PERNYATAAN SIKAP,,
Atas Penggunaan Fasilitas Perusahaan oleh Aparat Keamanan Negara untuk Merepresi Masyarakat Penolak Tambang di Halmahera Timur-Maluku Utara.

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengecam keras penggunaan fasilitas perusahaan tambang oleh aparat keamanan negara—baik TNI maupun Polri—dalam upaya represif terhadap Masyarakat Adat dan warga lokal yang menolak kehadiran tambang di wilayah Maluku Utara.

 

Tindakan ini tidak hanya mencederai prinsip netralitas institusi negara, tetapi juga memperlihatkan keberpihakan yang terang-terangan terhadap kepentingan korporasi tambang dan mengabaikan hak-hak konstitusional warga negara untuk menyampaikan pendapat, mempertahankan ruang hidup, serta menjalankan praktik-praktik pengelolaan wilayah adat secara berkelanjutan.

 

Penggunaan fasilitas perusahaan—seperti kendaraan, peralatan, hingga akomodasi—oleh aparat keamanan dalam operasi represif, merupakan bentuk kolusi antara korporasi dan negara yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi.

 

Ini mengindikasikan militerisasi konflik agraria dan mengancam keselamatan serta martabat masyarakat sipil.

 

Kami menyatakan sikap sebagai berikut:

 

1. Menuntut penghentian segera segala bentuk tindakan represif terhadap Masyarakat Maba Sangaji, Halmahera Timur-Maluku Utara, yang memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungan hidupnya.

 

2. Segera bebaskan 11 Orang Masyarakat Maba Sangaji yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Maluku Utara.

 

3. Mengecam sikap dan tindakan Kepolisian Daerah Maluku Utara yang terkesan melindungi PT. Position saat melakukan pembabatan hutan Adat, Masyarakat Maba Sangaji Halmahera Timur.

 

4. Mengecam PT. Position yang melakukan pembabatan Hutan Adat Masyarakat Maba Sangaji di Halmahera Timur.

 

5. Mendesak institusi TNI dan Polri untuk menjaga netralitas dan tidak terlibat dalam konflik agraria yang berpihak kepada perusahaan.

 

6. Meminta Komnas HAM dan Ombudsman RI untuk melakukan investigasi mendalam atas dugaan pelanggaran HAM dan penyalahgunaan wewenang oleh aparat negara dalam konflik pertambangan di Maluku Utara, terutama konflik antara Masyarakat Maba Sangaji dengan PT. Position yang melakukan penyerobotan atas kebun-kebun warga.

 

7. Mendorong pencabutan izin-izin pertambangan yang bermasalah, khususnya yang beroperasi tanpa persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan secara penuh (FPIC) dari masyarakat terdampak.

 

8. Menyatakan solidaritas penuh kepada seluruh masyarakat adat dan komunitas lokal di Maluku Utara yang terus berjuang mempertahankan tanah, hutan, dan lautnya dari ancaman perusakan akibat tambang.

 

Demikian pernyataan ini kami buat sebagai bentuk tanggung jawab moral dan politik atas situasi darurat keadilan lingkungan dan hak asasi manusia di Maluku Utara.

 

Bogor, 20 Mei 2024

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)

 

Contact person media : 08118889083

SIARAN PERS, Warga Rempang datangi BP Batam sampaikan surat keberatan

BATAM, 15 Mei 2025- Masyarakat Pulau Rempang mendatangi kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam pada Kamis (15/5/2025) pagi sekira pukul 10.00 WIB. Kehadiran warga dari berbagai kampung ini untuk menemani salah satu warga dari Kampung Tanjung Banon di Pulau Rempang, Erlangga, menyampaikan keberatan secara tertulis atas penggusuran kebun kelapa miliknya pada Jumat (2/5/2025).

 

Beberapa warga bersama pengacara dari Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang diterima masuk menyerahkan berkas keberatan, namun puluhan warga Rempang lain yang berniat menyertai Erlangga, tertahan di gerbang depan gedung BP Batam.

 

Gerbang tertutup, dengan penjagaan petugas dari Direktorat Pengamanan (Ditpam) BP Batam dan personil kepolisian di sisi dalam gedung.

 

Di sana, warga membentangkan spanduk berisi pesan bahwa mereka menolak PSN Rempang Eco City, mereka juga menolak rencana transmigrasi lokal yang dinilai sama dengan upaya penggusuran warga Rempang yang selama ini diupayakan pemerintah.

 

Warga juga bergantian menyerukan bahwa mereka menolak penggusuran. Mereka menuntut pemerintah tidak melakukan penggusuran paksa seperti janji yang sebelumnya diucapkan ketika datang ke Pulau Rempang.

 

Sebelum menyudahi penyampaian dan pembentangan spanduk, warga sempat didatangi petugas kepolisian.

