Masyarakat Adat Tobelo Dalam Dikriminalisasi oleh Polres Halmahera Timur. PPMAN : Batalkan Pemeriksaan Tahap II Terhadap Masyarakat Adat Tobelo Dalam

URGENT ACTION

 

Rekan2 sekalian,
Komunitas Masyarakat Adat Se-Nusantara dan Jaringan Organisasi Masyarakat Sipil

 

Mohon dukungannya untuk bersolidaritas atas upaya permohonan dua orang anggota masyarakat adat tobelo dalam yang saat ini di kriminalisasi oleh Polres Halmahera Timur.

 

Alen Baikole dan Samuel Gebe alias Samuel di kriminalisasi oleh Polres Halmahera Timur pada Maret 2023. Ke dua anggota masyarakat adat di tangkap dan disangkakan sebagai pelaku pembunuhan pada peristiwa 29 Oktober 2022.

 

Kedua tersangka menggunakan hak hukum yang di jamin konstitusi dengan mengajukan praperadilan di PN Soasio, Tidore Kepulauan, Maluku Utara.

 

Saat proses praperadilan berlangsung, setelah melalui proses pembuktian, Polres Halmahera Timur bekerjasama dengan Kejaksaan Negeri Tidore akan mempercepat proses P21 (berkas lengkap dan akan menjalani penuntutan).

 

Kami mohon solidaritas rekan2 masyarakat adat se nusantara untuk segera mengirimkan desakan kepada masing2 pihak berikut untuk membatalkan pemeriksaan tahap II (P21) berkas perkara yang akan dilangsungkan pada senin, 8 Mei 2023.

 

====================================================================================

 

Templete surat :

 

Kepada Yth.
Kepala Kejaksaan Negeri Tidore, Maluku Utara
C.q. Jaksa Peneliti Perkara tersangka Alen Baikole dan Samuel Gebe alias Samuel

 

Perihal: Penolakan Pemeriksaan Tahap II

 

Dengan hormat,

 

Saya, sebagai warga negara, prihatin dan terpanggil untuk mengingatkan bapak dalam penanganan perkara yang saat ini berproses di Polres Halmahera Timur dan akan dipaksakan oleh penyidik polres Halmahera Timur pelimpahan tahap II-nya ke Kejaksaan Negeri Tidore.

 

Hari ini, Minggu, 7 Mei 2023, saya telah mendapat informasi dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) selaku bagian dari Tim Advokasi Untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, bahwa Kasat Reskrim Polres Halmahera Timur, IPDA Muhammad Kurniawan, S.Tr.K. telah mengirimkan surat pemanggilan pemeriksaan tahap II Saudara Alen Baikole dan Samuel Gebe alias Samuel pada tanggal 8 Mei 2023 di Kejaksaan Negeri Tidore lewat pesan whatsapp. Usaha tidak terpuji dan terkesan dipaksakan ini dilakukan oleh Kasat Reskrim Polres Halmahera Timur ditengah proses Pra Peradilan yang diajukan oleh Saudara Alen Baikole dan Samuel Gebe.

 

Dari Tim Advokasi Untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam selaku kuasa pemohon praperadilan juga menyampaikan bahwa proses praperadilan yang di pimpin oleh majelis hakim tunggal PN Soasio, Tidore Kepulauan, Kemal Syarudin, S.H. akan memasuki tahap kesimpulan (8/5) dan agenda putusan pada tanggal 9 Mei 2023.

 

Kami mengikuti proses pra peradilan tersebut sejak awal digelar di PN Soasio. Dalam agenda pembuktian pada tanggal 4 dan 5 Mei 2023, melalui pembuktian surat dan keterangan saksi fakta dan ahli di hadapan majelis, pihak Termohon, dalam hal ini diwakili oleh Kasat Reskrim Polres Halmahera Timur dan Binkum Polda Maluku Utara tidak dapat mendalilkan alasan-alasan kuat guna menjawab fakta-fakta persidangan. Bahwa terungkap sebagai fakta persidangan, penetapan tersangka, penangkapan, penahahan dan penyitaan barang bukti tersangka dilakukan secara instan dalam kurun waktu 8 jam dihari yang sama (22 Maret 2023), hal ini telah menyebabkan ketidaktelitian dan sarat keterpaksaan sehingga melanggar prosedur. Mirisnya lagi, penyidik Polres Halmahera Tengah telah melakukan berbagai upaya yang dapat dikategorikan sebagai penggunaan kekuasaan yang eksesif (excessive use of force). Anggota kepolisian Halmahera Timur melampaui upaya yang dibutuhkan seperti penggunaan upaya paksa yaitu adanya tindakan penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan tersangka. Fakta persidangan melalui keterangan saksi terungkap bahwa penyidik telah melakukan penyiksaan kepada Alen Baikole dengan mengikat tangan dikursi, memukul dibagian wajah dan menginjak dibagian dada.

 

Saya selaku warga negara, mengingatkan Bapak selaku pihak yang akan menerima pelimpahan perkara tahap II, agar dapat melakukan penolakan atau penundaan terhadap rencana pelimpahan tahap II atas nama tersangka Alen Baikole dan Samuel Gebe alias Samuel karena proses pra peradilan yang tengah berlangsung dan juga pemberitahuan oleh pihak kepolisian Halmahera Timur yang mendadak, hanya lewat pesan whatsapp dan dilakukan pada hari libur (minggu, 7 Mei 2023).

