Release, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Bertemu Budiman Sujadmiko Terkait Kasus “Nangahale”.

Jumat, 07 Februari 2025, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bersama dengan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), mendatangi kantor Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan/TNP2K (BP Taskim) dan bertemu langsung dengan Kepala Badan, yakni Budima Sujadmiko.

Dalam pertemuan tersebut, Dewi Kartika (Sekjen KPA) menyampaikan terkait dengan praktik Reforma Agraria yang telah dilakukan oleh KPA selama ini, hal ini bisa menjadi singkron dengan tujuan pengentasan kemiskinan yang diusung oleh BP Taskim kepada Presiden Indonesi, yaitu menyelesaikan masalah kemiskinan dari bawah.

 

Anton Johanis Bala (Advokat PPMAN) juga menyampaikan terkait dengan peroses penggusuran yang dilakukan oleh PT. Kristus Raja Maumere (PT. Krisrama) terhadap Masyarakat Adat Tana Pu’an Soge Natarmage dan Tana Pu’an Goban Runut, Desa Nangahale, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, pada 22 Januari 2025. Bahwa konflik yang terjadi di Nangahale-Nusa Tenggara Timur, antara Masyarakat Adat dan PT. Krisrama merupaka cara lain untuk menciptakan kemiskinan, karena masyarakat sudah punya rumah untuk dihuni dan sebidang tanah agar dapat menyambung hidup mereka, namun hal-hal itu kemudian dihancurkan (gusur) oleh kepentingan kelompok tertentu.

John Bala (sapaan akrabnya) juga menekankan kepada BP Taskim, bahwa jika ingin mengentaskan kemiskinan, maka harus memulai dengan menyelesaikan konflik yang kemudian berpotensi menciptkan kemiskinan itu sendiri, contohnya konflik yang terjadi di Nangahale-Nusa Tenggara Timur.

 

Menanggapi hal itu, Budiman Sujadminko (Kepala BP Taskim) menyatakan bahwa dalam komitmen untuk mengentaskan kemiskinan, BP Taskim bisa berkoordinasi dengan Kementerian-kementerian terkait yang berhubungan langsung dengan konflik, sebagai contoh misalnya Kementerian ATR/BPN dan lain-lain. Budiman juga menambahkan, seharusnya pihak PT. Krisrama mengutamakan dialog untuk menyelesaikan masalah.

 

BP Taskim merupakan Badan Pengentasan Kemiskinan yang langsung dibawahi oleh Presiden, yang mana targetnya adalah menekan angka kemiskinan ekstreme di angka 9% sampai pada angka 5% di tahun 2029.

 

Narahubung;

 

Greg Djako : 0812-9967-730

John Bala   : 0852-3944-4482

Release : Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) melakukan audience dengan Wakil Menteri Hak Asasi Manusia terkait dengan peristiwa penggusuran rumah Masyarakat Adat Tana Pu’an Soge Natarmage dan Tana Pu’an Goban Runut di Kabupaten Sikka-Nusa Tenggara Timur pada 22 Januari 2025

Jakarta, Kamis 6 Februari 2025, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) melakukan audience dengan Wakil Menteri Hak Asasi Manusia RI Mugiyanto Sipin di Kantor Kementerian HAM Jakarta. Pada pertemuan tersebut PPMAN menyampaikan posisi kasus dan situasi hak asasi manusia pada konflik agraria antara masyarakat adat suku soge natarmage, suku goban runut dengan PT. Krisrama. Pasca peristiwa penggusuran yang dilakukan oleh PT. Krisrama pada 22 Januari 2025, sebanyak 120 rumah dan tanaman masyarakat adat dihancurkan, kini mereka tinggal dan bertahan hidup diatas puing-puing bangunan yang dihancurkan.

Kondisi ini diperparah sehari setelahnya, Pj. Bupati Sikka menerbitkan Surat mengeluarkan surat dengan Nomor Permukim. 590/10/I/ 2025 Perihal Pendataan Subjek dan Objek Tanah Eks HGU Nangahale Kepada Camat Waigete, Talibura dan Waiblama untuk redistribusi tanah. Hal ini menunjukkan fakta keterlibatan pemerintah daerah dalam konflik dan abai terhadap tanggungjawab memenuhi standar minimum hak asasi manusia pasca peristiwa tanggal 22 Januari 2025.

Dalam kesempatan tersebut Wakil Menteri HAM menyatakan akan segera melakukan koordinasi lintas kementerian dan lembaga untuk mencegah terjadinya keberulangan potensi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat. Wamen HAM juga akan menegaskan kepada pihak kepolisian dan pemerintah daerah yang terkait dengan kasus ini agar mengedepankan dialog dan mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang berpotensi melanggar hak-hak dasar masyarakat adat suku soge natarmage dan goban runut. Selain itu Wamen HAM juga mengingatkan pentingnya perusahaan dan pihak-pihak lainnya menjalankan prinsip FPIC dalam melaksanakan bisnisnya.

 

Narahubung:
Jhon Bala 085239444482
Gregg Djako 08129967730

Surat Desakan Perlindungan Atas Peristiwa Hukum yang Terjadi Di Komunitas Masyarakat Adat Dolok Parmonangan di Sumatera Utara

 

Nomor             : 012/PPMAN/I/2025

Perihal             : Surat Desakan Perlindungan Atas Peristiwa Hukum yang Terjadi Komunitas  Masyarakat Adat Dolok Parmonangan di Sumatera Utara

Lampiran        : –

 

Kepada Yang Terhormat:

Ibu/Bapak Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM)

Bapak Raja Juli Antoni, MA,. Ph.D.  Menteri Kehutanan Republik Indonesia

 

Di

Tempat

 

Salam Nusantara! Salam Keadilan!

 

Dengan Hormat,

Salam sejahtera kami sampaikan dan semoga Ibu/Bapak selalu berada dalam keadaan sehat dan sukses dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari.

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) saat ini sedang menangani kasus hukum yang dialami oleh Masyarakat Adat Dolok Parmonangan, yang mana peristiwa hukum ini bermula dari kejadian yang terjadi pada tanggal 02 Desember 2024. Pada saat itu Masyarakat Adat melakukan aksi penolakan atas pembangunan pos di samping jalan tepat persimpangan  atau jalan utama menuju sumber mata air minum masyarakat Dolok parmonangan sudah di blokade menggunakan pelang besi dijaga oleh security dan karyawan dari PT. Toba Pulp Lestari sebanyak lima puluh orang (50) orang.

 

Saat Masyarakat melakukan aksi penolakan tersebut, terjadi pengusiran disertai aksi saling dorong mendorong antara masyarakat dengan Security dan karyawan PT. Toba Pulp Lestari yang bersenjatakan menggunakan peralatan berupa tongkat rotan, yang berujung pada bentrok dan mengakibatkan kerusakan serta menimbulkan korban yaitu salah satu warga yang mengalami kekerasan dan luka-luka dikepalanya. Akan tetapi peristiwa tersebut tidak menghentikan aktifitas PT. Toba Pulp Lestari dalam melakukan aktivitasi penebangan pohon yang berada didekat sumber mata air.

 

Pelanggaran Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia

 

Bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 D ayat 1 bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana yang diamanatkan Pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Jo. Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Jo. Pasal 26 UU No 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.

 

Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Ham menyatakan: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.

 

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat             hukum    adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai            dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”

 

Pasal 28 I ayat 3 UUD 1945 menyebutkan:

”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

 

Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor  39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan: ”Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.”

 

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 Dalam Amar  Putusannya pada angka 1.2 halaman 185 menyatakan bahwa, `Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.

 

Bahwa pada peristiwa hukum yang terjadi diatas, kepolisian dalam peristiwa tesebut seharusnya hadir untuk memelihara dan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Namun sering sekali Kepolisian hadir untuk memberikan perlindungan kepada pihak PT TPL.

 

Bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO 169 yang khusus mengatur tentang Masyarakat Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-negara Merdeka (Convention Nomor. 169 Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries) Konvensi ini mengatur tentang perlindungan bagi Masyarakat Adat yang diatur pada Pasal sebagai berikut: 

 

Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (2) mengatakan bahwa terkait hak untuk memberikan persetujuan (right to consent) konvensi melindungi hak untuk memberikan persetujuan dari masyarakat adat ketika dalam upaya untuk menerapkan konvensi, pemerintah mempertimbangkan atau merencanakan program-program di bidang hukum atau administratif yang mungkin berdampak pada kehidupan mereka secara langsung. Sebelum memperoleh persetujuan (consent) dari masyarakat adat harus ada konsultasi atau musyawarah yang dilakukan yang didasari pada itikad baik dan dalam bentuk yang sesuai dengan keadaan masyarakat adat;

 

Bahwa Indonesia juga menjadi salah satu negara yang telah meratifikasi The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), dimana Indonesia memiliki kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) dan untuk lebih jelasnya terdapat pada Pasal 5, Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) dan Pasal 28 (1);

 

Maka merujuk pada peristiwa kekerasan dan intimidasi yang dihadapi oleh Masyarakat Adat di Dolok Parmonangan, maka bersama ini PPMAN bersama jaringan baik organisasi maupun individu yang bergerak dibidang advokasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Adat di Internasional mendesak kepada Komisi Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (KOMNAS HAM) untuk segera mengeluarkan Surat perlindungan kepada Masyarakat Adat sebagai wujud perlindungan Hak Asasi Manusia dan desakan penghentian tindak kekerasan kepada Masyarakat Adat Dolok Parmonangan di Sumatera Utara.

