SIARAN PERS, Pendeta dari Bobo dan Wooi Galang Dukungan Nasional Tolak Tambang di Pulau Obi

Jakarta, 2 Oktober 2025 — Para pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) Klasis Pulau-Pulau Obi, di Jemaat GPM Desa Bobo (Kecamatan Obi Selatan) dan Desa Wooi (Kecamatan Obi Timur), Halmahera Selatan, Maluku Utara, menggalang dukungan nasional untuk menghentikan rencana dan aktivitas tambang di Pulau Obi. Dukungan disampaikan oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), DPD RI Perwakilan Maluku Utara, serta jejaring masyarakat sipil di Jakarta: YLBHI, WALHI, Trend Asia, JATAM, PPMAN, Greenpeace Indonesia, FWI, dan JKLPK. Perwakilan komunitas mendatangi Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan untuk menyerahkan keberatan resmi dan mendesak penghentian rencana tambang. Audiensi juga sempat dilakukan dengan staf Direktorat Jenderal Planologi, Kementerian Kehutanan.

 

Warga Desa Bobo menolak aktivitas tambang nikel PT Intim Mining Sentosa (IMS) yang memiliki konsesi seluas 3.185 hektare dan operasi PT Karya Tambang Sentosa (KTS). Mereka menilai operasi perusahaan telah memicu sengketa batas administrasi dengan Desa Fluk, meningkatkan kecurigaan antar warga, dan memperbesar risiko konflik horizontal. Dari sisi ekologi, warga merasakan peningkatan banjir disertai hantaman kayu dari area hutan yang dibuka. Dari sisi sosial-ekonomi, ancaman hilangnya mata pencaharian nelayan, pekebun padi, kelapa, cengkeh, dan pala kian nyata. Warga juga menegaskan penolakan sejak proses AMDAL lebih dari satu dekade lalu dan menilai prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) tidak dijalankan.

 

Sementara itu, warga Desa Wooi juga menegaskan penolakan kolektif terhadap rencana tambang pasir besi PT Bela Sarana Permai yang mengantongi konsesi seluas 4.290 hektar di Wooi. Meskipun Kepala Desa, BPD dan suara penuh seluruh masyarakat Desa Wooi menolak perusahaan ini, proses perizinan masih terus berlanjut. Informasi akhir yang didapatkan bahwa PT Bela Sarana Permai telah mengantongi IUP Operasi Produksi hingga 2038. Kondisi ini menambah ketidakpastian atas masa depan penghidupan yang bergantung pada laut, ladang, dan hasil hutan, di tengah keterbatasan akses layanan dasar yang seharusnya menjadi kewajiban negara.

 

Pdt. Mersye Pattipuluhu, Pendeta Desa Bobo, mendesak pemerintah segera mengambil langkah tegas dan nyata untuk menghentikan aktivitas tambang di Desa Bobo. “Suara kami sederhana, hentikan tambang yang merusak persaudaraan antar desa dan mengancam ruang hidup kami. Pemerintah harus hadir melindungi, bukan membiarkan konflik tumbuh bersama ekspansi tambang,” kata dia.

 

Serupa, Pdt. Silwanus Lasera mendesak pemerintah segera menghentikan rencana penambangan besi PT Bela Sarana Permai, perusahaan milik Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda, di Desa Wooi. “Warga Wooi sejak awal menolak. Karena itu, kami menuntut pemerintah segera mencabut izin pertambangan PT Bela Sarana Permai dan selalu melibatkan warga dalam setiap keputusan yang menyangkut masa depan kampung kami. Hak kami atas lingkungan yang baik dan sehat tidak dapat dinegosiasikan,” ujarnya.

 

Laut, daratan, dan wilayah hutan bagi orang Obi bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan bagian dari identitas. Perusakan besar-besaran oleh perusahaan tambang berarti kehilangan segalanya, termasuk kehidupan. Selama bertahun-tahun, masyarakat Desa Wooi dan Bobo hidup dari sumber daya alam setempat. Dengan kearifan yang dimiliki, mereka tahu bagaimana mengelola, merawat, dan menjaga alam bagi kehidupan lintas generasi. Namun, kehadiran perusahaan di dua desa ini berpotensi memicu konflik horizontal di antara “orang-orang basudara”. “Karena itu, kami berharap perusahaan dan pemerintah memiliki hati dan kemauan untuk menghentikan aktivitas serta mencabut IUP, bukan sebaliknya turut menikmati konflik di tengah masyarakat yang sedang bertumbuh.

 

Selain itu, kami berharap Pemerintah Daerah memberikan pertimbangan teknis mengenai kondisi sosio-kultural masyarakat kepada pemerintah pusat cq. kementerian terkait. Kami juga mendesak pemerintah pusat untuk mencabut IUP PT IMS dan KTS dari Desa Bobo, serta PT Bela Sarana Permai dari Desa Wooi, sesuai kewenangannya,” tutup Pdt. Esrom Lakoruhut, Ketua Klasis GPM Pulau-Pulau Obi yang lahir dan besar di Desa Wooi.