 

Sebagaimana Bapak ketahui, Praperadilan bertujuan menegakkan dan memberikan perlindungan hak asasi manusia (HAM) tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Mekanisme ini dipandang sebagai bentuk pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan.

 

Penekanan atas maksud diatas, pada tanggal 4 April 2023, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah menerbitkan surat perlindungan khusus kepada Saudara Alen Baikole yang ditujukan kepada Kapolda Maluku Utara.

 

Saya merasa sangat keberatan dengan cara dan keputusan Kasat Reskrim Polres Halmahera Timur tersebut, karena permohonan praperadilan saudara Alen Baikole dan Samuel Gebe alias Samuel adalah instrumen hukum yang diakui dalam peraturan perundang-undangan yang dijamin oleh Konstitusi.

 

Praperadilan yang diajukan oleh tersangka merupakan bukti yang sangat penting untuk membela diri dalam sidang dan menyatakan adanya dugaaan pelanggaran KUHAP dan Perkap No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Perkara Pidana. Saya telah mempelajari dengan seksama materi permohonan tersebut serta mengikuti persidangan praperadilan yang digelar dan yakin bahwa fakta-fakta dalam persidangan praperadilan tersebut memiliki nilai bukti yang tinggi dan sangat relevan dengan dugaan pelanggaran atas penyidikan kasus yang sedang disangkakan oleh penyidik Polres Halamahera Timur.

 

Saya memahami bahwa sebagai jaksa yang akan menuntut perkara ini, Bapak memiliki hak untuk menolak atau menerima berkas perkara yang diajukan oleh penyidik. Namun, saya merasa bahwa keputusan Anda untuk menolak seluruh berkas perkara yang diajukan oleh penyidik Polres Halmahera Timur dalam sangkaan kepada Saudara Alen Baikole dan Samuel Gebe alias Samuel adalah sebuah keadilan yang berdasarkan pada fakta-fakta yang sebenarnya.

 

Saya berharap Bapak dapat mempertimbangkan kembali atas rencana pemeriksaan ke II saudara Alen Baikole Samuel Gebe alias Samuel. Saya memohon kiranya Bapak dapat mempertimbangkan kembali rencana tersebut setelah putusan praperadilan dibacakan di PN Soasio pada tanggal 8 Mei 2023.

 

Demikian surat ini saya ajukan. Saya berharap pihak yang Anda pimpin dapat mempertimbangkan dengan seksama keberatan saya ini dan memberikan keputusan yang adil dan seimbang bagi Alen Baikole dan Samuel Gebe Alias Samuel sebagai anggota Masyarakat Adat Tobelo Dalam.

 

Terima kasih atas perhatian Anda.

 

Hormat saya,

———

 

Dikirimkan kepada :
1. Kepala Kejaksaan Negeri Tidore, +62 821 87355684
2. Kapolres Halmahera Timur, +62 813 27772002
3. Komisi Kejaksan RI, +62 856 91514387
4. Ketua Komnas HAM, +62 812 9401766

MASYARAKAT ADAT (O Hagana Manyawa Tobelo Dalam) MENGGUGAT: GUGATAN PRA PERADILAN ATAS TINDAKAN SEWENANG-WENANG DAN PELANGGARAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH POLRES HALMAHERA TIMUR

PRESS RELEASE

 

Selasa, (2/5/2023) Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, Maluku Utara menggelar persidangan perdana pra Peradilan yang diajukan oleh 2 (dua) anggota Masyarakat Adat Tobelo Dalam (O Hagana Manyawa), yang bernama Samuel Baikole dan Alen Baikole.

 

Upaya hukum ini dilakukan karena adanya dugaan kesalahan prosedur dan tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Termohon (Kepolisian Polres Halmahera Timur) mulai dari proses penangkapan, penahanan dan penetapan sebagai tersangka. Bahwa, termohon melakukan penangkapan dan penahanan terhadap dua tersangka yang dituduh telah melakukan pembunuhan berencana terhadap seorang masyarakat dari Dusun Tukur-Tukur pada Oktober 2022. Persidangan ini dipimpin oleh Hakim Tunggal, Kemal Syafrudin, S.H.

 

Pada persidangan ini, kedua tersangka diwakili oleh kuasa hukumnya yang berasal dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Marimoi yang tergabung dalam Tim Advokasi Untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Kuasa hukum kedua tersangka berjumlah 11 advokat pembela yang berasal dari Jakarta, Makasar dan Ternate.

 

Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus, S.H. hadir dalam persidangan tersebut, ditemui setelah persidangan. Alam sapaannya, menjelaskan mengenai gugatan Praperadilan ini dilakukan karena diyakini adanya tindakan pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh Polres Halmahera Timur, mulai dari proses penangkapan, penahanan dan penetapan status kedua Masyarakat Adat sebagai tersangka. Tindakan ini merupakan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena termohon yang dalam Persidangan Pra Peradilan ini diwakilkan oleh Kasat Reskrim Polres Halmahera Timur dan Binkum Polda Maluku Utara diduga telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Kedua tersangka.

 

“Berdasarkan keterangan yang kami miliki, sangat kuat dugaan bahwa penangkapan serta penahanan tersangka telah melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)” ungkap Alam.

