Bersama AMAN, Masyarakat Adat Tana Pu’an Berjuang Pertahankan Hak Atas Tanah

Masyarakat adat Tana Pu’an Gobandi Flores nyatakan tetap mempertahankan hak atas tanah eks HGU Patiahu-Nangahale. Hal itu ditunjukkan saat pembacaan penyataan sikap di tengah areal, di Wairhek, Desa Likong Gete, Kecamatan Talibura, Rabu 03April 2024.

 

Tana Pu’an Goban, Leonardus mengatakan, mereka  tetap konsisten pada komitmen awal secara kelembagaan untuk bersama-sama John Bala dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk mempertahankan hak-hak masyrakat adat.

 

Leo saat itu juga didampingi oleh sejumlah anggota komunitas adat dan pengurus harian AMAN Wilayah Flores Bagian Timur. Mereka berkumpul di tengah lahan eks perkebunan kelapa yang sekarang telah mereka kelola menjadi sawah.

 

Menurut Leo, ada indikasi kuat pemerintah dan PT Krisrama pada mekanisme penyelesaian konflik yang mereka tawarkan sendiri kepada masyarakat adat. “Ada indikasi SK HGU PT. Krisrama cacat administrasi berdasarkan PP 18 Tahun 2021 dan PERMEN ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2021,” tegasnya.

 

Kata Leo, pemerintah daerah dan para pihak yang terkait membiarkan dan patut diduga mengadu-domba untuk melemahkan perjuangan mereka dengan memunculkan sekelompok kecil anggota masyarakat adat yang mengkianati perjuangan dan mengatasnamakan diri sebagai suku Goban dan Suku Watu.

 

“Mereka membuat pernyataan penolakan terhadap bapak John Bala, AMANDA NTT dan tidak mengakui Tana Pu’an serta menyerahkan sebagian wilayah adat saya tanpa sepengetahuan saya sebagai Tana Pu’an (Fungsionaris Adat dengan struktur hirarkis paling tinggi). Berdasarkan tradisi dan adat yang berlaku di Tana Pu’an Goban pada umumnya apabila memutuskan sesuatu berkaitan dengan tanah adat atau upacara adat lainnya, maka kami sebagai Tanah Pu’an wajib diberitahu dan harus mendapat persetujuan dari kami,” jelasnya.

 

Selain itu, Leo mengatakan, ada upaya pihak tertentu yang secara sistematis hendak mengadu domba masyarakat adat dan pihak-pihak yang selama puluhan tahun berjuang bersama masyarakat adat. Pernyataan ini, berkaitan dengan pernyataan sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat adat menyatakan penolakan terhadap John Bala dan AMAN.

 

Ketua Pengurus Harian AMAN Wilayah Flores Bagian Timur, Antonius Toni menyatakan akan tetap mendukung perjuangan komunitas adat Tana Pu’an Soge dan komunitas adat Tana Pu’an Goban. “Kami menjalankan mandat organisasi untuk memperjuangkan hak-hak anggota kami termasuk kedua komunitas,” tegas Antonius Toni.

 

Perjuangan kedua komunitas adat tersebut untuk menuntut hak atas tanah eks HGU Patiahu Nangahale sudah berlangsung sejak akhir dekade 90 an. AMAN terbentuk pada tahun 1999. Kedua komunitas adat di atas adalah anggota AMAN


Sumber terkait:
Masyarakat Adat Nyatakan Tetap Berjuang Bersama AMAN dan John Bala

Komunitas Masyarakat Adat di Sikka Komit untuk Tetap Berjuang Bersama AMAN dan John Bala

Konflik dengan Perusahaan Sisal, Masyarakat Adat Rebu Payung Terjerat Hukum

Sudah jatuh tertimpa tangga. Pepatah ini mungkin sedikit menggambarkan kondisi Masyarakat Adat Rebu Payung di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ini. Sudahlah ruang hidup mereka tergerus HGU perkebunan Sisal malah terjerat hukum atas laporan perusahaan yang menuding mereka melakukan penyerobotan lahan.

Pada 22 Maret 2024, Pengadilan Negeri Sumbawa Besar, NTB memvonis tujuh warga adat Rebu Payung. Mereka adalah, Gani, Samad, Syarafuddin, Ances, Rosdin, Amaq Mar, dan Sapo. Tujuh orang ini divonis tiga bulan penjara tanpa harus menjalani kurungan sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri Sumbawa Besar Nomor 3/Pid.C/2024/PN Sbw. Mereka terjerat hukum gara-gara laporan perusahaan perkebunan sisal, PT. Sumbawa Bangkit Sejahtera (SBS) atas tuduhan penyerobotan lahan.

Sidang Perkara ini dipimpin oleh Hakim Fransiskus Xaverius Lae dan Panitera pengganti Yoshua Ishak Maspaitella.

