POLRI HARUS SEGERA HENTIKAN PENANGKAPAN DAN INTIMIDASI TERHADAP MASYARAKAT ADAT TOBELO DALAM
PERHIMPUNAN PEMBELA MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (PPMAN) – SERUAN MENDESAK
Seruan Mendesak Kasus: PPMAN-SMK-001-2023
24 Maret 2023
————————————————————————————————————————————
INDONESIA: Kepolisian Republik Indonesia Harus Segera Menghentikan Penangkapan dan Bentuk Intimidasi Lainnya Terhadap Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Halmahera Timur, Maluku Utara.
ISU: Masyarakat Adat, Diskriminasi Rasial, Keadilan Hukum, Penyiksaan dan Perlakuan Kejam Tidak Manusiawi, Kekerasan terhadap Perempuan,
————————————————————————————————————————————
Rekan-rekan,
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) telah menerima pengaduan mengenai penangkapan dan penyiksaan yang dialami oleh anggota masyarakat adat Suku Togutil, Tobelo Dalam, Halmahera Timur, Maluku Utara oleh anggota kepolisian dari Polres Halmahera Timur. Korban ditangkap dan mengalami penyiksaan saat interogasi kepolisian, anggota keluarga dibatasi aksesnya bertemu, serta korban dibatasi haknya untuk mendapatkan layanan bantuan hukum pengacara sesuai dengan pilihan dan keputusan korban. Penangkapan dan penyiksaan ini diduga erat kaitannya sebagai pembatasan atas upaya enam orang masyarakat adat menggunakan hak hukumnya membela dan membuktikan skenario “peradilan sesat” yang mengharuskan mereka dipenjara seumur hidup dan mendekam 20 tahun di penjara LP Ternate. Masyarakat Adat Tobelo Dalam sedang berjuang mempertahankan wilayah adatnya dari eskpansi modal dan pembangunan di wilayah masyarakat adat Tobelo Dalam yang massif. Upaya sistematis -kriminalisasi- ini merupakan cara kepolisian membungkam suara penolakan masyarakat adat atas pembangunan yang merusak wilayah adat mereka.
NARASI KASUS
Pada tanggal 22 Maret 2023, Pihak Kepolisian Halmahera Timur, kembali menangkap dan menahan seorang anggota masyarakat adat suku Togutil, Tobelo Dalam, Maluku Utara. Alen Baikole, diduga ditangkap di tempat kerjanya di Subaim pada pagi hari oleh anggota kepolisian. Informasi yang dihimpun oleh Perhimpunan Pembela Masyaraat Adat Nusantara (PPMAN) di lokasi peristiwa, diduga Alen telah mengalami penyiksaan pada saat penangkapan atau saat dilakukan interogasi oleh pihak kepolisian Halmahera Timur. Luka memar di wajah Alen diduga akibat pukulan saat dilakukan interogasi. Alen juga mengeluhkan sakit dibagian dada dan seluruh badannya karena ditendang. Informasi terhimpun, kedua tangan Alen dalam kondisi terikat di kursi saat dilakukan interogasi.
Sehari sebelum penangkapan, Samuel Baikole, petani dan anggota masyarakat adat di Tukur-Tukur dimintai keterangan oleh penyidik di Polres Halmahera Timur, diduga Samuel mendapatkan tekanan dalam proses pengambilan keterangan, pada tanggal 21 Maret 2023, Samuel ditahan oleh penyidik Polres Halmahera Timur. Alen Baikole kemudian ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pelaku pembunuhan yang diduga terjadi pada tanggal 29 Oktober 2022 di Lokasi Kebun Semilo Desa Gotowasi
Kecamatan Maba Selatan Kabupaten Halmahera Timur. Penetapan status tersangka Alen Baikole dituangkan dalam surat penetapan tersangka Nomor: Sp. Tap/34/III/Res 1.7/2023/Reskrim, Tanggal 22 Maret 2023.
