Masyarakat Sipil Pembela HAM dan Masyarakat Adat Sampaikan Sikap Penolakan Terhadap Pengesahan RUU KSDAHE

SIARAN PERS

 

Jakarta (19/01/2024) – Masyarakat Sipil Pembela HAM dan Masyarakat Adat menyampaikan surat terbuka kepada Panitia Kerja RUU KSDAHE dalam menyikapi
legislasi RUU KSDAHE, setelah 8 tahun lebih RUU Konservasi keluar masuk program legislasi nasional. Masyarakat sipil sebelumnya, telah menyampaikan masukan substansi RUU KSDAHE dalam bentuk policy briefs, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) juga rekomendasi kunci pasal-perpasal. Sayangnya, koalisi masyarakat sipil menilai, hingga draft terakhir yang diterima pada Desember 2023, tidak ada perubahan positif secara materil maupun formil dari proses legislasi RUU KSDAHE. Walhi, AMAN, KIARA, BRWA mewakili masyarakat sipil membedah poin-poin krusial yang masih menjadi persoalan kedalam Surat Terbuka untuk menegaskan sikap dan posisi Masyarakat sipil.

 

“Ada 3 (tiga) alasan mengapa kami menolak pengesahan dan mendesak penundaan RUU KSDAHE, dan menuntut agar pemerintah tidak tergesa-gesa dalam mengesahkan RUU KSDAHE. Pertama, Proses legislasi RUU KSDAHE tidak transparan dan partisipatif (meaningfully participated) terutama dalam perumusan pasal – pasal. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya dokumen pada situs website(dpr.go.id) terkait pembahasan legislasi. Kedua, Tidak diakomodirnya usulan kami terkait aspek partisipasi masyarakat, perlindungan dan pengakuan hak – hak masyarkata adat dan Masyarakat lokal. Ketiga, kami justru menemukan pasal-pasal yang bermasalah, dan membuka peluang lebih banyak terjadinya potensi kriminalisasi, diskriminasi, pengabaian hak terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup didalam dan sekitar kawasan konservasi” tegas Cindy Julianty (Mewakili BRWA) Permasalahan substantif RUU KSDAHE Satrio Manggala (Manager Kajian Hukum dan Kebijakan WALHI) menyampaikan “Kami melihat isu Konservasi belum menjadi concern pengambil kebijakan, padahal ini merupakan isu penting untuk menjawab tantangan perubahan iklim dan krisis ekosistem hari ini. Hal ini dapat kita lihat dari absennya isu ini dari materi debat capres 2024. Dari segi substansi, RUU KSDAHE juga menggunakan pendekatan represif untuk memastikan supaya kegiatan konservasi berjalan. Hal ini terlihat dari bentuk-bentuk sanksi dan pemidanaan yang lebih berorientasi pada pidana penjara. Padahal pidana koservasi memiliki motif ekonomi, sehingga seharusnya lebih menekankan sanksi denda dan perampasan asset, sanksi pidana ini juga bukan ditujukan untuk korporasi melainkan perorangan, sehingga membuka lebih banyak potensi
kriminalisasi”.

 

 

Lebih lanjut, Satrio menilai RUU KSDAHE memiliki paradigma konservasi yang cenderung melihat masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai ancaman bukan sebagai mitra yang berkontribusi dalam pengelolaan konservasi, alhasil pendekatan yang dilakukan negara justru kembali memunculkan konflik dan mengeksklusi masyarakat dari ruang hidupnya.

 

terlihat moderator sedang memandu jalannya diskusi dalam konferensi pers di EN Walhi
terlihat moderator sedang memandu jalannya diskusi dalam konferensi pers di EN Walhi

 

Poin kritis lain disampaikan Moehammad Arman (Direktur Adv. Kebijakan, Hukum & HAM – AMAN) “Kita tau bahwa kita menghadapi persoalan penyelenggaraan konservasi hari ini yang tidak berbasis pada hak asasi manusia dan abai terhadap hak Masyarakat adat. Kami mengamati RUU KSDAHE ini juga tidak mengubah status quo, artinya tidak ada perubahan positif. hal ini dibuktikan dengan tidak adanya partisipasi berarti dan persetujuan atas dasar tanpa paksaan di awal (Padiatapa) dalam penetapan kawasan konservasi. Kita tahu banyak dari kasus kriminalisasi terajdi akibat negara tidak memperhatikan aspek ini. Misalnya kasus di colol yang dikenal dengan Rabu Berdarah yang menyebabkan 6 orang tewas, 28 orang luka-luka dan 3 orang diantaranya cacat permanen. Sehingga menjadi kekeliruan, jika RUU tidak mengatur aspek hak dan partisipasi. Padahal ada 75% wilayah adat masuk ke dalam Kawasan hutan dimana 1,6 juta hektare wilayah yang masuk dalam konservasi memiliki populasi sekitar 2,9 juta orang”.

 

RUU ini juga memiliki pasal bermasalah terkait dengan Areal Preservasi (Pasal 8 ayat) yang tidak jelas dan tidak menjawab tuntutan untuk mengakui actor konservasi lain diluar negara. Kendati telah menyebutkan AKKM dan Daerah Perlindungan Kearifan Lokal, namun penetapan preservasi terkesan hanya berorientasi pada perluasan Kawasan konservasi semata tanpa memperhatikan aspek hak dan distribusi manfaat. Hal ini ditekankan dalam Pasal 9 ayat (1) yang mempersempit ruang lingkup areal
preservasi sebatas mempertahankan fungsi perlindungan wilayah dengan melakukan tindakan konservasi, dimana dalam hal pemegang izin diwilayah tersebut tidak melakukan tindakan konservasi, maka akan berkonsekuensi pada sanksi pelepasan hak atas tanah.