 

Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mendukung penuh penolakan warga yang disampaikan oleh kedua pendeta. Sekretaris Umum PGI Pdt. Darwin Dermawan mengatakan hingga kini PGI memiliki sikap tegas untuk menolak izin usaha pertambangan bagi lembaga keagamaan. “PGI berdiri bersama jemaat di seluruh Indonesia yang masih gigih mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman tambang, untuk mempertahankan hak atas kehidupannya.”

 

Sejalan dengan suara PGI, Graal Taliawo, DPD Provinsi Maluku Utara, mendukung perjuangan warga Bobo dan Wooi. Ia kemudian menghubungkan warga kepada pejabat ESDM dan Biro Planologi Kementerian Kehutanan. “Supaya warga bisa menyampaikan keberatan langsung pada mereka,” katanya.

 

Selain mendesak pemerintah, para pendeta dan jejaring juga bersurat kepada lembaga-lembaga keuangan untuk menghentikan pendanaan proyek yang mengancam ruang hidup warga. Pada Rabu, 1 Oktober 2025, surat tersebut diberikan langsung kepada Bank Mandiri dan Bank DBS yang mendanai Harita Group. Jejak Harita Group di Desa Bobo terlacak melalui rencana ekspansi PT KTS yang merupakan perusahaan patungan PT IMS dengan PT Trimegah Bangun Persada (Harita Group), dan PT Banyu Bumi Makmur.

 

Kerusakan di Pulau Obi akibat penambangan dan smelter nikel yang dikuasai Harita Group sudah banyak diekspos media-media dan peneliti dalam dan luar negeri. Mulai kandungan logam berat di tubuh ikan yang menghancurkan sistem reproduksi mereka hingga air yang mengandung kromium heksavalen (Cr VI) yang ditutupi Harita dan dibongkar OCCRP beberapa bulan lalu.

 

Kepala Simpul dan Jaringan JATAM Imam Shofwan mengatakan kekhawatiran warga Bobo dan Wooi sangat beralasan karena mereka tak mau dijadikan tumbal selanjutnya. Ia merujuk pada pengusiran paksa warga Desa Kawasi ke Eco Village yang dilakukan Harita. “Bukannya menghentikan kehancuran dan memulihkan seluruh daya rusak yang sudah ditimbulkan di Kawasi, Harita malah melakukan ekspansi ke desa tetangga,” kata dia.

 

Staf Advokasi dan Jaringan JKLPK, Trisna Harahap, menyatakan bahwa perjuangan masyarakat lokal di Kampung Bobo dan Wooi adalah upaya mempertahankan bobarene sebagai ruang hidup, hongana sebagai sumber subsisten, raki sebagai penopang keberlanjutan dan pengetahuan tentang laut yang diwariskan secara turun temurun. Inilah benteng identitas lokal yang tidak dapat ditukar dengan industri tambang.

 

Syamsul Alam, Ketua Umum Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara juga menegaskan penguasaan dan pengambilalihan tanah serta sumber daya alam tanpa persetujuan masyarakat lokal di Bobo dan Wooi, Maluku Utara merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Ia mengatakan praktik tambang terbukti menimbulkan deforestasi, pencemaran, serta mengganggu ekosistem yang menjadi basis kehidupan masyarakat lokal.

 

Dampak tersebut tidak hanya merusak keberlanjutan lingkungan, tetapi juga mengancam generasi mendatang. “Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi masyarakat adat, bukan malah memberi karpet merah bagi korporasi tambang. Kebijakan dan izin yang dikeluarkan tanpa penghormatan pada hak masyarakat adat adalah bentuk pelanggaran kewajiban negara,” ujarnya.

 

Sementara itu, Rere Christanto, Manajer Kampanye Tambang dan Energi WALHI mengatakan, “Kehadiran tambang di Desa Bobo dan Wooi adalah cerminan dari krisis tata kelola sumber daya alam yang mengabaikan hak masyarakat atas ruang hidupnya. Proses perizinan yang berjalan tanpa partisipasi publik, serta pengabaian terhadap penolakan masyarakat, menunjukkan bahwa negara lebih berpihak pada kepentingan korporasi daripada keselamatan warga. WALHI bersama rakyat dan jejaring masyarakat sipil, menegaskan bahwa advokasi lingkungan bukan sekadar isu teknis, melainkan perjuangan mempertahankan kehidupan. Kami mendesak agar seluruh proses perizinan ditinjau ulang dan suara masyarakat ditempatkan sebagai pusat dalam pengambilan keputusan.”