Istri Alen, “Y” yang berusaha menemui suaminya di Polres Haltim pada sore hari juga mengalami intimidasi, anggota polisi yang bertugas membatasi akses untuk menemui tersangka. Penyidik Polres Halmahera Timur menekan dan memaksa “Y” untuk mengakui bahwa Alen benar telah melakukan pembunuhan pada tanggal 29 Oktober 2022. Meskipun terus di tekan oleh penyidik, “Y” tetap tidak memberikan pengakuan atas keterangan yang diinginkan oleh penyidik. Saksi “Y” berusaha meyakinkan penyidik bahwa Alen tidak melakukan pembunuhan karena pada waktu peristiwa disebutkan, Alen sedang bersama “Y”. Meskipun demikian, dengan nada mengancam akan memenjarakan “Y” selama 7 tahun, anggota kepolisian tetap memaksa “Y” untuk membenarkan tuduhannya.
Masyarakat Adat Tobelo Dalam dan Ancaman Kriminalisasi Polisi yang Berlanjut
Perlakuan kejam tidak manusiawi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat Tobelo Dalam bukanlah yang pertama. Pada tanggal 29 Maret 2019, Masyarakat adat Tobelo yang bernama Habel Lilinger Alias Hambiki Alias Niklas Dilingir, Hago Baikole alias Hago, Rinto Tojouw alias Rinto, Toduba Hakaru alias Toduba, Awo Gihali alias Awo, dan Saptu Tojou Alias Saptu ditangkap atas tuduhan telah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Habibu Salaton, Karim Abdurahman dan Yusuf Halim dan dua orang korban yang selamat yang bernama Halim Difa dan Harun Muharam. Ke-enam masyarakat adat tersebut bekerja sebagai petani dan berburu yang berdomisili di desa Dodaga kecamatan Wasile Timur, kabupaten Halmahera Timur. Mereka
Kasus ini bermula pada bulan Maret 2019, terjadi pembunuhan di kawasan hutan Bungasili, tepatnya di sungai Waci kecamatan Maba Selatan, Kabupaten Halmahera Timur. Kepolisian dari Polres Halmahera Timur kemudian menangkap dan menahan ke-enam masyarakat adat Tobelo Dalam dengan tuduhan sebagai pelaku pembunuhan berencana.
Pada 30 Maret 2020, Pengadilan Negeri Soasio nomor 94/Pid.B/2019/PN.Sos menjatuhkan hukuman bervariasi kepada 6 (enam) orang masyarakat adat Tobelo Dalam, Habel Lilinger alias Hambiki alias Niklas Dilinger dan Hago Baikole alias Hago dengan pidana penjara masing-masing selama seumur hidup, Toduba Hakaru alias Toduba dan Saptu Tojou alias Saptu dengan pidana penjara masing-masing selama 20 (dua puluh) tahun, sedangkan Rinto Tojou alias Rinto dan Awo Gihali alias Awo di pidana penjara masing-masing selama 16 (enam belas) tahun.
Bahwa terdakwa Awo Gihali alias Awo merupakan orang dengan disabilitas, kondisi Awo tersebut diketahui sebelum kriminalisasi ini terjadi. Pihak Kepolisian, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim yang mengadili perkara ini telah menghukum orang dengan disabilitas, mengabaikan pedoman pelaksanaan pelayanan bagi penyandang disabilitas di Pengadilan Tinggi dan Pengadian Negeri.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) kemudian mengajukan banding atas putusan ini. Hanya berselang sebulan, pada tanggal 30 April 2020, Pengadilan Tinggi Maluku Utara melalui putusan No. 10/Pid/2020/PT.TTE telah memperberat pidana masing-masing terdakwa, diantaranya: Habel Lilinger alias Hambiki alias Niklas Dilinger dan Hago Baikole alias Hago dengan pidana mati, Toduba Hakaru alias Toduba dan Saptu Tojou alias Saptu dengan pidana penjara masing-masing selama seumur hidup, sedangkan Rinto Tojouw dan Awo Gihali alias Awo dengan pidana penjara masing-masing selama 20 (dua puluh) tahun.
Atas putusan Pengadilan Tinggi Maluku Utara, para terdakwa mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia di Jakarta. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia no. 893 K/Pid/2020, tanggal 29 September 2020, telah memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi Maluku Utara. Menjatuhkan pidana kepada Habel Lilinger, Hago Baikole alias Hago, Toduba Hakaru alias Toduba, dan Saptu Tojouu alias Saptu dengan pidana penjara masing-masing seumur hidup; sedangkan kepada terdakwa Rinto Tojouw alias Rinto dan Awo Gihali alias Awo dengan pidana penjara masing-masing selama 20 (dua puluh) tahun.