 

 

Kasmita Widodo Kepala BRWA menyoroti relevansi pengakuan dan perlindungan wilayah adat dan hutan adat dalam RUU KSDAHE. “Kami setahun lalu punya harapan (draft RUU KSDAHE Tahun 2022), ada perubahan positif yang dapat melindungi Masyarakat dan mengakui kontribusi Masyarakat atas konservasi keanekaragaman hayati. Namun alih-alih memperbaiki kebijakan konservasi agar lebih inklusif, RUU KSDAHE justru ini akan mengkebiri Putusan MK 35/2012 dan berdampak pada perjuangan
Masyarakata Adat untuk mengembalikan hak Masyarakat Adat atas wilayah dan hutan adatnya. Kita tahu bahwa kita mengalami kesulitan dalam mengusulkan hutan adat dikawasan konservasi, ketentuan mengenai larangan bagi pengurangan luasan di Kawasan Pelestarian Alam akan semakin memperkuat
kebijakan konservasi yang sentralistik”.

 

“KIARA memandang, RUU ini dapat menjadi ancaman perampasan wilayah pesisir dan laut atau Ocean Grabbing, sehingga RUU KSDAHE dapat memenuhi ambisi KKP dalam mencapai target 30 by 30 yang bertumpu pada perluasan Kawasan Konservasi yang sebenarnya tetap melanggengkan konservasi yang selama ini sebenarnya sudah gagal untuk melakukan pelestarian alam dan laut. Padahal praktik-praktik terbaik ada dimasyarakat, bukan hanya dilakukan oleh negara, justru praktik inilah yang seharusnya diakomodir dan diakui oleh negara sebagai kontribusi Masyarakat untuk pencapaian tersebut dengan cara Masyarakat sendiri. ” sambung Erwin Suryana (Deputi Program dan Pengelolaan Pengetahuan KIARA).

 

Erwin juga mengemukakan bahwa RUU KSDAHE belum mengarah pada model konservasi yang inklusif namun justru membuka ruang untuk private sector(investor) agar dapat bekerja lebih dalam di wilayah – wilayah konservasi yang dibungkus atas nama Jasa Lingkungan untuk melanggengkan proses kapitalisasi atau akumulasi modal.
Tuntutan Masyarakat Sipil “Hasil call kami bersama teman teman organisasi masyarakat sipil dan jaringan masyarakat adat dan pembela HAM menyimpulkan bahwa RUU KSDAHE gagal dalam mewujudkan transformasi kebijakan konservasi yang inklusif, adil, berbasis hak, berbudaya dan berciri-khas nusantara. Kami mempertegas
kembali posisi kami terhadap legislasi RUU KSDAHE dalam surat terbuka yang akan kami sampaikan kepada Panitia Kerja RUU KSDAHE” ungkap Cindy Julianty menyampaikan kesimpulan.

PERNYATAAN SIKAP MASYARAKAT SIPIL ATAS PENGERAHAN APARAT BERSENJATA DAN TINDAKAN BRUTAL TERHADAP MASYARAKAT ADAT POCOLEOK MANGGARAI

Jakarta, 27 November 2023 – Masyarakat Adat Poco Leok Manggarai, Nusa Tenggara Timur Kembali mendapat perlakuan semena-mena oleh aparat bersenjata (Polri dan TNI) yang bertugas mengamankan pihak PT PLN dan tim PADIATAPA (Persetujuan di Awal Tanpa Paksaan) mendatangi Poco Leok, wilayah yang menjadi target pengembangan industri penambangan Geothermal. Peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu, 25 November 2023.

 

Masyarakat Adat Poco Leok menolak kehadiran PLN geothermal dan tim PADIATAPA (Persetujuan di awal tanpa paksa) karena hal itu merupakan eksploitasi dan perampasan tanah (Wilayah Adat) Masyarakat Adat Poco Leok untuk kepentingan pembangunan pembangkit listrik tenaga (PLTP) atau Geothermal. Dengan dalih melakukan sosialisasi kepada warga, pihak PLN membawa pengamanan aparat bersenjata lengkap berjumlah ratusan orang, baik Polri maupun TNI. Tidak kurang tujuh unit mobil dan puluhan kendaraan roda dua dikerahkan melakukan pengamanan tersebut.

 

Alhasil, penolakan Masyarakat Adat Poco Leok atas kedatangan mereka dibalas dengan tindakan represif oleh aparat. Aparat secara brutal mendorong bahkan memukul warga untuk tidak menghalang-halangi kedatangan mereka. Berlindung dibalik Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam upaya liberalisasi tenaga listrik, PLN dengan menggunakan tangan aparat tak segan melukai warga. Harga diri sebagai manusia diinjak-injak dan ruang hidup Masyarakat Adat Poco Leok akan hilang demi pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal).

 

Tindakan represif aparat kepada Masyarakat Adat Poco Leok merupakan pelanggaran dan pengingkaran terhadap  hak atas kebebasan mengeluarkan dan menyampaikan pendapat sebagaimana yang dijamin dalam UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights/ICCPR);

 

Prinsip persetujuan di awal tanpa paksaan pihak PLN hanyalah jargon usang sebagai pelengkap persyaratan memuluskan pinjaman dari bank untuk pembiayaan proyek geothermal. Berkali-kali masyarakat menolak, tetapi tidak diindahkan. Jawaban atas penolakan adalah popor senjata, pitingan dan terjangan sepatu lapangan petugas.

 

Penolakan Masyarakat Adat Poco Leok, Manggarai, terkait pembangunan pembangkit listrik Geothermal di Poco Leok, merupakan UPAYA MEMPERTAHANKAN WILAYAH ADATNYA sebagaimana dijamin dalam instrumen hukum nasional dan Hukum Internasional yang mengakui dan menghormati hak-hak Masyarakat Adat, yaitu Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 Jo. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 Jo. Pasal 6 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012, Tanggal 16 Mei 2013 Jo Deklarasi Perserikatan Bangsa bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration On The Rights Of Indigenous Peoples) Jo Konvensi ILO No. 169 Tahun 1989 Mengenai Masyarakat Hukum Adat.