 

Senada dengan itu, Arko Tarigan, Juru Kampanye Mineral Kritis Trend Asia, menegaskan bahwa situasi di Obi mencerminkan pola eksploitasi yang lebih luas di Indonesia. “Negara seakan tidak menjamin bagaimana kehidupan masyarakat di Pulau Obi bebas dari pertambangan, masalah kesehatan, kerusakan lingkungan, pencemaran terus menghantui. Hal ini tercermin seperti apa yang terjadi di Pulau Obi IWIP serta pulau kecil di Kabaena, bagaimana warga di lingkar tambang dan smelter dalam industri nikel ini terpapar zat kimia berbahaya. Indonesia akan menjadi korban ganda dari semua eksploitasi yang ugal-ugalan ini.”

 

Koalisi Masyarakat Sipil di Jakarta, yang terdiri dari YLBHI, WALHI, Trend Asia, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Greenpeace Indonesia, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Forest Watch Indonesia (FWI), dan Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia (JKLPK) mendesak pemerintah untuk menghentikan seluruh operasi dan rencana penambangan di pulau-pulau kecil yang merenggut penghidupan warga dan merusak lingkungan; mencabut izin tambang yang diterbitkan tanpa persetujuan masyarakat adat, termasuk di Bobo dan Wooi; melakukan audit menyeluruh yang transparan dan bebas konflik kepentingan; memulihkan lingkungan serta penghidupan; menindak tegas pelanggaran; dan memastikan pemenuhan hak-hak dasar warga serta penguatan penghidupan berkelanjutan yang memuliakan kearifan lokal.

 

Narahubung:

Gereja Protestan Maluku (GPM) Klasis Pulau-Pulau Obi
Pdt. Esrom Lokoruhut – +62 822-3956-1521

 

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Imam Shofwan – +62 813-9235-2986

 

DOKUMENTASI;

https://drive.google.com/drive/folders/1HWQ8alWss06Q6xw6N26-SLc3GenYt6iR?usp=sharing

 

 

 

Merespon Penyerangan Yang Diduga Dilakukan Oleh Pekerja PT. TPL Terhadap Masyarakat Adat Sihaporas : PPMAN Mengadu Ke Komnas HAM RI

 

Senin, 22 September 2025, sekitar pukul 08.00 WIB, ada 150 orang pekerja PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL) yang terdiri dari security, buruh harian lepas (BHL), dan sejumlah orang yang diduga preman bayaran mendatangi Wilayah Masyarakat Adat Sihaporas. Mereka (Pelaku) membawa potongan kayu panjang, tameng, dan mengenakan helm pekerja dengan tujuan melakukan penyerangan.

 

Masyarakat Adat yang berjumlah sekitar 30 orang mencoba menghadang dan meminta diskusi, namun upaya itu ditolak. Akhirnya kedua bela pihak terlibat saling dorong dan berujung pada pemukulan menggunakan kayu dan lemparan batu, tindakan tersebut mengakibatkan puluhan warga mengalami luka-luka dan Posko serta Rumah Adat pun terbakar. Penyerangan yang dilakukan oleh pekerja PT. TPL kepada Masyarakat Adat Sihaporas di Buttu Pangaturan, Kabupaten Simalungun.

 

 

Beberapa saat setelah penyerangan, jumlah pekerja PT. TPL yang berada dilokasi semakin bertambah hingga sekitar 1.000 orang. Dalam penyerangan itu, posko perjuangan masyarakat adat sihaporas dan 5 gubuk pertanian dibakar, empat rumah rusak, sepuluh sepeda motor dibakar, delapan sepeda motor lainnya dirusak, serta satu unit mobil Pickup ikut dibakar. Barang pribadi warga seperti enam telepon genggam, satu laptop, dan satu mesin pencacah rumput juga ikut musnah.

 

Atas peristiwa tersebut, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) langsung membuat pengaduan ke Komnas HAM, pada senin 22 September 2025. Dalam pengaduannya PPMAN mendesak agar Komnas HAM dengan mandat yang di berikan negara melalui UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia untuk segera mengambil sikap dengan mendesak lembaga negara seperti Polri agar mengambil langkah cepat dengan menghentikan tindakan penyerangan dan kekerasa terhadap masyarakat Adat Sihaporas.

 

PPMAN juga mendesak Komnas HAM untuk segera melakukan investigasi menyeluruh atas peristiwa penyerangan terhadap Masyarakat Adat Sihaporas pada senin 22 September 2025 tersebut dan segera mengeluarkan surat rekomendasi perlindungan terhadap Masyarakat Adat di Sihaporas.

 

Gregorius B. Djako, Kepala Divisi Advokasi dan Litigasi  PPMAN, mengatakan tindakan penyerangan serta kekerasan yang dialami Masyarakat Adat Sihaporas oleh orang – orang yang di duga pekerja PT. TPL sebagai perilaku bar-bar dan arogan, sehingga pelaku harus di laporkan ke aparat penegak hukum. “Yang dilakukan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Masyarakat Adat, apalagi sampai menimbulkan koban luka-luka serta rusaknya fasilitas adat,” tegas Gregg.