Situasi Update
Pada tanggal 23 Maret 2023 sekira pukul 17.30 WIT, sejumlah anggota kepolisian dari Polres Halmahera Timur kembali mendatangi dusun Tukur-Tukur untuk melakukan penangkapan. Diketahui Anggota kepolisian tersebut menggunakan 3 mobil berwarna putih dan hitam dan 2 kendaraan bermotor. Beberapa anggota kepolisian menemui warga dan menayakan keberadaan Awo dan seorang “bule”, warga yang umumnya adalah ibu-ibu kemudian menghadang dan mengusir anggota kepolisian keluar dari kampung Tukur-Tukur. Masyarakat Adat di Tukur-Tukur merasakan situasi yang tidak aman setelah beberapa tahun terakhir ini anggota kepolisian terus melakukan intimidasi dan penangkapan kepada masyarakat adat Tobelo Dalam.
Bahwa kedatangan anggota kepolisian dari Polres Halmahera Timur bertujuan untuk mencari seseorang yang diketahui bernama Chase Franklin Conrad, berkebangsaan Amerika Serikat. Chase dinilai oleh kepolisian melindungi masyarakat adat Tobelo Dalam dan diduga mengetahui banyak informasi terkait dengan bentuk-bentuk pelanggaran yang telah dilakukan oleh kepolisian dalam penanganan kasus-kasus yang terjadi di komunitas masyarakat adat Tobelo Dalam.
Alen Baikole, yang saat ini ditangkap dan ditahan di Polres Halmahera Timur diketahui memiliki fakta- fakta atas dugaaan “peradilan sesat” terhadap enam orang masyarakat adat Tobelo Dalam yang kini menjalani hukuman seumur hidup dan 20 tahun penjara. Penangkapan Alen Baikole, dapat menjadi halangan bagi ke-enam terpidana memperjuangkan keadilan melalui proses peninjauan kembali (PK), hak atau upaya hukum terakhir mencari keadilan. Sebaliknya, dengan penangkapan Alen Baikole, akan memberi ruang bagi kepolisian menutupi skenario kriminalisasi yang selama ini digunakan untuk membungkam suara kritis masyarakat adat di Tobelo Dalam atas pembangunan yang merusak lingkungan dan menghancurkan wilayah adat.
Saat ini, advokat dari Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan Lembaga Bantuan Hukum Marimoi yang terhimpun sebagai TIM PEMBELA UNTUK KEADILAN MASYARAKAT ADAT TOBELO DALAM akan memberi bantuan hukum kepada Alen Baikole, Enam Terpidana, Chase Franklin Conrad dan Masyarakat adat Tobelo Dalam yang menjadi korban praktek penyiksaan dan kriminalisasi anggota kepolisian maupun yang mengalami kondisi yang rentan berhadapan dengan kriminalisasi hukum dari aparat keamanan.
Pihak Kepolisian Halmahera Timur telah gagal mendefenisikan makna penyidikan sesuai dengan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yaitu: serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
INFORMASI TAMBAHAN:
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat atau United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) telah diadopsi oleh General Assembly Resolution 61/295 (Resolusi Sidang Umum PBB) pada tanggal 13 September 2007. Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani UNDRIP, sehingga, Hak-Hak Masyarakat Adat yang tercantum dalam deklarasi ini mengikat Indonesia secara moral untuk mengakui, menghormati dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat di wilayah Indonesia.