 

Warga Poco Leok saat lakukan penolakan kehadiran rombongan PLN beserta Aparat TNI dan Kepolisian
Warga Poco Leok saat lakukan penolakan kehadiran rombongan PLN beserta Aparat TNI dan Kepolisian

 

Atas berulangnya peristiwa kekerasa aparat terhadap Masyarakat Adat Poco Leok, maka Koalisi Advokasi Poco Leok menegaskan:

 

  1. Mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh PLN melalui aparat keamanan (TNI dan Polri);
  2. Mendesak Kapolri mencopot Kapolda NUSA Tenggra Timur dan Kapolres Manggarai karena melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia;
  3. Mendesak Kapolri dan Panglima TNI untuk memerintahkan penarikan aparat keamananan yang bertugas di Poco Leok;
  4. Mendesak Kapolri, Kapolda Nusa Tenggara Timur, dan Kapolres Manggarai agar menghentikan kriminalisasi kepada Masyarakat Adat Poco Leok, dengan cara menghentikan pemanggilan dalam bentuk apapun kepada Masyarakat Adat Poco Leok.
  5. Mendesak Menteri BUMN melakukan evaluasi terhadap jajaran Direksi PT PLN atas peristiwa di Poco Leok;
  6. Mendesak Pemerintah Indonesia dan PT PLN menghentikan sementara aktivitas apapun terkait pembangunan Geothermal di Poco Leok hingga ada pernyataan resmi akan mengikuti prinsip-prinsip yang tertuang di dalam free, prior, informed, consent (FPIC) sesuai panduan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).

 

Demikian pernyataan sikap ini kami berikan agar semua pihak terkait dapat segera menindaklanjuti dan menunjukkan itikad baik terhadap warga negara yang seharusnya dilindungi.

 

Koalisi Advokasi Poco Leok:

  1. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
  2. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
  3. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
  4. Trend Asia
  5. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  6. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar
  7. JPIC OFM
  8. Justice, Peace and Integrity of Creation- Societas Verbi Divini (JPIC-SVD)
  9. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur,
  10. Sunspirit for Justice and Peace, Labuan Bajo
  11. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Labuan Bajo

 

Narahubung:

  1. Ermelina Singereta, S.H., M.H. : 0812-1339-904
  2. Judianto Simanjuntak, S.H. : 0857-7526-0228

***

PPMAN: KETIDAKHADIRAN DPR DAN PRESIDEN DI PERSIDANGAN, PRESEDEN BURUK KETIDAKPATUHAN TERHADAP PROSES HUKUM

Press Release

 

Jakarta, (02/11/2023) – Sidang gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), dengan agenda pemeriksaan persiapan yang dilangsungkan di PTUN Jakarta, tidak dihadiri oleh DPR dan Presiden sebagai pihak tergugat.

 

Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) sekaligus sebagai kuasa hukum Para Penggugat menilai ketidakhadiran DPR dan Presiden di persidangan mengkonfirmasi ketidakberpihakan kedua lembaga negara itu terhadap Masyarakat Adat di Indonesia.

 

“Kami menyesalkan sikap DPR dan Presiden yang tidak menghargai proses hukum. Ketidakhadiran mereka di persidangan adalah contoh buruk ketidakpatuhan negara yang tidak patut dicontoh”, ujarnya.

 

Menurut Alam, sikap abai DPR dan Presiden sudah ditunjukkan sejak RUU Masyarakat Hukum Adat masuk dalam prolegnas pada tahun 2004 sampai dengan sekarang.

 

“DPR dan Presiden bersikap abai dan melakukan tindakan penundaan berlarut pada proses pembentukan UU Masyakarat Hukum Adat, yang merupakan kewajiban konstitusional kedua lembaga itu. Akibatnya, praktik perampasan wilayah adat, penggusuran masyarakat adat dari wilayah adat, diskriminasi dan kriminalisasi serta hilangnya identitas yang melekat pada Masyarakat Adat yang mempertahankan wilayah adatnya, terus berlanjut” jelas Alam.

 

Kuasa Hukum Masyarakat Adat saat menyerahkan berkas perkara
Kuasa Hukum Masyarakat Adat saat menyerahkan berkas perkara

 

Ia pun berharap, pengadilan dapat menjadi ruang bagi Para Penggugat untuk menuntut keadilan atas wilayah adatnya.

 

Adapun pihak penggugat adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), beserta 9 (sembilan) orang Perwakilan Masyarakat Adat. Mereka berasal dari Komunitas Masyarakat Adat Kasepuhan Cisungsang Jawa Barat, Komunitas Masyarakat Adat Osing Banyuwangi, Komunitas Masyarakat Adat Gendang Ngkiong Manggarai dan Komunitas Masyarakat Adat Tobelo Dalam Halmahera.

 

Permohonan Para Penggugat disebabkan karena DPR dan Presiden tidak menindaklanjuti proses pembentukan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat sehingga berimbas negatif terhadap pemenuhan hak-hak konstitusional para penggugat.

 

6 orang Masyarakat Adat Tobelo Dalam dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan 20 tahun penjara. Pada tingkat banding, mereka malah dijatuhi pidana hukuman mati dan penjara seumur hidup. Mikael Ane sendiri dipidana dengan hukuman penjara 1,5 tahun.

 

6 orang Masyarakat Adat Tobelo Dalam dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan 20 tahun penjara. Pada tingkat banding, mereka malah dijatuhi pidana hukuman mati dan penjara seumur hidup. Mikael Ane sendiri dipidana dengan hukuman penjara 1,5 tahun.

Pembela Masyarakat Adat Nusantara hadirkan tokoh adat Ngkiong dalam persidangan Mikael Ane

Press Release

 

Ruteng (15/08/2023) – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menghadirkan dua tokoh masyarakat adat Ngkiong yaitu Tua Golo Thadeus Dosen dan Tua Teno Pius Paulus sebagai saksi meringankan dalam sidang perkara Nomor 34/Pid.B/LH/2023/PN. Rtg, atas nama Mikael Ane (Masyarakat adat gendang ngkiong) yang di dakwa Menduduki Kawasan Hutan di Pengadilan Negeri Ruteng, Kab. Manggarai

 

Kedudukan Tua Golo merupakan orang yang memiliki tugas untuk menyelesaikan masalah sosial yang terjadi di komunitas Masyarakat Adat. Sementara Tua Teno memiliki kewenangan atau otoritas untuk mendistribusikan tanah kepada warga masyarakat adat setempat berdasarkan hukum adat. Otoritas tersebut tidak dapat digantikan kepada pihak lain.