 

 

Menurut Gregg, PPMAN sebagai Organisasi Pembela Masyarakat Adat tidak akan membiarkan peristiwa seperti ini menimpah Masyarakat Adat Sihaporas. “kami mengecam tindakan penyerangan dan perilaku kekerasan terhadap Masyarakat Adat Sihaporas, dan kami menuntut agar lembaga-lembaga negara (Polri) segera melakukan penangkapan terhadap pelaku penyerangan tersebut,” tandas Gregg.

 

Gregg juga menambahkan, dalam situasi seperti ini lembaga negara seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) harus segera melakukan investigasi dan menyerukan agar para pelaku penyerangan segera meninggalkan Wilayah Masyarakat Adat Sihaporas.

 

Hingga tulisan ini terbit, masyarakat adat Sihaporas masih bertahan di Buttu Pangaturan. Warga mengaku takut akan adanya penyerangan susulan karena rombongan pekerja PT. TPL masih terlihat berkumpul di sekitar lokasi.

 

Narahubung :

 

Gregorius B. Djako : 0812-9967-730

15 Kader Masyarakat Adat dari seluruh nusantara telah dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua Pengadilan Tinggi Bandung sebagai Advokat

15 Kader Masyarakat Adat dari seluruh nusantara telah dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua Pengadilan Tinggi Bandung sebagai Advokat.

 

Pelantikan dan Pengambilan sumpah advokat dilaksanakan pada tanggal 6 dan 7 Agustus 2025 di Bogor dan Kota Bandung. Selanjutnya dalam rangkaian peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) pada tanggal 9 Agustus 2025 di Komunitas Masyarakat Adat Kasepuhan Guradok, Lebak, Banten ke 15 Advokat Masyarakat Adat telah membacakan janji AMAN yang dipimpin oleh Sekjend AMAN.

Ini adalah tonggak penting dalam perjalanan profesional saudara-saudari sekalian. Setelah melewati proses panjang mulai dari pendidikan khusus profesi advokat, ujian profesi, hingga verifikasi organisasi, hari ini saudara-saudari resmi menyandang gelar Advokat, tegas Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana PPMAN.

 

Profesi advokat bukan sekadar profesi, melainkan panggilan moral dan amanah konstitusional. Dalam Pasal 1 angka 1 UU Advokat, disebutkan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang bebas dan mandiri. Di dalamnya terkandung nilai-nilai keberanian, integritas, dan keberpihakan pada keadilan.

Sebagai bagian dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), kita tidak hanya mengabdi pada hukum dalam pengertian formal, tetapi juga pada keadilan substantif. Kita berpihak pada yang lemah, membela yang tertindas, dan menjadi suara mereka yang dibungkam oleh ketidakadilan struktural. Kita hadir untuk menggerakkan perubahan, bukan hanya menjaga status quo.

Delapan Belas Kader Komunitas Masyarakat Adat dari 18 Wilayah Yang Berbeda, Dinyatakan Lulus Ujian Profesi Advokat

079 K-SK Pengumuman Hasil UPA 19 Juli 2025

Bogor, 19 Juli 2025, sekitar pukul 17.00, Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan) mengumumkan hasil Ujian Profesi Advokat (UPA) setelah para peserta mengikuti Ujian sekitar pukul 09.00, di Buper Candali, Jl. Bangkong Reang, RT. 003, RW. 008, Kec. Kemang, Kab. Bogor, Jawa Barat.

 

Dalam pengumuman hasil tersebut terdapat sebanyak 23 peserta ujian yang dinyatakan lulus dan ada 18 peserta diantaranya yang merupakan Kader Komunitas Masyarakat Adat yang berasal dari 18 Wilayah Adat berbeda di seluruh Nusantara, juga dinyatakan telah berhasil lulus Ujian profesi Advokat (UPA) yang diselenggarakan oleh Profesi Persaudaraan Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan), dengan hasil yang memuaskan.

Sebelumnya, para peserta Ujian Profesi Advokat (UPA) ini mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan di tempat yang sama.

 

Pelaksanaan PKPA Angkatan Ke-IV sendiri terlaksana dari tanggal 1 sampai dengan 17 Juli 2025 atas kerjasama Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), PERADI Pergerakan, AMAN dan Forest People Program (FPP).

 

PESERTA PKPA ANGKATAN KE-IV KUNJUNGI MAHKAMAH KONSTITUSI DAN DILANJUT DENGAN AKSI KAMISAN

Kamis, 17 Juli 2025, peserta Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan Ke-IV yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) melakukan kunjungan ke Mahkamah Konstitusi, kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian PKPA yang tengah berjalan.

 

Pada kunjungan tersebut, peserta PKPA disambut oleh Biro Humas dan Protokol Mahkamah Konstitusi, kemudian difasilitasi dengan Kuliah Hukum Lapangan secara singkat yang dibawakan oleh Dr. Syamsudin Noer, S.H., M.H.