Febriyan Anindita, kuasa hukum warga adat mengatakan, ini bukan kasus pertama warga adat dijerat hukum atas tanahnya sendiri. Hal ini menegaskan bahwa konflik agraria di Sumbawa butuh perhatian khusus dari Pemerintah. Ia sangat menyayangkan nasib para petani yang sedang berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya harus berjuang juga untuk selamat dari jeratan hukum. Lantas dimana keberpihakan negara terhadap masyarakatnya, kalau ruang-ruang hidup mereka terus dirampas.

Advokat yang tergabung dalam Perhimpunan pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Region Bali Nusa Tenggara ini, juga mengatakan dengan tegas bahwa tidak menginginkan lagi adanya kasus yang sama terjadi di Kabupaten Sumbawa.  Perkara ini terjadi karena adanya konflik agraria struktural. Bukan persoalan penyerobotan, atau penggarapan lahan tanpa izin pemilik. Tanah yang dikantongi HGU-nya oleh perusahaan itu tanah ulayat, tanah yang sudah digarap jauh sebelum perusahaan masuk ke wilayah tersebut.

Konflik seperti ini seharusnya bisa diselesaikan oleh pemerintah Kabupaten dengan melakukan mediasi tanpa harus mengorbankan masyarakat yang sudah lama tinggal di sekitar wilayah itu. Namun, Pemerintah seolah-olah tutup mata, membiarkan masalah ini bergulir begitu saja. Padahal pemerintah memiliki instrumen lengkap untuk memberikan ruang keadilan bagi masayarakat setempat. Kalau bukan kepada pemerintah kemana lagi masyarakat kecil harus berlindung. Saya berharap agar pemerintah lebih mengedepankan kepetingan masyarakat ketimbang kepetingan perusahaan atau investor, Ujar Pengacara yang sekaligus Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Sumbawa.


Narahubung
Febriyan Anindita: 087863786484

30 Orang Anak Muda PBD Ikuti Pelatihan Paralegal Untuk Penguatan Perjuangan Masyarakat Adat

SORONG – Sebanyak tiga puluh (30) anak muda dari beragam komunitas adat Moi di Sorong Papua Barat Daya mengikuti pelatihan paralegal. (28/11/2023)

 

Kegiatan yang berlangsung pada 28- 30 November 2023 di Sorong merupakan pembekalan pengetahuan soal keterampilan hukum yang difasilitasi oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) ini berkolaborasi dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.

 

Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus dalam pemaparan materinya mengatakan, pelatihan paralegal ini bertujuan agar Masyarakat Adat memiliki kemampuan untuk memahami hukum, serta mampu memahami dan melihat kondisi masalah yang ada di komunitas mereka.

 

“Termasuk agar Masyarakat Adat juga memiliki kemampuan untuk mendampingi Masyarakat Adat yang memiliki masalah hukum, karena memperjuangkan hak-haknya,” katanya.

 

Diakuinya, dalam aktivitasnya untuk memperjuangkan hak-haknya, Masyarakat Adat kerap menghadapi permasalahan hukum. Bahkan, dalam beberapa kasus berakhir dengan putusan pengadilan yang dinilai merugikan Masyarakat Adat.

 

“Tidak dapat dipungkiri, pelayanan hukum untuk masyarakat adat masih terbatas, ” ujarnya.

 

 

Koordinator PPMAN Region Papua, Jeklin Kafiar menyebutkan hampir semua Masyarakat Adat di Papua khususnya di Sorong mengalami masalah perampasan tanah ulayat sampai tindakan kriminalisasi.

 

Sementara kondisi di sini sangat sulit mencari advokat yang mau bersukarela membantu memperjuangkan Masyarakat Adat.

 

“Semoga dengan pelatihan ini bisa membantu perjuangan Masyarakat Adat di Papua Barat Daya terlebih khusus suku Moi,” kata Kafiar.

 

Ia mengakui keterlibatan pemuda terlebih khususnya perempuan dalam menjalankan advokasi sangatlah penting.

 

Katanya, perempuan bukan lagi penjaga tanah adat melainkan perempuan adalah pengerak  penjaga tanah adat.

 

“Ini awal, ke depan kami berharap lebih banyak perempuan yang terlibat kegiatan seperti ini. Perempuan harus menjadi pengerak penjaga tanah adat, ” harapnya.

 

***

LOLOS DISMISSAL PROCESS, GUGATAN MASYARAKAT ADAT TERKAIT PMH PEMERINTAH DI PTUN MASUK POKOK PERKARA

SIARAN PERS

 

Jakarta, 30/11/2023 – Setelah menjalani 4 (empat) kali sidang persiapan (dismissal process) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, akhirnya gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) oleh Pemerintah terhadap abai dan tidak dilanjutkannya pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat disetujui oleh Majelis Hakim TUN untuk masuk ke pemeriksaan pokok perkara. Pembacaan gugatan dengan nomor pokok perkara 542/G/TF/2023 dilangsungkan pada tanggal 7 Desember 2023.

