, dan Tantangan dalam Penegakan Hukum di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Gerakan) di Joglo Keadilan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Rabu (14/9/2022).

 

Rukka Sombolinggi juga menyatakan bahwa dalam banyak kasus, perjuangan Masyarakat Adat terhambat oleh paradigma negara yang menilai eksistensi Masyarakat Adat hanya dapat diakui bila telah terbit Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan Masyarakat Adat. Menurutnya, Masyarakat Adat itu sudah hidup secara turun-temurun di wilayah adatnya jauh sebelum negara ini berdiri.

 

“Kalau negara tidak mengakui Masyarakat Adat serta hak kolektifnya, dengan alasan tidak ada Perda tentang Pengakuan Masyarakat Adat, maka itu adalah paradigma negara yang keliru,” tandasnya.

 

Rukka mengatakan bahwa membela tanah leluhur di negeri ini, masih dianggap perbuatan melawan hukum. Itulah mengapa Masyarakat Adat atau para pemimpin adat kita kerap berhadapan dengan hukummaupun pengadilan, katanya.

 

“Ini kita sebut kriminalisasi,” ujarnya sembari menambahkan bahwa kita masih kurang pengacara untuk membela Masayarakat Adat yang dikriminalisasi.

 

Rukka mengingatkan bahwa respect (hormat) terhadap Masyarakat Adat saja tidaklah cukup. Katanya, itu biasanya hanya di atas kertas. Dibutuhkan tindakan aktif untuk memastikan Masyarakat Adat mendapatkan bantuan dalam memastikan berbagai aksi pemajuan hak, termasuk bagi para penegak hukum dan sistem peradilan di Indonesia. Selain itu, menurut Rukka, perlu berbagai aksi yang menarik,seperti penyuluhan untuk memastikan Masyarakat Adat dapat menikmati haknya dan sejajar dengan rakyat Indonesia lainnya.

 

“Protektif dan promotif ini sebenarnya tanggung jawab negara. Mengapa itu tidak dilakukan? Karena yang terjadi adalah berbagai kebijakan yang lahir digunakan sebagai alat hukum untuk menginvasi dan mengusir Masyarakat Adat dari wilayah adat,” ungkapnya.

 

Rukka menegaskan bahwa realitas itulah yang akan dibela oleh pengacara kita. Di negeri ini, sistem keadilan dibuat untuk terus mengalahkan kita. Ia mencontohkan bagaimana Masyarakat Adat yangmembela diri mempertahankan wilayah adatnya, malah disebut kriminal atau melakukan tindakan melawan hukum hanya karena perusahaan punya izin.

 

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Peradi Pergerakan Sugeng Teguh Santoso yang hadir dalam diskusi, menyatakan bahwa macetnya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Adat menunjukkan eksistensi Masyarakat Adat itu seperti ada dan tiada. Padahal, sudah ada jaminan pengakuan dan penghormatan konstitusional melalui Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD)1945. Namun, itu tidak ditindaklanjuti dalam peraturan operasional dalam bentuk UU.

 

“Ini terbukti dengan tidak disahkannya RUU tentang Masyarakat Adat yang sudah terparkir puluhan tahun,” kata Sugeng.

 

Menurutnya, kemacetan itu diakibatkan oleh banyaknya kepentingan korporasi yang terganggu bila RUU disahkan. Itu akan menjadi tantangan bagi pembela hak Masyarakat Adat, terutama PPMAN, katanya.

 

“Kalian (para pembela hak Masyarakat Adat) diharapkan menjadi advokat pembela hak Masyarakat Adat. Tidak ada hak terwujud begitu saja tanpa perjuangan untuk mewujudkannya,” lanjut Sugeng di acara diskusi yang dirangkai dengan pelaksanaan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) PPMAN Angkatan I.

 

Turut hadir dalam acara rangkaian PKPA itu, termasuk Asisten Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia D. Y. Witanto dan Komisaris Besar Polisi Veris Septiansyah.

 

Ketua Umum PPMAN Syamsul Alam Agus mengatakan bahwa tujuan diselenggarakannya PKPA itu adalah untuk memperkuat akses keadilan bagi Masyarakat Adat yang berhadapan dengan hukum.

“PKPA ini diselenggarakan dalam rangka memfasilitasi peningkatan kapasitas kader Masyarakat Adat untuk membela kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh Masyarakat Adat,” katanya.

PPMAN Buka Klinik Hukum untuk Masyarakat Adat

Oleh Apriadi Gunawan


Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) membuka klinik hukum bagi Masyarakat Adat dan komunitas lokal yang ingin mencari keadilan. Klinik hukum yang didirikan pada 12 Juni 2022 itubertujuan untuk menerima pengaduan dan melakukan konsultasi hukum atas masalah hukum, terutama bagi Masyarakat Adat yang mengalami masalah hukum, namun tidak memiliki akses untuk mendapatkan bantuan hukum.


