Kader Komunitas Masyarakat Adat Tingkatkan Kapasitas Pembelaan Hukum Melalui Pendidikan Khusus Profesi Advokat

 

Jaminan konstitusional terhadap pengakuan dan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, pada kenyataannya masih terbentur oleh sistem penegakan hukum yang belum mampu menerjemahkan jaminan konstitusional ke dalam peraturan operasional teknis. Akibatnya, respon negara terhadap perjuangan masyarakat adat yang membela diri dan mempertahankan hak ulayat selalu diwarnai kriminalisasi, termasuk pembela masyarakat adatnya sebagai human right defenders.

 

Dalam acara diskusi publik, sebagai rangkaian pelaksanaan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bekerjasama dengan Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (PERADI PERGERAKAN), Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyatakan bahwa dalam banyak kasus, perjuangan masyarakat adat terhambat oleh paradigma negara yang selalu menilai bahwa eksistensi masyarakat adat hanya diakui bilamana telah terbit peraturan tentang pengakuan masyarakat adat.

 

“Masyarakat adat itu sudah ada dan hidup secara turun temurun dalam wilayah adatnya jauh sebelum negara ini berdiri. Kalau negara tidak mengakui mereka beserta hak-hak kolektifnya (masyarakat adat) dengan alasan karena tidak adanya peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat, itu adalah paradigma negara yang keliru,” kata Rukka, Rabu (14/9/2022).

 

Senada dengan itu, Sugeng Teguh Santoso, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan), menyatakan bahwa macetnya Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat menunjukkan eksistensi masyarakat adat seperti antara ada dan tiada.

 

“Masyarakat adat itu seperti antara ada dan tiada. Sebab, jaminan pengakuan dan penghormatan konstitusional melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, tidak ditindaklanjuti dalam peraturan operasional dengan bentuk undang-undang. Hal ini terbukti dengan tidak disahkannya Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat yang sudah terparkir puluhan tahun,” kata Sugeng.

 

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD Tahun 1945”) sebagai landasan konstitusional, telah menjamin pengakuan dan pengormatan Masyarakat Adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

 

Sugeng menilai bahwa macetnya pengesahan RUU Masyarakat Adat akibat banyaknya kepentingan korporasi yang terganggu bilamana RUU disahkan. Ini akan menjadi tantangan bagi pembela hak-hak masyarakat adat.

 

“Upaya mewujudkan pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah bagian dari tantangan yang harus dihadapi oleh para peserta PKPA PPMAN Angkatan I ini, yang diharapkan menjadi advokat pembela hak-hak masyarakat adat. Tidak ada hak terwujud begitu saja, tanpa perjuangan mewujudkannya,” pesan Sugeng.

 

Hadir pula dalam acara diskusi publik itu, D.Y. Witanto selaku Asisten Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Kombes Pol. Veris Septiansyah

 

Menurut Syamsul Alam Agus, Ketua Umum PPMAN, tujuan PKPA ini sebagai bentuk respon untuk memperkuat akses keadilan bagi masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum.

 

“PKPA merupakan salah satu syarat utama untuk menjadi advokat sebagaimana ditegaskan
dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 2 ayat (1), yang mengatur bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat dan melakukan magang selama 2 tahun terus menerus pada kantor advokat/organisasi bantuan hukum dan telah dinyatakan lulus ujian advokat.

 

“Maksud penyelenggaraan PKPA ini, dalam rangka memfasilitasi peningkatan kapasitas kader masyarakat adat untuk membela kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh anggota komunitas adat” kata Alam.

 

Artikel ini telah tayang di dnewsstar.com dengan Judul “Kader Komunitas Masyarakat Adat Tingkatkan Kapasitas Pembelaan Hukum Melalui Pendidikan Khusus Profesi Advokat”.

 

Masyarakat Adat 2 Suku di Sikka Gelar Aksi Tolak Penanaman Pilar di Atas Tanah Eks HGU Nangahale

 

Ratusan masyarakat adat dua Suku di Kabupaten Sikka menggelar menggelar aksi penolakan terhadap peletakan titik koordinat dan penanaman pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale -Patiahu, Senin 14 November 2022 pagi.

 

Ratusan masyarakat adat dua suku tersebut antara lain suku Tana Puan Soge Natarmage dan Tana Puan Goban Runut.

 

Sebelum aksi, para tokoh adat menggelar ritual adat yang berlangsung di Balai Pertemuan Masyarakat Adat di Utanwair Desa Nangahale Kecamatan Talibura.

 

Usai menggelar ritual adat, Ratusan masyarakat ini pun Long Marc di sepanjang jalan Trans Flores Maumere -Larantuka menuju titik koordinat penanaman pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale – Patiahu.

 

Masyarakat membawa sejumlah baliho yang bertuliskan penolakan terhadap peletakan titik koordinat penanaman penanaman pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale – Patiahu.

 

Hingga saat ini, Ratusan masyarakat adat masih menggelar aksi penolakan terhadap peletakan titik koordinat dan penanaman pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale – Patiahu.

 

Sebelumnya, Pada tanggal 04 – 08 November 2022 lalu, Kantor pertanahan Kabupaten Sikka memasang pilar diatas tanah EKS Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale – Patiahu. Pemasangan pilar ini pun dikawal ketat TNI dan Polri serta Sat Pol PP kabupaten Sikka.

 

Video aksi Masyarakat adat Tana Pu’an Soge Natarmage dan Tana Puan Goban Runut pada Kamis (14/11/2022)

 

Artikel ini telah tayang di Tribunflores.com dengan judul Masyarakat Adat 2 Suku di Sikka Gelar Aksi Tolak Penanaman Pilar di Atas Tanah Eks HGU Nangahale, https://flores.tribunnews.com/2022/11/14/masyarakat-adat-2-suku-di-sikka-gelar-aksi-tolak-penanaman-pilar-di-atas-tanah-eks-hgu-nangahale.