 

Pendamping Hukum menilai bahwa kehadiran saksi yang meringankan di pengadilan untuk memberikan keterangan guna menyampaikan fakta hukum, kebiasaan adat yang biasa dilakukan oleh Masyarakat Adat dalam menyelesaikan masalah.

 

“Saksi yang meringankan menyampaikan bahwa kami tidak pernah tinggal di wilayah orang lain, kami tinggal di wilayah adat yang telah kami dapat dari leluhur kami secara turun temurun. Maximilianus Herson Loy, sebagai salah satu Tim Penasihat Hukum menyampaikan bahwa keterangan saksi yang meringankan memberikan fakta-fakta hukum ke Majelis Hakim, bahwa terdakwa tinggal di tanah ulayat yang telah dimiliki, dikuasai dan dikelola secara turun temurun. Tanah yang menjadi objek sengketa adalah tanah ulayat, tambah Herson.

 

Sementara Muhamad Maulana, salah satu tim hukum yang juga hadir dalam persidangan ini menganggap pertanyaan dari Jaksa Penuntut Umum terkesan mendiskreditkan kepemilikan wilayah adat dengan melontarkan pernyataan bahwa masyarakat tidak punya sertipikat tanah. Mao menambahkan bahwa pertanyaan dan pernyataan Jaksa Penuntut Umum menunjukan ketidakpahaman Aparat Penegak Hukum tentang Masyarakat Adat, dimana Masyarakat Adat tidak harus memiliki surat-surat sebagai bukti kepemilikan atas tanah ulayatnya. Ketiadaan sertifikat tanah yang dimiliki oleh Masyarakat Adat tidak berarti hilangnya hak asal-usul atas wilayah adatnya. Hal ini sesuai dengan konstitusi dan UUPA yang menegaskan bahwa hukum adat merupakan sumber hukum agraria nasional. Dengan demikian pemilikan tanah ulayat adalah sah secara hukum berdasarkan UUPA.

 

Marselinus Suliman tim hukum lainnya juga menyampaikan, saksi yang meringankan hari ini memberikan keterangan mengenai kebiasaan Masyarakat Adat yang menjalankan ritual kepada leluhur, ucapan syukur, adanya makam leluhur, pohon yang hidupnya puluhan tahun.

 

Fakta yang terurai di persidangan menunjukan bahwa Masyarakat Adat tinggal di wilayah ulayatnya yang diwariskan secara turun temurun. Saksi-saksi tidak mengetahui bahwa tanah Ulayat mereka telah diambil alih secara sepihak oleh negara sebagai kawasan TWA.

 

Fakta persidangan hari ini menjelaskan bahwa selain rumah terdakwa, ada juga rumah main yang berada di lokasi sengketa.

 

Selain itu kami juga atas sikap dan tindakan Jaksa yang sampai saat ini tidak memberikan berkas perkara secara lengkap kepada kami, dan kami melaporkan tindakan dan sikap ketidakprofesionalan Jaksa Penuntut Umum kepada Komisi Kejaksaan, Tegas pria yang biasa disapa Marsel.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi narahubung berikut ini:

 

Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904
Herson, S.H. 081238317885

Persidangan Masyarakat Adat Tobelo Dalam; Ahli : Barang Bukti Harus Dihadirkan Dalam Persidangan, Bukan Angan-Angan atau Imajinasi Penuntut

Press Rilis

 

Tidore (09/08/2023) – Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, menghadirkan Ahli Pidana Dr. Ahmad Sofian, S.H.M.A untuk memberikan pendapat hukum dalam melakukan pembelaan terhadap Alen Baikole dan Samuel Gebe yang saat ini sedang dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Soasio.

 

Kehadiran Ahli dalam perkara ini sangat penting karena sampai saat ini, tidak ada satupun barang bukti yang menunjukan bahwa barang bukti tersebut digunakan oleh kedua terdakwa untuk melakukan kejahatan sebagaimana yang dituduhkan oleh Jaksa Penuntut Umum.

 

Selain tidak adanya barang bukti yang memberikan keyakinan telah terjadi suatu peristiwa pidana, juga tidak ada saksi yang melihat telah terjadinya suatu peristiwa pidana tersebut.

 

Ahli berpendapat bahwa dalam suatu perkara, Barang bukti itu harus dihadirkan dalam persidangan, bukan dalam angan-angan atau imajinasi. Barang bukti dapat dikatakan sebagai barang bukti dalam suatu peristiwa pidana jika barang bukti tersebut yang digunakan atau alat yang digunakan untuk melakukan suatu tindak pidana adalah alat yang digunakan untuk menghalangi terjadinya suatu tindak pidana dan barang bukti hasil dari suatu tindak pidana. Barang bukti tidak boleh dimanipulasi seolah-olah memenuhi kualifikasi dari ketiga kategori barang bukti tersebut diatas. Alat bukti harus didapatkan secara legal, alat bukti yang didapatkan secara ilegal tidak dapat dipertimbangkan.

 

Selain itu Ahli juga menjelaskan bahwa terkait dengan saksi yang dipertimbangkan adalah saksi yang merasakan, melihat dan mendengar secara langsung. Pada kasus ini saksi yang dihadirkan adalah saksi testimonium de audito dan saksi ini tdk bisa digunakan dalam perkara, karena secara doktrinal saksi testimonium de Audito adalah saksi yang memberikan keterangan karena mendengar keterangan atau informasi dari orang lain, pada banyak perkara saksi ini tidak diterima sebagai alat bukti.

 

Menanggapi pendapat ahli, Tim Penasihat Hukum Terdakwa Hendra Kasim menjelaskan bahwa dalam perkara ini, barang bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum bukanlah barang bukti yang didapat langsung dari suatu peristiwa pidana. Barang bukti dalam bentuk Tombak dan Jubi diambil dari kebun milik terdakwa dan dibawah ke rumah terdakwa, jadi barang buktinya tidak memiliki kualitas sebagai barang bukti yang perlu dipertimbangkan, maka karena itu hakim harusnya menolak barang bukti tersebut.