Ketua Badan Pelaksana PPMAN Syamsul Alam Agus mengatakan bahwa Masyarakat Adat memiliki hak untuk mendapatkan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.


“Pemberian bantuan hukum ini, kita lakukan secara gratis. Tidak terbatas untuk Masyarakat Adat, tapi juga komunitas lokal. Ini kita lakukan untuk menjamin terlaksananya dan tercapainya keadilan bagi masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya yang mengalami ketidakadilan hukum,” kata Syamsul Alam pada Selasa (14/6/2022).


Syamsul mengatakan, dalam praktiknya, PPMAN mengajak Indonesia Police Watch (IPW) untuk merespons dugaan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian, seperti yang terjadi di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia mengakui bahwa sejauh ini, kegiatan pengaduan dan konsultasi hukum telah berproses dengan baik. Masyarakat pun tetap melakukan pengaduan dan berkonsultasi dengan PPMAN dan IPW.


Berdasarkan catatan PPMAN dan IPW, pengaduan umumnya terkait dengan masalah hukum yang dialami dan dihadapi oleh Masyarakat Adat Rendu, khususnya pembangunan Waduk Lambo.


Masyarakat Adat Rendu melakukan penolakan atas penetapan lokasi pembangunan waduk itu karena berpotensi menghilangkan identitas Masyarakat Adat, di mana di wilayah adat tersebut terdapat area atau tempat untuk ritual, kuburan leluhur, pengembalaan, pertanian dan permukiman. Masyarakat Adat Rendu meminta agar pembangunan waduk dipindahkan ke Malawaka dan Lowopebhu.


Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso membenarkan bahwa sejauh ini, klinik hukum banyak menerima pengaduan dari Masyarakat Adat Rendu, termasuk penangkapan paksa, pemborgolan, dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat setempat.


“Apa yang dilakukan aparat kepolisian terhadap Masyarakat Adat Rendu, merupakan tindakan unprocedural (tidak sesuai dengan ketentuan atau prosedur hukum yang berlaku), pelanggaran disiplin, dan pelanggaran kode etik karena ada penangkapan terhadap Masyarakat Adat Rendu yang menolak pembangunan Waduk Lambo,” kata Sugeng.


Ia menyatakan bahwa penolakan yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Rendu bukan merupakan tindak pidana. Sehingga, polisi tidak perlu bertindak represif dan melakukan penangkapan terhadap Masyarakat Adat Rendu.


Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, kepolisian berkewajiban melindungi keyakinan Masyarakat Adat, bukan melakukan tindakan represif.


“Hak menyatakan pendapat dalam menolak pembangunan waduk yang dilakukan Masyarakat Adat Rendu, harus dihargai dan dihormati. Tidak boleh serta-merta diproses hukum,” ujarnya.


Sugeng juga mengkritik adanya kepala adat yang dilaporkan karena diduga melanggar Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dengan laporan Tipe A. Menurutnya, pelaporan itu salah kaprah karena pemimpin ritual adat memiliki hak untuk memegang parang adat.


“Kegiatan-kegiatan adat tidak dapat dikriminalkan,” tandasnya.


Ketua Region PPMAN Bali Nusra Anton Yohanis Bala yang hadir dalam kegiatan konsultasi hukum yang diselenggarakan oleh PPMAN, mengecam tindakan Lurah Danga yang berupaya menghentikan kegiatan itu dengan alasan warga yang hadir berasal dari luar Kelurahan Danga serta penyelenggaran kegiatantidak dilaporkan kepada pihak kelurahan. Padahal, tuan rumah dan PPMAN telah memberitahukan kegiatan kepada pegurus RT (Rukun Tetangga) setempat.


“Lurah Danga (menyalahgunakan kekuasaan) abuse of power, dia telah melakukan pelanggaran hukum. Kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat, sementara hak masyarakat untuk diperlakukan sama di hadapan hukum,” kata Yohanis Bala di lokasi berlangsungnya kegiatan klinik hukum yang diselenggarakan di rumah anggota PPMAN di Kelurahan Danga, Kabupaten Nagekeo, NTT.


Yohanis Bala mengatakan, seharusnya pihak kelurahan mendukung kegiatan klinik hukum itu karena sangat bermanfaat untuk masyarakat yang mencari keadilan. Ia menegaskan bahwa PPMAN berkomitmen untuk terus membantu masyarakat yang mengalami ketidakadilan hukum, khususnya Masyarakat Adat Rendu.