PPMAN Gandeng Organisasi Profesi Pengacara untuk Membela Masyarakat Adat

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menggandeng organisasi profesi Kongres Advokat Indonesia (KAI) untuk memberikan bantuan hukum kepada Masyarakat Adat yang tidak terjangkau akses keadilan. Langkah strategis tersebut dikukuhkan kedua pihak dalam bentuk penandatanganan memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman yang dilakukan pada perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) PPMAN ke-9 di Joglo Keadilan, Kota Bogor pada Selasa, 27 September 2022.

 

Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus mengatakan bahwa MoU antara PPMAN dan KAI itu berisi tentang komitmen peningkatan kapasitas advokat PPMAN dalam pembelaan terhadap Masyarakat Adat. Menurutnya, MoU itu penting karena PPMAN bukan organisasi profesi advokat, tapi organisasi yang mendeklarasikan diri untuk menyatakan dukungan kepada Masyarakat Adat.

 

“Faktor ini yang mendorong kami menggandeng KAI untuk membela Masyarakat Adat,” kata Syamsul Alam usai penandatanganan MoU.

 

Menurutnya, kerja sama melalui organisasi profesi advokat itu dapat memberikan dampak positif karena membuka ruang terhadap akses keadilan bagi Masyarakat Adat yang rentan dan tidak terjangkau oleh infrastruktur maupun layanan dukungan bantuan hukum.

 

“Jadi, kerja sama ini akan memperpendek akses Masyarakat Adat untuk mendapatkan keadilan secara cepat,” tandasnya.

 

Syamsul mengaku bahwa jumlah pengacara yang ada di PPMAN saat ini, masih minim jika dibandingkan dengan begitu banyaknya kasus hukum yang menjerat Masyarakat Adat di berbagai pelosok Nusantara. Selain itu, akses antara Masyarakat Adat dan posisi anggota PPMAN juga relatif jauh dan berhadapan dengan tantangan keterbatasan infrastruktur, khususnya di berbagai perdesaan, pegunungan, pesisir, dan pulau kecil. Ia menyatakan kalau umumnya para pengacara tinggal di kota, sedangkan keberadaan Masyarakat Adat tersebar di kampung maupun desa.

 

PPMAN menyusun beberapa strategi untuk meningkatkan kapasitas melalui pelatihan paralegal untuk kader Masyarakat Adat dan pelatihan pendidikan khusus profesi advokat agar para kader Masyarakat Adat yang memenuhi persyaratan, bisa juga menjadi advokat. Syamsul menyebut bahwa jumlah advokat dan ahli hukum yang dimiliki PPMAN saat ini, baru mencapai 126 orang. Selain itu, PPMAN juga telah melatih kader dari sejumlah komunitas Masyarakat Adat untuk menjadi paralegal. Saat ini, kader muda untuk itu telah mencapai 200 orang dan tersebar di seluruh Indonesia. Baru-baru ini, PPMAN pun telah menyelesaikan pendidikan advokat sebanyak 13 orang.

 

“Jumlah ini sangat jauh dari ideal,” ungkap Syamsul. “Saya kira (jumlah itu) masih jauh dari harapan: satu komunitas Masyarakat Adat memiliki satu advokat.” Syamsul menambahkan bahwa PPMAN akan selalu terbuka untuk melakukan perekrutan ke depannya.

 

Sebagai Ketua PPMAN, Syamsul mengatakan bahwa ia berharap ke depannya, PPMAN bukan hanya harus tetap ada, tetapi semakin kuat dan memperluas jaringan agar bisa membantu atau mendukung Masyarakat Adat untuk mendapatkan keadilan. Menurutnya, keadilan belum diraih oleh Masyarakat Adat karena kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat masih terus terjadi. Bahkan, kriminalisasi itu dapat berujung pada vonis yang tidak berkeadilan terhadap Masyarakat Adat, seperti kasus yang menimpa warga Masyarakat Adat Tobelo Dalam di Halmahera, Maluku Utara, yang divonis mati karena mempertahankan wilayah adatnya.

 

“Ini satu dari sekian banyak kasus yang dihadapi Masyarakat Adat,” ujarnya dengan penuh keprihatinan.

 

Sementara itu, Sekretaris Umum KAI Ibrahim Massidenreng menyatakan kegembiraannya untuk bekerja sama dengan PPMAN. Ia berharap kerja sama tersebut bisa memberikan manfaat bagi orang-orang yang membutuhkan keadilan, terutama Masyarakat Adat. Khusus bagi anggota KAI, katanya, hal itu bisa memberikan peluang pada peningkatan kapasitas, pengetahuan, dan keterampilan terkait pembelaan terhadap Masyarakat Adat.

 

 

“Tidak tertutup kemungkinan, teman-teman di KAI suatu waktu mendampingi kasus Masyarakat Adat atau setidaknya ikut melapisi tim-tim dalam pembelaan,” ujarnya.

Ibrahim menjelaskan bahwa KAI punya banyak pengalaman yang bisa dibagi terkait keadvokatan. Ia berharap PPMAN dan KAI bisa berkolaborasi dalam pendampingan Masyarakat Adat, termasuk kerja sama terhadap eksaminasi putusan yang melibatkan Masyarakat Adat.

 

“Harapan dengan MoU ini, (adalah) anggota KAI ikut terlibat dalam tim eksaminasi,” ujarnya.