Dalam Kuliah singkat tersebut, peserta PKPA dan Dr. Syamsudin mendiskusikan terkait dengan mekanisme Pengajuan Permohonan Pengujian Undang-undang, ruang lingkup kewenangan MK, dan beberapa putusan yang pernah dikeluarkan yang berkaitan dengan Masyarakat Adat, serta permasalahan yang selama ini dialami oleh Masyarakat Adat.

 

Setelahnya peserta PKPA langsung diarahkan untuk melakukan Study Tour di Museum Mahkamah Konstitusi, sehingga peserta PKPA mendapat banyak informasi dan pengetahuan terkait dengan sejarah perjalanan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Selesai dari Mahkamah Konstitusi, para peserta PKPA kemudian bergeser dan menggabungkan diri dengan massa aksi pada aksi kamisan di depan Israna Presiden.

 

Pelaksanaan PKPA Angkatan Ke-IV sendiri dimulai dari tanggal 1 sampai 17 Juli 2025 atas kerja sama Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), PERADI Pergerakan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Forest People Programe (FPP).

PESERTA PKPA MASYARAKAT ADAT TEMUI PELAPOR KHUSUS PBB UNTUK MASYARAKAT ADAT: SUARAKAN PERJUANGAN DAN PELANGGARAN HAK

 

Bogor, 10 Juli 2025 — Para peserta Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) untuk masyarakat adat yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) melakukan pertemuan penting dengan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak-Hak Masyarakat Adat, Dr. Albert K. Barume di Bogor, Jawa Barat. Pertemuan ini menjadi momentum strategis bagi para kader pembela masyarakat adat untuk menyampaikan langsung situasi lapangan terkait kriminalisasi, perampasan wilayah adat, serta tantangan akses terhadap keadilan hukum.

 

Dalam dialog yang berlangsung selama lebih dari dua jam pada kunjungan akademik tersebut, para peserta PKPA yang berasal dari berbagai komunitas adat di Pulau Sumatera, Sulawesi, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, Maluku Utara, dan Papua, kemudian mengangkat berbagai kasus aktual yang tengah dihadapi masyarakat adat. Mulai dari pembungkaman suara masyarakat adat lewat pemidanaan tokoh adat, konflik agraria yang tidak kunjung diselesaikan negara, hingga diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan dalam sistem administrasi kependudukan.

 

“Kami menyampaikan bahwa banyak masyarakat adat kehilangan tanah ulayatnya karena proyek-proyek pembangunan, dan ketika mereka melawan, justru pembelaMasyarakat adat pun dikriminalisasi. Negara belum hadir untuk melindungi kami,” ujar salah satu peserta PKPA dari komunitas masyarakat adat Tano Batak.

 

Pelapor Khusus PBB, dalam kesempatan tersebut, menyatakan apresiasi terhadap keberanian para peserta PKPA dalam menyuarakan kebenaran. Ia juga menegaskan pentingnya dokumentasi kasus-kasus pelanggaran sebagai dasar laporan resmi ke Dewan HAM PBB, serta mendorong kerja-kerja penguatan kapasitas hukum berbasis komunitas seperti yang dilakukan PPMAN.

 

“Pembela masyarakat adat adalah garda terdepan dalam memperjuangkan hak-hak komunitas. Apa yang Anda sampaikan hari ini akan sangat berarti dalam kerja advokasi internasional,” ujarnya.

Pertemuan ini juga menjadi pengakuan atas pentingnya pendidikan hukum berbasis gerakan rakyat. Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus menyebutkan bahwa kegiatan ini bukan hanya soal membentuk advokat profesional, tetapi juga membangun jaringan pembela hak masyarakat adat yang sadar hukum, berani, dan berakar pada komunitasnya.

 

“Kami percaya bahwa keadilan untuk masyarakat adat tidak hanya bisa dicapai lewat lembaga formal, tetapi juga lewat solidaritas lintas batas, termasuk dukungan dari mekanisme HAM internasional,” pungkasnya.

 

Pertemuan ini dihadiri oleh sejumlah aktivis organisasi masyarakat sipil, perwakilan pemerintah dan perwakilan dari Kedutaan Negara yang di undang.

Kunjungan akademik, salah satu aktivitas yang merupakan mandat bagi pelapor khusus PBB. Perbedaan dari kunjungan official dan non-official adalah bila berkunjung tanpa adanya undangan resmi dari negara, maka yang bisa Pelapor Khusus lakukan selama kunjungan itu cukup terbatas. Ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan dan dikatakan oleh dirinya.

 

Pelaksanaan PKPA Angkatan Ke-IV sendiri terlaksana dari tanggal 1 sampai dengan 17 Juli 2025 atas kerjasama Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), PERADI Pergerakan, AMAN dan Forest People Program (FPP).