 

“Kami sangat menyambut baik selesainya sidang dismissal terkait gugatan oleh Masyarakat Adat. Selanjutnya, kami berharap Pemerintah, dalam hal ini DPR dan Presiden RI mulai berpikir untuk menyiapkan jawaban atas gugatan kami,” ungkap Fatiatulo Lazira, kuasa hukum Masyarakat Adat dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Beberapa hal poin krusial terkait gugatan tersebut menyasar antara lain lemahnya pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat akibat belum adanya payung hukum nasional berupa Undang-Undang khusus mengatur Masyarakat Adat. Lainnya adalah lambannya proses pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat lebih dari 15 tahun berpotensi tidak hanya pemborosan keuangan negara tetapi membuka peluang terjadinya kriminalisasi di level akar rumput.

 

“Kita harus memahami konteks perlindungan dan pengakuan merupakan kewajiban negara terhadap warganya. Kewajiban tersebut tidak dijalankan, maka kami menuntut hak tersebut. Sudah cukup peristiwa perampasan wilayah adat dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat,” sambungnya.

 

Kuasa Hukum Masyarakat Adat saat dalam ruang persidangan
Kuasa Hukum Masyarakat Adat saat dalam ruang persidangan

 

Ketua Badan Pelaksana Sekretariat Nasional PPMAN, Syamsul Alam Agus menambahkan terkait berlanjutnya pemeriksaan pokok perkara memberi sinyal peringatan terhadap Pemerintah agar lebih serius meletakkan kepentingan warga negara di atas kepentingan kelompok tertentu. Masifnya giat eksploitasi sumber daya alam memberi pengaruh bagi meluasnya konflik atas ruang hidup.

 

“Melalui jawaban para Tergugat nantinya, kita dapat menilai sejauh mana keseriusan mereka melakukan perlindungan dan pengakuan. Jangan cuma senang eksploitasi SDA tanpa memikirkan dampak nyata aktivitas tersebut bagi pemenuhan hak konstitusi masyarakat,” imbuhnya.

 

Agenda sidang mulai dari pembacaan gugatan, jawaban, replik dan duplik akan dilaksanakan berbasis e-court (sistem online). Sedangkan khusus untuk agenda pembuktian baik surat, saksi, dan keterangan ahli dilakukan lewat tatap muka (sistem offline).

 

Untuk informasi lanjutan dapat menghubungi:

 

Syamsul Alam Agus – Ketua PPMAN        : 0811-8889-083

Fatiatulo Lazira – Advokat PPMAN            : 0812-1387-776

Proses Hukum Janggal: Keluarga Korban Pembunuhan Desa Bangkal Mengadu Ke Lembaga Negara Indonesia

Jakarta – Perwakilan Keluarga Korban Pembunuhan Warga Desa Bangkal terus melakukan upaya untuk mencari keadilan bagi korban di Negara ini. Walaupun sebelumnya laporan mereka ditolak oleh Bareskrim Mabes Polri mereka tidak mengendurkan  semangatnya. Mereka mendatangi  sejumlah Lembaga Negara yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM), Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia (Kompolnas) dan Ombudsman Republik Indonesia untuk menuntut keadilan atas kasus penembakan yang diduga kuat dilakukan oleh Brimob Polda Kalteng yang menyebabkan kematian Almarhum Gijik dan luka berat yang dialami Sdr Taufik. Hingga kini kasus pengungkapan kasus penembakan tersebut tidak jelas dan anehnya justru warga yang dipanggil Kepolisian Polda Kalteng dengan pasal-pasal yang diduga akan mengkriminalisasi warga. (10/11/2023)

 

Keluarga korban berharap kepada keempat Lembaga negara ini menjalankan fungsi serta kewenangannya khususnya berkaitan dengan penegakan hukum dan HAM kasus pembunuhan yang ada di Desa Bangkal. Adapun harapan dari keluarga korban terhadap keempat Lembaga negara ini adalah sebagai berikut:

 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pihak keluarga korban dan saksi meminta adanya perlindungan bagi warga Desa Bangkal yang menjadi bagian peristiwa pada tanggal 07 Oktober 2023. Posisi pihak keluarga korban dan para saksi dalam keadaan kebingungan serta ketakutan. Kebingungan warga soal penegakan hukum bagi pelaku pembunuhan yang tak kunjung di proses. Warga juga mengalami ketakutan karena adanya intimidasi berupa pemanggilan dari Kepolisian. Pemanggilan tersebut berkenaan dengan perbuatan melawan aparat yang sedang bertugas. Keluarga dan warga takut akan upaya kriminalisasi dari pihak tertentu. Pada pertemuan dengan pihak Komnas Ham warga ditemui oleh Komisioner yang juga ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro.

 

Lembaga Saksi dan Korban (LPSK), diharapkan  dapat memberikan perlindungan kepada pihak keluarga korban dan menjawab kebutuhan pemulihan korban dan keluarganya. Permohonan warga pun telah disampaikan langsung kepada pihak LPSK.