 

Ibrahim mengatakan, sejatinya MoU dapat menjadi payung yang nantinya harus dilengkapi dengan perjanjian tertentu, di mana pintu masuknya adalah legal standing advokat dulu. Ia menyatakan bahwa isu Masyarakat Adat harus lebih diperluas. Koalisi kedua organisasi juga berharap akan dapat memperluas gerakan. Menurutnya, semakin sering dan banyak advokat yang terlibat dalam pembelaan terhadap Masyarakat Adat, akan memberikan dukungan yang pula kian luas, sehingga upaya pembelaan terhadap Masyarakat Adat bisa mudah dilakukan, bahkan hingga ke pelosok desa sekali pun.

 

Oleh Apriadi Gunawan

Permohonan Uji Materiil Terhadap Perpres 98/2021

 

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional atau Perpres 98/2021 yang mengatur tentang pasar karbon.

 

Ketentuan tersebut dipandang sebagai upaya mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia untuk pengendalian perubahan iklim. Namun, Perpres itu justru menunjukkan ketidakadilan negara melalui pengamputasian peran dan kedudukan Masyarakat Adat dalam pengelolaan karbon, di mana Masyarakat Adat tidak diakui sebagai subjek penyelenggara yang memilki hak atas karbon.

 

Padahal, Prinsip 22 dalam Rio Declaration on Environment and Development (Deklarasi Rio) menegaskan bahwa Masyarakat Adat mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan karena pengetahuan dan praktik tradisionalnya. Wilayah adat memiliki kontribusi langsung dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Hal tersebut dapat dilihat dari praktik tradisional yang dilakukan oleh Masyarakat Adat di Kasepuhan Cibarani dan Karang di Kabupaten Lebak, Banten, misalnya. Keduanya memiliki luas wilayah adat berupa hutan adat masing-masing sekitar 490 hektar dan 462 hektar.

 

Di sana, hutan adat memiliki fungsi spiritualitas, sosial-budaya, jasa lingkungan, konservasi, dan ekonomi yang telah dirawat oleh Masyarakat Adatsecara turun-temurun dari generasi ke generasi. Dan pengakuan atas hal itu telah dinyatakanMahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 35/PUU-X/2012.

 

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi pernah menegaskan bahwa sebagian besar biodiversitas yang berada dalam kondisi baik di muka bumi ini, terdapat di dalam wilayah adat.

 

“Di tengah penghancuran(terhadap Masyarakat Adat dan wilayah adatnya), kita masih menyelamatkan 80 persenkeanekaragaman hayati di dunia,” ujar Rukka yang percaya bahwa krisis iklim salah satunya disebabkan karena tindakan yang berasal dari cara pandang yang menghancurkan alam dan bersikap tidak adil pada sesama. Menurutnya, solusi untuk keluar dari krisis, tak akan terjadi jika kita tidak mengubah cara kita menempatkan dan memandang Masyarakat Adat yang telah menjaga
keanekaragaman hayati yang tersisa.

 

Sementara itu, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) – organisasi sayap AMAN berbentuk perkumpulan yang keanggotaannya terdiri dari advokat dan/atau ahli hukum yang peduli dan berkomitmen pada kerja pembelaan dan pemajuan Masyarakat Adat – menilai Perpres 98/2022 bertentangan dengan asas keadilan, keterbukaan, dan partisipasi karena tidak memiliki keberpihakan dan tidak melibatkan Masyarakat Adat dalam prosesnya.

 

Selain itu, Perpres tersebut juga bertentangan dengan konstitusi dan sejumlah Undang-Undang (UU) terkait dengan tata kelola karbon, terutama dalam hal “hak menguasai negara” dan “dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” PPMAN mengingatkan bahwa pemerintah seharusnya menghormati, mendorong, dan mempertimbangkan tanggung jawabnya terhadap Masyarakat Adat dalam aksi menangani perubahan iklim seperti yang diutarakan melalui UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim.

 

Akan tetapi, muatan materi Perpres 98/2021 tidak mengatur secara jelas dan tegas pelibatan Masyarakat Adat dalam penyelenggaraan nilai ekonomi karbon. Maka, pada hari ini, 28 September 2022, PPMAN mengajukan pendaftaran permohonan uji materiil terhadap Perpres 98/2021.

 

Fatiatulo Lazira, S.H. – 0812-1387-776

PPMAN : Dialog Menyeluruh Solusi untuk Permasalahan Pro-Kontra Proyek Strategis Nasional di Rendu

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendesak pemerintah pusat agar segera memulai tahapan dialog yang bermartabat  guna merumuskan masalah dan solusi atau penyelesaian permasalahan pada rencana pembangunan waduk mbay di kawasan masyarakat adat rendu secara menyeluruh dan bermartabat.

 

Desakan tersebut disampaikan Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus, S.H., dalam keterangan pers di Nagekeo, pada Senin (25/4). terkait terjadinya polarisasi di masyarakat sehubungan dengan rencana pembangunan proyek strategis nasional (PSN) di kawasan masyarakat adat rendu. Bahkan dalam perkembangannya sebanyak 24 orang masyarakat adat ditangkap dan diperlakukan tidak manusiawi pada tanggal 4 April 2022 oleh anggota kepolisian resort Nagekeo.

 

Sejalan dengan itu PPMAN mengajak berbagai pihak agar menghentikan tindakan dalam bentuk apapun yang dapat berpotensi meningkatkan siklus kekerasan. “Kami mengajak para tokoh untuk bekerjasama membangun komunikasi yang dimulai dari bawah guna meredakan ketegangan, kekhawatiran dan sikap permusuhan agar relasi sosial diantara masyarakat sipil dapat dibangun kembali,” ajak Syamsul Alam.