UNDRIP memberikan perlindungan yang kuat terhadap hak masyarakat adat atas sumber daya alam. Hak-hak dan kebebasan dasar dari masyarakat adat juga menjadi inti dari UNDRIP yang seluruh pasal dan ayatnya mengatur tentang pengakuan, perlindungan, penghormatan, dan pemenuhannya. Termasuk di dalamnya, sejumlah pasal yang mengatur tentang hak masyarakat adat untuk menerima atau menolak berbagai usulan atau rancangan pembangunan yang akan dilaksanakan dalam wilayah adat mereka. Prinsip yang mengatur tentang hak untuk menerima atau menolak ini dikenal dengan free, prior, and informed consent (FPIC). Prinsip-prinsip FPIC mencerminkan bahwa sebuah negara demokrasi wajib menghargai dan melindungi hak-hak masyarakat adat, tidak diskriminatif, memberikan kebebasan kepada rakyat, termasuk masyarkat adat, untuk berperan serta
Penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan yang dialami oleh Elen Baikole, maupun pemidanaan yang dialami oleh enam orang anggota masyarakat adat Tobelo Dalam sebelumnya, bagaimanapun, tidak hanya melanggar hukum Indonesia, tetapi juga hak asasi manusianya. Indonesia adalah negara pihak pada Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), Indonesia juga adalah salah satu negara yang menandatangani UNDRIP yang menjamin hak atas kontrol masyarakat adat terhadap pembangunan yang berdampak pada mereka dan tanah-tanah mereka, wilayah dan sumber daya alam mereka, akan memungkinkan mereka untuk menjaga dan memperkuat lembaga- lembaga, budaya-budaya dan tradisi-tradisi mereka, dan untuk memajukan pembangunan mereka selaras dengan aspirasi-aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan mereka. Indonesia juga merupakan negara pihak pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menyerukan anggotanya untuk melindungi hak-hak semua orang atas kebebasan dan keamanan. Menurut ICCPR, pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi hak atas kebebasan seseorang terhadap perampasan oleh pihak ketiga.
UUD 1945 dan hukum hak asasi manusia juga menjamin hak atas pangan, kesehatan, adil dan hak atas kebebasan dan keamanan. Ini jaminan hukum, bagaimanapun, tidak ditegakkan dengan benar. Selain itu, UUD 1945 memberikan mandat khusus kepada Institusi Kepolisian sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Sesuai Pasal 4 UU No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian, dalam mewujudkan tujuannya Polri wajib menjunjung tinggi HAM.
Untuk memastikan implementasi penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia bagi pimpinan dan anggota Kepolisian Republik Indonesia, pimpinan Polri telah menerbitkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahkan dalam Perkap tersebut menegaskan pengakuan institusi Polri atas keberadaan masyarakat adat dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Budaya Lokal yang dimaksudnya dalam Peraturan Polri ini adalah adat, tradisi, kebiasaan atau tata nilai yang masih kuat dianut oleh masyarakat setempat dalam rangka memelihara keamanan, ketertiban dan ketenteraman di lingkungan warga masyarakat setempat.
Penyikapan kepolisian pada penanganan kasus-kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum merupakan penentu awal akses masyarakat adat pada keadilan. Sikap proaktif pimpinan polri dalam mengusut kasus kekerasan terhadap masyarakat adat yang melibatkan anggota Polri perlu terus didesakkan.
SARAN TINDAKAN:
Silakan menulis kepada Pemerintah Indonesia di bawah ini, menuntut intervensi mereka ke dalam masalah ini. Hubungi mereka untuk memastikan bahwa penyidikan yang independen, profesional, transparan dan menyeluruh dalam kasus ini. Kepada Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, silahkan mendesak mereka bertindak profesional dan transparan dalam penanganan kasus ini dengan mengadakan penyelidikan kriminal atas sangkaan keterlibatan anggota kepolisian di Polres Halmahera Timur pada kasus terkait serta meyelidiki dugaan adanya pelanggaran prosedural penyelidikan dan penyidikan juga dugaan atas praktik penyiksaan terhadap enam orang masyarakat adat Tobelo Dalam yang kini dalam status terpidana. Terhadap perbuatan pidana penyiksaan dan pelaku peserta lainnya mendesak untuk dilakukannya penyelidikan menyeluruh yang independen.
Untuk mendukung seruan ini, silakan mengirimkan surat kepada: CONTOH SURAT:
Kepada YTH, ___________,
INDONESIA: Kepolisian Republik Indonesia Harus Segera Menghentikan Penangkapan dan Bentuk Intimidasi Lainnya Terhadap Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Halmahera Timur, Maluku Utara.