 

Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia (Kompolnas), diminta oleh pihak keluarga korban untuk melakukan pengawasan dan memberikan rekomendasi terkait proses hukum yang berjalan agar imparsial dan adil meskipun diduga pelakunya adalah anggota kepolisian dan jangan sampai justru mengkriminalkan korban.

 

Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal saat di Kompolnas
Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal saat di Kompolnas

 

Ombudsman Republik Indonesia, warga Desa Bangkal melaporkan dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah dan Mabes Polri karena tidak memberikan pelayanan publik secara baik kepada warga. Hal ini terkait brutalitas aparat dalam pengamanan aksi warga, Penggunaan kekuatan aparat kepolisian yang berlebihan (excessive use of force) dan penolakan laporan pembunuhan oleh keluarga korban di Kepolisian tanpa alasan yang sah.

 

Kami dari Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal menilai bahwa kasus pembunuhan warga Desa Bangkal merupakan cerminan buruknya jaminan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan  hak asasi manusia oleh aparat penegak hukum di Republik ini. Pelanggaran-pelanggaran yang dipertontonkan oleh aparat hukum dengan cara melawan hukum terkesan sengaja dilanggengkan dengan diberikan impunitas. Tentu hal ini akan semakin memperburuk citra  Indonesia yang mengaku sebagai Negara hukum.

 

Kita ketahui bahwa Lembaga Negara seperti Komnas Ham, LPSK dan Kompolnas telah mengikuti proses kasus penembakan warga Desa Bangkal dan Lembaga ini telah melakukan investigasi lapangan. Di tengah ketidakpastian akan proses penegakan hukum yang berjalan, kami masih menaruh secercah harapan kepada lembaga-lembaga negara ini. Semoga harapan kami tidak berujung kepada ketidakpercayaan dan pembiaran terhadap praktik kesewenang-wenangan dan pelanggaran HAM oleh aparat negara dan Korporasi yang dilindungi oleh Aparat kepolisian.

 

Kasus Bangkal yang dilatarbelakangi oleh konflik agraria, memperpanjang daftar kekerasaan aparat penegak hukum kepada warga yang sedang mempertahankan haknya. Kasus Bangkal juga mempertebal pemahaman kita soal ketidakmampuan negara melindungi rakyatnya. Situasi seperti ini menyadarkan bahwa kekuatan kolektif rakyatlah yang dapat menyelamatkannya dari ketidakadilan dan perampasan ruang hidup. Rakyat harus bersatu sebagaimana Masyarakat Adat Laman Kinipan yang terus melawan dan mempertahankan wilayah adat mereka, Masyarakat Rempang dan masyarakat lainnya.

 

Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal

 

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia), PW AMAN Kalteng, WALHI Kalteng, PROGRESS, Yayasan Betang Borneo Indonesia (YBBI),  Save Our Borneo (SOB), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Greenpeace Indonesia, Sawit Watch, LBH Palangkaraya, dan LBH Genta Keadilan.

 

***

PPMAN: KETIDAKHADIRAN DPR DAN PRESIDEN DI PERSIDANGAN, PRESEDEN BURUK KETIDAKPATUHAN TERHADAP PROSES HUKUM

Press Release

 

Jakarta, (02/11/2023) – Sidang gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), dengan agenda pemeriksaan persiapan yang dilangsungkan di PTUN Jakarta, tidak dihadiri oleh DPR dan Presiden sebagai pihak tergugat.

 

Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) sekaligus sebagai kuasa hukum Para Penggugat menilai ketidakhadiran DPR dan Presiden di persidangan mengkonfirmasi ketidakberpihakan kedua lembaga negara itu terhadap Masyarakat Adat di Indonesia.

 

“Kami menyesalkan sikap DPR dan Presiden yang tidak menghargai proses hukum. Ketidakhadiran mereka di persidangan adalah contoh buruk ketidakpatuhan negara yang tidak patut dicontoh”, ujarnya.

 

Menurut Alam, sikap abai DPR dan Presiden sudah ditunjukkan sejak RUU Masyarakat Hukum Adat masuk dalam prolegnas pada tahun 2004 sampai dengan sekarang.

 

“DPR dan Presiden bersikap abai dan melakukan tindakan penundaan berlarut pada proses pembentukan UU Masyakarat Hukum Adat, yang merupakan kewajiban konstitusional kedua lembaga itu. Akibatnya, praktik perampasan wilayah adat, penggusuran masyarakat adat dari wilayah adat, diskriminasi dan kriminalisasi serta hilangnya identitas yang melekat pada Masyarakat Adat yang mempertahankan wilayah adatnya, terus berlanjut” jelas Alam.

 

Kuasa Hukum Masyarakat Adat saat menyerahkan berkas perkara
Kuasa Hukum Masyarakat Adat saat menyerahkan berkas perkara

 

Ia pun berharap, pengadilan dapat menjadi ruang bagi Para Penggugat untuk menuntut keadilan atas wilayah adatnya.