 

Ketua PPMAN ini menambahkan bahwa tindakan Termohon dengan melakukan penyitaan terhadap barang milik Tersangka tanpa prosedur merupakan tindakan pelanggaran hukum, karena sejatinya penyitaan barang milik tersangka harus memiliki keterkaitan dengan suatu peristiwa pidana, dan selain itu penyitaan harusnya dilakukan melalui proses di Pengadilan, sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), atau setidaknya mengacuh pada Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana.

 

Sementara Ketua Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Maharani Caroline, S.H. mengatakan bahwa tindakan termohon dengan melakukan kekerasan dengan cara menendang, memukul, mengikat tangan tersangka di kursi, mengintimidasi dan mengancam agar kedua tersangka mengakui perbuatan yang tidak dilakukan merupakan tindakan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang harus dituntut secara hukum.

 

Perempuan yang biasa disapa dengan Rani ini juga menambahkan bahwa gugatan Prapid ini juga meminta kepada Termohon untuk memberikan ganti kerugian atas tindakan yang telah merugikan kedua tersangka, kerugian baik itu secara materiil maupun imateriil.

 

“Selain itu Termohon harus melakukan rehabilitasi nama baik kedua tersangka melalui media lokal dan media nasional”, tuntut Rani.

 

Pra Peradilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentikan penuntutan dan Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi ( pasal 1 angka 10 KUHAP).

 

Agenda persidangan pra peradilan berikutnya pada tanggal 3 sampai dengan 9 Mei 2023 adalah pembuktian, kesimpulan para pihak dan majelis tunggal pada tanggal 9 Mei 2023 rencananya akan menjatuhkan putusan atas perkara ini.

 

Narahubung :
Syamsul Alam Agus – 08118889083
Maharani Caroline – 082187358212

 

***

POLRI HARUS SEGERA HENTIKAN PENANGKAPAN DAN INTIMIDASI TERHADAP MASYARAKAT ADAT TOBELO DALAM

POLRI HARUS SEGERA HENTIKAN PENANGKAPAN DAN INTIMIDASI TERHADAP MASYARAKAT ADAT TOBELO DALAM

 

PERHIMPUNAN PEMBELA MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (PPMAN) – SERUAN MENDESAK

 

Seruan Mendesak Kasus: PPMAN-SMK-001-2023

 

24 Maret 2023

 

————————————————————————————————————————————

INDONESIA: Kepolisian Republik Indonesia Harus Segera Menghentikan Penangkapan dan Bentuk Intimidasi Lainnya Terhadap Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Halmahera Timur, Maluku Utara.

 

ISU: Masyarakat Adat, Diskriminasi Rasial, Keadilan Hukum, Penyiksaan dan Perlakuan Kejam Tidak Manusiawi, Kekerasan terhadap Perempuan,

————————————————————————————————————————————

 

Rekan-rekan,

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) telah menerima pengaduan mengenai penangkapan dan penyiksaan yang dialami oleh anggota masyarakat adat Suku Togutil, Tobelo Dalam, Halmahera Timur, Maluku Utara oleh anggota kepolisian dari Polres Halmahera Timur. Korban ditangkap dan mengalami penyiksaan saat interogasi kepolisian, anggota keluarga dibatasi aksesnya bertemu, serta korban dibatasi haknya untuk mendapatkan layanan bantuan hukum pengacara sesuai dengan pilihan dan keputusan korban. Penangkapan dan penyiksaan ini diduga erat kaitannya sebagai pembatasan atas upaya enam orang masyarakat adat menggunakan hak hukumnya membela dan membuktikan skenario “peradilan sesat” yang mengharuskan mereka dipenjara seumur hidup dan mendekam 20 tahun di penjara LP Ternate. Masyarakat Adat Tobelo Dalam sedang berjuang mempertahankan wilayah adatnya dari eskpansi modal dan pembangunan di wilayah masyarakat adat Tobelo Dalam yang massif. Upaya sistematis -kriminalisasi- ini merupakan cara kepolisian membungkam suara penolakan masyarakat adat atas pembangunan yang merusak wilayah adat mereka.

 

NARASI KASUS

 

Pada tanggal 22 Maret 2023, Pihak Kepolisian Halmahera Timur, kembali menangkap dan menahan seorang anggota masyarakat adat suku Togutil, Tobelo Dalam, Maluku Utara. Alen Baikole, diduga ditangkap di tempat kerjanya di Subaim pada pagi hari oleh anggota kepolisian. Informasi yang dihimpun oleh Perhimpunan Pembela Masyaraat Adat Nusantara (PPMAN) di lokasi peristiwa, diduga Alen telah mengalami penyiksaan pada saat penangkapan atau saat dilakukan interogasi oleh pihak kepolisian Halmahera Timur. Luka memar di wajah Alen diduga akibat pukulan saat dilakukan interogasi. Alen juga mengeluhkan sakit dibagian dada dan seluruh badannya karena ditendang. Informasi terhimpun, kedua tangan Alen dalam kondisi terikat di kursi saat dilakukan interogasi.

 

Sehari sebelum penangkapan, Samuel Baikole, petani dan anggota masyarakat adat di Tukur-Tukur dimintai keterangan oleh penyidik di Polres Halmahera Timur, diduga Samuel mendapatkan tekanan dalam proses pengambilan keterangan, pada tanggal 21 Maret 2023, Samuel ditahan oleh penyidik Polres Halmahera Timur. Alen Baikole kemudian ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pelaku pembunuhan yang diduga terjadi pada tanggal 29 Oktober 2022 di Lokasi Kebun Semilo Desa Gotowasi

 

Kecamatan Maba Selatan Kabupaten Halmahera Timur. Penetapan status tersangka Alen Baikole dituangkan dalam surat penetapan tersangka Nomor: Sp. Tap/34/III/Res 1.7/2023/Reskrim, Tanggal 22 Maret 2023.