 

Tak hanya itu, PPMAN juga meminta agar penegakan hukum yang dilakukan berlaku adil dan transparan terhadap semua pihak. Aparat penegakan hukum mengedepankan prinsip-prinsip HAM secara benar dan imparsial.

 

PPMAN berharap untuk penyelesaian polemik pro-kontra pembangunan waduk lambo, baik pemerintah maupun pihak kepolisian yang mengambil inisiatif dialog dapat menunjukan sikap netral, menghindari praktik diskriminasi dan stigmatisasi terhadap salah satu pihak.

 

Sebagaimana diketahui, pada tanggal 25 April 2022, Polres Nagekeo melaksanakan sebuah kegiatan dialog interaktif di Aula Polres Nagekeo. Dialog interaktif tersebut dipimpin oleh Kapolres Nagekeo, AKBP Yudha Pranata, S.I.K yang dimaksudkan untuk merespon surat permohonan PPMAN untuk berdialog dua arah terkait dengan proses hukum terhadap 24 orang masyarakat adat rendu yang ditangkap oleh aparat kepolisian pada tanggal 4 April 2022.

 

Selain itu, pengajuan dialog kepada kapolres Nagekeo, dimaksudkan oleh PPMAN untuk menyampaikan bahwa Masyarakat Adat rendu, Perempuan Adat Rendu dan 24 orang masayarakat adat yang ditangkap yang semuanya merupakan anggota Forum Perjuangan Penolakan Waduk Lambo(FPPWL), telah memberikan kuasa kepada sejumlah advokat PPMAN untuk mendampingi kepentingan hukum mereka.

 

Maksud dan tujuan dialog yang diajukan oleh PPMAN tersebut kemudian berubah menjadi penekanan yang dilakukan oleh sejumlah pihak yang hadir atas undangan Kapolres. Para pihak tersebut dinilai tidak memiliki kepentingan atas tujuan dialog yang diajukan oleh PPMAN. Situasi forum di aula Polres Nagekeo kemudian menjadi tidak kondusif, sejumlah pihak melontarkan kata-kata yang tidak sepantasnya dan merendahkan wibawa profesionalisme penegakan hukum.

 

Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Syamsul Alam Agus, S.H., menduga Kapolres Yudha telah mendapatkan informasi dan perkiraan intelijen yang keliru. sehingga, menyarankan agar Kapolres mengundang pihak-pihak yang mengidentifikasikan dirinya sebagai kelompok masyarakat yang pro pada pembangunan waduk lambo untuk hadir dalam dialog tersebut. tanpa melalui satu proses concern kepada pihak PPMAN format dialog dirubah secara sepihak dengan melibatkan orang-orang yang tidak berkepentingan pada maksud dan tujuan surat permohonan yang diajukan.

 

Lanjut Alam, informed consent menjadi kewajiban para pihak dalam dialog yang direncanakan karena merupakan prinsip atas persetujuan bebas yang diberikan oleh salah satu pihak terhadap suatu tindakan, setelah ia memperoleh semua informasi yang penting mengenai sifat serta konsekuensi tindakan tersebut.

 

Informed consent dibuat berdasarkan prinsip etika Outonomi (otonomi), Beneficence (Berbuat Baik), Justice (Keadilan), Non-maleficence (tidak merugikan), Veracity (Kejujuran), Fidelity (Menepati janji), Confidentiality (Kerahasiaan), dan Accountability (Akuntabilitas) yang berakar pada martabat manusia di mana otonomi dan integritas pribadi para pihak dilindungi dan dihormati.

 

Ketua Badan Pelaksana PPMAN kembali menegaskan bahwa Polri tidak saja dituntut profesional, tetapi juga akuntabel kepada pemangku kepentingan, antara lain dengan menggunakan kewenangannya secara bijak dan santun pada masyarakat yang dilayaninya serta mengedepankan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

 

“Itulah pentingnya berpedoman pada prinsip penegakan hak asasi manusia,” tegas Alam. Menurut Alam, aturan pelaksana di dalam mendorong penerapan nilai-nilai hak asasi manusia untuk memperkuat profesionalisme dan akuntabilitas aparat kepolisian telah diatur melalui Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip-Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, dimana diwajibkan bagi setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas atau dalam kehidupan sehari-hari untuk menerapkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia.

 

“Sekurang-kurangnya ada lima pedoman terkait prinsip penegakan hak asasi manusia;

 

(1) Menghormati martabat dan hak asasi manusia setiap orang; (2) Bertindak secara adil dan tidak diskriminatif; (3) Berperilaku sopan; (4) Menghormati norma agama, etika, dan susila; (5) Menghargai budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia,” jelas Alam.

 

Sementara, Koordinator PPMAN Region Bali – Nusra, Anton Johanis Bala, S.H. yang juga hadir di Mapolres Nagekeo mengatakan kita harus mengedepankan dialog damai sebagai strategi utama penyelesaian siklus kekerasan sekaligus pembuka jalan untuk isu-isu lain, seperti ketidakadilan, diskriminasi, hak ulayat dan sebagainya.

 

“Terkait dengan polemik pembangunan Proyek Strategis Nasional Waduk Lambo, PPMAN mengingatkan kepada pemerintah untuk mengedepankan prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) dalam proses pengambilan keputusan. Persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan bertujuan untuk membangun partisipasi dan konsultasi bottom-up dari penduduk asli sebelum dimulainya pembangunan di tanah leluhur atau menggunakan sumber daya di wilayah penduduk asli,” katanya.