 

Adapun pihak penggugat adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), beserta 9 (sembilan) orang Perwakilan Masyarakat Adat. Mereka berasal dari Komunitas Masyarakat Adat Kasepuhan Cisungsang Jawa Barat, Komunitas Masyarakat Adat Osing Banyuwangi, Komunitas Masyarakat Adat Gendang Ngkiong Manggarai dan Komunitas Masyarakat Adat Tobelo Dalam Halmahera.

 

Permohonan Para Penggugat disebabkan karena DPR dan Presiden tidak menindaklanjuti proses pembentukan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat sehingga berimbas negatif terhadap pemenuhan hak-hak konstitusional para penggugat.

 

6 orang Masyarakat Adat Tobelo Dalam dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan 20 tahun penjara. Pada tingkat banding, mereka malah dijatuhi pidana hukuman mati dan penjara seumur hidup. Mikael Ane sendiri dipidana dengan hukuman penjara 1,5 tahun.

 

6 orang Masyarakat Adat Tobelo Dalam dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan 20 tahun penjara. Pada tingkat banding, mereka malah dijatuhi pidana hukuman mati dan penjara seumur hidup. Mikael Ane sendiri dipidana dengan hukuman penjara 1,5 tahun.

Pembela Masyarakat Adat Nusantara hadirkan tokoh adat Ngkiong dalam persidangan Mikael Ane

Press Release

 

Ruteng (15/08/2023) – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menghadirkan dua tokoh masyarakat adat Ngkiong yaitu Tua Golo Thadeus Dosen dan Tua Teno Pius Paulus sebagai saksi meringankan dalam sidang perkara Nomor 34/Pid.B/LH/2023/PN. Rtg, atas nama Mikael Ane (Masyarakat adat gendang ngkiong) yang di dakwa Menduduki Kawasan Hutan di Pengadilan Negeri Ruteng, Kab. Manggarai

 

Kedudukan Tua Golo merupakan orang yang memiliki tugas untuk menyelesaikan masalah sosial yang terjadi di komunitas Masyarakat Adat. Sementara Tua Teno memiliki kewenangan atau otoritas untuk mendistribusikan tanah kepada warga masyarakat adat setempat berdasarkan hukum adat. Otoritas tersebut tidak dapat digantikan kepada pihak lain.

 

Pendamping Hukum menilai bahwa kehadiran saksi yang meringankan di pengadilan untuk memberikan keterangan guna menyampaikan fakta hukum, kebiasaan adat yang biasa dilakukan oleh Masyarakat Adat dalam menyelesaikan masalah.

 

“Saksi yang meringankan menyampaikan bahwa kami tidak pernah tinggal di wilayah orang lain, kami tinggal di wilayah adat yang telah kami dapat dari leluhur kami secara turun temurun. Maximilianus Herson Loy, sebagai salah satu Tim Penasihat Hukum menyampaikan bahwa keterangan saksi yang meringankan memberikan fakta-fakta hukum ke Majelis Hakim, bahwa terdakwa tinggal di tanah ulayat yang telah dimiliki, dikuasai dan dikelola secara turun temurun. Tanah yang menjadi objek sengketa adalah tanah ulayat, tambah Herson.

 

Sementara Muhamad Maulana, salah satu tim hukum yang juga hadir dalam persidangan ini menganggap pertanyaan dari Jaksa Penuntut Umum terkesan mendiskreditkan kepemilikan wilayah adat dengan melontarkan pernyataan bahwa masyarakat tidak punya sertipikat tanah. Mao menambahkan bahwa pertanyaan dan pernyataan Jaksa Penuntut Umum menunjukan ketidakpahaman Aparat Penegak Hukum tentang Masyarakat Adat, dimana Masyarakat Adat tidak harus memiliki surat-surat sebagai bukti kepemilikan atas tanah ulayatnya. Ketiadaan sertifikat tanah yang dimiliki oleh Masyarakat Adat tidak berarti hilangnya hak asal-usul atas wilayah adatnya. Hal ini sesuai dengan konstitusi dan UUPA yang menegaskan bahwa hukum adat merupakan sumber hukum agraria nasional. Dengan demikian pemilikan tanah ulayat adalah sah secara hukum berdasarkan UUPA.

 

Marselinus Suliman tim hukum lainnya juga menyampaikan, saksi yang meringankan hari ini memberikan keterangan mengenai kebiasaan Masyarakat Adat yang menjalankan ritual kepada leluhur, ucapan syukur, adanya makam leluhur, pohon yang hidupnya puluhan tahun.

 

Fakta yang terurai di persidangan menunjukan bahwa Masyarakat Adat tinggal di wilayah ulayatnya yang diwariskan secara turun temurun. Saksi-saksi tidak mengetahui bahwa tanah Ulayat mereka telah diambil alih secara sepihak oleh negara sebagai kawasan TWA.

 

Fakta persidangan hari ini menjelaskan bahwa selain rumah terdakwa, ada juga rumah main yang berada di lokasi sengketa.