 

Demikian surat desakan ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasama dari Bapak/Ibu, kami ucapkan terimakasih.

 

Jakarta, 22 Januari 2025

 

Hormat Kami,

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Syamsul Alam Agus

Ketua Badan Pelaksana PPMAN

 

 

DAFTAR NAMA ORGANISASI:

 

  1. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
  2. Asia Indigenous Peoples Act (AIPP) – Chiang Mai
  3. Asia Indigenous Peoples Network on Extractive Industries and Energy (AIPNEE) – Asia
  4. Rights Energy Partnership With Indigenous Peoples (REP) – Global
  5. Asian Indigenous Women’s Network (AIWN) – Philipines
  6. Center For Orang Asli Concern (COAC) – Malaysia
  7. Center for support of Indigenous Peoples of the North (CSIPN) – Russia
  8. Comisión Intereclesial de Justicia y Paz (CIJP) – Colombia
  9. Community Empowerment and Social Justice Network (CEMSOJ) – Nepal
  10. Cordillera Peoples Alliance (CPA) – Philipines
  11. Cultural Survival – USA
  12. Federación de Comunidades Nativas de Ucayali y Afluentes (FECONAU) – Peru
  13. Federacion por la Autodeterminacion de los Pueblos Indígena (FAPI) – Paraguay
  14. Forest Peoples Programme (FPP) – United Kingdom
  15. Indigenous North – Russia
  16. Indigenous People’s Rights Internastional (IPRI) – Baguio, Phillipines
  17. Indigenous Peoples Forum (IPF) – Nepal
  18. International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA) – Denmark
  19. Kapaeeng Foundation – Bangladesh
  20. Land is Life – USA
  21. Ligue des Volontaires pour la Défense des Droits de l’Homme et de l’Environnement (LISVDHE) – Democratic Republic of Congo (DRC)
  22. Network of Indigenous Peoples in Thailand (NIPT) – Thailand
  23. Network of Indigenous Women-Bai, Inc. – Philippines
  24. SIKLAB Philippine Indigenous Youth Network – Phillipines
  25. Socio Culture Research Center – Nepal
  26. Struggle Against Marginalization of Nationalities (SAMAN-Nepal) – Nepal
  27. Zomi Human Rights Foundation (ZHRF) – India
  28. Khakass Public Environmental Foundation “IRIS’ – Russia
  29. The Center for Cultural Heritage of Indigenous Peoples of the Russian North – Russia
  30. Asia Pacific Network of Environmental Defenders – Asia Pacific
  31. Rainforest Action Network – UK

 

DAFTAR NAMA INDIVIDUAL

1.     Alessandro Ramazzotti Italy
2.     Andrei Isakov Russia
3.     Beverly L. Longid Philippines
4.     Brendan Tobin Ireland
5.     Eleanor Dictaan-Bang-oa Philippines
6.     Jagat Baram Nepal
7.     Polina Shulbaeva Russia
8.     RK Tamang Nepal
9.     Robie Halip Philippines
10.  Signe Leth Denmark
11.  Viacheslav Krechetov Russia

 

Surat Desakan Masyarakat Adat Dolok Parmonangan – Sumatera Utara

SIARAN PERS : PPMAN Desak Menteri ATR/BPN Audit Penerbitan SK Pemberian SHGU PT. Krisrama di Wilayah Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut, Tana Ai, Nusa Tenggara Timur.

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendesak Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap Surat Keputusan Pemberian Surat Hak Guna Usaha (HGU) PT. Krisrama Nomor: 1/HGU/BPN.53/VII/2023 yang mencakup wilayah adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut di Nangahale. SK HGU ini diduga dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat setempat dan mengabaikan hak-hak konstitusional mereka atas tanah adat.

Masyarakat adat melaporkan bahwa mereka menempati wilayah tersebut berdasar asal usul secara turun temurun yang kemudian akhirnya wilayah adat mereka termasuk dalam klaim HGU tersebut. Wilayah adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut di Nangahale merupakan tanah yang memiliki nilai spiritual, budaya, dan ekonomi yang sangat penting. Selain itu, keberadaan HGU ini telah memicu konflik agraria, ketegangan sosial, dan kerusakan lingkungan di kawasan tersebut.

 

PPMAN mengingatkan bahwa pelanggaran terhadap wilayah adat merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) yang mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak tradisionalnya. Selain itu, pemerintah wajib mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukanlah bagian dari hutan negara.

 

Pelanggaran Prinsip dan Hak Konstitusional

 

PPMAN menilai bahwa penerbitan SK HGU PT. Krisrama melanggar prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang mensyaratkan persetujuan masyarakat adat sebelum wilayah mereka digunakan untuk kepentingan lain. Selain itu, langkah ini bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18B Ayat (2) yang mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat, serta Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara.

 

“Wilayah adat bukan sekadar lahan kosong, tetapi pusat kehidupan dan identitas masyarakat adat. Penerbitan SK HGU tanpa persetujuan masyarakat adat adalah bentuk pengabaian hak dan ketidakadilan,” ujar Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara.

 

Penghilangan Barang Bukti Kasus Pidana

 

Selain penggusuran, delapan anggota masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut saat ini sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Sikka. 2 (dua) diantara 8 (delapan) terdakwa adalah perempuan. Penahanan ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan hak atas tanah mereka yang di laporkan oleh PT. Krisrama.

 

 

Penggusuran yang dilakukan oleh PT. Krisrama pada tanggal 22 Januari 2025 tidak hanya menghancurkan rumah dan tanaman produktif masyarakat adat namun telah menyebabkan salah satu obyek yang dijadikan sebagai barang bukti pembelaan perkara pidana yang sedang disidangkan di PN Maumere ikut dihancurkan oleh PT. Krisrama.

 

Gregorius B. Djako, S.H., advokat pembela masyarakat adat yang terhimpun di PPMAN juga merupakan kuasa hukum dari 8 (delapan) korban kriminalisasi PT. Krisrama menilai tindakan penggusuran tersebut merupakan tindak pidana yang telah menyebabkan potensi hilang atau rusaknya barang bukti sebagaimana isi dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap 8 anggota masyarakat adat yg persidangannya sedang berproses di Pengadilan Negeri Maumere.

 

“Tindakan pihak perusahaan sebagai pelaku penggusuran telah memenuhi unsur pidana sebagaimana ditegaskan pada Pasal 170 Ayat (1) KUHPidana Atau Pasal 406 Ayat (1) KUHPidana Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana, olehnya akan dilakukan langkah hukum yang tegas atas tindak pidana tersebut”, jelas Gregorius.

 

Tuntutan kepada Menteri ATR/BPN

 

Pada 31 Januari 2025, PPMAN telah mendatangani kantor kementerian ATR/BPN untuk menyampaikan pengaduan dan desakan kepada menteri ATR/BPN untuk segera melakukan audit menyeluruh atas terbitnya Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Nusa Tenggara Timur Nomor : 1/HGU/BPN.53/VII/2023 yang diberikan kepada PT. Krisrama.

 

Atas peristiwa penggusuran yang dilakukan oleh PT. Krisrama pada tanggal 22 Januari 2025, PPMAN berpandangan :

 

  • Tindakan PT. Krisrama menggusur rumah warga dan merobohkan pohon dan tanaman warga dengan menggunakan alat berat dapat dikatakan melanggar salah satu kewajiban yang disebutkan dalam surat keputusan pemberian/perpanjangan HGU. Sesuai dengan ketentuan Pasal 84 dan Lampiran IV Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 18 tahun 2021, bentuk surat keputusan perpanjangan HGU salah satunya berisi diktum yang mewajibkan pemilik HGU untuk menyelesaikan keberatan, permasalahan atau penguasaan dan/atau pemilikan pihak lain yang timbul di kemudian hari, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

  • Metode penggusuran rumah dan perobohan pohon dan tanaman yang dimiliki oleh pihak lain bukan termasuk cara penyelesaian yang diperbolehkan oleh peraturan perundang- undangan yang berlaku. Tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan dan diktum di dalam surat keputusan pemberian HGU yang membolehkan pihak Perusahaan untuk menggunakan metode kekerasan dalam rangka melaksanakan haknya. Dengan demikian, tindakan Perusahaan dapat dikualifikasi sebagai perbuatan pidana karena menghancurkan, merusak, atau membuat tidak bisa dipakai barang milik orang lain.