 

Dalam berkas keberatan yang disampaikan kepada BP Batam tersebut, ada tiga tuntutan yang disertakan. Yakni:

 

1. Menuntut BP Batam melakukan pemulihan lahan milik Erlangga yang telah dirusak.
2. Menuntut pertanggungjawaban hukum pada Kepala BP Batam atas tindakan yang telah merugikan warga Erlangga.
3. Menuntut Kepala BP Batam membatalkan tindakan atau keputusan terkait pembongkaran atau pengosongan untuk mencegah timbulnya kerugian dan pelanggaran hak warga masyarakat, kerusakan lingkungan hidup, dan konflik sosial.

 

Direktur LBH Pekanbaru, Andri Alatas, seusai mendampingi Erlangga menyampaikan surat keberatan, menyampaikan pihaknya juga menyertakan sejumlah alasan menyertai surat keberatan tersebut. Mulai dari kronologi kejadian hingga pendapat hukum yang menguatkan pengajuan keberatan itu sendiri.

 

“Kami mendampingi Pak Erlangga menyampaikan surat keberatan secara tertulis. kami bantu menyalurkannya secara resmi,” kata pengacara yang tergabung dalam Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang ini.

 

Andri melanjutkan, sebelumnya Erlangga dan warga Rempang telah datang dan berjumpa dengan Wali Kota Batam, Amsakar Achmad di kantor Pemerintah Kota Batam. Saat itu Erlangga menyampaikan secara lisan penggusuran yang dinilainya tidak adil. Karena sampai saat ini ia tidak berniat menjual atau menyerahkan kebun miliknya di sana.

 

Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang mengecam adanya intimidasi dari aparat kepolisian terhadap warga yang hadir. Bahwa ada petugas berpakaian sipil yang mempertanyakan legalitas aksi warga di sana dan menyebut bahwa kegiatan tersebut tidak berizin. Tim Advokasi juga mendapat informasi bahwa pemilik bus yang mengantar warga juga dihubungi oleh aparat kepolisian.

 

Tim Advokasi menyesalkan adanya upaya stigmatisasi bahwa masyarakat selalu dianggap membuat kericuhan. Padahal, kedatangan mereka hanya untuk mengantar surat.

 

Hormat Kami.

 

TIM ADVOKASI SOLIDARITAS NASIONAL UNTUK REMPANG

 

Narahubung:

Bidang Advokasi YLBHI (0853 9512 2233)
Eksekutif Nasional WALHI (+62 852-7311-1161)

 

 

Siarang Perss,, Represi Berulang, Fakta Diputarbalikkan: Mengungkap Pelaku Kekerasan Sesungguhnya pada Aksi May Day 2025

Jakarta, 9 Mei 2025 – 1 Mei menjadi sebuah momentum peringatan Hari Buruh Internasional (May Day). Dalam rangka memperingati hari tersebut, berbagai koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari buruh, mahasiswa, aktivis, dan lain-lain melakukan aksi demonstrasi di berbagai daerah. Aksi ini menuntut sejumlah hak yang harus dipenuhi oleh negara, salah satunya adalah kesejahteraan buruh. Di Indonesia, aksi peringatan Hari Buruh Internasional 2025 diperingati di beberapa daerah.

 

Di Jakarta, peringatan Hari Buruh internasional terbelah menjadi dua. Pertama, peringatan yang diselenggarakan oleh gabungan serikat buruh yang terdiri dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Partai Buruh. Sementara pada agenda peringatan Hari Buruh Internasional yang lainnya dilaksanakan di Monas dan dihadiri oleh Presiden Prabowo Subianto.

 

Aksi yang dimobilisasi oleh GEBRAK di Jakarta, dijaga oleh 4.793 aparat gabungan TNI dan Polri. Melihat situasi tersebut dan dari banyaknya pengalaman adanya tindakan represif aparat saat aksi Koalisi Masyarakat Sipil mencoba melakukan pemantauan terhadap aksi demonstrasi peringatan hari buruh pada tanggal 1 Mei 2025 di berbagai daerah. Dari pemantauan langsung di lapangan maupun berita dan media sosial, kami menemukan adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap massa aksi di 4 kota/kabupaten di Indonesia dengan setidaknya 20 korban mengalami luka-luka dan 58 orang mengalami penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Selain 2 bentuk tersebut, kami menemukan kekerasan lain seperti penggunaan kekuatan yang berlebihan, penyiksaan, dan pelarangan perekaman oleh jurnalis.

 

Kami menganalisis serta melihat berbagai bentuk kekerasan tersebut dengan mengumpulkan berbagai dokumentasi yang relevan terkait bentuk kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian selama aksi Mayday 2025. Di Jakarta, terlihat bahwa kelompok menggunakan baju hitam sebagian besar justru tidak melakukan serangan secara agresif ke kepolisian, namun mundur bersama dengan barisan berbaju merah.