 

Selain itu kami juga atas sikap dan tindakan Jaksa yang sampai saat ini tidak memberikan berkas perkara secara lengkap kepada kami, dan kami melaporkan tindakan dan sikap ketidakprofesionalan Jaksa Penuntut Umum kepada Komisi Kejaksaan, Tegas pria yang biasa disapa Marsel.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi narahubung berikut ini:

 

Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904
Herson, S.H. 081238317885

Persidangan Masyarakat Adat Tobelo Dalam; Ahli : Barang Bukti Harus Dihadirkan Dalam Persidangan, Bukan Angan-Angan atau Imajinasi Penuntut

Press Rilis

 

Tidore (09/08/2023) – Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, menghadirkan Ahli Pidana Dr. Ahmad Sofian, S.H.M.A untuk memberikan pendapat hukum dalam melakukan pembelaan terhadap Alen Baikole dan Samuel Gebe yang saat ini sedang dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Soasio.

 

Kehadiran Ahli dalam perkara ini sangat penting karena sampai saat ini, tidak ada satupun barang bukti yang menunjukan bahwa barang bukti tersebut digunakan oleh kedua terdakwa untuk melakukan kejahatan sebagaimana yang dituduhkan oleh Jaksa Penuntut Umum.

 

Selain tidak adanya barang bukti yang memberikan keyakinan telah terjadi suatu peristiwa pidana, juga tidak ada saksi yang melihat telah terjadinya suatu peristiwa pidana tersebut.

 

Ahli berpendapat bahwa dalam suatu perkara, Barang bukti itu harus dihadirkan dalam persidangan, bukan dalam angan-angan atau imajinasi. Barang bukti dapat dikatakan sebagai barang bukti dalam suatu peristiwa pidana jika barang bukti tersebut yang digunakan atau alat yang digunakan untuk melakukan suatu tindak pidana adalah alat yang digunakan untuk menghalangi terjadinya suatu tindak pidana dan barang bukti hasil dari suatu tindak pidana. Barang bukti tidak boleh dimanipulasi seolah-olah memenuhi kualifikasi dari ketiga kategori barang bukti tersebut diatas. Alat bukti harus didapatkan secara legal, alat bukti yang didapatkan secara ilegal tidak dapat dipertimbangkan.

 

Selain itu Ahli juga menjelaskan bahwa terkait dengan saksi yang dipertimbangkan adalah saksi yang merasakan, melihat dan mendengar secara langsung. Pada kasus ini saksi yang dihadirkan adalah saksi testimonium de audito dan saksi ini tdk bisa digunakan dalam perkara, karena secara doktrinal saksi testimonium de Audito adalah saksi yang memberikan keterangan karena mendengar keterangan atau informasi dari orang lain, pada banyak perkara saksi ini tidak diterima sebagai alat bukti.

 

Menanggapi pendapat ahli, Tim Penasihat Hukum Terdakwa Hendra Kasim menjelaskan bahwa dalam perkara ini, barang bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum bukanlah barang bukti yang didapat langsung dari suatu peristiwa pidana. Barang bukti dalam bentuk Tombak dan Jubi diambil dari kebun milik terdakwa dan dibawah ke rumah terdakwa, jadi barang buktinya tidak memiliki kualitas sebagai barang bukti yang perlu dipertimbangkan, maka karena itu hakim harusnya menolak barang bukti tersebut.

 

Lebih lanjut Penasehat Hukum Terdakwa Ahmad Rumasukun menambahkan bahwa perkara ini terjadi karena hasil “Gosip” yang dilakukan oleh seorang saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum, dimana saksi menceritakan kepada orang lain bahwa terdakwa Samuel berada di dekat lokasi kejadian pada saat terjadinya peristiwa pidana tersebut.

 

Sementara Ermelina Singereta, yang merupakan salah satu Tim Penasihat Hukum Terdakwa lainnya mengatakan proses persidangan hari ini memberikan pandangan baru terkait dengan saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak memiliki kualifikasi sebagai saksi yang berkualitas. Saksi yang yang dihadirkan dalam perkara ini bukanlah saksi yang melihat langsung para terdakwa melakukan pembunuhan. Erna menambahkan jika mengacu pada pendapat Ahli yang kami hadirkan hari ini seharusnya Majelis Hakim harus menolak seluruh keterangan saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum.

 

Keterangan Ahli menambah kebingungan bagi Majelis Hakim, karena sampai sejauh ini tidak ada titik terang mengenai pelaku tindak pidana tersebut. Harapannya Hakim dapat memberikan keadilan kepada kedua terdakwa. Karena kedua terdakwa adalah korban dari berbagai kepentingan yang akan masuk di wilayah tempat tinggal Kedua terdakwa.