Nama korban : Alen Baikole
Nama pelaku : Anggota Kepolisian Polres Halmahera Timur, Maluku Utara
Waktu kejadian : 22 Maret 2023
Tempat kejadian : SP3 SUBAIM, Kecamatan Wasile dan Mapolres Halmahera Timur, Jl. Tunis No.3, Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara
Saya menulis untuk menyuarakan keprihatinan saya yang mendalam mengenai kriminalisasi dan praktik penyiksaan yang dialami oleh Alen Baikole dan Samuel, anggota masyarakat adat Tobelo Dalam di lokasi tempat bekerja di SP3 SUBAIM dan berlanjut tindakan kekerasan, penangkapan dan penahanan yang terjadi di Mapolres Halmahera Timur.
Menurut informasi yang saya terima dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), bahwa pada tanggal 22 Maret 2023, pagi hari sekitar pukul 06.30 WIT, Alen Baikole hendak berangkat ke lokasi bekerja di SP3 Subaim, diantar oleh istrinya, “Y”. Waktu tempuh dari dusun Tukur- Tukur desa Dodaga (domisili Alen) ke tempat kerja dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Pada pukul 11.20 WIT, “Y” mendapat informasi melalui sambungan telpon seluler yang disampaikan oleh warga lainnya bahwa suaminya, Alen Baikole ditangkap oleh beberapa orang anggota kepolisian, Alen dibawa dengan menggunakan mobil ke Mapolres Halmahera Timur. Istri dan kerabat Alen berusaha
menemui di Mapolres Halmahera Timur, namun anggota kepolisian yang bertugas saat itu menghalangi dan tidak memberi ijin untuk menemui Alen. Dengan memohon kepada anggota kepolisian akhirnya, “Y” diperbolehkan bertemu Alen, di sana sang Istri menemui kejanggalan, wajah dibagian kiri Alen luka memar, Alen juga mengeluhkan dada dan seluruh badannya sakit. Dia menyebut saat itu dia dipukul dan ditendang sampai di tempat penahannya, di Mapolres Haltim.
Saya diberitahu bahwa selama “Y” berada di Mapolres Haltim menemui Alen, “Y” mendapatkan perlakuan kasar dari anggota kepolisian, “Y” mengaku ditekan dan dipaksa untuk mengakui bahwa Alen Baikole terlibat dalam kasus pembunuhan pada tanggal 29 Oktober 2022 di lokasi Kebun Semilo Desa Gotowasi Kecamatan Maba Selatan Kabupaten Halmahera Timur. Polisi saat itu terus menekan dan memaksa, namun tetap pada pendiriannya “Y” tidak memberi jawaban, mengakui tuduhan polisi terhadap Alen. Anggota Polisi tersebut terus menekan “Y” dan mengancam akan penjarahkan “Y” selama 7 tahun kalau tidak mengakui dan terus berbohong.
Selain menjadi sasaran kekerasan fisik (penyiksaan), Alen Baikole juga tidak mendapatkan haknya untuk bebas didampingi oleh Pengacara, Polisi telah memaksa dan mengarahkan Alen dan Samuel untuk memberi kuasa kepada salah seorang pengacara yang ditunjuk oleh penyidik kepolisian di Halmahera Timur. Akhirnya Alen Baikole dan Samuel terpaksa menjalani pemeriksaan dalam status tersangka yang didampingi oleh pengacara yang ditunjuk oleh penyidik.
Tidak hanya pelanggaran atas hak normatif Alen Baikole sebagai warga negara untuk mendapatkan perlakuan yang setara di depan hukum, penyidik juga tidak memberi kesempatan bagi keluarganya memberi klarifikasi atas tuduhan yang disangkakan sebagai pelaku pembunuhan pada tanggal 29 Oktober 2022. Sungguh perbuatan anggota kepolisian Polres Halmahera Timur tidak manusiawi dan melanggar kebebasan dasar orang lain.