 

Istri Alen, “Y” yang berusaha menemui suaminya di Polres Haltim pada sore hari juga mengalami intimidasi, anggota polisi yang bertugas membatasi akses untuk menemui tersangka. Penyidik Polres Halmahera Timur menekan dan memaksa “Y” untuk mengakui bahwa Alen benar telah melakukan pembunuhan pada tanggal 29 Oktober 2022. Meskipun terus di tekan oleh penyidik, “Y” tetap tidak memberikan pengakuan atas keterangan yang diinginkan oleh penyidik. Saksi “Y” berusaha meyakinkan penyidik bahwa Alen tidak melakukan pembunuhan karena pada waktu peristiwa disebutkan, Alen sedang bersama “Y”. Meskipun demikian, dengan nada mengancam akan memenjarakan “Y” selama 7 tahun, anggota kepolisian tetap memaksa “Y” untuk membenarkan tuduhannya.

 

Masyarakat Adat Tobelo Dalam dan Ancaman Kriminalisasi Polisi yang Berlanjut

 

Perlakuan kejam tidak manusiawi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat Tobelo Dalam bukanlah yang pertama. Pada tanggal 29 Maret 2019, Masyarakat adat Tobelo yang bernama Habel Lilinger Alias Hambiki Alias Niklas Dilingir, Hago Baikole alias Hago, Rinto Tojouw alias Rinto, Toduba Hakaru alias Toduba, Awo Gihali alias Awo, dan Saptu Tojou Alias Saptu ditangkap atas tuduhan telah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Habibu Salaton, Karim Abdurahman dan Yusuf Halim dan dua orang korban yang selamat yang bernama Halim Difa dan Harun Muharam. Ke-enam masyarakat adat tersebut bekerja sebagai petani dan berburu yang berdomisili di desa Dodaga kecamatan Wasile Timur, kabupaten Halmahera Timur. Mereka

 

Kasus ini bermula pada bulan Maret 2019, terjadi pembunuhan di kawasan hutan Bungasili, tepatnya di sungai Waci kecamatan Maba Selatan, Kabupaten Halmahera Timur. Kepolisian dari Polres Halmahera Timur kemudian menangkap dan menahan ke-enam masyarakat adat Tobelo Dalam dengan tuduhan sebagai pelaku pembunuhan berencana.

 

Pada 30 Maret 2020, Pengadilan Negeri Soasio nomor 94/Pid.B/2019/PN.Sos menjatuhkan hukuman bervariasi kepada 6 (enam) orang masyarakat adat Tobelo Dalam, Habel Lilinger alias Hambiki alias Niklas Dilinger dan Hago Baikole alias Hago dengan pidana penjara masing-masing selama seumur hidup, Toduba Hakaru alias Toduba dan Saptu Tojou alias Saptu dengan pidana penjara masing-masing selama 20 (dua puluh) tahun, sedangkan Rinto Tojou alias Rinto dan Awo Gihali alias Awo di pidana penjara masing-masing selama 16 (enam belas) tahun.

 

Bahwa terdakwa Awo Gihali alias Awo merupakan orang dengan disabilitas, kondisi Awo tersebut diketahui sebelum kriminalisasi ini terjadi. Pihak Kepolisian, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim yang mengadili perkara ini telah menghukum orang dengan disabilitas, mengabaikan pedoman pelaksanaan pelayanan bagi penyandang disabilitas di Pengadilan Tinggi dan Pengadian Negeri.

 

Jaksa Penuntut Umum (JPU) kemudian mengajukan banding atas putusan ini. Hanya berselang sebulan, pada tanggal 30 April 2020, Pengadilan Tinggi Maluku Utara melalui putusan No. 10/Pid/2020/PT.TTE telah memperberat pidana masing-masing terdakwa, diantaranya: Habel Lilinger alias Hambiki alias Niklas Dilinger dan Hago Baikole alias Hago dengan pidana mati, Toduba Hakaru alias Toduba dan Saptu Tojou alias Saptu dengan pidana penjara masing-masing selama seumur hidup, sedangkan Rinto Tojouw dan Awo Gihali alias Awo dengan pidana penjara masing-masing selama 20 (dua puluh) tahun.

 

Atas putusan Pengadilan Tinggi Maluku Utara, para terdakwa mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia di Jakarta. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia no. 893 K/Pid/2020, tanggal 29 September 2020, telah memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi Maluku Utara. Menjatuhkan pidana kepada Habel Lilinger, Hago Baikole alias Hago, Toduba Hakaru alias Toduba, dan Saptu Tojouu alias Saptu dengan pidana penjara masing-masing seumur hidup; sedangkan kepada terdakwa Rinto Tojouw alias Rinto dan Awo Gihali alias Awo dengan pidana penjara masing-masing selama 20 (dua puluh) tahun.