 

Lebih lanjut Penasehat Hukum Terdakwa Tarwin Idris menambahkan, jika Samuel dan Alen bukan pelaku tindak pidana. Maka sudah seharusnya dinyatakan bebas oleh Majelis Hakim. Berikut pula, APH harus memastikan pelaku sebenarnya diproses menurut hukum yang berlaku, agar ada keadilan bagi keluarga korban. Sehingga pelaku sebenarnya dapat diadili dihadapan persidangan.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi narahubung berikut ini:

Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) memberikan Layanan Bantuan Hukum bagi Masyarakat Adat di kegiatan HIMAS

Serangkaian dengan perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Nusantara (HIMAS) pada 09 Agustus 2023, PPMAN yang merupakan organisasi sayap dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah menginisiasi klinik hukum yang di agendakan di laksanakan pada 08 Agustus 2023 hingga 09 Agustus 2023 di Ke’Te Kesu, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan.

 

Tujuan Klinik Hukum yang dibuka oleh PPMAN memiliki maksud untuk mendekatkan akses bantuan hukum kepada Masyarakat Adat yang selama ini sangat jauh dan sulit untuk mengakses keadilan. Bukan hanya karena lokasi atau tempat tinggal mereka saja yang jauh dari kota, akan tetapi juga karena jauhnya informasi serta pengetahuan mereka terkait hukum yang berlaku di Indonesia. Namun Masyarakat Adat acap kali mendapatkan ancaman, kriminalisasi, bahkan diintimidasi karena upaya mereka dalam mempertahankan wilayah adatnya.

 

Merujuk pada Catatan Tahun 2022 yang dipublikasikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan bahwa sejak AMAN berdiri hingga 2022 dengan jumlah anggota sebanyak 2.449 komunitas adat. Dari jumlah anggota tersebut, terdapat 161 produk hukum daerah, penetapan hutan adat oleh pemerintah sejumlah 105 dengan total luasan 148.488 hektar paska putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.

 

Akan tetapi dari jumlah komunitas adat anggota AMAN, terjadi perampasan wilayah adat melalui program pertanahan nasional dengan dengan skema perhutanan sosial (HKM, Hutan Desa, HTR, Kemitraan) berjumlah 2.400 hektar yang artinya masih ada 2,71 Juta hektar wilayah adat yang hingga saat ini belum memiliki produk hukum daerah dan penetapan hutan adat oleh pemerintah.

 

Masyarakat Adat yang komunitasnya masuk menjadi anggota AMAN juga teridentifikasi menempati wilayah adat di pesisir dan pulau-pulau kecil sejumlah 559 komunitas adat dan 22 di antaranya telah mendapatkan penetapan oleh Kementerian Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

 

Masyarakat Adat saat Konsultasi Hukum mengunjungi Klinik Hukum PPMAN
Masyarakat Adat saat Konsultasi Hukum dan mengunjungi Klinik Hukum PPMAN

 

Tercatat 301 perampasan wilayah adat dengan luasan 8,5 Juta hektar yang mana 672 orang Masyarakat Adat menjadi korban pengkriminalisasian, yang mana di Tahun 2022 terdapat 19 kasus perampasan wilayah adat dengan luas 600 ribu hektar. Berdasarkan data yang disampaikan dalam CATAHU AMAN di atas, konflik yang Masyarakat Adat hadapi bukan hanya dalam bentuk Pidana dan Perdata saja, akan tetapi mereka juga rentan berhadapan dengan masalah hukum karena minimnya pengetahuan mereka terhadap dampak dari terbitnya suatu produk hukum. Persoalan ini dipandang penting oleh ketua PPMAN, Syamsul Alam Agus dalam memandang urgensi pembukaan klinik hukum.

 

“Mengingat bahwa Masyarakat Adat merupakan kelompok rentan dengan resiko akan pelanggaran HAM yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok rentan lainnya, ini dikarenakan Masyarakat Adat selalu menjadi korban eksploitasi sumber daya alam, di mana tempat terjadinya eksploitasi sumber daya alam tersebut berada di wilayah adat, disini ada kepentingan dari negara dan pemilik modal atas wilayah adat.” Ungkap Syamsul Alam Agus.

 

Lebih lanjut, Alam yang merupakan sapaan dari Syamsul Alam Agus menambahkan bahwa “hampir semua kasus Masyarakat Adat memiliki kerentanan untuk menjadi korban dan mendapatkan tindakan kriminalisasi atas perjuangan Masyarakat Adat dalam mendapatkan hak-haknya”.

 

Negara dan pemilik modal merampas tanah milik Masyarakat Adat dan tindakan ini merupakan salah satu cerminan dari pengabaian negara untuk melindungi masyarakat adat. Selain itu pemilik modal juga memiliki kekuasaan dan juga kerjasama dengan negara untuk merampas, menggusur, mengeskplorasi dan mengeksploitasi tanah masyarakat adat.