 

“Sekali lagi bagi PPMAN hanya dengan menggunakan media dialog maka permasalahan di proyek strategis nasional dapat diurai dengan jernih dan diselesaikan secara adil dan bermartabat,’’ tutup Anton Johanis.

PPMAN: Hentikan Intimidasi Kekerasan pada Masyarakat Adat Rendu

 

Kritik keras datang dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) terhadap sikap pihak kepolisian pada Masyarakat Adat Rendu, dalam kasus permasalahan pembangunan Waduk Mbay atau Lambo di Nagakeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). PPMAN menganggap, tindakan kekerasan, kesewenangan, ancaman dan intimidasi yang telah dilakukan oleh anggota Kepolisian Polres Nagekeo terhadap Masyarakat Adat Rendu merupakan tindakan pelanggaran hukum.

PPMAN menyebut, tindakan kepolisian tersebut melanggar Pasal 18 B ayat 2. Yang mana pasal tersebut menyebutkan, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Selain itu, Pasal 28 I ayat 3 juga diatur, indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Berdasarkan pada konstitusi itu, masyarakat adat sepatutnya dilindungi, dihormati dan diakui oleh Pemerintah, baik itu pemerintah pusat, provinsi maupun pemerintah daerah.

Dalam kasus pembangunan Waduk Lambo, Masyarakat Adat Rendu yang tergabung dalam Forum Perjuangan Penolakan Waduk Lambo (FPPWL) melakukan penolakan dan meminta agar waduk itu pembangunannya dipindahkan ke lokasi lain, yang masih berada di wilayah Masyarakat Adat Rendu.

Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus menguraikan, pada 4 April 2022 lalu, masyarakat adat telah mengetahui akan dilaksanakan ritual adat di pintu masuk Lokasi Proyek Waduk Lambo oleh Suku Gaja yang tidak punya hubungan langsung dengan Tanah di Lowo Se. Oleh karena itu Masyarakat Adat Rendu Woe Diri Ke’o Sao Aja Ulu yang memiliki hubungan langsung dengan tanah di Lowo Se datang ke rumah adat untuk memantau dan melihat Suku Gaja yang hendak pergi menjalankan ritual adat di pintu masuk lokasi.

“Begitu melihat Suku Gaja hendak ke Lokasi Pintu Masuk Lokasi, Masyarakat Adat Rendu Woe Diri Keo, Sao Aja Ulu yang sudah menunggu di rumah adat menegur Suku Gaja (dengan ucapan adat),” kata Syamsul Alam Agus, dalam siaran pers yang diterima, Sabtu (14/5/2022).

Dalam prosesi tersebut situasi menjadi memanas dan akhirnya aparat Polres Nagekeo yang datang bersama Kelompok Masyarkaat Adat Suku Gaja menangkap 24 orang Masyarakat Adat Rendu “Woe Diri Ke’o Sa’o Aja Ulu” dan membawa mereka ke Kantor Polres Nagekeo.

Di Kantor Polres Nagekeo, masyarakat adat diduga mengalami tindakan kekerasan psikis berupa ancaman, tekanan, hinaan, dan cacian. Bahkan pada saat di Kantor Polres, anggota polisi membiarkan oknum seorang wartawan melakukan penghinaan dan kekerasan terhadap seorang tokoh Masyarakat adat.

Polres Nagekeo yang dipimpin oleh Yudha Pranata juga diduga melakukan tindakan kriminalisasi terhadap tiga orang masyarakat adat dan mengancam masyarakat adat akan melakukan proses hukum jika Masyarakat adat tidak menyetujui pembangunan Waduk Lambo tersebut. Masyarakat adat yang berada di bawah tekanan, ancaman dan intimidasi terpaksa menyetujui dan menandatangani surat persetujuan rencana pembangunan waduk Lambo.

“Polres Nagekeo mengumpul semua wartawan untuk melakukan konferensi pers dengan masyarakat adat untuk menyampaikan ke publik bahwa masyarakat adat menyetujui pembangunan Waduk Lambo tersebut,” lanjut Syamsul.

Beberapa hari kemudian, 9 April 2022, Polres Nagekeo mendatangi masyarakat adat, dengan alasan karena Polres Nagekeo melihat ada aktivitas masyarakat adat yang melakukan penolakan pembangunan Waduk Lambo. Di situ pihak kepolisian mengancam dan mengintimidasi masyarakat adat jika masih ada penolakan, maka kasus hukumnya akan diproses.

Masyarakat adat menyampaikan protes atas sikap kepolisian, dan keesokan harinya pihak kepolisian mengirimkan surat pemanggilan kepada beberapa masyarakat adat untuk dimintai keterangannya pada 11 April 2022

Menyoroti masalah ini, PPMAN yang telah mendapatkan kuasa dari Masyarakat Adat Rendu menyampaikan, tindakan Polres Nagekeo melakukan tindakan intimidasi, ancaman dan kekerasan terhadap Masyarakat adat merupakan tindakan pelanggaran hukum.

“Untuk ini PPMAN akan mengambil langkah hukum atas sikap dan tindakan dari Polres Nagekeo. PPMAN mendatangi Propam Mabes Polri melaporkan tindakan Polres Nagekeo yang telah melakukan tindakan intimidasi, mengancam, menekan dan yang telah melakukan kekerasan terhadap masyarakat adat di Rendu.”

Syamsul mengatakan, tindakan intimidasi, tekanan dan ancaman telah melanggar Pasal 11 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Polres Nagekeo harus segera menghentikan segala tindakan intimidasi dan pengancaman kepada Masyarakat Adat Rendu.

Koordinator Region PPMAN untuk Bali Nusra, Antonius Yohanis Bala menambahkan, sikap Polres Nagekeo tidak mencerminkan sikap aparat penegak hukum yang memberikan perlindungan kepada masyarakat. Ia menyebut PPMAN akan terus mengawal laporan atas perilaku aparat kepolisian ini di tingkat Nasional.