 

Rilis selengkapnya dapat diakses melalui:

 

https://kontras.org/artikel/rilis-pers-represi-berulang-fakta-diputarbalikkan-mengungkap-pelaku-kekerasan-sesungguhnya-pada-aksi-may-day-2025

 

Jakarta, 9 Mei 2025,

Hormat Kami

Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)

SIARAN PERSS,, PUBLIK MENANTI PUTUSAN YANG ADIL DARI MAHKAMAH AGUNG BAGI SORBATUA SIALLAGAN

Jakarta, Jumat 09 Mei 2025, Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Sorbatua Siallagan bersama Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan kembali mendatangi Mahkamah Agung RI di Jakarta Pusat. Aksi ini merupakan kelanjutan dari aksi sebelumnya pada 26 Februari 2025 untuk menuntut keadilan atas kasus hukum yang menimpa Sorbatua Siallagan, Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Perkara ini saat ini sedang berproses di tingkat kasasi Mahkamah Agung.

Judianto Simanjuntak, Kuasa Hukum Sorbatua Siallagan dari Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN), menyatakan bahwa perkara ini membawa angin segar bagi penegakan hukum. Hal ini tercermin dalam putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 1820/Pid.Sus-LH/2024/PT MDN, tanggal 17 Oktober 2024, yang menyatakan: Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 155/Pid.Sus/LH/2024/PN.Sim, tanggal 14 Agustus 2024, menyatakan perbuatan terdakwa Sorbatua Siallagan terbukti ada, tetapi bukan merupakan tindak pidana melainkan perbuatan perdata, serta melepaskan Sorbatua dari segala tuntutan hukum.

 

Menurut Judianto, yang juga pengacara publik dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), putusan tersebut telah mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisional mereka, sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, dan berbagai instrumen hukum lainnya.

 

Namun, karena Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi pada 7 November 2024, maka putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap. Hingga kini, status hukum Sorbatua masih sebagai terdakwa dengan perkara yang terdaftar di Mahkamah Agung pada register No. 4398 K/Pid.Sus-LH/2025.

Friska Simanjuntak dari Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan menyampaikan kekecewaan atas kriminalisasi terhadap Sorbatua, yang dimulai dari penculikan, penetapan sebagai tersangka oleh Polda Sumatera Utara atas laporan PT Toba Pulp Lestari (TPL), hingga dihukum dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar oleh Pengadilan Negeri Simalungun. Padahal, menurutnya, komunitas adat mereka sudah secara turun-temurun mengelola wilayah adat tersebut sejak tahun 1700-an.

 

“Generasi kami yang saat ini mendiami Huta Dolok Parmonangan adalah generasi ke-11 dari keturunan Raja Ompu Umbak Siallagan,” ujar Friska. Ia juga menegaskan bahwa kedatangan mereka ke Jakarta adalah untuk menuntut keadilan dan mendesak Mahkamah Agung agar membebaskan Sorbatua.

 

Sinung Karto dari Divisi Penanganan Kasus PB Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut bahwa kasus Sorbatua adalah satu dari banyak contoh kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Minimnya pengakuan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat membuat wilayah mereka rentan terhadap perampasan, kekerasan, dan intimidasi. Dalam Catatan Akhir Tahun 2024, AMAN mencatat 121 kasus perampasan wilayah adat seluas 2.824.118,36 hektare yang menimpa 140 komunitas adat.

“Kedatangan komunitas adat ke Jakarta ini harus menjadi refleksi bagi negara dan aparat penegak hukum agar menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat,” tegas Sinung. Ia berharap Majelis Hakim Mahkamah Agung dapat memutus perkara ini secara objektif dan adil, bukan hanya bagi Sorbatua dan komunitasnya, tetapi juga bagi seluruh masyarakat adat di Nusantara.

 

Samuel dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menegaskan bahwa kriminalisasi terhadap Sorbatua Siallagan merupakan bentuk nyata penyalahgunaan hukum untuk merampas hak masyarakat adat atas wilayahnya sendiri.

 

Negara, melalui aparat penegak hukum, telah gagal memenuhi kewajiban konstitusionalnya dalam melindungi hak-hak asasi masyarakat adat dan justru menjadi alat kekerasan struktural yang melegitimasi kepentingan korporasi. “Ini bukan sekadar persoalan hukum, ini adalah pelanggaran hak asasi manusia. Sorbatua dikriminalisasi karena membela tanah adatnya. Mahkamah Agung harus melihat perkara ini dengan perspektif keadilan sosial dan hak asasi manusia, bukan semata-mata prosedur hukum formal,”.

 

Marvella Fiorenza Barfiandana, mahasiswa dari BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengatakan aksi damai ini adalah bentuk suara masyarakat sipil kepada Mahkamah Agung. Mereka berharap agar Majelis Hakim memutus perkara ini dengan jujur, adil, dan tanpa campur tangan pihak lain.

 

Dalam aksi ini, mereka menyerahkan surat dukungan dari Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Sorbatua Siallagan yang berisi 324 tanda tangan serta petisi dari Change.org “Bebaskan Sorbatua Siallagan” yang telah didukung oleh 10.017 orang.