 

  • Selain sanksi pidana, Perusahaan juga dapat dikenakan sanksi administratif berupa pembatalan HGU. Pembatalan dapat berakibat hapusnya HGU perusahaan. Menurut ketentuan Pasal 34 huruf b, dan Pasal 31 huruf b angka 1 PP Nomor 18 tahun 2021

 

 

pembatalan HGU dapat dilakukan apabila pemegang hak tidak melaksanakan kewajiban atau melanggar larangan. Dalam UUPA dan PP Nomor 18/2021 memang tidak memasukkan penyelesaian keberatan, permasalahan atau penguasaan dan/atau pemilikan oleh pihak lain sebagai salah satu kewajiban pemegang HGU. Namun, Lampiran IV Permen ATR/Ka. BPN Nomor 18 tahun 2021 yang mengatur mengenai formal surat keputusan perpanjangan HGU, menjadikannya sebagai salah satu kewajiban. Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan pertanahan, penyelesaian yang dimaksud dalam Permen No. 18/2021 adalah dengan menempuh jalan musyawarah. Karena sudah disebutkan sebagai kewajiban dalam salah satu diktum surat keputusan pemberian HGU maka PT. Krisrama dapat dikatakan tidak melaksanakan syarat (kewajiban) tertentu yang menjadi alasan bagi Kepala Kantor Pertanahan/Kakanwil Pertanahan/Menteri untuk membatalkan HGU nya.

 

  • Selain dengan alasan tidak melaksanakan salah satu kewajiban, HGU Krisrama dapat juga dibatalkan karena alasan cacat administrasi. Sesuai dengan ketentuan Permen ATR/Ka. BPN No. 18/2021, pemberian atau perpanjangan HGU mensyaratkan tidak adanya keberatan, sengketa, konflik atau perkara dengan pihak lain yang ditemukan pada saat pemeriksaan lapangan. Apabila dalam pemberian atau perpanjangan HGU PT. Krisrama proses ini tidak dilakukan, maka dapat dikatakan terjadi cacat administrasi dalam bentuk cacat prosedur dalam pemberian atau perpanjangannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal ayat (1) huruf b, pembatalan dengan alasan cacat administrasi dapat dilakukan oleh Kepala Kantor/Kakanwil/Menteri apabila HGU belum berusia lima tahun terhitung sejak diterbitkannya sertifikat baik karena pemberian ataupun perpanjangan.

 

PPMAN mendesak Menteri ATR/BPN untuk:

 

  1. Menggelar audit menyeluruh terhadap penerbitan pemberian SHGU Krisrama untuk memastikan prosesnya sesuai dengan hukum dan regulasi yang berlaku.
  2. Mencabut HGU yang diterbitkan secara tidak sah, apabila ditemukan pelanggaran hukum atau pengabaian hak masyarakat adat.
  3. Menghentikan aktivitas Krisrama di wilayah adat suku soge natarmage dan goban runut, hingga masalah ini terselesaikan secara adil.
  4. Memastikan perlindungan hukum atas wilayah masyarakat adat, sebagai wujud komitmen pemerintah dalam melindungi masyarakat adat.

 

Komitmen untuk Menegakkan Keadilan

 

PPMAN menegaskan bahwa tindakan ini tidak hanya soal konflik tanah, tetapi juga soal melindungi warisan budaya dan keberlanjutan masyarakat adat. PPMAN bersama masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut di Nangahale siap mengambil langkah hukum dan advokasi lebih lanjut jika pemerintah tidak segera bertindak untuk menyelesaikan masalah ini.

“Pemerintah harus hadir sebagai pelindung masyarakat adat, bukan menjadi pendukung korporasi yang mengabaikan keadilan sosial,” tegas Alam. “Kami mendesak transparansi dan keberpihakan kepada masyarakat adat yang selama ini menjaga tanah mereka dengan penuh tanggung jawab.”

 

 

Kami menantikan tindakan nyata dari Menteri ATR/BPN untuk segera menyelesaikan permasalahan ini secara adil. Masyarakat adat akan terus memperjuangkan hak-hak mereka melalui jalur hukum dan mekanisme advokasi lainnya hingga keadilan ditegakkan.

 

 

Bogor, 31 Januari 2025

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)

 

Kontak :

  • Syamsul Alam Agus, 08118889083
  • Gregorius B Djako, 08129967730

Siaran Pers : Hentikan Kekerasan dan Kriminalisasi Terhadap Warga Rempang!

Tim Advokasi Nasional Solidaritas untuk Rempang mengecam kriminalisasi dan tindakan kekerasan berupa penyerangan yang dilakukan oleh karyawan dan/atau tim keamanan PT Makmur Elok Graha (PT.MEG) pada 17 – 18 Desember 2024. Dalam peristiwa ini, Polresta Barelang alih-alih menindak tegas semua pelaku penyerangan, justru menetapkan 3 orang warga Rempang sebagai tersangka. Tim PT. MEG tersebut melakukan penyerangan di 3 titik, diantaranya: 1.) Posko Masyarakat Adat Sembulang Hulu, 2.) Posko Masyarakat Adat Sei Buluh, 3.) Posko Bantuan Hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Gerakan Pemuda Ansor. Atas tindakan penyerangan tersebut sebanyak 8 (delapan) orang warga mengalami luka fisik, seperti luka ringan, luka sobek di bagian kepala, luka berat, terkena anak panah, patah tangan dan ratusan warga lainnya mengalami trauma yang mendalam.

 

Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, awalnya warga Rempang menangkap salah seorang Tim Keamanan PT. MEG yang sedang melakukan pengrusakan spanduk penolakan atas Proyek Rempang Eco City. Atas penangkapan tersebut, warga kemudian menelpon polisi dan 5 (lima) orang polisi pun datang ke Posko Sembulang Hulu. Sebelum polisi datang, beberapa orang yang datang untuk mengambil orang PT MEG tersebut dan mengatakan dirinya seorang prajurit dengan menunjukkan kartu anggota tentara. Namun, warga memilih tetap menahan karyawan tersebut dan menunggu polisi. Warga meminta agar polisi segera memproses tindakan pengrusakan yang dilakukan oleh pelaku. Namun upaya tersebut tidak digubris oleh Polsek Galang, hingga pada akhirnya pelaku tersebut pun dibawa kembali oleh Tim PT. MEG. Tidak berselang lama Tim PT. MEG datang kembali dan langsung melakukan penyerangan. Penyerangan tersebut dilakukan secara terukur, terlatih dan terencana. Mulanya, Tim PT. MEG menyerang lampu-lampu penerangan, kemudian menyerang warga secara fisik dan menghancurkan berbagai benda dan kendaraan yang berada di sekitar lokasi. Melihat brutalitas premanisme tersebut, warga pun mengevakuasi diri dengan berlarian masuk ke hutan untuk menghindari kekerasan.

 

Atas tindakan penyerangan tersebut, alih-alih melakukan penegakan hukum secara berkeadilan, Polresta Barelang hanya menetapkan 2 (dua) orang Tim Keamanan PT. MEG menjadi tersangka dari 30 orang Tim PT. MEG melakukan penyerangan sebagaimana pengakuan Angga, anggota Tim Keamanan PT. MEG dalam wawancaranya bersama Tempo.1 Tidak berhenti di situ, alih-alih melindungi dan  memberikan  rasa  aman  pada  masyarakat,  Polresta  Barelang  justru menetapkan 3 (tiga) orang Masyarakat menjadi tersangka, Yakni: Siti Hawa Als Nenek Awe (67 Tahun), Sani Rio (37 Tahun) dan Abu Bakar Als Pak Aceh (54 Tahun) dengan tuduhan perampasan kemerdekaan sebagaimana Pasal 333 KUHP.