 

Situasi Update

 

Pada tanggal 23 Maret 2023 sekira pukul 17.30 WIT, sejumlah anggota kepolisian dari Polres Halmahera Timur kembali mendatangi dusun Tukur-Tukur untuk melakukan penangkapan. Diketahui Anggota kepolisian tersebut menggunakan 3 mobil berwarna putih dan hitam dan 2 kendaraan bermotor. Beberapa anggota kepolisian menemui warga dan menayakan keberadaan Awo dan seorang “bule”, warga yang umumnya adalah ibu-ibu kemudian menghadang dan mengusir anggota kepolisian keluar dari kampung Tukur-Tukur. Masyarakat Adat di Tukur-Tukur merasakan situasi yang tidak aman setelah beberapa tahun terakhir ini anggota kepolisian terus melakukan intimidasi dan penangkapan kepada masyarakat adat Tobelo Dalam.

 

Bahwa kedatangan anggota kepolisian dari Polres Halmahera Timur bertujuan untuk mencari seseorang yang diketahui bernama Chase Franklin Conrad, berkebangsaan Amerika Serikat. Chase dinilai oleh kepolisian melindungi masyarakat adat Tobelo Dalam dan diduga mengetahui banyak informasi terkait dengan bentuk-bentuk pelanggaran yang telah dilakukan oleh kepolisian dalam penanganan kasus-kasus yang terjadi di komunitas masyarakat adat Tobelo Dalam.

 

Alen Baikole, yang saat ini ditangkap dan ditahan di Polres Halmahera Timur diketahui memiliki fakta- fakta atas dugaaan “peradilan sesat” terhadap enam orang masyarakat adat Tobelo Dalam yang kini menjalani hukuman seumur hidup dan 20 tahun penjara. Penangkapan Alen Baikole, dapat menjadi halangan bagi ke-enam terpidana memperjuangkan keadilan melalui proses peninjauan kembali (PK), hak atau upaya hukum terakhir mencari keadilan. Sebaliknya, dengan penangkapan Alen Baikole, akan memberi ruang bagi kepolisian menutupi skenario kriminalisasi yang selama ini digunakan untuk membungkam suara kritis masyarakat adat di Tobelo Dalam atas pembangunan yang merusak lingkungan dan menghancurkan wilayah adat.

 

Saat ini, advokat dari Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan Lembaga Bantuan Hukum Marimoi yang terhimpun sebagai TIM PEMBELA UNTUK KEADILAN MASYARAKAT ADAT TOBELO DALAM akan memberi bantuan hukum kepada Alen Baikole, Enam Terpidana, Chase Franklin Conrad dan Masyarakat adat Tobelo Dalam yang menjadi korban praktek penyiksaan dan kriminalisasi anggota kepolisian maupun yang mengalami kondisi yang rentan berhadapan dengan kriminalisasi hukum dari aparat keamanan.

 

Pihak Kepolisian Halmahera Timur telah gagal mendefenisikan makna penyidikan sesuai dengan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yaitu: serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

 

INFORMASI TAMBAHAN:

 

Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat atau United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) telah diadopsi oleh General Assembly Resolution 61/295 (Resolusi Sidang Umum PBB) pada tanggal 13 September 2007. Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani UNDRIP, sehingga, Hak-Hak Masyarakat Adat yang tercantum dalam deklarasi ini mengikat Indonesia secara moral untuk mengakui, menghormati dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat di wilayah Indonesia.

 

UNDRIP memberikan perlindungan yang kuat terhadap hak masyarakat adat atas sumber daya alam. Hak-hak dan kebebasan dasar dari masyarakat adat juga menjadi inti dari UNDRIP yang seluruh pasal dan ayatnya mengatur tentang pengakuan, perlindungan, penghormatan, dan pemenuhannya. Termasuk di dalamnya, sejumlah pasal yang mengatur tentang hak masyarakat adat untuk menerima atau menolak berbagai usulan atau rancangan pembangunan yang akan dilaksanakan dalam wilayah adat mereka. Prinsip yang mengatur tentang hak untuk menerima atau menolak ini dikenal dengan free, prior, and informed consent (FPIC). Prinsip-prinsip FPIC mencerminkan bahwa sebuah negara demokrasi wajib menghargai dan melindungi hak-hak masyarakat adat, tidak diskriminatif, memberikan kebebasan kepada rakyat, termasuk masyarkat adat, untuk berperan serta

 

Penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan yang dialami oleh Elen Baikole, maupun pemidanaan yang dialami oleh enam orang anggota masyarakat adat Tobelo Dalam sebelumnya, bagaimanapun, tidak hanya melanggar hukum Indonesia, tetapi juga hak asasi manusianya. Indonesia adalah negara pihak pada Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), Indonesia juga adalah salah satu negara yang menandatangani UNDRIP yang menjamin hak atas kontrol masyarakat adat terhadap pembangunan yang berdampak pada mereka dan tanah-tanah mereka, wilayah dan sumber daya alam mereka, akan memungkinkan mereka untuk menjaga dan memperkuat lembaga- lembaga, budaya-budaya dan tradisi-tradisi mereka, dan untuk memajukan pembangunan mereka selaras dengan aspirasi-aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan mereka. Indonesia juga merupakan negara pihak pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menyerukan anggotanya untuk melindungi hak-hak semua orang atas kebebasan dan keamanan. Menurut ICCPR, pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi hak atas kebebasan seseorang terhadap perampasan oleh pihak ketiga.