 

Judianto Simanjuntak menambahkan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun keliru dalam menjatuhkan hukuman. “Dalam hukum pidana, hanya tindakan yang merupakan kesalahan dan melawan hukum yang dapat dijatuhi pidana. Sorbatua tidak melakukan kesalahan maupun tindakan yang melanggar hukum,” ujarnya. Karena itu, pihaknya berharap Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Medan dan membebaskan Sorbatua dari seluruh dakwaan.

 

Jakarta, 09 Mei 2025

 

Hormat Kami

SOLIDARITAS MASYARAKAT SIPIL UNTUK SORBATUA SIALLAGAN:

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tano Batak
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU)
Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagandi Dolok Parmonangan, Kab. Simalungun, Sumatera Utara
Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita (Lamtoras), Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara
Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN)
Aliansi Gerak Tutup TPL
Forest Watch Indonesia (FWI)
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (BKP-PGI)
Sayogo Institute
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Krisnayana
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI)
Yayasan Forum Adil Sejahtera (YFAS)
Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Indonesia
Public Interest Lawyer Network (PIL-NET) Indonesia
Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK)
Perkumpulan HuMa Indonesia
WeSpeakUp.org
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat
Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM)
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Sumatera Utara (Kontras Sumut)
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan
Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (WALHI SUMUT)
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Komisariat UNIKA SEJAJARAN (GMNI UNIKA SEJAJARAN)
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (GMNI FH-USU)
Aksi Kamisan Medan
Perempuan AMAN Sumatera Utara
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sumatera Utara (AMAN SUMUT)
Yayasan Srikandi Lestari

 

Narahubung:

Sinung Karto (PB AMAN): +62 818-873-283
Judianto Simanjuntak (PPMAN/TAMAN): +62 857-7526-0228
Yosua Abib Sinurat (KPA): +62 853-6259-6515
Marvella Fiorenza Barfiandana (BEM FH UI): +62 895‑3205‑41653

Siaran Perss,, Minim Partisipasi dan Transparansi: Tim Advokasi Konservasi Berkeadilan Hadirkan Saksi Masyarakat Adat dan Pemantau Parlemen di Sidang Uji Formil UU KSDAHE

Pada tanggal 2 Mei 2025, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menggelar sidang lanjutan pemeriksaan perkara Nomor 132/PUU-XXII/2024 terkait pengujian formil Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE).

Permohonan pengujian formil UU KSDAHE ini diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), serta perwakilan Masyarakat Adat Ngkiong di Manggarai NTT, Mikael Ane. Dalam sidang tersebut, Tim Advokasi untuk Konservasi Berkeadilan sebagai kuasa hukum Para Pemohon menghadirkan dua orang saksi, yaitu Putu Ardana, perwakilan masyarakat adat Dalem Tamblingan, Bali dan Arif Adiputro dari Indonesian Parliamentary Center (IPC).

 

Masyarakat Adat Dilibatkan Secara Simbolik

 

Putu Ardana mengungkapkan kekecewaannya terhadap proses partisipasi yang dijalankan oleh DPR RI. Ia hadir sebagai narasumber dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diselenggarakan Komisi IV DPR RI pada 10 April 2023. Namun, keterlibatannya ternyata hanya bersifat simbolis—sekadar memenuhi formalitas partisipasi publik, tanpa ada indikasi bahwa masukannya dipertimbangkan secara substansial dalam penyusunan UU KSDAHE.

 

“Saya kaget sekaligus bangga, karena sebagai orang kampung, saya dilibatkan untuk ikut berperan serta dalam urusan negara. Jadi saya semangat sekali untuk datang ke Rapar Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan punya harapan yang sangat tinggi, karena saya menganggap banyak sekali praktik-praktik dan manajemen konservasi yang dilakukan negara itu sangat tidak sesuai dan tidak tepat dilaksanakan di Indonesia,” ungkap Putu Ardana.

 

Namun kebanggaan itu cepat berubah menjadi kekecewaan ketika prosesnya tak mencerminkan komitmen yang benar-benar mendengar aspirasi masyarakat adat.

 

“Saya diundang oleh Komisi IV DPR, namun hanya 4 orang anggota komisi yang hadir. Segelintir anggota DPR yang hadir pun tidak ada yang menanggapi. Sebagai narasumber saya hanya diberikan waktu 10 menit, dan sangat disayangkan setelah undangan tersebut saya tidak pernah mendapat update perkembangan. Tiba-tiba undang-undang ini sudah disahkan,” lanjutnya.

 

Lebih lanjut, Putu Ardana menyampaikan kekecewaannya karena pandanganya yang disampaikan saat RDPU bersama Komisi IV DPR RI tanggal 10 aPRIL 2023 tidak diakomodasi dalam UU KSDHAE.