 

Atas penjabaran tersebut, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai kekerasan ini sengaja dimobilisasi dengan menargetkan warga Rempang agar tersingkir secara paksa dari tempat tinggal mereka. Keberadaan gerombolan orang PT MEG di Rempang perlu dipertanyakan, apakah karyawan sungguhan atau hanyalah “preman” berkedok karyawan yang sengaja ditempatkan untuk mengintimidasi warga. Mengingat hingga saat ini belum ada pekerjaan konstruksi Rempang Eco City, maka perlu dipertanyakan untuk apa orang-orang itu ditempatkan di Kampung Sembulang Pasir Merah. Di pihak lain, Polisi melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi premanisme mereka bahkan “melindungi” dengan mengabaikan laporan-laporan warga. Temuan kami, Pemerintah Kecamatan Galang juga turut andil dalam kekerasan ini karena memberikan fasilitas bagi kelompok pelaku kekerasan ini.

 

Dari rentetan peristiwa ini, PT MEG, Polisi, BP Batam dan Pemerintah Setempat secara bersama-sama telah melakukan kekerasan struktural, dengan sengaja melakukan mobilisasi kekuasaan, alat dan fasilitas negara untuk menyingkirkan warga Rempang dari tempat tinggal dan ruang hidupnya. Pola kekerasan seperti ini adalah bentuk pelanggaran HAM berat berupa kejahatan kemanusiaan.

 

Selanjutnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai penetapan tersangka terhadap 3 orang masyarakat tersebut tidak bisa dilepaskan dari ambisi PT. MEG, BP Batam & Pemerintah Pusat untuk segera melakukan pengusiran masyarakat adat tempatan Pulau Rempang untuk suksesi Proyek Rempang Eco City, selain kriminalisasi dan kekerasan ambisi tersebut juga akan menarik Institusi Pertahanan, TNI karena pada hari Senin (13 Januari 2025), BP Batam menggelar rapat koordinasi percepatan Rempang Eco-City bersama Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Pratama yang juga dihadiri oleh Asisten Perencanaan Komando Daerah Militer (Kodam) 1 Bukit Barisan, Kepala Zeni Kodam 1 Bukit Barisan, Komando Distrik Militer (Kodim) 0316 Batam, dan perwakilan PT MEG. situasi tersebut akan yang akan menempatkan Masyarakat dalam posisi kerentanan berlapis, bukan tidak mungkin menjadi objek kekerasan, seperti yang dilakukan oleh Tim Keamanan PT. MEG beberapa waktu yang lalu serta Kekerasan Polisi pada september 2023 yang silam.

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menilai kekerasan dan dan proses hukum terhadap masyarakat Pulau Rempang sampai penetapan tersangka bukan bertujuan untuk menegakkan hukum, tetapi membungkam perjuangan masyarakat Pulau Rempang dalam mempertahankan ruang hidupnya. Ini adalah kriminalisasi terhadap masyarakat Pulau Rempang. Hal ini sebagai bentuk keberpihakan negara terhadap korporasi (pemodal) dengan mengorbankan rakyat. Dalam hal ini negara mengabaikan dan mengingkari kewajibannya melindungi dan menghormati hak asasi warganya sebagaimana diatur dalam konstitusi, Undang-Undang Ham No. 39 Tahun 1999, dan berbagai instrumen hukum lainnya.

 

LBH Pekanbaru menilai sikap pemerintah Batam yang membiarkan masyarakat Rempang mengalami kekerasan fisik maupun psikologis secara berulang adalah perbuatan pelanggengan kejahatan Hak Asasi Manusia terhadap warga Negara. Kami juga memandang Pemerintah Kota Batam maupun kecamatan Galang adalah pihak yang memfasilitasi kejahatan kemanusiaan di Rempang terjadi. Negara melalui aparat kepolisian harus memandang masyarakat Rempang sebagai pejuang hak asasi manusia atas lingkungan hidupnya dan harus memberikan perlindungan terhadap pejuang hak asasi manusia atas lingkungan hidupnya sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum Terhadap Orang Yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat; memandatkan bahwa orang yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

 

Selain itu LBH Pekanbaru juga melihat kejadian keberulangan ini adalah kesalahan Negara yang tidak mampu melaksanakan kewajibannya untuk memastikan jaminan ketidakberulangan kepada masyarakat Rempang yang telah menjadi dan/atau mengalami pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam poin 164 standar norma dan pengaturan tentang pembela HAM. Meskipun demikian Negara sebagai wali dari sistem hak asasi manusia internasional harus mengambil langkah-langkah perlindungan untuk melawan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh PT MEG, karena kita memandang kehadiran PT MEG sebagai entitas bisnis di Pulau Rempang telah gagal dalam menghormati maupun mempromosikan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam deklarasi tentang Hak dan Tanggung Jawab sebagai perusahaan untuk mempromosikan dan melindungi HAM dan kebebasan fundamental yang diakui secara universal.

 

Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) melihat kekerasan yang kembali terjadi kepada warga Rempang merupakan tindakan pengabaian yang secara terus-menerus dilakukan oleh Negara, utamanya Kepolisian kepada warga yang terdampak PSN. Kekerasan berupa penyerangan yang dilakukan oleh satuan pengamanan PT MEG menunjukkan bahwa proyek PSN ini telah mengabaikan bahkan merusak prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) sebagaimana telah digariskan dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), yang dalam hal ini memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan persetujuan maupun ketidaksetujuannya dalam proyek ini. Hal ini jelas berakibat pada hilangnya hak atas rasa aman sebagaimana diatur di dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 45 serta pasal 30 UU 39/1999.

 

Selain itu, KontraS menilai penetapan tersangka kepada 3 orang warga Rempang oleh Polresta Barelang tidak dilakukan dengan profesional, proporsional, dan transparan sehingga telah dilakukan tanpa dasar yang kuat. Kepolisian tidak lagi bertindak sebagaimana untuk kepentingan umum melainkan hanya untuk kepentingan korporasi. Kriminalisasi yang menimpa 3 warga ini jelas tidak sesuai dengan tugas pokok Kepolisian sebagaimana diatur di dalam Pasal 13 UU 2/2002. Selain itu, kriminalisasi ini KontraS lihat hanya digunakan sebagai upaya untuk merusak reputasi, menghalang-halangi korban untuk aktif menyuarakan penolakannya hingga memberikan teror kepada pihak-pihak yang bersangkutan dengan korban.

 

Berdasarkan uraian di atas, maka kami dari Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang mendesak:

 

  1. Presiden RI Prabowo Subianto untuk segera melakukan pembatalan Proyek Strategis Rempang Eco City, karena terbukti mengancam keamanan dan keselamatan serta berpotensi menghilangkan identitas kultural dan historis Masyarakat Adat Pulau Rempang;

 

  1. Presiden RI Prabowo Subianto, segera memerintahkan semua Kementerian terkait melakukan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Tempatan Pulau Rempang beserta dengan wilayah kelola dan sumber- sumber kehidupannya;

 

  1. Kepala Kepolisian Negara RI, untuk segera memerintahkan Kepala Polresta Barelang untuk menghentikan proses hukum terhadap 3 (tiga) orang Masyarakat Rempang dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), serta memastikan semua Tim Keamanan PT. MEG yang melakukan kekerasan terhadap Masyarakat dan Barang pada 17 Desember 2024 segera ditetapkan sebagai tersangka;

 

  1. Kepala Kepolisian Negara RI, untuk segera memerintahkan Kepala Polresta Barelang agar menindaklanjuti laporan warga Pulau Rempang di Polresta Barelang, yang saat ini hanya menetapkan 2 (dua) orang Tersangka dari pihak Tim Keamanan PT. MEG, namun sampai dengan saat ini kami tidak ada kejelasan mengenai siapa yang ditetapkan sebagai tersangka dan proses hukumnya sudah sampai pada tahap mana.