 

Lebih lanjut Penasehat Hukum Terdakwa Ahmad Rumasukun menambahkan bahwa perkara ini terjadi karena hasil “Gosip” yang dilakukan oleh seorang saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum, dimana saksi menceritakan kepada orang lain bahwa terdakwa Samuel berada di dekat lokasi kejadian pada saat terjadinya peristiwa pidana tersebut.

 

Sementara Ermelina Singereta, yang merupakan salah satu Tim Penasihat Hukum Terdakwa lainnya mengatakan proses persidangan hari ini memberikan pandangan baru terkait dengan saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tidak memiliki kualifikasi sebagai saksi yang berkualitas. Saksi yang yang dihadirkan dalam perkara ini bukanlah saksi yang melihat langsung para terdakwa melakukan pembunuhan. Erna menambahkan jika mengacu pada pendapat Ahli yang kami hadirkan hari ini seharusnya Majelis Hakim harus menolak seluruh keterangan saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum.

 

Keterangan Ahli menambah kebingungan bagi Majelis Hakim, karena sampai sejauh ini tidak ada titik terang mengenai pelaku tindak pidana tersebut. Harapannya Hakim dapat memberikan keadilan kepada kedua terdakwa. Karena kedua terdakwa adalah korban dari berbagai kepentingan yang akan masuk di wilayah tempat tinggal Kedua terdakwa.

 

Lebih lanjut Penasehat Hukum Terdakwa Tarwin Idris menambahkan, jika Samuel dan Alen bukan pelaku tindak pidana. Maka sudah seharusnya dinyatakan bebas oleh Majelis Hakim. Berikut pula, APH harus memastikan pelaku sebenarnya diproses menurut hukum yang berlaku, agar ada keadilan bagi keluarga korban. Sehingga pelaku sebenarnya dapat diadili dihadapan persidangan.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi narahubung berikut ini:

Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904

 

Kuasa Hukum Masyarakat Adat Tobelo Dalam keberatan dengan Sikap Hakim PN Soasio

Tidore – Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam saat melakukan pendampingan hukum terhadap terdakwa Alen Baikole dan Samuel Gebe atas dakwaan pembunuhan berencana, melakukan protes keras kepada Kemal S.H, yang merupakan salah satu hakim anggota PN Soasio saat lanjutan pemeriksaan saksi a de charge (02/08/2023).

 

Tim kuasa hukum menilai bahwa hakim tersebut tidak netral dalam melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang keterangannya meringankan terdakwa, dengan kerapkali melontarkan diksi yang mencibir.

 

“Kami mengajukan keberatan dimuka persidangan terhadap Sikap Hakim Anggota Kemal karena pertanyaan dan pernyataannya yang tidak mencerminkan etika dan prilaku hakim.” Terang Ermelina Singereta yang merupakan salah satu kuasa hukum terdakwa

 

“Padahal dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim, sangat jelas bahwa hakim tidak boleh berpihak serta dilarang menyudutkan dan melontarkan umpatan kepada para pihak serta kuasanya. Tambah Erna, sapaan akrab Ermelina Singereta

 

Selain itu, keberatan yang di lontarkan kuasa hukum terdakwa juga ditujukan atas sikap dan tindakan hakim Kemal yang secara berulang secara keliru mengaitkan perkara Praperadilan (Prapid) yang sebelumnya di ajukan terdakwa dengan fakta pokok perkara yang tidak berkaitan

 

Mohammad Maulana, yang juga salah satu Tim Penasihat Hukum Terdakwa menjelaskan ketika persidangan, Hakim Kemal kerapkali melontarkan pernyataan yang seolah menstigma dan mengambil kesimpulan bahwa pelaku pembunuhan adalah masyarakat tobelo dalam dengan mengaitkannya dengan ciri-ciri rambut gondrong

 

Fakta yang terurai di persidangan tidak ada yang menyebutkan fakta pembunuhan ini dengan masyarakat adat tobelo dalam dan selain itu, terdakwa juga di rentang waktu tempus peristiwa tersebut terjadi, tidak berambut gondrong dan tengah bekerja, sebagaimana saksi yang menerangkan alibinya

 

Dalam persidangan pemeriksaan saksi tersebut, terungkap fakta persidangan bahwa terdakwa Alen Baikole ketika peristiwa pembunuhan terjadi berada di kampung Tukur-Tukur, tidak seperti yang dituduhkan kepadanya. Kesemua saksi yang dihadirkan memberikan keterangan yang sama.

 

“Menjadi fakta persidangan hari ini menjelaskan bahwa Alen Baikole berada di kampung, bukan di lokasi pembunuhan sebagaimana dituduhkan. Kami berharap Hakim dapat jernih memilah dan menilai setiap kesaksian,”.

 

Sementara pengacara terdakwa lainnya, Hendra Kasim menambahkan, proses persidangan ini berpotensi menjadi tidak objektif karena Salah satu hakim anggota pernah menjadi hakim tunggal di persidangan pra peradilan di kasus ini. Pengacara terdakwa berpendapat bahwa pengetahuan atas fakta hakim di persidangan sebelumnya dapat mempengaruhi perspektif dan menimbulkan prasangka terhadap terdakwa.

 

“Klien kami sudah dalam posisi dirugikan akibat penunjukkan salah satu hakim anggota yang sebelumnya telah menjadi hakim di persidangan pra peradilan. Karena beliau sudah membuat putusan di awal dan mengetahui fakta-fakta yang kami nilai tidak diindahkan oleh hakim tersebut,” Tegas Hendra Kasim.

 

Hendra kembali mengingatkan bahwa ada indikasi pelanggaran terhadap Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim terutama dalam poin yang mengatur terkait integritas.