 

UUD 1945 dan hukum hak asasi manusia juga menjamin hak atas pangan, kesehatan, adil dan hak atas kebebasan dan keamanan. Ini jaminan hukum, bagaimanapun, tidak ditegakkan dengan benar. Selain itu, UUD 1945 memberikan mandat khusus kepada Institusi Kepolisian sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Sesuai Pasal 4 UU No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian, dalam mewujudkan tujuannya Polri wajib menjunjung tinggi HAM.

 

Untuk memastikan implementasi penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia bagi pimpinan dan anggota Kepolisian Republik Indonesia, pimpinan Polri telah menerbitkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahkan dalam Perkap tersebut menegaskan pengakuan institusi Polri atas keberadaan masyarakat adat dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Budaya Lokal yang dimaksudnya dalam Peraturan Polri ini adalah adat, tradisi, kebiasaan atau tata nilai yang masih kuat dianut oleh masyarakat setempat dalam rangka memelihara keamanan, ketertiban dan ketenteraman di lingkungan warga masyarakat setempat.

 

Penyikapan kepolisian pada penanganan kasus-kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum merupakan penentu awal akses masyarakat adat pada keadilan. Sikap proaktif pimpinan polri dalam mengusut kasus kekerasan terhadap masyarakat adat yang melibatkan anggota Polri perlu terus didesakkan.

 

SARAN TINDAKAN:

 

Silakan menulis kepada Pemerintah Indonesia di bawah ini, menuntut intervensi mereka ke dalam masalah ini. Hubungi mereka untuk memastikan bahwa penyidikan yang independen, profesional, transparan dan menyeluruh dalam kasus ini. Kepada Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, silahkan mendesak mereka bertindak profesional dan transparan dalam penanganan kasus ini dengan mengadakan penyelidikan kriminal atas sangkaan keterlibatan anggota kepolisian di Polres Halmahera Timur pada kasus terkait serta meyelidiki dugaan adanya pelanggaran prosedural penyelidikan dan penyidikan juga dugaan atas praktik penyiksaan terhadap enam orang masyarakat adat Tobelo Dalam yang kini dalam status terpidana. Terhadap perbuatan pidana penyiksaan dan pelaku peserta lainnya mendesak untuk dilakukannya penyelidikan menyeluruh yang independen.

 

Untuk mendukung seruan ini, silakan mengirimkan surat kepada: CONTOH SURAT:

 

Kepada YTH, ___________,

 

INDONESIA: Kepolisian Republik Indonesia Harus Segera Menghentikan Penangkapan dan Bentuk Intimidasi Lainnya Terhadap Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Halmahera Timur, Maluku Utara.

 

page5image27371888

 

Nama korban : Alen Baikole

Nama pelaku : Anggota Kepolisian Polres Halmahera Timur, Maluku Utara

Waktu kejadian : 22 Maret 2023

Tempat kejadian : SP3 SUBAIM, Kecamatan Wasile dan Mapolres Halmahera Timur, Jl. Tunis No.3, Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara

 

Saya menulis untuk menyuarakan keprihatinan saya yang mendalam mengenai kriminalisasi dan praktik penyiksaan yang dialami oleh Alen Baikole dan Samuel, anggota masyarakat adat Tobelo Dalam di lokasi tempat bekerja di SP3 SUBAIM dan berlanjut tindakan kekerasan, penangkapan dan penahanan yang terjadi di Mapolres Halmahera Timur.

 

Menurut informasi yang saya terima dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), bahwa pada tanggal 22 Maret 2023, pagi hari sekitar pukul 06.30 WIT, Alen Baikole hendak berangkat ke lokasi bekerja di SP3 Subaim, diantar oleh istrinya, “Y”. Waktu tempuh dari dusun Tukur- Tukur desa Dodaga (domisili Alen) ke tempat kerja dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Pada pukul 11.20 WIT, “Y” mendapat informasi melalui sambungan telpon seluler yang disampaikan oleh warga lainnya bahwa suaminya, Alen Baikole ditangkap oleh beberapa orang anggota kepolisian, Alen dibawa dengan menggunakan mobil ke Mapolres Halmahera Timur. Istri dan kerabat Alen berusaha

 

menemui di Mapolres Halmahera Timur, namun anggota kepolisian yang bertugas saat itu menghalangi dan tidak memberi ijin untuk menemui Alen. Dengan memohon kepada anggota kepolisian akhirnya, “Y” diperbolehkan bertemu Alen, di sana sang Istri menemui kejanggalan, wajah dibagian kiri Alen luka memar, Alen juga mengeluhkan dada dan seluruh badannya sakit. Dia menyebut saat itu dia dipukul dan ditendang sampai di tempat penahannya, di Mapolres Haltim.

 

Saya diberitahu bahwa selama “Y” berada di Mapolres Haltim menemui Alen, “Y” mendapatkan perlakuan kasar dari anggota kepolisian, “Y” mengaku ditekan dan dipaksa untuk mengakui bahwa Alen Baikole terlibat dalam kasus pembunuhan pada tanggal 29 Oktober 2022 di lokasi Kebun Semilo Desa Gotowasi Kecamatan Maba Selatan Kabupaten Halmahera Timur. Polisi saat itu terus menekan dan memaksa, namun tetap pada pendiriannya “Y” tidak memberi jawaban, mengakui tuduhan polisi terhadap Alen. Anggota Polisi tersebut terus menekan “Y” dan mengancam akan penjarahkan “Y” selama 7 tahun kalau tidak mengakui dan terus berbohong.