 

  1. Kepala Kepolisian Negara RI segera melakukan audit, evaluasi kinerja terhadap Polresta Barelang yang dalam beberapa tindakan dan kerjanya tidak mencerminkan prinsip-prinsip Melindungi, Mengayomi, dan Melayani khususnya kepada Masyarakat Adat Tempatan Pulau Rempang, melainkan cenderung dan diduga berpihak kepada PT. MEG;

 

  1. Panglima TNI memerintahkan Inspektorat Jenderal TNI Angkatan Darat untuk melakukan Audit, Review, Evaluasi, Pemantauan, dan Kegiatan Pengawasan Lainnya terkait dengan keterlibatan Komando Daerah Militer (Kodam) 1 Bukit Barisan dan Satuan Pelaksana Dibawanya, terkhusus Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Pratama dan Komando Distrik Militer (Kodim) 0316 Batam dalam Proyek Rempang Eco City yang bertentangan dengan Peran, Tugas dan Fungsi TNI, serta mengusut tuntas dugaan keterlibatan Prajurit TNI yang mencoba menjemput Tim Keamanan MEG yang tertangkap tangan melakukan perusakan spanduk masyarakat;

 

  1. Komisi Kepolisian Nasional baik bersama-sama maupun secara sendiri- sendiri sesuai dengan kewenangannya masing-masing berdasarkan Peraturan Perundang-undangan bersama dengan Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman Republik Indonesia (ORI), dan LPSK melakukan pengawasan terhadap kinerja Polresta Barelang, serta meminta Polresta Barelang segera menghentikan proses hukum terhadap 3 (tiga) orang Masyarakat Rempang dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), dan Memberikan Perlindungan serta Pemulihan yang efektif bagi Masyarakat Adat Rempang;

 

  1. Kepala Kepolisian Negara RI berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan dan ATR/BPN RI, segera memerintahkan Kepolisian Daerah Kepulauan Riau untuk memastikan PT. MEG meninggalkan Pulau Rempang karena diduga belum memiliki Hak Pengelolaan, sehingga Masyarakat dapat menjalani aktivitas dengan Aman dan Damai;

 

Jakarta, 24 Januari 2025 Narahubung:

 

  1. Edy Kurniawan Wahid, YLBHI
  2. Teo Reffelsen, WALHI
  3. Syamsul Alam Agus, PPMAN

 

SOLIDARITAS NASIONAL UNTUK REMPANG ;

 

  1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  2. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
  3. LBH Pekanbaru
  4. WALHI Riau
  5. Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  6. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
  7. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
  8. Trend Asia
  9. LBH Mawar Saron Batam
  10. Lembaga Studi & Bantuan Hukum Masyarakat Kepulauan (LSBH MK)
  11. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
  12. Amnesty International Indonesia
  13. Transparency International Indonesia
  14. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)

 

“PPMAN strongly condemn the acts of violence to Indigenouse students in Bangladesh”

Attack on Indigenous Students during a peaceful demonstration and rally in Dhaka

 

Published on: January 15, 2025

 

 

 

 

Picture Source: Collected.

 

Background of the incident:

On January 15, 2025, a violent attack was occurred out on Indigenous Students by a group of  students in front of the National Curriculum and Textbook Board (NCTB) building in Motijheel, Dhaka. The Indigenous students had gathered for a peaceful protest against the removal of an image of a graffiti featuring the word ‘indigenous’ (Adivasi, in Bangla) from the back of a school textbook,   At least 19 indigenous students were injured in the attack and 10 of them were taken to Dhaka Medical College Hospital.

 

Earlier on January 12 the NCTB authority removed the image of the graffiti that contained the word “indigenous” following the demands of ‘Students for Sovereignty’ organization. Indigenous students declared today’s protest program against this decision of the NCTB.

 

The protest, however, turned violent when members of ‘Students for Sovereignty’ launched an unprovoked attack on the Indigenous students. It is learnt that; the protest of indigenous students was organized under the banner of “Aggrieved Indigenous Student-People” as part of their ongoing struggle for cultural recognition in Bangladesh’s educational system. The removal of the term ‘Adivasi’ from textbooks  sparked outrage within the community. The students planned a peaceful procession against the decision of removing the graffiti by NCTB authority .

 

The demonstration and protest rally by the Indigenous students was first started from TSC, Dhaka University at 10 am in the morning today. From TSC hundreds of indigenous students and leaders of many progressive organizations and human rights activists marched towards NCTB located in Motijheel area of Dhaka city.  Eyewitnesses said that before the indigenous students reached at the NCTB building at around 12 noon, the members of ‘Students for Sovereignty’ were already there holding cricket stamps with the national flag.

Picture Source: collected

 

Meanwhile, the indigenous students, who were marching peacefully to the NCTB building, were attacked first by members of the ‘Students for Sovereignty.’ Despite the presence of police personnel at the scene, ‘Students for Sovereignty’ launched an unprovoked assault. The attackers, armed with cricket batons, struck the indigenous students, resulting in injuries to at least 19.

Number of injured victims:

 

At least 19 students were injured, and several were required to admit at Dhaka Medical College Hospital with serious injuries.

 

The seriously injured has been identified are –1. Ananta Dhamai (35), Former President of Bangladesh Indigenous Youth Forum, 2. Don Jetra (28), Dhaka Metropolitan Branch of Bagachas, 3. Jewel Marak (35), Journalist of DBC News, 4. Rupaya Shrestha Tanchangya (25), Central Member of Anti-Discrimination Student Movement and Student of Dhaka University, 5. Tony Mathew Chiran, Vice- President of Bangladesh Indigenous Youth Forum, 6. Isaba Shuhrat (32), Human Rights Activist, 7. Futanta Chakma (22), Student.

 

The other injured are-1. Donai Mro (25), Student of Dhaka University, 2. Rengyoung Mro (27), Vice-President of CHT Hill Student Council, 3. Sneha Lal Tanchangya, Student of Dhaka University, 4. Shanta Chakma, Student of Dhaka University, 5. Sushmi Chakma, Student of Dhaka University, 6. Angel Chakma, Student of Jagannath University, 7. Sushanto Chakma, Student, 8. Michel Tripura, Student, 9. Malay Bikash Tripura, Student, Dhaka University, 10. Shoili (27), Student of Dhaka University, 11. Rahi Nayab, Student of Department of Mass Communication and Journalism, Dhaka University, 12. Robi Biswas, Student of Dhaka University.

 

Action taken by police:

 

The police have yet to release an official statement on their role in managing the situation, and an investigation into the incident is underway. Indigenous leaders are demanding impartial investigation of the attack, and activists are calling for a broader conversation about the need for greater recognition of indigenous rights in Bangladesh.

 

Alik Mree, an organizer with the Agitated Indigenous Students, condemned the attack, emphasizing that their protest was meant to be peaceful. He expressed disbelief that their group, which was marching in a non-violent manner, was attacked by another student group, even in the presence of police. Mree further criticized the use of national symbols, such as the national flag tied to cricket batons, in what he described as an act of aggression.

 

Statement by different organizations:

 

Bangladesh Indigenous Peoples’ Forum (BIPF) condemned the violent attack by the members of ‘Students for Sovereignty’ on the peaceful demonstration and protest rally of the Indigenous Students.

 

Bangladesh Indigenous Peoples’ Forum also considers the decision taken by the NCTB is unfortunate which is to remove the ‘Adivasi’ (Indigenous) word from the Grade 9-10 Bengali grammar textbook without any discussion with the relevant organizations and authorities of the state in view of the demands of some radical sectarian and fundamentalist groups on 12 January 2025. Bangladesh Indigenous Peoples’ Forum (BIPF) rejects with disgust and expresses strong anger and protest against such discriminatory and humiliating decision and demanded punishment whoever involves in the attack..

 

Hill Student Council and Hill Women’s Federation of CHT also strongly condemned and protested and demanded speedy arrest and punishment of the terrorists involved in the attack.

 

Post Attack Actions by the Indigenous Students:

 

The indigenous students immediately declared programs against the attack

 

  1. Protest rally in the evening at Dhaka University campus
  2. Protest on 16 January 2025 in every conner of the country
  3. Protest on January 17, 2025 Infront of the Chief Adviser’s Office demanding justice of today’s incident and reinstatement of the graffiti containing ‘Adivasi’ (Indigenous) words.

 

Resource : https://kapaeengnet.org/attack-on-indigenous-students-during-a-peaceful-demonstration-and-rally-in-dhaka/

Kecewa, Masyarakat Adat Nangahale Tolak Putusan Praperadilan yang Dinilai Tidak Adil

Press Release;

 

Maumere, 20 Desember 2024

 

Masyarakat Adat Tana Pu’an Soge Natarmage dan Tana Pu’an Goban Runut Nangahale menyampaikan kekecewaannya atas putusan Pengadilan Negeri Maumere dalam Perkara Praperadilan No.1/PN.Mme yang menolak permohonan Praperadilan terkait kasus Penetapan Tersangka atas 8 (delapan) orang Masyarakat Adat Sogen Natarmage dan Goban Runut Nangahale Talibura Kabupaten Sikka NTT, mereka dituduh melakukan pengrusakan Plang nama yang dipasang oleh PT.KHRISRAMA Keuskupan Maumere di wilayah adat yang telah di tempati dan di kuasai oleh Masyarakat Adat secara turun temurun puluhan tahun di Nangahale, Putusan ini dinilai mencerminkan kurangnya keberpihakan terhadap perlindungan hak-hak masyarakat adat yang telah dijamin oleh Hukum nasional maupun Konfensi Internasional. Mereka ditetapkan sebagai tersangka sengan tuduhan telah melakukan pengerusakan Plang milik Perusahaan dengan menggunakan Pasal 170 ayat 1 KUHPidana oleh Polres Sikka.