 

Minim Transparansi, Cacat Partisipasi

 

Kesaksian Putu Ardana diperkuat oleh keterangan Arif Adiputro dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), yang memaparkan hasil pemantauan IPC terhadap minimnya transparansi dalam keseluruhan proses legislasi UU KSDAHE—mulai dari penyusunan naskah akademik hingga pengesahan. Arif secara khusus menyoroti buruknya keterbukaan informasi atas dokumen pembahasan dan risalah rapat serta tidak terpenuhinya prinsip akuntabilitas dalam proses pembentukan undang-undang tersebut.

 

IPC menyoroti bahwa pada tahap penyusunan naskah akademik, baik draf naskah akademik maupun masukan masyarakat terhadap draft tersebut tidak pernah dipublikasikan secara terbuka, baik melalui situs web resmi DPR maupun kanal YouTube DPR.

 

“Di web DPR hanya muncul dokumen naskah akademik saja,” jelas Arif saat memaparkan temuannya.

 

Selanjutnya, IPC mengidentifikasi dari 18 kali rapat penyusunan naskah akademik, namun hanya 1 dokumen laporan singkat yang dipublikasikan. Catatan rapat dan risalah rapat yang semestinya terbuka sesuai Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tidak tersedia sama sekali di kanal resmi DPR.

 

Lebih jauh, Arif juga menjelaskan bahwa IPC telah mengirimkan permintaan informasi publik kepada DPR—meliputi dokumen laporan singkat, risalah rapat, daftar hadir, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), hingga dokumen Tim Panja. Namun seluruh upaya tersebut tidak membuahkan hasil; baik ditanggapi dengan informasi yang tidak dapat diakses, maupun ditolak secara langsung tanpa penjelasan yang memadai.

 

“Kami menerima nota dinas dari DPR berisi link, tetapi link tersebut tidak bisa diakses. Permintaan dokumen Tim Panja pun ditolak,” jelasnya.

 

MK Minta Pemerintah Serahkan Dokumen

 

IPC menggarisbawahi bahwa proses legislasi UU KSDAHE gagal memenuhi empat aspek partisipasi bermakna:

 

1. Right to Information: hanya 4 dari 48 rapat yang memiliki dokumen laporan singkat, tidak ada catatan rapat dan risalah rapat yang dipublikasikan;

 

2. Right to be Heard: masyarakat sipil hanya diberi waktu bicara sangat terbatas pada RDPU;

 

3. Right to be Considered: tidak tersedia risalah rapat untuk menilai apakah masukan dari masyarakat sipil dipertimbangkan atau tidak;

 

4. Right to be Explained: tidak ada umpan balik atau penjelasan atas masukan masyarakat. “Padahal ini ruang untuk melihat apakah masukan stakeholder dipertimbangkan atau tidak,” pungkas Arif.

 

Hakim MK dalam sidang ini memerintahkan pemerintah untuk menyerahkan seluruh dokumen yang terkait pembahasan UU KSDAHE, termasuk daftar kehadiran peserta rapat, sebagai bagian dari pembuktian dalam perkara ini.

 

Sidang selanjutnya dijadwalkan pada hari selasa 6 Mei 2025, dengan agenda sidang mendengar keterangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), saksi dan ahli Presiden

 

MK Diminta Menghadirkan DPD RI

 

Pada persidangan, Kuasa Hukum dan Tim Advokasi Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan menyampaikan pentingnya bagi Mahkamah Konstitusi untuk menghadirkan dan mendengarkan keterangan DPD RI, karena peran penting DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang yang menyangkut sumber daya alam.

 

“Supaya kami juga minta kepada Yang Mulia, untuk menghadirkan DPD. Karena berdasarkan Pasal 278 Undang-Undang MD3 disebutkan bahwa DPD memiliki kewenangan untuk menyampaikan DIM yang berkaitan dengan otonomi daerah dan juga sumber daya alam. Itu dua hal itu, Yang Mulia. Terima kasih banyak”. Ujar Muhammad Arman – Kuasa Hukum dan Tim Advokasi Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan.

 

Terkait dengan pemberian keterangan oleh DPR RI pada sidang 28 April 2025 di Mahkamah Konstitusi dan ditemukan adanya fakta di persidangan pada 2 Mei 2025 bahwa keterangan-keterangan yang disampaikan oleh DPR dan Presiden berpotensial melanggar sejumlah prinsip dan aturan perundang-undangan. Hal ini tentu saja merupakan pembohongan publik melalui penyampaian informasi yg dapat dikategorikan sebagai rekayasa. Bentuk pelanggaran ini potensial untuk dilaporkan kepada MKD.

 

Jakarta, 03 Mei 2025

 

TIM ADVOKASI UNTUK KONSERVASI BERKEADILAN

Siaran Pers,, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) Jakarta dalam Momen Hari Buruh Internasional 2025 Aparat Kepolisian Kembali Melakukan Tindakan Represif, Brutal, Sewenang-wenang, dan Melawan Hukum pada Massa Aksi Hentikan Upaya Kriminalisasi, Bebaskan Massa Aksi!