 

“Penerapan terkait integritas Hakim ada pengaturan soal Prasangka dan Pengetahuan Atas Fakta. Sewajarnya apabila mengikuti aturan tersebut maka Hakim di pra peradilan tidak boleh menjadi hakim pada pokok perkara (persidangan acara biasa). Sebab sudah ada pengetahuan dan prasangka sebelumnya. Tentu kami akan melaporkan ini ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung. Sebagai upaya agar proses persidangan tetap objektif” jelasnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi narahubung berikut ini:

Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904
Hendra Kasim, S.H, M.H – 0823-4499-9986

 

***

PPMAN Sesalkan Tindakan Arogan 2 Oknum Polisi Polresta Tidore yang Bawa Senpi ke Ruang Sidang

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengaku menyesalkan tindakan dua oknum polisi Polresta Tidore yang bawa masuk senjata api (senpi) ke Ruang Sidang Pengadilan Negeri (Soasio) Tidore (5/7).

 

Kedua polisi tersebut adalah Faruk dan Asrul Azis yang masing-masing berpangkat Bhayangkara Dua atau Bharada. Sebelum sidang dimulai, tampak kedua polisi tersebut lebih dulu berada didalam ruang sidang dengan dua pucuk senpi. Tindakan itu sontak membuat tim kuasa hukum dari PPMAN saat mendampingi terdakwa kasus pembunuhan di Halmahera Timur yang membuat proses sidang tidak nyaman. 

 

Tindakan ini patut dipertanyakan terkait SOP tentang penggunaan senpi di dalam ruang sidang. Moh Maulana sebagai salah satu tim hukum PPMAN menyampaikan ”kami menyaksikan bagaimana kepolisian sangat arogan karena mengawal kedua terdakwa ke dalam ruang sidang menggunakan senjata api,”.

 

“hal semacam ini harusnya tidak perlu dilakukan oleh pihak kepolisian. Ia menilai tindakan itu berlebihan”. ungkap Maulana

 

“Tak perlu berlebihan seperti itu. Sebab ini bisa membuat proses sidang menjadi tidak nyaman dan terkesan tidak memberikan penghormatan terhadap ruang persidangan yang dianggap sebagai ruang pencari keadilan,” tandasnya.

 

Maulana menegaskan bahwa pihaknya memberi peringatan kepada 2 oknum polisi tersebut agar melucuti senjata tersebut dan beritahukan hal ini kepada atasan mereka. “Bahwa tidak diperkenankan untuk membawa senjata dalam ruang persidangan, walaupun itu kasus teroris sekalipun,” pungkasnya.

 

***

TERKAIT INSIDEN PEMANAHAN WARGA DI HALMAHERA TENGAH, PPMAN MEMINTA POLISI AGAR PROFESIONAL DAN PROSEDURAL

RILIS MEDIA – untuk segera diberitakan

 

Jakarta, 4 Juli 2023 – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) meminta pihak Kepolisian dalam hal ini Polda Maluku Utara agar profesional dan prosedural merespon insiden pemanahan terhadap 2 orang korban, warga Halmahera Tengah. Permintaan tersebut dilayangkan PPMAN agar Polda Maluku Utara tidak terkesan selalu menyalahkan komunitas Masyarakat Adat yang berdiam di dalam hutan atas setiap insiden. Apalagi, pihak kepolisian belum memiliki informasi yang cukup terhadap pelaku yang dikategorikan sebagai Orang Tidak Dikenal (OTK).

 

“Klasifikasi OTK ini jika dikaitkan dengan wilayah pengejaran pelaku ke dalam hutan menimbulkan kekhawatiran bagi PPMAN atas eksistensi Masyarakat Adat khususnya yang berdiam di dalam hutan. Apalagi pengerahan personil gabungan merupakan bentuk respon serius atas informasi yang masih perlu didalami. Polisi harus profesional dan prosedural. Jangan sampai sewenang-wenang,” ungkap Syamsul Agus Alam, Koordinator PPMAN.

 

PPMAN menilai aksi pengejaran pelaku ke dalam hutan selama beberapa hari belakang melahirkan persepsi bahwa pelaku merupakan kelompok Masyarakat suku tertentu yang mendiami kawasan hutan tersebut. Padahal, dengan klasifikasi OTK tersebut, banyak kemungkinan ataupun asumsi yang dapat dibangun tentang siapa pelaku pemanahan tersebut. Hal lainnya, stigmatisasi terhadap kelompok Masyarakat Adat tertentu merupakan bentuk pelanggaran atas hak asasi manusia. Penerapan teori kausalitas (sebab-akibat) harusnya diterapkan sejak awal penyelidikan dilakukan.

 

“Misalnya, ambil contoh Masyarakat Adat Tobelo Dalam. Mereka kerap mendapat stigmatisasi dan kriminalisasi atas suatu peristiwa tindak pidana. Sebagian mereka ada di dalam hutan. Oleh sebab itu, penting bagi semua pihak meletakkan konflik di kawasan hutan dalam perspektif yang lebih komprehensif. Kajian hukum kausalitas tidak diterapkan secara serampangan,” lanjutnya.

 

PPMAN juga menyampaikan rasa simpati terhadap korban pemanahan di Halmahera Tengah. Di tengah gencarnya eksploitasi pertambangan dan kehutanan khususnya di Halmahera Tengah, ancaman konflik antar masyarakat maupun konflik struktural merupakan peristiwa nyata. Perlu perhatian bersama untuk menciptakan kondisi aman untuk semua.

 

“Kami berharap kedua korban akan lekas membaik, namun yang tak kalah penting dalam pandangan kami adalah bagaimana ada sebuah kebijakan tata kelola kawasan hutan yang memberi perlindungan bagi semua, termasuk Masyarakat Adat yang mendiami kawasan hutan. Hutan merupakan ruang hidup terpenting bagi mereka. Harus disikapi secara hati-hati dengan penuh penghormatan atas hak-hak Masyarakat Adat sesuai aturan perundang-undangan,” tutupnya.

 

##############
Sekilas mengenai PPMAN:

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) adalah organisasi kemasyarakatan yang merupakan organisasi sayap dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Organisasi PPMAN berbentuk perkumpulan yang keanggotaannya terdiri dari advokat dan ahli hukum yang peduli dan berkomitmen pada kerja pembelaan dan pemajuan hak – hak Masyarakat Adat diseluruh nusantara. Sejarah terbentuknya PPMAN melalui pelaksanaan Konferensi Nasional (KONFERNAS) Pertama yang diselenggarakan di komunitas adat Sassa’, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan pada tanggal 25 – 27 September 2013.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Syamsul Alam Agus, S.H – Koordinator Nasional PPMAN

0811-8889-083

Kriminalisasi Masyarakat Adat di Indonesia; Strategi Negara dan Perusahaan Merampas Wilayah Adat

Oleh: Syamsul Alam Agus, S.H.