Pihaknya juga akan melaporkan sikap Polres Nagekeo ini ke berbagai lembaga dan juga Komisi 3 DPR-RI untuk mendapatkan perhatian dari berbagai pihak atas sikap kesewenangan yang dilakukan oleh Polres Nagekeo terhadap masyarakat adat.

“PPMAN meminta dan mendesak agar Kapolri, segera memerintahkan Kapolda NTT memberikan teguran dan peringatan kepada Kapolres Nagekeo yang telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk menakuti masyarakat adat karena seharusnya kepolisian hadir untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat,” kata Yohanis.

Selain itu PPMAN juga akan meminta dukungan dari berbagai lembaga untuk melakukan pengawasan khususnya pengawasan anggaran terhadap rencana pembangunan Waduk Lambo tersebut. Hal ini sangat penting untuk mengetahui transparan anggaran dalam pembangunan waduk tersebut.

Sumber : https://betahita.id/news/detail/7531/ppman-hentikan-intimidasi-kekerasan-pada-masyarakat-adat-rendu.html?v=1652711511

PPMAN Sebut Penangkapan 24 Warga MA Rendu Adalah Bentuk Kriminalisasi Paling Nyata Dari Penguasa

 

Perhimpunan Pengacara Masyarakat  Adat Nusantara (PPMAN) Region Bali Nusa Tenggara mengatakan, penangkapan terhadap 24 warga Masyarakat Adat Rendu yang sedang berjuang mempertahankan hak – hak konstitusi mereka merupakan bentuk kriminalisasi paling nyata yang dilakukan oleh penguasa terhadap Masyarakat Adat  dalam beberapa dekade terakhir ini.

Hal ini dikatakan Antonius Johanis Bala, SH., Koordinator PPMAN Region Bali – Nusra hari ini, Rabu (06/04/2022) dalam menyikapi tindakan aparat Kepolisian Resor (Polres) Nagekeo yang telah melakukan penangkapan secara paksa terhadap 24 orang Masyarakat Adat Rendu untuk dibawa ke kantor Kepolisian Resor Nagekeo.

Antonius Johanis Bala, SH mengatakan pihak PPMAN sangat kecewa dengan tindakan aparat Kepolisian Resor (Polres) Nagekeo yang melakukan tindakan kekerasan dan kriminalisasi  serta intimidasi terhadap Masyarakat Adat Rendu yang ditangkap dan dibawa ke kantor polisi karena tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum dan konstitusi akan keberadaan Masyarakat Adat yang sesungguhnya telah dilindungi oleh konstitusi seperti yang dimandatkan dalam Undang – Undang Dasar 1945.

Polisi juga lanjut Antonius Johanis Bala, sesungguhnya telah melanggar Undang – Undang Nomor 39 Tahun 2006 tentang Hak Azasi Manusia.

“Pembangunan waduk Lambo menimbulkan pro dan kontra terhadap Masyarakat Adat yang ada di Rendu. Dan situasi ini dimanfaatkan oleh Kepolisian Resor Nagekeo untuk membenturkan pendapat masyarakat yang pro dan kontra terhadap pembangunan waduk Lambo tersebut dengan membuat skenario untuk menciptakan konflik horisontal antara Masyarakat Adat dari suku yang berbeda dengan Masyarakat Adat suku Rendu,” kata Antonius Johanis Bala.

Antonius Johanis Bala mengungkapkan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) yang telah mendapatkan kuasa dari Masyarakat Adat Rendu menyampaikan sikap tegas dengan mengambil langkah hukum atas sikap dan tindakan Kepolisian Polres Nagekeo atas peristiwa penangkapan terhadap Masyarakat Adat Rendu tersebut.

Pihak PPMAN menjelaskan, tindakan Ketua Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL), Bernadinus Gaso yang menyetujui pembangunan waduk Lambo merupakan tindakan yang dilakukan dalam posisi dan kondisi tertekan dan tidak bebas, karena adanya tekanan, paksaan dan ancaman yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian Polres Nagekeo.

Dilanjutkan Antonius Johanis Bala atau yang biasa disapa John Bala ini mengungkapkan, pernyataan sikap yang disampaikan oleh Ketua Forum, Bernadinus tersebut tidak mewakili seluruh kepentingan Masyarakat Adat Rendu karena dapat dipastikan tidak ada proses konsolidasi dan koordinasi secara baik dengan Masyarakat Adat lainnya disaat Ketua Forum mengambil keputusan untuk menyetujui pembangunan waduk Lambo tersebut. Hal ini dapat dilihat dari semua alat komunikasi yang mereka miliki diambil dan disita serta ditahan oleh aparat kepolisian di kantor Polres Nagekeo, sehingga dapat dipastikan ada keterbatasan akses bagi Ketua Forum untuk meminta pendapat, sikap dan keputusan dari Masyarakat Adat lainnya.

Ketua Yayasan Bapikir ini menambahkan, tindakan Kepolisian Resor Nagekeo yang menjemur Masyarakat Adat pada terik matahari merupakan tindakan yang tidak manusiawi dan tidak mencerminkan sebagai aparat penegak hukum yang baik, karena aparat kepolisian yang baik tidak akan memperlakukan masyarakat dengan beradab dan santun serta melindungi kepentingan masyarakat, namun pada kasus waduk Lambo sangat terlihat bahwa Kepolisian Resor Nagekeo tunduk dan patuh untuk menjalankan perintah – perintah dari pengusaha, pemilik modal atau perusahaan yang akan membangunkan proyek di waduk Lambo.