PERNYATAAN SIKAP HARI BHAYANGKARA 2025 
“Mengabdi atau Mengkriminalisasi? Evaluasi Peran Kepolisian dalam Penegakan Hukum terhadap Masyarakat Adat”

Tanggal 1 Juli 2025, Kepolisian Republik Indonesia kembali memperingati Hari Bhayangkara ke-79. Namun, peringatan ini berlangsung di tengah meningkatnya sorotan terhadap kinerja aparat kepolisian, terutama terkait praktik kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan wilayah, sumber daya, dan hak-hak dasarnya. Alih-alih hadir sebagai pelindung masyarakat, aparat sering kali tampil sebagai alat kekuasaan yang membungkam suara-suara keadilan.

 

Berbagai kasus menunjukkan pola sistematis kriminalisasi terhadap pimpinan komunitas adat, pejuang lingkungan, dan pemuda adat yang mempertahankan wilayahnya dari perampasan lahan oleh korporasi besar maupun proyek negara. Banyak dari mereka dituduh melanggar hukum pidana, padahal yang mereka lakukan semata-mata adalah upaya untuk mempertahankan hak atas hidup dan eksistensi adatnya. Kepolisian kerap menggunakan pasal-pasal karet, melakukan penangkapan tanpa dasar kuat dan mematuhi kitab hukum acara pidana (KUHAP), hingga mengabaikan prinsip-prinsip due process of law.

 

Pada periode Januari – Juni 2025, PPMAN mencatat kriminalisasi kurang lebih 20 (duapuluh) kasus yang dialami oleh pimpinan komunitas masyarakat adat atau para pembela masyarakat adat yang tengah melakukan advokasi kepada masyarakat adat. Anton Yohanis Bala, advokat pembela masyarakat adat di Sikka, Nusa Tenggara Timur di perhadapkan pada upaya kriminasasi saat membela ratusan anggota masyarakat adat yang berkonflik dengan PT. Krisrama di Maumere.

 

Di Maluku Utara, Perempuan Pembela HAM yang juga merupakan kepala suku Isam, Afrida Erna Ngato, di panggil oleh kepolisian Resort Halmahera Utara karena kegiatannya membela masyarakat adat yang mempertahankan wilayah adatnya dalam menghadapi aktifitas pertambangan emas yang dilakukan oleh PT. NHM.

 

Kami, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara, menyatakan sikap sebagai berikut:

 

1. Mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan hak-haknya secara damai dan konstitusional;

 

2. Menuntut Kapolri melakukan evaluasi menyeluruh terhadap jajaran kepolisian daerah yang terbukti berpihak pada kepentingan korporasi dan abai terhadap perlindungan hak masyarakat adat;

 

3. Menyerukan pembentukan mekanisme pengawasan independen terhadap kinerja kepolisian dalam menangani konflik agraria dan kasus-kasus yang melibatkan komunitas adat;

 

4. Mengajak seluruh elemen masyarakat, akademisi, dan tokoh bangsa untuk bersolidaritas melawan praktik impunitas dan ketidakadilan hukum yang menimpa masyarakat adat di berbagai wilayah Indonesia;

 

5. Menegaskan kembali bahwa kepolisian adalah alat negara yang bertanggung jawab melindungi seluruh warga negara tanpa diskriminasi, termasuk masyarakat adat yang dijamin keberadaannya oleh Konstitusi UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012.

 

Peringatan Hari Bhayangkara seharusnya menjadi momentum reflektif, bukan seremoni kosong. Sudah saatnya institusi kepolisian berdiri tegak bersama rakyat, bukan menjadi perpanjangan tangan kekuasaan dan perusahaan yang merampas keadilan. Jika tidak ada perubahan mendasar, maka krisis kepercayaan terhadap institusi ini hanya akan semakin dalam.

 

Bogor, 1 Juli 2025

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara

 

Syamsul Alam Agus
Ketua Badan Pelaksana

PERKUAT KAPASITAS PEMUDA PENGHAYAT, PPMAN SELENGGARAKAN PELATIHAN PARALEGAL

Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyelenggarakan Pelatihan Paralegal bagi Pemuda Penganut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.  Pelatihan yang diselenggarakan atas dukungan dan Kerjasama dengan Direktorat Bina Kepercayaan dan Masyarakat Adat Kementerian Kebudayaan RI ini diselenggarakan 17 hingga 20 Juni 2025 di Jakarta dengan tujuan memperkuat kapasitas pemuda penghayat dalam memahami hak-hak konstitusional, serta membekali mereka dengan keterampilan dasar pendampingan hukum dalam menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dan pelanggaran hak.

 

Syamsul Alam Agus Ketua Badan Pelaksana PPMAN dalam keterangannya menjelaskan bahwa  kegiatan pelatihan paralegal ini diikuti 38 peserta muda yang berasal dari berbagai komunitas penghayat kepercayaan di seluruh wilayah di Indonesia. Dan selama empat hari, para peserta mendapatkan materi tentang sistem hukum nasional, hak asasi manusia, teknik pendampingan hukum berbasis komunitas, serta strategi advokasi kebijakan. Menurut Syamsul Alam, pelatihan ini merupakan bagian dari upaya memperkuat gerakan masyarakat adat dan penganut kepercayaan dalam menegakkan keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum.