Saya marah tidak hanya dengan fakta bahwa Alen Baikole telah mengalami kriminalisasi dan praktik penyiksaan yang mengarah ke tujuan untuk mendapatkan pengakuan atas tuduhan sebagai pelaku pembunuhan, tetapi juga oleh reaksi dari penegak hukum di kepolisian Polres Halmahera Timur. Saya sadar bahwa polisi Polres Halmahera Timur telah mengaitkan beberapa orang lainnya anggota masyarakat adat Tobelo Dalam pada kasus pembunuhan yang terjadi pada Maret 2019 di hutan waci, termasuk Alen Baikole. Namun, kejanggalan dalam proses hukum yang berlangsung justru Alen Baikole pada tanggal 22 Maret 2023 ditetapkan tersangka pada peristiwa yang dituduhkan oleh Polisi terjadi pada tanggal 29 Oktober 2022.
Saya mendapatkan informasi bahwa saat ini, enam orang anggota masyarakat adat Tobelo Dalam lainnya telah terlebih dahulu ditangkap dan sudah mendapatkan ketetapan atas putusan hukum sampai pada tingkat Kasasi di Mahkamah Agung. Enam masyarakat adat Tobelo Dalam diindikasikan menjalani sebuah praktik “peradilan sesat”, mereka saat itu (2019) ditangkap, disiksa dan ditahan, bahkan seorang diantaranya merupakan orang dengan disabilitas. Mereka menjalani proses peradilan tanpa pendampingan juru bahasa dan ahli lainnya, pembelaan terhadapnya tidak mendapatkan ruang yang memadai untuk meraih keadilan.
Menurut hukum di Indonesia, kekerasan fisik adalah kejahatan. Untuk alasan ini, tidak ada alasan bagi pimpinan kepolisian RI untuk tidak melakukan penyelidikan menyeluruh atas peristiwa ini. “Kurangnya bukti ‘bukan alasan logis dan sah untuk menuntaskan kasus ini secara terang bederang, sebagai salah satu tujuan dari penyelidikan itu sendiri adalah untuk mengumpulkan bukti. Kapolri harus berkomitmen untuk tugasnya menegakkan hukum, perlu untuk menjadi pro-aktif dalam mengumpulkan bukti dan menyelidiki dugaan keterlibatan pihak lainnya sehingga motif dari satu peristiwa dapat terungkap secara jelas.
Untuk memastikan bahwa para pihak yang harus bertanggung jawab karena telah melanggar hak asasi masyarakat adat Tobelo Dalam di hukum secara maksimal, saya menyerukan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk bersikap pro-aktif mendesak Penyidik di Polres Halmahera Timur segera melakukan penghentian penyidikan dan segera membebaskan Alen Baikole dari seluruh
sangkaan. Penyelidikan yang efektif dan independen atas dugaan penyiksaan, kriminalisasi yang dilakukan oleh penyidik di Polres Haltim, tidak hanya kepada Alen Baikole dan Samuel, tapi untuk selanjutnya Polisi untuk segera menghentikan kriminalisasi, dan intimidasi pada anggota masyarakat adat di Tobelo Dalam.
Saya juga menyerukan agar penyidik pada Divisi Profesi dan Pengamanan (PROPAM) Mabes Polri dapat menegakkan hukum dengan memerintahkan penyelidikan dan penyidikan terhadap anggota kepolisian di Polres Haltim yang diduga telah melakukan rekayasa kasus, intimidasi dan kriminalisasi serta penyiksaan terhadap masyarakat adat. Kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI untuk melakukan investigasi menyeluruh atas dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh masyaraat adat Tobelo Dalam di Halmahera Timur, Maluku Utara.
Saya berharap untuk respon yang efektif dan positif dalam hal ini. Hormat saya,
————————————————–
KIRIMKAN SURAT ANDA KE:
- Bapak Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Jl. Trunojoyo No. 3
Jakarta SelatanHp. 0811 8836 555 Tel: +62 21 721 8012 Fax: +62 21 720 7277 - Ibu DR. Atnike Nova Sigiro, M,Sc
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI)
Jl. Latuharhari No. 4B, kelurahan Menteng, Jakarta Pusat, 10310 Jakarta Pusat
Hp. 0812 940 1766
Tel: +62 21 3925230
Fax: +62 21 3925227
Email : info@komnasham.go.id
Terimakasih.
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
Alamat :
Jalan Parakan Salak No. 01
Desa Kemang, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat Email: ppman@aman.or.id
Website : www.ppman.org