 

Kriminalisasi masyarakat adat adalah sebuah fenomena yang menimbulkan kekhawatiran dalam masyarakat. Masyarakat adat, yang secara historis telah tinggal di wilayah tertentu selama berabad-abad, sering kali menghadapi tantangan besar dalam menjaga hak-hak mereka terhadap tanah, sumber daya alam, ritual dan budaya mereka.

 

Kriminalisasi masyarakat adat merujuk pada situasi di mana kegiatan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat adat dianggap sebagai tindakan kriminal oleh aparat negara. Hal ini sering kali terjadi karena adanya konflik kepentingan antara masyarakat adat dengan pemerintah, perusahaan, atau individu lain yang berusaha mengakses sumber daya alam yang terletak di wilayah adat.

 

Salah satu contoh kriminalisasi masyarakat adat adalah penegakan hukum terhadap kegiatan perburuan, pengumpulan hasil hutan, atau praktik pertanian tradisional yang dilakukan oleh masyarakat adat. Padahal, kegiatan-kegiatan tersebut telah menjadi bagian integral dari kehidupan dan budaya mereka selama berabad-abad. Penegakan hukum destruktif yang didukung dengan peraturan dan kebijakan yang tidak adil kepada masyarakat adat atas kegiatannya sering kali mengakibatkan penangkapan, penahanan, penyiksaan hingga vonis pengadilan terhadap anggota masyarakat adat.

 

Kriminalisasi masyarakat adat sering terjadi karena konteks perjuangan mereka untuk mempertahankan hak atas tanah adat mereka. Banyak masyarakat adat yang menghadapi ancaman pengusiran atau kehilangan akses terhadap tanah mereka akibat dari klaim oleh pihak ketiga, baik itu pemerintah, perusahaan, atau individu. Upaya masyarakat adat untuk melindungi wilayah adat mereka sering kali dianggap sebagai tindakan melawan hukum, dan pihak berwenang menggunakan aparat hukum untuk menghentikan atau menghukum mereka.

 

Kriminalisasi masyarakat adat tidak hanya mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga berdampak pada keberlanjutan budaya dan tradisi mereka. Masyarakat adat memiliki pengetahuan dan praktik yang berharga terkait pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan pemeliharaan lingkungan. Namun, dengan kriminalisasi yang terus menerus terhadap kegiatan tradisional mereka, pengetahuan ini terancam punah dan berdampak pada keberlanjutan lingkungan dan keanekaragaman hayati.

 

Penting untuk mencatat bahwa perlindungan hak masyarakat adat diakui secara internasional. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat menyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak atas tanah, sumber daya alam, dan budaya mereka sendiri. Negara-negara juga diwajibkan untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak tersebut.

 

Kriminalisasi terhadap masyarakat adat memiliki dampak yang luas dan serius terhadap kehidupan mereka. Berikut ini adalah beberapa dampak umum yang dapat timbul akibat kriminalisasi terhadap masyarakat adat:

 

  1. Kehilangan Akses terhadap Tanah Adat: Kriminalisasi sering kali berarti pengusiran atau pembatasan akses masyarakat adat terhadap tanah adat mereka. Tanah adat adalah inti dari identitas, budaya, dan cara hidup masyarakat adat. Ketika mereka kehilangan hak akses terhadap tanah ini, mereka juga kehilangan mata pencaharian, sumber kehidupan, dan hubungan spiritual mereka dengan lingkungan sekitar.
  2. Kerusakan Budaya dan Identitas: Kriminalisasi mengancam keberlanjutan budaya dan identitas masyarakat adat. Banyak praktik dan tradisi mereka terkait dengan penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan pemeliharaan lingkungan. Dengan larangan atau penindakan terhadap kegiatan tradisional, pengetahuan dan praktik ini dapat terancam punah. Selain itu, pemisahan dari tanah adat juga dapat menyebabkan kehilangan ikatan sosial dan kehilangan identitas budaya yang kuat.
  3. Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Kriminalisasi masyarakat adat sering kali melibatkan pelanggaran hak asasi manusia. Mereka dapat menghadapi kekerasan fisik, penahanan sewenang-wenang, intimidasi, atau ancaman terhadap keselamatan mereka. Tindakan semacam itu melanggar hak mereka untuk hidup dengan aman, bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi, dan hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul.
  4. Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan: Kriminalisasi masyarakat adat mencerminkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam sistem hukum. Masyarakat adat sering kali tidak memiliki akses yang memadai terhadap sistem peradilan, dan mereka dapat dianggap bersalah secara sepihak tanpa proses yang adil. Selain itu, kekuatan dan sumber daya yang dimiliki oleh pihak berwenang yang mendukung kriminalisasi seringkali lebih besar daripada yang dimiliki oleh masyarakat adat, sehingga menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan.
  5. Penurunan Kesejahteraan Sosial dan Ekonomi: Kriminalisasi dapat menghancurkan ekonomi masyarakat adat. Ketika mereka dilarang atau dihentikan dalam melakukan kegiatan tradisional mereka, sumber pendapatan mereka berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Ini dapat menyebabkan kemiskinan, kelaparan, dan penurunan kesejahteraan sosial di antara masyarakat adat.

 

Dampak-dampak ini tidak hanya dialami oleh masyarakat adat itu sendiri, tetapi juga pada keberlanjutan lingkungan, keanekaragaman hayati, dan keberagaman budaya yang penting bagi kehidupan kita secara keseluruhan.