 

“Pemuda penghayat kepercayaan kerap mengalami marginalisasi ganda — baik sebagai masyarakat adat maupun sebagai pemeluk kepercayaan minoritas. Pelatihan ini menjadi ruang penting untuk membekali mereka dengan alat hukum agar bisa membela diri dan komunitasnya secara mandiri,” ujarnya.

 

Pelatihan ini juga menghadirkan narasumber dari berbagai lembaga, seperti CRCS UGM, EcoAdat, Advokat berpengalaman dari PPMAN, serta praktisi hukum dan akademisi yang selama ini mendampingi komunitas penghayat dan masyarakat adat.

 

Pada sesi pendalaman materi konstitusi, para peserta melakukan kunjungan ke Mahkamah Konstitusi. Pada kesempatan tersebut, secara aktif, peran peserta interaktif dengan analis hukum Mahkamah Konstitusi terkait dengan implementasi putusan MK Nomor 97 Tahun 2016 tentang hak administrasi kependudukan.

 

Kegiatan ini ditutup dengan simulasi pendampingan kasus dan penyusunan rencana aksi komunitas, sebagai bentuk komitmen peserta untuk menerapkan pengetahuan yang diperoleh dalam kerja-kerja pendampingan hukum di lapangan.

 

Melalui kegiatan ini, PPMAN menurut Syamsul Alam berharap akan tumbuh lebih banyak kader muda paralegal yang mampu menjadi garda depan dalam perjuangan hukum dan kebijakan untuk menjamin pengakuan, perlindungan, dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat dan penganut kepercayaan di Indonesia.

 

Pengalaman Pertama

 

Peserta pelatihan yang ditemui disela – sela kegiatan pelatihan menyatakan pelatihan para legal seperti yang diikuti saat ini menjadi pengalaman pertama komunitas penghayat, sehingga memberikan pengetahuan baru bagi kelompok muda penghayat. Nindya Putri Prameswari dari Komunitas Penghayat Sapto Darmo menyampaikan rasa syukurnya bisa mengikuti pelatihan ini sehingga mendapatkan hal baru bagi perjuangan kelompok penghayat memperjuangkan hak – hak nya. “ Pelatihan ini adalah pengalaman pertama sehingga sangat berguna bagi pemuda penghayat, karena selama ini kita belum tersadarkan dan merasa baik – baik saja,” tegas Putri. Terkait dengan Putusan Mahkamah Konsitusi No.97/PUU-XIV /2016 yang membuka ruang  penghayat berhak diperlakukan setara secara administratif, Putri menyatakan mengapresiasi putusan MK ini walaupun pada prakteknya belum di jalankan secara maksimal dan berpihak kepada kelompok penghayat.

 

Senada dengan Putri disampaikan oleh Nanda Shelly Susanti dari Dewan Musyawarah Wilayah Gema Pakti Jawa Barat yang merasakan manfaat pelatihan Paralegal dan praktiknya pemantauan karena sangat memberikan wawasan baru. “Sebagai peserta kami selama ini belum pernah belajar tentang kiat – kiat atau cara – cara kita dalam melakukan advokasi sebagai seorang paralegal, hari ini kita belajar ilmu yang baru, tentu saja sangat bermanfaat bagi kerja-kerja advokasi kelompok muda penghayat ke depan,” jelas Nanda.

 

Nanda berharap kegiatan serupa akan ada tindak lanjut untuk memperkuat kapasitas anggota Gema Pakti.

PEMUDA PENGHAYAT KEPERCAYAAN DATANGI MAHKAMAH KONSTITUSI, PERTANYAKAN IMPLEMENTASI PUTUSAN MK NO. 97/PUU-XIV/2016

Jakarta, 19 Juni 2025 — Sekitar 38 pemuda penghayat kepercayaan yang tergabung dalam berbagai komunitas kepercayaan di Indonesia GEMAPAKTI, dengan didampingi oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menanyakan tindak lanjut implementasi Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 terkait administrasi kependudukan bagi warga penghayat kepercayaan.

Dalam putusan tersebut, MK telah menegaskan bahwa negara wajib memberikan perlindungan dan pengakuan yang setara terhadap hak-hak sipil warga penghayat, termasuk dalam pencatatan identitas kepercayaan di dokumen resmi seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).

 

Namun demikian, para pemuda penghayat menyampaikan keprihatinan bahwa di lapangan masih terdapat berbagai hambatan birokrasi dan diskriminasi, yang menyebabkan banyak warga penghayat belum bisa mengakses hak-haknya secara penuh. Salah satu perwakilan pemuda, Putri Puspasari dari komunitas Sapta Dharma menyampaikan bahwa di sejumlah daerah, petugas dinas kependudukan masih enggan mencantumkan identitas kepercayaan dalam KTP dengan alasan belum adanya petunjuk teknis yang jelas.