Sementara itu Ermelina Singereta SH., Manager Bidang Advokasi PPMAN saat dihubungi secara terpisah melalui telephone selulernya mengatakan, Masyarakat Adat Rendu melakukan konferensi pers di Kantor Kepolisian Resor Nagekeo menunjukan Masyarakat Adat tidak memiliki sikap dan keputusan yang bebas untuk menolak, dan dapat diduga konferensi pers tersebut dilakukan atas perintah pihak kepolisian untuk menyampaikan persetujuan terhadap pembangunan waduk Lambo yang selama ini ditolak oleh mereka.

Ermelina menjelaskan pihak PPMAN telah membuatkan laporan atas sikap Polres Nagekeo ke Propam Mabes Polri beberapa waktu lalu dan Propam Mabes Polri telah mendelegasikan laporan PPMAN ke Polda NTT, namun hingga saat ini PPMAN belum mendapatkan respon atas surat perkembangan laporan yang telah kirimkan ke Propam Polda NTT.

“Nah, ini menunjukan sikap ketidakpedulian dan ketidakprofesioalnya aparat Kepolisian di Polda NTT. Sesungguhnya sikap seperti ini sangat merugikan masyarakat NTT. Disamping melaporkan ke Propam Mabes Polri, PPMAN juga telah membuatkan laporan ke Kompolnas RI, Komisi Nasional Hak Azasi Manusia dan Komnas Perempuan,” tandas Ermelina.

Advokat Perempuan kelahiran Manggarai ini menegaskan, pihak PPMAN akan mengirimkan surat ke Mabes Polri dan kembali membuatkan laporan ke Propam Mabes Polri, lembaga negara lainnya dan juga ke Komisi III DPR RI (Komisi Hukum) yang merupakan  mitra kerja dari Mabes Polri.

“Hal ini sangat penting dilakukan agar Komisi III DPR RI dapat melakukan evaluasi terhadap kinerja dari aparat Kepolisian Republik Indonesia dan segera melakukan pemeriksaan serta  evaluasi terhadap kinerja dari Kapolres Nagekeo yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya dalam memberikan perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat Rendu, namun sebaliknya  menjalankan fungsi dan tugasnya untuk melindungi para pengusaha,” tegas Ermelina Singereta.

Pihaknya berjanji akan terus mengkawal dan mendampingi Masyarakat Adat Rendu dan mengambil beberapa tindakan hukum lainnya, agar  tercapainya keadilan bagi Masyarakat Adat Rendu yang memiliki hak penuh atas tanah leluhurnya. ***(welano)

Sumber : https://www.jongflores.com/2022/04/ppman-sebut-penangkapan-24-warga-ma.html

PPMAN Beberkan Dugaan Pelanggaran HAM dan Konstitusi Oleh Aparat Polres Nagekeo

Koordinator Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Jhon Bala, mengecam tindakan Aparat Polres Nagekeo atas peristiwa penangkapan terhadap masyarakat adat Rendu pada 4 April 2022 lalu.

Menurut Jhon, aparat Polres Nagekeo melakukan penangkapan secara paksa terhadap 24 orang masyarakat adat Rendu, dimana tindakan tersebut merupakan salah satu bentuk tindakan yang telah melanggar Undang-undang Nomor 39 Tahun 2006 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
“Tindakan dan perilaku kekerasan dan intimidasi yang telah dilakukan oleh Kepolisian Polres Nagekeo terhadap masyarakat adat Rendu, merupakan tindakan pelanggaran hukum dan konstitusi yang dimana keberadaan Masyarakat Adat telah dilindungi oleh konstitusi sebagaimana mandat dari Undang-undang Dasar 1945,” tegas Jhon dalam keterangan yang diterima media, Rabu (6/4) pagi.

Jhon mengatakan, pembangunan waduk Lambo menimbulkan pro dan kontra terhadap masyarakat adat yang ada di Rendu. Masyarakat adat yang melakukan penolakan dan tergabung dalam “Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo” kemudian dimanfaatkan oleh Kepolisian Polres Nagekeo dengan membenturkan pendapat masyarakat yang pro dan kontra terhadap pembangunan waduk tersebut.
“Kepolisian sengaja melakukan dan menciptakan skenario ini untuk menciptakan atau membuatkan konflik horisontal antara masyarakat adat dari suku yang berbeda dengan masyarakat adat Rendu,” ujarnya.

Dasar itu, dirinya yang telah mendapatkan kuasa dari Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo menyampaikan sikap tegas dan langkah hukum atas sikap dan tindakan Kepolisian Polres Nagekeo atas peristiwa penangkapan terhadap masyarakat adat Rendu tersebut.

Selain itu, lanjutnya, tindakan dari Ketua Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo dengan menyetujui pembangunan waduk Lambo merupakan tindakan yang dilakukan dalam posisi dan kondisi tidak bebas karena adanya tekanan, paksaan dan ancaman yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian Polres Nagekeo.

“Sikap dari Ketua Forum tersebut tidak mewakili seluruh kepentingan masyarakat adat Rendu. Hal ini dapat saya sampaikan karena dapat dipastikan tidak ada proses konsolidasi dan koordinasi dengan masyarakat adat lainnya saat ketua forum mengambil keputusan untuk menyetujui pembangunan Waduk Lambo tersebut. Seluruh peralatan komunikasi Masyarakat Adat yang tergabung dalam Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo ditahan, disimpan atau disita oleh Kepolisian dan ini atas perintah dari Kapolres Nagekeo. Maka ada keterbatasan akses bagi ketua forum untuk meminta pendapat, sikap dan keputusan dari masyarakat adat lainnya,” jelas Jhon.