 

Selain menjadi sasaran kekerasan fisik (penyiksaan), Alen Baikole juga tidak mendapatkan haknya untuk bebas didampingi oleh Pengacara, Polisi telah memaksa dan mengarahkan Alen dan Samuel untuk memberi kuasa kepada salah seorang pengacara yang ditunjuk oleh penyidik kepolisian di Halmahera Timur. Akhirnya Alen Baikole dan Samuel terpaksa menjalani pemeriksaan dalam status tersangka yang didampingi oleh pengacara yang ditunjuk oleh penyidik.

 

Tidak hanya pelanggaran atas hak normatif Alen Baikole sebagai warga negara untuk mendapatkan perlakuan yang setara di depan hukum, penyidik juga tidak memberi kesempatan bagi keluarganya memberi klarifikasi atas tuduhan yang disangkakan sebagai pelaku pembunuhan pada tanggal 29 Oktober 2022. Sungguh perbuatan anggota kepolisian Polres Halmahera Timur tidak manusiawi dan melanggar kebebasan dasar orang lain.

 

Saya marah tidak hanya dengan fakta bahwa Alen Baikole telah mengalami kriminalisasi dan praktik penyiksaan yang mengarah ke tujuan untuk mendapatkan pengakuan atas tuduhan sebagai pelaku pembunuhan, tetapi juga oleh reaksi dari penegak hukum di kepolisian Polres Halmahera Timur. Saya sadar bahwa polisi Polres Halmahera Timur telah mengaitkan beberapa orang lainnya anggota masyarakat adat Tobelo Dalam pada kasus pembunuhan yang terjadi pada Maret 2019 di hutan waci, termasuk Alen Baikole. Namun, kejanggalan dalam proses hukum yang berlangsung justru Alen Baikole pada tanggal 22 Maret 2023 ditetapkan tersangka pada peristiwa yang dituduhkan oleh Polisi terjadi pada tanggal 29 Oktober 2022.

 

Saya mendapatkan informasi bahwa saat ini, enam orang anggota masyarakat adat Tobelo Dalam lainnya telah terlebih dahulu ditangkap dan sudah mendapatkan ketetapan atas putusan hukum sampai pada tingkat Kasasi di Mahkamah Agung. Enam masyarakat adat Tobelo Dalam diindikasikan menjalani sebuah praktik “peradilan sesat”, mereka saat itu (2019) ditangkap, disiksa dan ditahan, bahkan seorang diantaranya merupakan orang dengan disabilitas. Mereka menjalani proses peradilan tanpa pendampingan juru bahasa dan ahli lainnya, pembelaan terhadapnya tidak mendapatkan ruang yang memadai untuk meraih keadilan.

 

Menurut hukum di Indonesia, kekerasan fisik adalah kejahatan. Untuk alasan ini, tidak ada alasan bagi pimpinan kepolisian RI untuk tidak melakukan penyelidikan menyeluruh atas peristiwa ini. “Kurangnya bukti ‘bukan alasan logis dan sah untuk menuntaskan kasus ini secara terang bederang, sebagai salah satu tujuan dari penyelidikan itu sendiri adalah untuk mengumpulkan bukti. Kapolri harus berkomitmen untuk tugasnya menegakkan hukum, perlu untuk menjadi pro-aktif dalam mengumpulkan bukti dan menyelidiki dugaan keterlibatan pihak lainnya sehingga motif dari satu peristiwa dapat terungkap secara jelas.

 

Untuk memastikan bahwa para pihak yang harus bertanggung jawab karena telah melanggar hak asasi masyarakat adat Tobelo Dalam di hukum secara maksimal, saya menyerukan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk bersikap pro-aktif mendesak Penyidik di Polres Halmahera Timur segera melakukan penghentian penyidikan dan segera membebaskan Alen Baikole dari seluruh

 

sangkaan. Penyelidikan yang efektif dan independen atas dugaan penyiksaan, kriminalisasi yang dilakukan oleh penyidik di Polres Haltim, tidak hanya kepada Alen Baikole dan Samuel, tapi untuk selanjutnya Polisi untuk segera menghentikan kriminalisasi, dan intimidasi pada anggota masyarakat adat di Tobelo Dalam.

 

Saya juga menyerukan agar penyidik pada Divisi Profesi dan Pengamanan (PROPAM) Mabes Polri dapat menegakkan hukum dengan memerintahkan penyelidikan dan penyidikan terhadap anggota kepolisian di Polres Haltim yang diduga telah melakukan rekayasa kasus, intimidasi dan kriminalisasi serta penyiksaan terhadap masyarakat adat. Kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI untuk melakukan investigasi menyeluruh atas dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh masyaraat adat Tobelo Dalam di Halmahera Timur, Maluku Utara.

 

Saya berharap untuk respon yang efektif dan positif dalam hal ini. Hormat saya,

 

————————————————–

 

KIRIMKAN SURAT ANDA KE:

 

  1. Bapak Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo Kepala Kepolisian Republik Indonesia
    Jl. Trunojoyo No. 3
    Jakarta SelatanHp. 0811 8836 555 Tel: +62 21 721 8012 Fax: +62 21 720 7277
  2. Ibu DR. Atnike Nova Sigiro, M,Sc
    Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI)
    Jl. Latuharhari No. 4B, kelurahan Menteng, Jakarta Pusat, 10310 Jakarta Pusat
    Hp. 0812 940 1766
    Tel: +62 21 3925230
    Fax: +62 21 3925227
    Email : info@komnasham.go.id

 

Terimakasih.