“Kami datang ke MK hari ini untuk meminta kejelasan bagaimana putusan ini seharusnya diimplementasikan oleh pemerintah pusat dan daerah, dan bagaimana MK memastikan bahwa putusan mereka benar-benar dijalankan,” ujar Putri.

 

Manager Advokasi PPMAN, Gregorius Bruno Djako, menegaskan bahwa kedatangan mereka ke MK adalah bagian dari upaya pengawasan warga terhadap pelaksanaan putusan konstitusi yang bersifat final dan mengikat. “Putusan MK bukan sekadar simbol keadilan, tetapi harus berdampak langsung pada kehidupan masyarakat, terutama kelompok rentan seperti penghayat kepercayaan,” tegas Gregorius.

 

PPMAN juga mendesak agar MK melakukan evaluasi berkala terhadap implementasi putusan-putusan yang berdampak terhadap kelompok masyarakat yang rentan, serta merekomendasikan kepada lembaga terkait untuk mempercepat harmonisasi regulasi di tingkat teknis.

 

Kunjungan ini menjadi simbol penting bahwa generasi muda penghayat tidak tinggal diam melihat ketimpangan perlakuan yang terus berlangsung, meski konstitusi telah menjamin kesetaraan bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi atas dasar agama atau kepercayaan.

 

 

Kunjungan di Mahkamah Konstitusi ini diterima oleh Ditya Zuliani, Biro Hukum dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dan sebagai rangkaian dari kegiatan pelatihan paralegal bagi pemuda kepercayaan diseluruh Indonesia yang diselenggarakan oleh PPMAN bekerjasama dengan Direktorat Bina Kepercayaan dan Masyarakat Adat Kementerian Kebudayan RI yang berlangsung dari tanggal 17 hingga 20 Juni 2025 di Jakarta.

PERNYATAAN SIKAP,,
Atas Penggunaan Fasilitas Perusahaan oleh Aparat Keamanan Negara untuk Merepresi Masyarakat Penolak Tambang di Halmahera Timur-Maluku Utara.

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengecam keras penggunaan fasilitas perusahaan tambang oleh aparat keamanan negara—baik TNI maupun Polri—dalam upaya represif terhadap Masyarakat Adat dan warga lokal yang menolak kehadiran tambang di wilayah Maluku Utara.

 

Tindakan ini tidak hanya mencederai prinsip netralitas institusi negara, tetapi juga memperlihatkan keberpihakan yang terang-terangan terhadap kepentingan korporasi tambang dan mengabaikan hak-hak konstitusional warga negara untuk menyampaikan pendapat, mempertahankan ruang hidup, serta menjalankan praktik-praktik pengelolaan wilayah adat secara berkelanjutan.

 

Penggunaan fasilitas perusahaan—seperti kendaraan, peralatan, hingga akomodasi—oleh aparat keamanan dalam operasi represif, merupakan bentuk kolusi antara korporasi dan negara yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi.

 

Ini mengindikasikan militerisasi konflik agraria dan mengancam keselamatan serta martabat masyarakat sipil.

 

Kami menyatakan sikap sebagai berikut:

 

1. Menuntut penghentian segera segala bentuk tindakan represif terhadap Masyarakat Maba Sangaji, Halmahera Timur-Maluku Utara, yang memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungan hidupnya.

 

2. Segera bebaskan 11 Orang Masyarakat Maba Sangaji yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Maluku Utara.

 

3. Mengecam sikap dan tindakan Kepolisian Daerah Maluku Utara yang terkesan melindungi PT. Position saat melakukan pembabatan hutan Adat, Masyarakat Maba Sangaji Halmahera Timur.

 

4. Mengecam PT. Position yang melakukan pembabatan Hutan Adat Masyarakat Maba Sangaji di Halmahera Timur.

 

5. Mendesak institusi TNI dan Polri untuk menjaga netralitas dan tidak terlibat dalam konflik agraria yang berpihak kepada perusahaan.

 

6. Meminta Komnas HAM dan Ombudsman RI untuk melakukan investigasi mendalam atas dugaan pelanggaran HAM dan penyalahgunaan wewenang oleh aparat negara dalam konflik pertambangan di Maluku Utara, terutama konflik antara Masyarakat Maba Sangaji dengan PT. Position yang melakukan penyerobotan atas kebun-kebun warga.

 

7. Mendorong pencabutan izin-izin pertambangan yang bermasalah, khususnya yang beroperasi tanpa persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan secara penuh (FPIC) dari masyarakat terdampak.

 

8. Menyatakan solidaritas penuh kepada seluruh masyarakat adat dan komunitas lokal di Maluku Utara yang terus berjuang mempertahankan tanah, hutan, dan lautnya dari ancaman perusakan akibat tambang.

 

Demikian pernyataan ini kami buat sebagai bentuk tanggung jawab moral dan politik atas situasi darurat keadilan lingkungan dan hak asasi manusia di Maluku Utara.

 

Bogor, 20 Mei 2024

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)

 

Contact person media : 08118889083