Jakarta, 2 Mei 2025 – Aparat kepolisian melakukan tindakan represif dan brutal serta upaya paksa sewenang-wenang pada massa aksi perayaan Hari Buruh Internasional tahun 2025 di Jakarta. Terdapat serangkaian tindakan Aparat Kepolisian yang merupakan bentuk tindak kejahatan, melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, pengabaian Kode Etik Profesi, dan prinsip-prinsip HAM internasional.

 

Massa aksi yang tergabung dalam Gebrak (Gerakan Buruh Bersama Rakyat) melakukan unjuk rasa di Depan Gedung DPR sejak pukul 09:00 WIB dalam perayaan hari buruh internasional 2025. Dalam momen ini, peserta aksi menuntut pemerintah dan DPR untuk melindungi hak-hak buruh/pekerja dan jaminan kesejahteraan serta kebijakan yang tidak diskriminatif. Berdasarkan pemantauan dan pendampingan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), kami mencatat beberapa fakta tindakan pelanggaran hukum aparat keamanan pada aksi massa tersebut:

 

1. Aparat Kepolisian Menabrak Hukum dan Bertindak Represif serta Brutal pada Massa Aksi ketika Aksi Masih Berlangsung

 

a. Aparat kepolisian menghadang, menggeledah perangkat aksi dan barang pribadi mahasiswa yang melakukan aksi di depan Gedung DPR pada sekitar pukul 08:20 WIB. Bahkan terdapat mahasiswa yang dituduh sebagai kelompok anarko tanpa dasar yang jelas. Tindakan tersebut telah melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan menunjukkan pelanggaran serius terhadap hak menyampaikan pendapat sebagaimana yang diatur berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;

 

b. Aparat kepolisian melakukan penganiayaan kepada paramedis yang sedang berjaga di posko medis. Kami menemukan bahwa 4 orang dari 14 massa aksi yang ditangkap adalah tim medis dan sedang menjalankan tugas untuk melaksanakan bantuan medis. Tim medis ini mendapat penganiayaan berupa pemukulan pada bagian kepala dan leher. Pada beberapa korban, penganiayaan dilakukan sekitar 3-4 menit padahal korban sudah menyerah dan tidak memberikan tindakan reaksi apa pun;

 

c. Aparat kepolisian secara brutal melakukan penyerangan terhadap massa aksi. Kami menemukan 3 orang massa aksi yang mengalami luka bocor di kepala akibat kekerasan fisik yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian. Sejumlah 13 dari 14 orang massa aksi yang ditangkap mengalami luka luar dan lebam-lebam di sekujur tubuhnya. Para korban mengaku dipukul, dipiting, didorong, ditendang, hingga dilindas oleh kendaraan bermotor. Peristiwa ini secara jelas melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kode Etik Profesi Kepolisian;

 

d. Aparat kepolisian melakukan penutupan fasilitas umum dengan memasang kawat berduri di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang seharusnya menjadi akses jalan bagi masyarakat termasuk massa aksi yang ingin menggunakan haknya untuk menyeberang jalan di sekitar lokasi unjuk rasa;

 

e. Aparat kepolisian membubarkan aksi yang sedang berlangsung tanpa peringatan dan alasan yang sah menurut hukum. Sekitar pukul 17:00 WIB, mereka juga melakukan penangkapan yang disertai dengan kekerasan untuk membubarkan aksi. Pembubaran dilakukan ketika aksi dan hiburan musik masih berlangsung dengan menggunakan water canon dan gas air mata yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;

 

f. Aparat kepolisian melakukan kekerasan kepada Jurnalis dan menghalang-halangi kerja jurnalistik yang sedang meliput aksi. Tindakan tersebut telah melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang pada pokoknya menyatakan bahwa pers memiliki kebebasan untuk hal mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi;

 

g. Aparat kepolisian melakukan tindakan kekerasan seksual berupa pelecehan seksual fisik dan nonfisik kepada salah seorang massa aksi perempuan yang ditangkap. Tindakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual;

 

h. Aparat Kepolisian tidak bertindak profesional dalam melaksanakan tugasnya. Aparat Kepolisian tidak menggunakan standar yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian maupun KUHAP, seperti tidak berseragam dinas, bahkan mengenakan pakaian yang menyerupai massa aksi, tidak menunjukan identitas ketika melakukan penangkapan dan upaya paksa pada massa aksi.

 

2. Aparat Kepolisian Menghalang-halangi Akses Bantuan Hukum pada Massa Aksi

 

a. Saat tim TAUD menghubungi POLDA Metro Jaya, kami tidak segera mendapatkan akses dan konfirmasi secara lengkap mengenai nama-nama massa aksi yang ditangkap. Informasi mengenai identitas massa aksi baru didapatkan dan berhasil dikonfirmasi dengan jelas pada sekitar pukul 21.00 WIB;

 

b. Pengacara publik dari TAUD diminta menyerahkan ponsel (alat kerja) saat pendampingan tanpa dasar yang jelas;

 

c. Aparat kepolisian menyita telepon genggam milik massa aksi yang ditangkap sehingga massa aksi sulit menghubungi keluarga dan pengacara. Tindakan tersebut telah melanggar Pasal 14 Kovenan HAM Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik sebagaimana yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 maupun Pasal 60 KUHAP, yang pada pokoknya menyatakan bahwa setiap orang berhak atas jaminan untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai guna mempersiapkan pembelaannya dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri.