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)

Alamat :
Jalan Parakan Salak No. 01
Desa Kemang, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat Email: ppman@aman.or.id
Website : www.ppman.org

page7image27582384 page7image27582800 page7image27583008

Pelatihan Paralegal, Sebuah Jalan Penguatan Kapasitas bagi Pembela Masyarakat Adat di Kutei Cawang ‘An Kab. Rejang Lebong Prov. Bengkulu Region Sumatera

Rejang Lebong, Bengkulu, 11 Maret 2022, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), bekerjasama dengan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melaksanakan pelatihan paralegal bagi Komunitas Masyarakat Adat bertempat di komunitas Masyarakat Adat Cawang ‘An, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.

 

Pelatihan ini dihadiri oleh tiga puluh satu anak muda yang terdiri dari laki-laki dan perempuan sebagai utusan dari Komunitas Masyarakat Adat di wilayah Bengkulu.

 

Pembukaan Pelatihan Paralegal pada Sabtu (11/03/2023) dihadiri oleh Tokoh Masyarakat Adat dari Komunitas Cawang ‘An, Kepala Desa Cawang Lama, Ketua Pelaksana Harian Daerah (PHD) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rejang Lebong, Ketua PW AMAN Bengkulu, Koordinator PPMAN Region Sumatera beserta anggotanya, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VII, Direktorat KMA, PB AMAN dan Seknas PPMAN.

 

Sjamsul Hadi, Direktur KMA mengatakan bahwa pelatihan paralaegal ini merupakan implementasi dari adanya kerjasama antara Direktorat KMA dan PPMAN yang telah dilaksanakan pada tahun 2022. Sjamsul menambahkan bahwa memang sangat diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah dan NGO khususnya dalam ini PPMAN yang melakukan penanganan kasus dan advokasi Masyarakat Adat. Sjamsul begitu akrab disapa menambahkan bahwa tugas dan kewajiban Pemerintah untuk melakukan advokasi walaupun terkadang pemerintah baik itu pusat maupun daerah melakukan pelanggaran hukum terhadap Masyarakat Adat, selain pemerintah, perusahaan juga melakukan pelanggaran hukum yang akhirnya banyak masyarakat adat yang hak-haknya dilanggar sementara PPMAN melakukan pendampingan dan pembelaan terhadap Masyarakat Adat yang memiliki masalah hukum karena memperjuangkan hak-haknya.

 

Sementara Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus menyampaikan bahwa kerjasama dengan KMA akan terus berlanjut di beberapa daerah lainnya. Laki-laki yang biasa disapa Alam ini, menambahkan harapannya pelatihan paralegal dilakukan agar masyarakat adat memiliki kemampuan untuk memahami hukum, memahami dan melihat kondisi masalah yang ada di komunitas Masyarakat Adat dan juga memiliki kemampuan untuk mendampingi masyarakat adat yang memiliki masalah hukum karena memperjuangkan hak-haknya.

 

Pelatihan paralegal ini juga dihadiri Ketua PHW AMAN Bengkulu, Deff Tri Hardianto, dan memberikan sambutan, dalam sambutannya Ketua PHW AMAN Bengkulu ini mengatakan pelatihan paralegal ini sangat penting mengingat begitu banyak masalah hukum yang terjadi di komunitas masyarakat adat di wilayah Bengkulu. Laki-laki yang biasa di panggil Deff Tri ini mengatakan hampir semua Masyarakat Adat memiliki masalah hukum mulai dari masalah penguasaan tanah ulayat dan juga ada masalah masyarakat adat yang mendapatkan tindakan kriminalisasi dari aparat karena memperjuangkan hak-haknya. Deff Tri berharap dengan adanya anggota komunitas Masyarakat Adat yang mengikuti pelatihan paralegal ini dapat memberikan ilmu dan pengetahuan yang diperoleh untuk kepentingan pendampingan maupun pembelaan terhadap Masyarakat Adat, mengingat sangat susah mencari advokat yang secara ikhlas dan sukarela mau membantu masyarakat adat. Walaupun saat ini sudah ada beberapa advokat anggota PPMAN yang siap membantu Masyarakat Adat, namun keberadaan advokat tersebut masih kurang, karena semakin banyak masalah hukum yang terjadi dan dialami oleh masyarakat adat.

 

Sementara Koordinator PPMAN Region Sumatera, Suryadi dalam sambutannya menyampaikan Lokalatih Paralegal ini dilakukan untuk meningkatkan kapasitas Masyarakat Adat untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya dan komunitas adatnya. Surya menambahkan peserta lokalatih paralegal diberikan pengetahuan Hukum Dasar, HAM, Gender, dan Keorganisasian agar kelak mampu menjembatani kerja kerja advokat. Koordinator PPMAN ini menambahkan, Ada banyak kader Paralegal yg telah berpraktek dan berhasil membela komunitas Masyarakat Adat di region Sumatra. PPMAN juga telah beberapa kali melaksanakan pelatihan paralegal di komunitas Kuntu kampar, Talang Mamak dan Inhu nah. Surya berharap agar kegiatan ini berjalan lancar dan menghasilkan Paralegal yang berkualitas, memiliki pengetahuan yang baik dalam melakukan kerja advokasi ke depannya.

***