 

Untuk mengatasi kriminalisasi yang terjadi pada masyarakat adat, perlu adanya upaya yang komprehensif dari pemerintah, masyarakat sipil, dan lembaga internasional. Meningkatkan kesadaran tentang hak-hak masyarakat adat adalah langkah penting dalam melawan kriminalisasi yang mereka hadapi. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran tersebut:Pendidikan dan Kampanye: Pendidikan merupakan kunci untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang hak-hak masyarakat adat. Kampanye informasi dan pendidikan harus dilakukan di sekolah-sekolah, universitas, dan masyarakat umum untuk memperkenalkan pentingnya hak-hak masyarakat adat serta tantangan yang mereka hadapi.

 

  1. Media dan Komunikasi: Media memainkan peran penting dalam membentuk opini publik. Melalui media cetak, elektronik, dan sosial, informasi tentang kriminalisasi masyarakat adat dapat disebarkan dengan lebih luas. Organisasi masyarakat sipil dan kelompok advokasi dapat menggunakan media untuk memperkenalkan kasus-kasus konkret, menceritakan kisah-kisah sukses, dan memperkuat narasi tentang pentingnya melindungi hak-hak masyarakat adat.
  2. Pelibatan Masyarakat Adat: Masyarakat adat harus secara aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak pada hak-hak mereka. Mereka harus diberi kesempatan untuk berbicara dan berpartisipasi dalam forum-forum publik, perundingan, dan proses legislasi yang berkaitan dengan tanah adat dan sumber daya alam. Ini memungkinkan mereka untuk mengadvokasi hak-hak mereka secara langsung dan memperkuat kesadaran tentang pentingnya hak-hak masyarakat adat.
  3. Pelatihan Hukum: Pelatihan hukum yang ditujukan kepada masyarakat adat dan advokat pembela mereka adalah kunci untuk memberdayakan mereka dalam memahami sistem hukum dan hak-hak mereka. Mereka perlu memahami mekanisme perlindungan hukum yang ada, seperti peraturan daerah, nasional dan internasional yang melindungi hak-hak masyarakat adat. Pelatihan ini dapat membantu mereka memperkuat argumen hukum mereka, bekerja sama dengan pengacara, dan melibatkan lembaga hukum untuk melawan kriminalisasi.
  4. Solidaritas dan Jaringan: Masyarakat adat harus bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, LSM, dan lembaga internasional yang peduli terhadap hak-hak mereka. Dengan membangun jaringan yang kuat, masyarakat adat dapat saling mendukung dan berbagi pengalaman, strategi, dan sumber daya untuk melawan kriminalisasi. Solidaritas lintas kelompok dan dukungan dari masyarakat umum juga dapat membantu meningkatkan kesadaran dan memperkuat advokasi.

 

Meningkatkan kesadaran tentang hak-hak masyarakat adat bukanlah upaya sekali jalan. Ini adalah proses berkelanjutan yang membutuhkan kolaborasi, advokasi yang kuat, dan pendekatan holistik untuk mencapai perubahan yang signifikan dalam melawan kriminalisasi masyarakat adat.

 

***

 

Penulis adalah Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

Lawan Kriminalisasi PT. Mega Haltim Mineral, Masyarakat Adat Tobelo Boeng Laporkan Ke Komnas HAM

Minamin (5/6/2023) – Masyarakat Adat Tobelo Boeng Desa Minamin yang mengalami intimidasi dan potensi kriminalisasi atas laporan pihak PT Mega Haltim Mineral (MHM) ke Polsek Wasile Selatan melaporkan kasusnya kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM). Disaksikan oleh warga dan Kepala Adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke, Novenia Ambuea (36 thn) salah seorang perwakilan Masyarakat Adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin diterima laporannya oleh 2 orang Komisioner Komnas HAM secara langsung melalui media komunikasi Zoom.

 

Novenia menyampaikan keresahan ruang hidup yang semakin sempit serta tekanan yang dialami oleh warga paska MHM masuk ke wilayah Desa Minamin.

 

“Keberadaan kami sudah ada sebelum perusahaan ada. Sekarang mereka masuk tanpa ijin, ketika kami tolak, mereka laporkan kami ke polisi. Apa Negara ini sudah tidak mengakui kami lagi, Masyarakat Adat?”, ungkap Nove ketika diminta Komisioner Komnas HAM menceritakan latar belakang kasus yang dihadapinya.

 

Laporan Masyarakat Adat Tobelo Boeng Minamin difasilitasi oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) selaku pendamping hukum dari Masyarakat Adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin , sebagai pihak terlapor. Ketua PPMAN, Syamsul Alam Agus, menekankan bahwa pertemuan antara Masyarakat Adat dan Komnas HAM sangat penting agar Komnas HAM mendapatkan informasi langsung atas peristiwa hukum yang dialami oleh Masyarakat Adat.

 

“Kasus pelanggaran hak asasi manusia, khususnya apa yang dialami oleh Masyarakat Adat Tobelo Boeng, sangat baik bagi Komisioner Komnas HAM mendengar keterangan langsung dari warga. Saudari Nove jangan ragu menjelaskan peristiwa yang dialami kepada Komnas HAM,” ucap Syamsul Alam Agus kepada Novenia agar lebih dalam menceritakan peristiwa yang dialaminya.

 

MHM melaporkan Nove dan Yulius Dagali (53 Thn) ke Polsek Wasile Selatan akibat ada penolakan warga yang berujung pada pemblokiran jalan masuk perusahaan. MHM menggunakan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Adapun ancaman pasal tersebut adalah dipidana dengan hukuman kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta. Di pihak lainnya, MHM belum melakukan kewajibannya terhadap masyarakat sebelum melakukan aktivitasnya.

 

Komisioner Komnas HAM, Hari Kurniawan, S.H dan Anis Hidayah, S.H, M.H, dalam tanggapannya bahwa Komnas HAM menerima pelaporan dan akan dengan segera merespon pengaduan tersebut dan memerintahkan salah seorang analis Komnas HAM mengawal kasus ini serta mengumpulkan informasi lanjutan.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi tim kuasa hukum Masyarakat Adat Tobelo Boeng dari Perhimpunan Pembela Adat Nusantara (PPMAN):

 

– Hendra Kasim, S.H, M.H – 082344999986
– Syamsul Alam Agus, S.H – 08118889083 (Koordinator PPMAN)