 

Sidang Praperadilan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Maumere dan berjalan selama 7 (tujuh) hari sejak 10 Desember 2024 sampai dengan 18 Desember 2024, dan para Hakim dalam putusannya menolak permohonan Praperadilan Masyarakat Adat Tana Pu’an Soge Natarmage dan Tana Pu’an Goban Runut Nangahale. Dalam proses persidangan, 8 (delapan) orang masyarakat adat Nangahale melalui kuasa hukumnya Anton Johanis Bala, S.H, mereka telah menyampaikan sejumlah bukti dan bantahan yang menunjukkan adanya dugaan pelanggaran hukum. Dalam kasus tersebut proses Penangkapan dan Penahanan yang di lakukan TERMOHON telah melanggar Hak Asasi Manusia Penetapan Tersangka Terhadap PARA PEMOHON tidak berdasarkan bukti permulaan yang cukup dan Objek Sengketa yang di Klaim oleh Perusahaan yang bergerak disektor Perkebunan tersebut adalah Milik Para Pemohon karena secara resmi telah dikeluarkan dari Sertifikat Hak Guna Usaha No. 4 s.d 13 Nangahale Milik PT. KHRISRAMA.

 

Ignasius Nasi Tokoh Adat Nangahale mewakili masyarakat adat Tana Pu’an Soge Natarmage dan Tana Pu’an Goban Runut menyatakan “Kami merasa putusan ini sangat mengecewakan dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang telah diakui oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan hukum internasional, seperti Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).

 

Anton Johanis Bala, S.H selaku Kuasa Hukum menyatakan bahwa Kasus Yang Melibatkan Masyarakat Adat, seharusnya diselesaikan melalui mekanisme Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan bukan melalui Putusan Pengadilan. Menurut John Bala demikian biasa disapa mengungkapkan bahwa mereka hanya mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang dilakukan secara turun temurun di wilayah yang diklaim oleh Peruisahaan sebagai lahan perkebunan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.95/PUU-XII/2014, tanggal 10 Desember 2015 yang mengamanatkan ketentuan tindak pidana kehutanan tidak berlaku bagi masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan, sepanjang melakukan penerbangan pohon, memanen, memungut hasil hutan dan beternak dalam kawasan hutan dilakukan bukan untuk kepentingan komersial seperti yang selama ini di lakukan oleh para tersangka.  sehingga menjadi tidak berdasar hukum apabila para tersangka ditetapkan sebagai tersangka pelaku tindak pidana.

 

Lebih lanjut, masyarakat adat menilai bahwa proses hukum yang berjalan tidak mencerminkan prinsip keadilan. “Kami melihat ada sejumlah kejanggalan dalam proses hukum, mulai dari bukti yang diajukan oleh Para Tersangka tidak dipertimbangkan. Kami mempertanyakan independensi lembaga peradilan dalam kasus ini,” tambah John Bala.

 

Masyarakat adat Tana Pu’an Soge Natarmage dan Tana Pu’an Goban Runut berkomitmen untuk melanjutkan perjuangan hukum mereka, Mereka menegaskan kepada pihak pemerintah, lembaga peradilan, dan masyarakat luas dapat membuka mata terhadap perjuangan masyarakat adat Tana Pu’an Soge Natarmage dan Tana Pu’an Goban Runut Nangahale yang terus-menerus menghadapi diskriminasi dan ketidakadilan. Penolakan terhadap praperadilan ini tidak hanya menjadi pukulan bagi Masyarakat Adat di Nusa Tenggara Timur saja akan tetapi juga menciptakan preseden buruk bagi perlindungan Hak Masyarakat Adat di seluruh Indonesia.

 

 

Anton Johanis Bala,S.H

Kuasa Hukum Masyarakat adat

(PPMAN)

SIARAN PERS Solidaritas Nasional Untuk Rempang “Kekerasan terhadap Warga Kembali Terjadi: Cabut PSN Rempang Eco City”

Jakarta, 18 Desember 2024 – Warga Rempang Tolak Rempang Eco-City bersama Solidaritas Nasional untuk Rempang mengecam keras peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh satuan pengamanan PT Makmur Elok Graha (PT MEG). Kekerasan tersebut terjadi kepada warga di Kampung Sembulang Hulu dan Kampung Sei Buluh, Rempang, Kepulauan Riau pada 18 Desember 2024 pukul 00.50 WIB.

 

Kekerasan serupa serangan tersebut terjadi pada posko keamanan warga. Akibat serangan tersebut, sebanyak 8 orang warga menjadi korban dan mengalami kekerasan fisik, antara lain: luka ringan, luka sobek di bagian kepala, luka berat, terkena panah, patah tangan dan warga lainnya mengalami trauma. Sebagian warga pada akhirnya turut mengevakuasi diri dengan lari masuk ke hutan untuk menghindari berbagai serangan brutal. Serangan tersebut juga menyasar pada belasan kendaraan bermotor dan mobil milik warga yang berakibat pada kerusakan.

 

Edy Kurniawan, YLBHI, mengatakan bahwa seharusnya peristiwa ini tidak terjadi jika lembaga-lembaga negara dari awal berani mengambil sikap tegas untuk melindungi warga Rempang dan meninjau ulang PSN Rempang Eco-City. Sejak satu tahun terakhir warga Rempang berkali-kali mengadukan peristiwa kekerasan yang berulang. Pengaduan ditujukan kepada DPR RI, KLHK, ATR/BPN, Komnas HAM, Ombudsman, Komnas HAM, LPSK, dll. Jadi, seharusnya mereka mampu memitigasi potensi kekerasan di Rempang. Kejadian ini membuktikan kegagalan lembaga negara tersebut untuk menyelesaikan konflik di Rempang.

 

Melihat pola rentetan serangan terhadap warga Rempang dalam satu tahun terakhir, yang melibatkan kepolisian, TNI, BP Batam, dan kelompok premanisme yang dimobilisasi oleh PT MEG, serta di orkestrasi oleh pejabat-pejabat pusat. Di mana serangan ini menimbulkan korban pelanggaran HAM berupa perampasan tanah dan kekerasan terhadap ratusan hingga ribuan warga Rempang. Sehingga situasi ini mengarah pada pelanggaran HAM berat berupa kejahatan kemanusiaan, pemindahan/pengusiran penduduk secara paksa sebagaimana diatur dalam Pasal 9 huruf d dan e UU 26/2000 dan Basic Principles and Guidelines on Development-Based Evictions and Displacement A/HRC/18, paragraf ke-6, oleh Dewan HAM PBB (2009), Tegas YLBHI.

 

Syamsul Alam Agus, PPMAN, menyatakan kecaman keras terhadap segala bentuk intimidasi, kekerasan, dan premanisme yang dilakukan oleh perusahaan terhadap Masyarakat Adat di Rempang. Masyarakat Adat memiliki hak yang dilindungi oleh Undang – undang, termasuk hak atas tanah, budaya, dan kehidupannya. Aksi premanisme yang dilakukan oleh perusahaan tidak hanya melanggar Hak Asasi Manusia, tetapi juga mengancam keberlangsungan tradisi serta lingkungan yang telah dijaga oleh Masyarakat Adat selama berabad-abad.

 

Masyarakat Adat adalah penjaga ekosistem dan warisan budaya bangsa. Hak mereka atas tanah adalah hak yang diakui oleh konstitusi, seperti yang tercantum dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Tindakan premanisme oleh perusahaan menunjukan kelalaian dalam menghormati prinsip-prinsip keberlanjutan, etika bisnis, dan keadilan sosial. Keadilan untuk Masyarakat Adat adalah fondasi untuk keberlanjutan sosial, budaya, dan lingkungan. Tidak ada pembangunan yang seharusnya dibayar dengan penderitaan mereka, mari berdiri bersama untuk melindungi hak dan martabat Masyarakat Adat di Rempang, tegasnya.

 

Vebrina Monicha, KontraS, menyebutkan bahwa kekerasan yang terjadi kepada warga Rempang merupakan bentuk kekerasan berbasis kepentingan modal (Capital Violence) yang diciptakan untuk mengakselerasi kepentingan dari investasi yang berujung pada pelanggaran HAM. Kekerasan yang dilakukan oleh satuan pengamanan PT MEG tersebut juga kami lihat selama ini terus berulang dan minim penghukuman. Tidak adanya penghukuman tersebut menunjukkan adanya Conflict of Interest (CoI) antara PT MEG dan Kepolisian, sehingga kami menilai bahwa kekerasan ini telah diakomodir dalam Perpol No. 4 Tahun 2020 Tentang Pam Swakarsa, yang bila ditilik dalam sejarah merupakan kerumunan orang yang digunakan untuk kepentingan tertentu dengan minimnya pertanggungjawaban, pengawasan dan akuntabilitas.