“PPMAN akan terus mendampingi Masyarakat Adat Rendu hingga mereka mendapatkan keadilan.Sebaliknya, kita akan melaporkan pihak-pihak yang selama ini menyalahgunakan kewenangannya untuk menindas Masyarakat Adat Rendu,” Yohanis Bala.

Komunitas Masyarakat Adat Tingkatkan Kapasitas Pembelaan Hukum Melalui Pendidikan Khusus Profesi Advokat

Jaminan konstitusional terhadap pengakuan dan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, pada kenyataannya masih terbentur oleh sistem penegakan hukum yang belum mampu menerjemahkan jaminan konstitusional ke dalam peraturan operasional teknis. Akibatnya, respon negara terhadap perjuangan masyarakat adat yang membela diri dan mempertahankan hak ulayat selalu diwarnai kriminalisasi, termasuk pembela masyarakat adatnya sebagai human right defenders.

 

Dalam acara diskusi publik (Rabu, 14/9/2022) sebagai rangkaian pelaksanaan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bekerjasama dengan Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (PERADI PERGERAKAN), Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyatakan bahwa dalam banyak kasus, perjuangan masyarakat adat terhambat oleh paradigma negara yang selalu menilai bahwa eksistensi masyarakat adat hanya diakui bilamana telah terbit peraturan tentang pengakuan masyarakat adat.

 

“Masyarakat adat itu sudah ada dan hidup secara turun temurun dalam wilayah adatnya jauh sebelum negara ini berdiri. Kalau negara tidak mengakui mereka beserta hak-hak kolektifnya (masyarakat adat) dengan alasan karena tidak adanya peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat, itu adalah paradigma negara yang keliru” kata Rukka.

 

Senada dengan itu, Sugeng Teguh Santoso, S.H., Ketua Dewan Pimpinan Pusat Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan), menyatakan bahwa macetnya Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat menunjukkan eksistensi masyarakat adat seperti antara ada dan tiada.

 

“Masyarakat adat itu seperti antara ada dan tiada. Sebab, jaminan pengakuan dan penghormatan konstitusional melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, tidak ditindaklanjuti dalam peraturan operasional dengan bentuk undang-undang. Hal ini terbukti dengan tidak disahkannya Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat yang sudah terparkir puluhan tahun”, kata Sugeng.

 

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD Tahun 1945”) sebagai landasan konstitusional, telah menjamin pengakuan dan pengormatan Masyarakat Adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang berbunyi: “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

 

Sugeng menilai bahwa macetnya pengesahan RUU Masyarakat Adat akibat banyaknya kepentingan korporasi yang terganggu bilamana RUU disahkan. Ini akan menjadi tantangan bagi pembela hak-hak masyarakat adat.

 

“Upaya mewujudkan pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah bagian dari tantangan yang harus dihadapi oleh para peserta PKPA PPMAN Angkatan I ini, yang diharapkan menjadi advokat pembela hak-hak masyarakat adat. Tidak ada hak terwujud begitu saja, tanpa perjuangan mewujudkannya”, pesan Sugeng.

 

Hadir pula dalam acara diskusi publik itu, D.Y. Witanto selaku Asisten Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Kombes Pol. Veris Septiansyah, S.H., S.I.K., M.Si., dan M.H.

 

Menurut Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Umum PPMAN, tujuan PKPA ini sebagai bentuk respon untuk memperkuat akses keadilan bagi masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum.

 

“PKPA merupakan salah satu syarat utama untuk menjadi advokat sebagaimana ditegaskan
dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 2 ayat (1), yang mengatur bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat dan melakukan magang selama 2 tahun terus menerus pada kantor advokat/organisasi bantuan hukum dan telah dinyatakan lulus ujian advokat.

 

“Maksud penyelenggaraan PKPA ini, dalam rangka memfasilitasi peningkatan kapasitas kader masyarakat adat untuk membela kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh anggota komunitas adat” kata Alam.

 

Artikel ini telah tayang di aspirasirakyatnusantara.com dengan Judul “Komunitas Masyarakat Adat Tingkatkan Kapasitas Pembelaan Hukum Melalui Pendidikan Khusus Profesi Advokat”.

Rukka Sombolinggi Sebut Ada Paradigma Negara yang Keliru soal Pengakuan Masyarakat Adat

 

BOGOR – Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyatakan bahwa dalam banyak kasus, perjuangan masyarakat adat terhambat oleh paradigma negara yang selalu menilai bahwa eksistensi masyarakat adat hanya diakui bilamana telah terbit peraturan tentang pengakuan masyarakat adat.