 

“Tindakan perampasan, penggusuran, eskplorasi dan eksploitasi tersebut merupakan tindakan yang telah melanggar sejumlah Undang-Undang, Undang-Undang Dasar dan prinsip-prinsip hak asasi manusia, Prinsip Free end Prior Informed Consent (FPIC) dan berbagai prinsip konvensi yang lainnya.” Tambah Alam

 

“Mengingat beragamnya masalah hukum yang yang terjadi dan menimpa Masyarakat Adat, maka Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) akan membuka klinik hukum yang mana juga satu rangkaian kegiatan perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat (HIMAS) dilaksanakan. Hal ini dilakukan guna mengakomodasi pendampingan dan pembelaan terhadap hak-hak Masyarakat Adat dalam proses kemudahan akses dan layanan bantuan hukum. Selain itu, komunitas masyarakat adat bisa mendapatkan akses keadilan.” Tutupnya.

 

***

Kuasa Hukum Masyarakat Adat Tobelo Dalam keberatan dengan Sikap Hakim PN Soasio

Tidore – Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam saat melakukan pendampingan hukum terhadap terdakwa Alen Baikole dan Samuel Gebe atas dakwaan pembunuhan berencana, melakukan protes keras kepada Kemal S.H, yang merupakan salah satu hakim anggota PN Soasio saat lanjutan pemeriksaan saksi a de charge (02/08/2023).

 

Tim kuasa hukum menilai bahwa hakim tersebut tidak netral dalam melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang keterangannya meringankan terdakwa, dengan kerapkali melontarkan diksi yang mencibir.

 

“Kami mengajukan keberatan dimuka persidangan terhadap Sikap Hakim Anggota Kemal karena pertanyaan dan pernyataannya yang tidak mencerminkan etika dan prilaku hakim.” Terang Ermelina Singereta yang merupakan salah satu kuasa hukum terdakwa

 

“Padahal dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim, sangat jelas bahwa hakim tidak boleh berpihak serta dilarang menyudutkan dan melontarkan umpatan kepada para pihak serta kuasanya. Tambah Erna, sapaan akrab Ermelina Singereta

 

Selain itu, keberatan yang di lontarkan kuasa hukum terdakwa juga ditujukan atas sikap dan tindakan hakim Kemal yang secara berulang secara keliru mengaitkan perkara Praperadilan (Prapid) yang sebelumnya di ajukan terdakwa dengan fakta pokok perkara yang tidak berkaitan

 

Mohammad Maulana, yang juga salah satu Tim Penasihat Hukum Terdakwa menjelaskan ketika persidangan, Hakim Kemal kerapkali melontarkan pernyataan yang seolah menstigma dan mengambil kesimpulan bahwa pelaku pembunuhan adalah masyarakat tobelo dalam dengan mengaitkannya dengan ciri-ciri rambut gondrong

 

Fakta yang terurai di persidangan tidak ada yang menyebutkan fakta pembunuhan ini dengan masyarakat adat tobelo dalam dan selain itu, terdakwa juga di rentang waktu tempus peristiwa tersebut terjadi, tidak berambut gondrong dan tengah bekerja, sebagaimana saksi yang menerangkan alibinya

 

Dalam persidangan pemeriksaan saksi tersebut, terungkap fakta persidangan bahwa terdakwa Alen Baikole ketika peristiwa pembunuhan terjadi berada di kampung Tukur-Tukur, tidak seperti yang dituduhkan kepadanya. Kesemua saksi yang dihadirkan memberikan keterangan yang sama.

 

“Menjadi fakta persidangan hari ini menjelaskan bahwa Alen Baikole berada di kampung, bukan di lokasi pembunuhan sebagaimana dituduhkan. Kami berharap Hakim dapat jernih memilah dan menilai setiap kesaksian,”.

 

Sementara pengacara terdakwa lainnya, Hendra Kasim menambahkan, proses persidangan ini berpotensi menjadi tidak objektif karena Salah satu hakim anggota pernah menjadi hakim tunggal di persidangan pra peradilan di kasus ini. Pengacara terdakwa berpendapat bahwa pengetahuan atas fakta hakim di persidangan sebelumnya dapat mempengaruhi perspektif dan menimbulkan prasangka terhadap terdakwa.

 

“Klien kami sudah dalam posisi dirugikan akibat penunjukkan salah satu hakim anggota yang sebelumnya telah menjadi hakim di persidangan pra peradilan. Karena beliau sudah membuat putusan di awal dan mengetahui fakta-fakta yang kami nilai tidak diindahkan oleh hakim tersebut,” Tegas Hendra Kasim.

 

Hendra kembali mengingatkan bahwa ada indikasi pelanggaran terhadap Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim terutama dalam poin yang mengatur terkait integritas.

 

“Penerapan terkait integritas Hakim ada pengaturan soal Prasangka dan Pengetahuan Atas Fakta. Sewajarnya apabila mengikuti aturan tersebut maka Hakim di pra peradilan tidak boleh menjadi hakim pada pokok perkara (persidangan acara biasa). Sebab sudah ada pengetahuan dan prasangka sebelumnya. Tentu kami akan melaporkan ini ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung. Sebagai upaya agar proses persidangan tetap objektif” jelasnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi narahubung berikut ini:

Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904
Hendra Kasim, S.H, M.H – 0823-4499-9986

 

***