Ia juga menambahkan bahwa tindakan Kepolisian Polres Nagekeo dengan menjemur masyarakat adat merupakan tindakan yang tidak manusiawi dan tidak mencerminkan sebagai aparat penegak hukum yang baik.

“Seharusnya Kepolisian melindungi kepentingan masyarakat, namun pada kasus waduk Lambo sangat terlihat bahwa Kepolisian Polres Nagekeo tunduk dan patuh untuk menjalankan perintah-perintah dari pengusaha, pemilik modal atau perusahaan yang akan membangun waduk di Lambo,” tegasnya.

Di tempat terpisah, Ermelina Singereta, yang merupakan Manager Bidang Advokasi PPMAN mengatakan bahwa masyarakat adat yang tergabung dalam Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo melakukan konferensi pers di Kantor Kepolisian Polres Nagekeo dan ini menunjukan bahwa masyarakat adat tidak memiliki sikap dan keputusan yang bebas untuk menolak.

“Dapat dikatakan masyarakat adat melakukan konferensi pers untuk melaksanakan perintah dari Kepolisian untuk menyampaikan persetujuan pembangunan waduk Lambo tersebut dan ini sudah menjadi kebiasaan di Instansi Kepolisian,” ujar Ermelina via gawainya.

Pengacara perempuan yang berdomisili di Jakarta ini juga menambahkan bahwa PPMAN telah membuatkan laporan atas sikap Polres Nagekeo ke Propam Mabes Polri dan Propam Mabes Polri telah mendelegasikan laporan PPMAN ke Polda NTT.

Namun sampai saat ini PPMAN belum mendapatkan respon atas surat perkembangan laporan yang telah kirimkan ke Propam Polda NTT.

“Ini menunjukan sikap ketidakpedulian dan tidak profesioalnya aparat Kepolisian di Polda NTT, selain itu PPMAN telah membuatkan laporan ke Komponas RI, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komnas Perempuan,” tegasnya.

Atas peristiwa yang terjadi pada tanggal 04 April 2022, PPMAN akan mengirimkan surat ke Mabes Polri dan juga membuatkan laporan kembali ke Propam Mabes Polri, lembaga Negara dan juga ke Komisi III DPR RI (komisi hukum) yang merupakan mitra kerja dari Mabes Polri.

Hal ini, kata Ermelina, sangat penting agar Komisi III DPR RI melakukan evaluasi terhadap kinerja dari aparat Kepolisian. Kami juga meminta agar Mabes Polri segera melakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap kinerja dari Kapolres Nagekeo yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat Rendu, namun menjalankan fungsi dan tugasnya untuk melindungi para pengusaha.

PPMAN akan terus mengawal dan mendampingi masyarakat adat dan mengambil beberapa tindakan hukum lainnya, hal ini sangat penting untuk tercapainya keadilan bagi masyarakat adat yang memiliki hak penuh atas tanah leluhurnya,” tutup Ermelina.

Untuk diketahui, sebelumnya pada Desember 2021 lalu, Kepolisian Polres Nagekeo telah dilaporkan ke Propam Mabes Polri terkait dengan tindakan represif yang dilakukan terhadap masyarakat adat Rendu. ***

sumber : https://www.floreseditorial.com/news/pr-3973152703/ppman-beberkan-dugaan-pelanggaran-ham-dan-konstitusi-oleh-aparat-polres-nagekeo

PPMAN Adukan Masalah Kekerasan Terhadap Masyarakat Adat Rendu Ke Komisi Negara

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengadu ke Komnas HAM atas dugaan tindakan represif, anarkis dan intimidasi yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Polres Nagekeo terhadap masyarakat adat Desa Rendu Butowe, Kabupaten Nagekeo, NTT pada 09 Desember 2021 lalu.

Dalam Press Release yang diterima rri.co.id,  Minggu ( 16/01) ,Ketua PPMAN, Syamsul Alam Agus mengatakan, pengaduan ke komisi negara tersebut untuk memastikan perlindungan dan pencegahan tidak berulangnya pelanggaran HAM yang dialami oleh masyarakat adat Rendu. Menurutnya tindakan represif dari aparat Kepolisian Polres Nagekeo merupakan salah satu praktik arogansi dari aparat negara terhadap masyarakat adat Rendu, yang menolak pembangunan proyek strategis nasional Bendungan Mbay/ Lambo di Desa Rendubotowe.

“Sejumlah anggota kepolisian dari resort Ngakeo diduga telah melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2006 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan tersebut telah melanggar peraturan kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tugas kepolisian negara Republik Indonesia,”Kata Syamsul

Menurut ketua PPMAN itu, pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian,membatasi atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) akan  terus membela hak-hak masyarakat adat Rendu dan mengecam atas tindakan arogansi dan represif anggota polres Nagekeo. Selain pelaporan disampaikan kepada Propam Mabes Polri dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). PPMAN juga telah melakukan pertemuan dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadukan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Resort Nagekeo.

Merespon pengaduan yang disampaikan oleh PPMAN, Amirudin Al Rahab, Wakil Ketua Komnas HAM yang menerima pengurus sekretariat Nasional PPMAN menjelaskan, tugas dan kewajiban Komnas HAM yang diatur oleh UU dan Konstitusi RI.

“Komnas HAM akan segera membentuk tim dan akan melakukan pemantauan lapangan, memeriksa pihak-pihak yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM tersebut,” jelas Komisioner Amirudin.

Sumber : https://rri.co.id/ende/1329-polkam/1327746/ppman-adukan-masalah-kekerasan-terhadap-masyarakat-adat-rendu-ke-komisi-negara