 

Lebih lanjut, PT MEG juga telah gagal dalam memenuhi prinsip menjalankan bisnis yang diatur dalam Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPS) dan telah dituangkan dalam Peraturan Komnas HAM Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengesahan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM, yakni untuk memperhatikan, memastikan jaminan dan perlindungan bagi masyarakat yang terdampak.

 

Teo Reffelsen, WALHI, mengutuk keras tindakan premanisme (aktor non-negara) dan pasifnya kepolisian sehingga mengakibatkan luka fisik dan psikis Masyarakat Adat Tempatan Pulau Rempang-Galang. Pemerintah dan DPR harus melakukan evaluasi konstruktif-partisipatif terkait dengan aktivitas PT. MEG di Pulau Rempang-Galang. kekerasan yang terjadi terhadap Masyarakat Adat Tempatan Pulau Rempang-Galang adalah kejahatan yang berulang karena absennya penindakan terhadap pelaku.

 

Diamnya Pemerintah dan DPR seolah berpihak pada PT. MEG alih-alih melindungi hak Masyarakat Adat Tempatan Pulau Rempang-Galang terkait dengan hak atas tanah dan identitasnya. menyikapi situasi ini Presiden Prabowo Subianto harus memerintahkan Kepala Kepolisian RI untuk mengusut tuntas tindakan penyerangan baik aktor lapangan maupun aktor intelektual yang memerintahkannya termasuk dan tidak terbatas jika ada keterlibatan aparat yang mendiamkan kekerasan ini terjadi, lanjut Teo”.

 

Secara umum melihat pola kejahatan dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional di seluruh Indonesia yang terstruktur, sistematis dan masif serta mengakibatkan penderitaan fisik dan psikis penduduk sipil Komnas HAM harus melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran ham berat atau kejahatan kemanusiaan. tutup Teo.

 

Susan Herawati, KIARA, melanjutkan bahwa kekerasan yang terjadi di Rempang adalah satu pola yang telah terjadi berulang. Diduga bahwa hal ini sengaja dilakukan untuk semakin mengintimidasi dan menyudutkan warga Rempang bahwa warga Rempang merupakan pihak yang tertuduh. Padahal sejak awal warga Rempang telah menyatakan tidak terhadap relokasi warga Rempang dan investasi yang akan dilakukan di Rempang. Pemerintah seharusnya menjunjung tinggi dan memenuhi hak-hak konstitusional warga Rempang dan melindungi HAM warga Rempang sebagaimana juga terdapat dalam prinsip free, prior, informed consent (FPIC) atau persetujuan awal tanpa paksaan (PADIATAPA). Bahkan dalam konteks hukum Indonesia, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 3 Tahun 2010 menyebutkan bahwa masyarakat pesisir dan pulau kecil memiliki hak untuk melintas dan mengakses laut, hak untuk mengelola laut sesuai dengan adat istiadat yang telah dilakukan secara turun temurun, serta hak untuk mendapatkan manfaat dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Sehingga warga Rempang adalah right holders atau pemegang hak utama di Pulau Rempang, yang harus diakui, dipenuhi dan dilindungi hak-haknya.

 

Wahidul Halim dari Perkumpulan HuMa Indonesia mengatakan bahwa peristiwa kekerasan yang dialami oleh Warga Rempang menambah preseden buruk bagi Masyarakat Adat. Pemerintah menggunakan instrumen hukum melalui Proyek Strategis Nasional yang merampas dan mengusir Masyarakat Adat Rempang dari tanahnya. Padahal, Masyarakat Adat Rempang telah dilindungi konstitusi sebagaimana Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria, Warga Rempang sah secara hukum sebagai pemilik dari tanahnya yang menguasai lebih dari 20 tahun. Pemerintah tidak bisa mencabut hak atas tanah Masyarakat Adat Rempang. PSN Rempang Eco-City merupakan bagian dari Cultural Genocide atau pembersihan budaya yang menghilangkan nilai-nilai, tradisi, budaya hukum Masyarakat Adat Rempang. Pemerintah harus membentuk tim khusus penyelesaian konflik agraria sebagai upaya dalam mewujudkan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat Rempang.

 

Label-label hijau dan eco yang selama ini didengungkan oleh pemerintah semestinya tidak dilakukan dengan melanggar hak-hak dasar masyarakat adat untuk mempertahankan hak hidupnya di tanah yang telah ditempati turun-temurun.

 

Atas kejadian yang berulang ini, Solidaritas Nasional untuk Rempang mendesak:

 

  1. Presiden Prabowo dan DPR RI untuk memastikan perlindungan kepada masyarakat adat dan tempatan Rempang atas wilayah adatnya. Sekaligus dengan tegas segera membatalkan seluruh rencana pengembangan PSN Tempang Eco-city;
  2. Kapolri untuk memerintahkan jajarannya melakukan penegakan hukum secara serius dan tegas atas seluruh peristiwa intimidasi dan kekerasan yang dilakukan kepada masyarakat Rempang;
  3. Komnas HAM mengawasi dan bertindak tegas atas rentetan pelanggaran HAM yang terjadi di Rempang, sekaligus mengkoordinasikan dan memastikan skema-skema perlindungan kepada seluruh masyarakat adat dan di Rempang.
  4. Mengajak publik untuk bersolidaritas dan mendukung perlindungan kepada masyarakat adat dan tempatan Rempang atas wilayah adatnya serta mendesak Pemerintah dan DPR untuk segera membatalkan seluruh rencana pengembangan PSN Tempang Eco-city;

 

Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang

 

Narahubung :

1. Pengurus YLBHI

2. WALHI Nasional

3. WALHI Riau

4. LBH Pekanbaru

5. KIARA

6. KontraS

7. HuMA

8. PPMAN

9. Amnesty International

10. Trend Asia

11. Transparency International Indonesia

12. IPRI

Putusan Sela Mahkamah Konstitusi dan Perintah Tidak Menerbitkan Peraturan Pelaksana yang Berkaitan UU KSDAHE

Jakarta, 15 November 2024 – Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) pada Kamis, 14 November 2024 mengeluarkan Putusan Sela Nomor 132-PS/PUU-XXII/2024 terkait Uji Formil Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

 

Pada pertimbangan hukumnya, MK memandang perlu untuk menjatuhkan putusan sela yang bertujuan untuk menunda pemeriksaan persidangan permohonan pengujian formil yang diajukan oleh AMAN, WALHI, KIARA dan Mikael Ane yang tergabung dalam Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan sampai dengan selesainya persidangan penyelesaian perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024.

 

Pada pertimbangan hukumnya juga, MK memerintahkan kepada pemerintah dan pihak lain untuk tidak menerbitkan peraturan pelaksana yang berkaitan dengan UU 32/2024 sampai dengan adanya putusan akhir Mahkamah Konstitusi guna menghindari dampak yang lebih luas sebelum Mahkamah menilai konstitusionalitas pengujian formil atas proses pembentukan undang-undang KSDAHE. MK memandang dalam perkara a quo putusan sela diperlukan demi menghindari dampak-dampak yang akan timbul dari keberlakuan UU 32/2024 yang pemeriksaannya sedang diberhentikan sementara dan guna memberikan kepastian hukum pada hak-hak konstitusional para Pemohon dan seluruh warga negara.

 

Menurut Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Sekjen AMAN) Rukka Sombolinggi “bahwa dengan adanya Putusan Sela Mahkamah Konstitusi (MK) ini artinya seluruh proses pembuatan di bawah Peraturan KSDAHE harus dihentikan, san Saya menyerukan agar Pemerintah mematuhi Putusan Sela ini, untuk segera menghentikan proses pembuatan peraturan dibawah UU KSDAHE tersebut” ujar Rukka Sombolinggi.

 

lebih lanjut Manajer Hukum dan Pembelaan WALHI, Teo Reffelsen menyampaikan;

 

“Putusan Sela yang diucapkan oleh MK kemarin sejalan dengan permohonan provisi yang kami ajukan, karena jika Peraturan pelaksana UU KSDAHE dibentuk oleh Pemerintah atau pihak lain selama Proses Pengujian Formil berlangsung, tidak menutup kemungkinan peraturan tersebut akan berdampak buruk pada Masyarakat adat dan komunitas lokal (MAKL) serta lingkungan hidup. oleh karenanya Pemerintah dan pihak lainnya yang berhubungan dengan UU ini tidak boleh mengambil tindakan apapun yang membangkang pada putusan sela ini, sebelum adanya putusan akhir.”