 

3. Pelanggaran Hukum oleh Aparat Kepolisian dalam Proses Pemeriksaan Massa Aksi

 

Saat ini, TAUD masih mendampingi 14 peserta aksi yang ditangkap dan diperiksa di Polda Metro Jaya. Dalam pemeriksaan, kami menemukan beberapa fakta pelanggaran hukum kepolisian, diantaranya:

 

a. Aparat kepolisian melakukan pemeriksaan tes urin secara sewenang-wenang padahal pemeriksaan yang sedang berlangsung bukan bagian dari proses penyidikan tindak pidana narkotika. Bahkan pemaksaan tes urine dilakukan sebelum adanya pendampingan oleh pengacara. Kepolisian juga melakukan permintaan sidik jari dan email pribadi dimana ini berpotensi melanggar hak atas data pribadi sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan data pribadi;

 

b. Pemeriksaan terhadap massa aksi yang ditangkap dilakukan dengan prosedur ilegal yakni dengan berita acara klarifikasi/investigasi/interogasi yang tidak dikenal dalam KUHAP dan praktiknya menjadi ruang untuk mencari-cari kesalahan karena ketiadaan bukti permulaan yang cukup;

 

c. Kepolisian melakukan pemeriksaan terhadap korban dengan luka berat, pemeriksaan itu terus berlangsung bahkan hingga pukul 05.00 pagi di mana orang yang diperiksa sudah mengalami kelelahan yang berlebihan sehingga menyebabkan adanya kecenderungan untuk mengiyakan pertanyaan dari pihak kepolisian. Hal ini dapat dipandang sebagai bentuk torture atau penyiksaan sebagaimana diatur dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998;

 

d. Dalam kondisi menahan rasa sakit, kepolisian tetap melakukan pemeriksaan terhadap salah seorang massa aksi yang sudah diminta untuk beristirahat dari pemeriksaan terlebih dahulu oleh Dokter pada Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Metro Jaya. Tindakan pemeriksaan ini dilakukan setelah korban seolah-olah disuruh beristirahat ketika ada penasihat hukum setelah pemeriksaan dokter. Sesaat setelah penasihat hukum meninggalkan ruangan untuk membiarkan massa aksi beristirahat, polisi membangunkan massa aksi ini dan meneruskan pemeriksaan tanpa didampingi oleh penasihat hukum dan dalam kondisi menahan rasa sakit;

 

e. Pihak Kepolisian menghalang-halangi korban kekerasan untuk mengakses rumah sakit. Untuk dapat mengakses rumah sakit, penasihat hukum perlu berdebat dengan kepolisian mengenai kebutuhan dari pemeriksaan lebih lengkap di rumah sakit untuk memastikan kondisi korban penganiayaan aparat. Akibat adanya penundaan untuk dibawa ke rumah sakit, kondisi korban semakin buruk dan hingga kini harus dirawat di rumah sakit.

 

Serangkaian tindakan Aparat Kepolisian di atas telah jelas mengancam kebebasan sipil khususnya hak berkumpul dan menyampaikan pendapat di muka umum serta melanggar berbagai ketentuan undang-undang terkait seperti UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Narkotika, UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, dan Peraturan Kepolisian Kepolisian RI Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.

 

Sehubungan dengan hal-hal yang telah diuraikan diatas. Kami berpandangan bahwa:

 

1. Seluruh tindakan kepolisian sejak penangkapan dan pemeriksaan merupakan tindakan yang tidak sah karena tidak memiliki landasan hukum dan tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Proses pemeriksaan yang dilakukan terhadap 14 orang massa aksi adalah cacat hukum dan administratif sehingga harus dinyatakan batal demi hukum;

 

2. Seluruh tindakan kepolisian sejak penangkapan dan pemeriksaan merupakan tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Tindakan ini adalah pelanggaran hak asasi manusia berupa hak atas rasa aman, hak atas bantuan hukum, hak untuk persamaan di depan hukum, hak untuk tidak disiksa, praduga tidak bersalah, serta hak-hak lainnya sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

 

3. Seluruh tindakan kepolisian berupa penghalang-halangan jurnalis, menangkap dan melakukan kekerasan terhadap tim medis, melakukan blokade JPO, serta pembubaran dengan water canon terhadap massa aksi adalah bentuk pemberangusan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai suatu hal yang fundamental dalam negara hukum yang demokratis.