 

“Masyarakat adat itu sudah ada dan hidup secara turun temurun dalam wilayah adatnya jauh sebelum negara ini berdiri. Kalau negara tidak mengakui mereka beserta hak-hak kolektifnya (masyarakat adat) dengan alasan karena tidak adanya peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat, itu adalah paradigma negara yang keliru,” kata Rukka dalam acara diskusi publik di Joglo Keadilan, Kabupaten Bogor, Rabu (14/9/2022) sebagai rangkaian pelaksanaan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bekerjasama dengan PERADI Pergerakan.

 

Senada dengan itu, Sugeng Teguh Santoso, S.H., Ketua Dewan Pimpinan Pusat Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan), menyatakan bahwa macetnya Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat menunjukkan eksistensi masyarakat adat seperti antara ada dan tiada.

 

“Masyarakat adat itu seperti antara ada dan tiada. Sebab, jaminan pengakuan dan penghormatan konstitusional melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, tidak ditindaklanjuti dalam peraturan operasional dengan bentuk undang-undang. Hal ini terbukti dengan tidak disahkannya Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat yang sudah terparkir puluhan tahun,” kata Sugeng.

 

 

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional, telah menjamin pengakuan dan penghormatan Masyarakat Adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang berbunyi: “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

 

Sugeng menilai bahwa macetnya pengesahan RUU Masyarakat Adat akibat banyaknya kepentingan korporasi yang terganggu bilamana RUU disahkan. Ini akan menjadi tantangan bagi pembela hak-hak masyarakat adat.

 

“Upaya mewujudkan pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah bagian dari tantangan yang harus dihadapi oleh para peserta PKPA PPMAN Angkatan I ini, yang diharapkan menjadi advokat pembela hak-hak masyarakat adat. Tidak ada hak terwujud begitu saja, tanpa perjuangan mewujudkannya,” pesan Sugeng.

 

 

Hadir pula dalam acara diskusi publik itu, D.Y. Witanto selaku Asisten Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Kombes Pol. Veris Septiansyah, S.H., S.I.K., M.Si., perwakilan Mabes Polri.

 

Menurut Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Umum PPMAN, tujuan PKPA ini sebagai bentuk respon untuk memperkuat akses keadilan bagi masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum.

 

“Maksud penyelenggaraan PKPA ini, dalam rangka memfasilitasi peningkatan kapasitas kader masyarakat adat untuk membela kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh anggota komunitas adat,” kata Alam.

 

Artikel ini telah tayang di bogor-kita.com dengan Judul “Rukka Sombolinggi Sebut Ada Paradigma Negara yang Keliru soal Pengakuan Masyarakat Adat”.

PPMAN Kerjasama dengan PERADI Pergerakan Gelar PKPA di Bogor

 

BOGOR – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bekerjasama dengan Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan) menggelar Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan di Joglo Keadilan, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor. PKPA bertema besar Membentuk Kader Pembela Komunitas Masyarakat Adat yang Berperspektif HAM itu akan berlangsung mulai 14 September 2022 sampai dengan 27 September 2022.

 

Sejumlah narasumber atau pengajar dalam PKPA ini antara lain Sugeng Teguh Santoso (Ketua Umum Peradi Pergerakan), Rukka Sombolinggi (Sekjen AMAN), Usman Hamid (Direktur Amnesty International Indonesia) dan sebagainya.

 

Dalam informasi yang dihimpun Bogor-Kita.com, sebanyak 17 calon advokat dari sejumlah daerah di Indonesia akan mengikuti PKPA ini.

 

Menurut Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Umum PPMAN, tujuan PKPA ini sebagai bentuk respon untuk memperkuat akses keadilan bagi masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum.

 

Dikatakan Alam, PKPA merupakan salah satu syarat utama untuk menjadi advokat sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 2 ayat (1), yang mengatur bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat dan melakukan magang selama 2 tahun terus menerus pada kantor advokat/organisasi bantuan hukum dan telah dinyatakan lulus ujian advokat.

 

“Maksud penyelenggaraan PKPA ini, dalam rangka memfasilitasi peningkatan kapasitas kader masyarakat adat untuk membela kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh anggota komunitas adat,” kata Alam.

 

PKPA ini telah dibuka hari ini dengan diskusi publik dengan menghadirkan narasumber Rukka Sombolinggi (Sekjen AMAN), Sugeng Teguh Santoso, S.H. (Ketua Umum Peradi Pergerakan),  D.Y. Witanto (Asisten Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia) dan perwakilan Mabes Polri Kombes Pol. Veris Septiansyah, S.H., S.I.K., M.Si.M.H.

 

Artikel ini telah tayang di bogor-kita.com dengan Judul “PPMAN Kerjasama dengan PERADI Pergerakan Gelar PKPA di Bogor”.