 

Sekjen Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, juga menekankan dalam putusan sela ini sangat penting bagi pemerintah untuk menghentikan proses pembuatan peraturan di bawah UU KSDAHE, mengingat terdapat setidaknya 10 (sepuluh) ketentuan norma yang mendelegasikan pengaturan dalam UU 32/2024 untuk diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah. Sebelum ada putusan tetap dari MK, pengaturan lebih lanjut dari UU 32/2024 ini justru dapat memberikan dampak buruk bagi kehidupan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal yang selama ini telah melakukan praktik-praktik pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara komunal yang berkelanjutan, khususnya yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Susan menegaskan bahwa, “Pengujian formil ini membuktikan ke pemerintah sebagai penyusun peraturan perundang-undangan untuk menjalankan asas Meaningfull Participation (Partisipasi yang bermakna) dari Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (MAKL), serta partisipasi yang bermakna tersebut tidak hanya diukur dari kuantitas melainkan juga kualitas, serta diakomodirnya masukan dari MAKL dalam proses pembentukan UU 32/2024 ini”.

 

Pada putusan yang sama MK juga mempertegas dalam konteks uji formil ini syarat-syarat dalam uji formil telah dipenuhi oleh para pemohon. Misalnya dalam konklusi, MK menyatakan dirinya berwenang mengadili permohonan uji formil serta Permohonan yang diajukan oleh para pemohon tidak melewati tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil. Serta penegasan bahwa Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

 

Hormat Kami,
Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Constitutional Lawyer Viktor Santoso Tandiasa, Greenpeace Indonesia, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Working Group ICCAs Indonesia (WGII), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)

 

NAHUBUNG:
Muhammad Arman (AMAN): 0812-1879-1131 Ermelina Singeretta ( PPMAN) : 0812-1339-904 Satrio Kusma Manggala (WALHI): 0811-593-600 Fikerman Loderico Saragih (KIARA): 0823-6596-7999

Di Balik Tragedi Berdarah Bangkal Seruyan: Di Negeri Kami ‘Sawit Lebih Mahal dari Nyawa Manusia’

Siaran Pers

Jakarta, 31 Oktober 2024 — Pada hari ini, Transformasi untuk Keadilan (TuK INDONESIA), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), dan WALHI Kalimantan Tengah meluncurkan laporan penelitian berjudul “Di Balik Tragedi Berdarah Bangkal Seruyan: Di Negeri Kami ‘Sawit Lebih Mahal dari Nyawa Manusia’” yang mengungkap sisi kelam dari konflik agraria akibat ekspansi industri kelapa sawit di Bangkal Seruyan, Kalimantan Tengah. Laporan ini juga telah diserahkan kepada Komnas HAM pada 30 Oktober 2024.

 

Laporan penelitian ini menemukan sejumlah fakta pada konflik antara warga Desa Bangkal dengan PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP). Pertama, terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap masyarakat adat dan kelestarian lingkungan, sesuai dengan rekomendasi Komnas HAM tertanggal 16 April 2024 yang mencakup kasus penembakan warga dan tidak diberikannya plasma kepada masyarakat. Kedua, ada dugaan bisnis keamanan yang melibatkan kepolisian di Kalimantan Tengah yang mengakibatkan penembakan warga. Ketiga, pengabaian hak warga untuk mendapatkan perkebunan yang dijamin oleh negara lewat undang-undang. Keempat, Best Agro International diduga terlibat dalam bisnis gelap, tanpa  informasi resmi struktur pembiayaan atau rantai pasok perusahaan.

 

Bayu Herinata, Direktur WALHI Kalimantan Tengah menegaskan bahwa praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab berdampak buruk terhadap kelestarian lingkungan dan kehidupan masyarakat di desa-desa sekitar areal usaha. “Kami mengharapkan pemerintah dan pihak terkait untuk segera menindaklanjuti dugaan pelanggaran ini dan memperketat pengawasan terhadap perusahaan yang beroperasi di kawasan-kawasan penting bagi lingkungan,” tegas Bayu.

 

Lebih jauh, Bayu menjelaskan bahwa PT HMBP diduga terlibat dalam pelanggaran kehutanan, termasuk cacat administrasi dalam perizinan dan operasi di kawasan hutan yang seharusnya dilindungi. Berdasarkan SK Menteri LHK No. SK.196/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2023, perusahaan ini terdaftar sebagai yang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin yang sah dan telah membuka lahan ilegal seluas 4.769,52 hektar, termasuk di Hutan Produksi dan Hutan Produksi Konversi. Kegiatan PT HMBP juga menjangkau bibir Danau Sembuluh dan sempadan sungai, di mana limbah dari perkebunan berkontribusi terhadap pencemaran air, menurunkan kualitas air yang menjadi sumber air bersih dan penghidupan masyarakat setempat, seperti nelayan dan pengelola keramba ikan.

 

Bayu menekankan pentingnya tindakan tegas dari pemerintah, khususnya pemerintah daerah, untuk mengevaluasi izin operasional PT HMBP. “Kami berharap pihak berwenang dapat segera memberikan perhatian dan solusi atas persoalan ini demi keadilan dan keberlanjutan bagi masyarakat dan lingkungan di Kalimantan Tengah,” tuturnya.

 

Dalam investigasi yang dilakukan koalisi, ditemukan adanya surat perintah dari Polda Kalimantan Tengah pada 2020 yang menetapkan tugas pengamanan di wilayah operasi PT HMBP, termasuk lampiran pembayaran yang harus dipenuhi oleh pihak perusahaan kepada aparat. Ditemukan pula bukti pengarahan pasukan dengan jumlah yang sangat besar, yakni 440 personel hanya untuk menghadapi aksi protes warga yang menuntut hak mereka. Fakta tersebut menjadi satu gambaran nyata adanya dugaan bisnis pengamanan oleh pihak Aparat Penegak Hukum yang dilegalisasikan dengan mengesampingkan asas dan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).

 

Surti Handayani, Staf Bidang Kerjasama Advokasi Internasional dan Respon Kedaruratan PPMAN menjelaskan bahwa bisnis dan HAM tidak pernah bisa memberikan jaminan penuh terhadap Hak asasi dari Masyarakat Adat khususnya di Bangkal-Seruyan dan Indonesia pada umumnya. “Dengan adanya tragedi yang mengakibatkan kematian Gijik menunjukkan bahwa kelancaran bisnis lebih penting daripada nyawa masyarakat dan itu nampak nyata dengan dugaan adanya kelindan antara perusahaan dengan institusi negara khususnya Aparatur Penegak Hukum,” tegas Surti.

 

Masifnya ekspansi kelapa sawit di Kalimantan Tengah tidak terlepas dari peran besar lembaga jasa keuangan dalam memberikan pembiayaan. Berdasarkan penelusuran TuK INDONESIA, para taipan sawit yang beroperasi di Kalimantan Tengah telah menerima fasilitas pembiayaan signifikan, termasuk dari Bank Negara Indonesia (BNI). “Dalam periode 2016 hingga Juni 2024, total kredit yang disalurkan kepada para taipan sawit mencapai USD 11,07 miliar atau sekitar Rp 157,8 triliun. Salah satu penerima diduga adalah Winarno Tjajadi, pengendali PT HMBP/Best Agro Group, yang juga terhubung dengan BNI sebagai pemegang saham individu yang nilainya terus meningkat,” jelas Linda Rosalina, Direktur TuK INDONESIA.

 

Lebih lanjut, Linda menyoroti kurangnya perhatian terhadap transparansi publik dari BNI. “Saat kami mengajukan permohonan informasi kepada BNI terkait aliran pembiayaan ini, TuK INDONESIA mengalami hambatan besar dalam mendapatkan respons yang transparan dan akuntabel. Proses permohonan informasi kami tidak diproses sesuai aturan dan bahkan sempat hilang dalam sistem BNI.”

 

Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu meningkatkan pengawasan, memberikan sanksi terhadap bank yang tidak memenuhi standar keberlanjutan, serta memastikan transparansi dan tanggung jawab dalam pelaporan dampak sosial-lingkungan dari pembiayaan. “Transparansi ini krusial untuk mencegah pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan yang didukung secara tidak langsung oleh pembiayaan dari lembaga jasa keuangan termasuk bank,” jelas Linda.

 

Dengan diluncurkannya laporan ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman publik dan mendorong pemangku kepentingan untuk melakukan reformasi menyeluruh di sektor kelapa sawit, mulai dari penguatan regulasi, pengakuan hak masyarakat adat, hingga penerapan praktik bisnis yang beretika dan berkelanjutan.

 

Dokumentasi dan laporan dapat diakses melalui tautan berikut:

Tautan Dokumentasi Konferensi Pers; Tautan Siaran Langsung; Tautan Laporan Penelitian;

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:

TuK INDONESIA : Icanna (08788 444 6640); PPMAN : Surti (0853 3562 8126); WALHI Kalteng:  Bayu (0822 5511 5115);