 

Berdasarkan hal-hal tersebut, kami mendesak:

 

1. Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya untuk segera menghentikan proses pemeriksaan dan upaya paksa ilegal yang dilakukan terhadap 14 orang massa aksi dan membebaskan 13 orang yang masih ditangkap secara sewenang-wenang yang bertempat di Subdit Keamanan Negara, Subdit Harta Benda, dan Subdit Remaja, Anak, dan Wanita Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya;

 

2. Kepala Komisi Kepolisian Nasional untuk melakukan investigasi serta pengawasan terhadap keseluruh tindakan Polda Metro Jaya yang tidak profesional dan melawan hukum;

 

3. Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya untuk melakukan pencarian fakta dan menindak anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran disiplin dan profesi Polri dalam perbuatan di atas;

 

4. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk melakukan investigasi dan pemantauan terkait terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam penangkapan sewenang-wenang dan tindak kekerasan pada massa aksi May Day 2025;

 

5. Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan untuk melakukan investigasi dan pemantauan terkait terjadinya kekerasan berbasis gender dalam penanganan massa aksi May Day 2025;

 

6. Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk memantau dan melakukan evaluasi keseluruhan terhadap proses penanganan massa aksi yang harus berperspektif hak asasi manusia serta menjamin hak-hak konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, termasuk memberikan sanksi tegas bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran hukum.

 

Jakarta, 2 Mei 2025

 

Hormat Kami, Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)

 

Narahubung: Asta – 0822-1094-6456

SIARAN PERS, BUKAN LAGI PSN, HENTIKAN PROYEK REMPANG ECO CITY.!

 

 

TIM ADVOKASI SOLIDARITAS NASIONAL UNTUK REMPANG.

 

JAKARTA, 28 APRIL 2025- Warga Pulau Rempang yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (AMAR-GB) menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI pada Senin (28/4/2025). Di RDP terkait penolakan masyarakat atas Proyek Srategis Nasional (PSN) Rempang Eco City ini, warga Pulau Rempang hadir bersama Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang sebagai pendamping mereka. Warga mengemukakan sejumlah persoalan yang muncul atas rencana PSN Rempang Eco City di depan Nurdin Khalid yang memimpinan RDP di Ruang Rapat Komisi VI.

Persoalan-persoalan itu, bahkan telah mendatangkan akibat nyata bagi masyarakat Pulau Rempang. Di kampung yang mereka diami turun temurun sejak ratusan tahun lalu, warga mengalami intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi. Warga tidak lagi tenang ketika melaut dan berkebun, yang berujung pada berkurangnya penghasilan mereka. Alat tangkap warga rusak dan kebun mereka terbengkalai, karena terbagi fokus menjaga kampung dari ancaman penggusuran.

 

Dampak lain dari rencana PSN Rempang ini, muncul konflik sosial di tengah masyarakat; terganggunya layanan umum; dan mulai ada kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar Pulau Rempang.

 

 

Terkait dengan kriminalisasi, sebanyak delapan warga ditangkap dan dijadikan tersangka dalam kerusuhan di Pulau Rempang, tepatnya di Kampung Tanjung Kertang pada 7 September 2023. Kemudian, ada 43 warga yang ditangkap dalam aksi demonstrasi berujung kerusuhan di depan kantor BP Batam pada 11 September 2023. Dari 43 warga tersebut, 35 di antaranya ditetapkan menjadi tersangka dan diputus bersalah oleh pengadilan. Yang terbaru, tiga warga Pulau Rempang dijadikan tersangka atas tuduhan merenggut kemerdekaan orang lain. Mereka ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Januari 2025.

 

Warga juga terus mendapatkan intimidasi dari hadirnya petugas keamanan PT Makmur Elok Graha (MEG) di kampung-kampung mereka. Dalam beberapa kejadian, warga mengalami intimidasi yang berujung pada kekerasan fisik yang dilakukan petugas keamanan PT MEG. Di antaranya kejadian pada 18 September 2024 di kawasan Goba, kampung Sei Buluh, Kelurahan Sembulang yang mengakibatkan tiga warga mengalami luka-luka, salah satunya adalah wanita lanjut usia (Lansia) yang mengalami patah tangan.

Kemudian penyerangan yang dilakukan puluhan petugas PT MEG di tiga pos warga di Kampung Sembulang Hulu dan Sungai Buluh di Pulau Rempang pada 17 Desember 2024 malam. Akibat penyerangan tersebut, delapan warga mengalami luka dan harus mendapatkan perawatan, satu di antaranya mengalami luka berat dan harus menjalani perawatan di rumah sakit.

 

Dalam kesempatan tersebut, warga juga mengadukan ihwal Badan Pengusahaan (BP) Batam yang dinilai tidak transparan atas data-data yang dikeluarkan. Utamanya data terkait warga di lima kampung yang telah menerima relokasi. Warga Rempang meyakini data tersebut tidak akurat, karena berbeda jauh dengan data yang mereka himpun. Warga menyayangkan sikap BP Batam yang enggan terbuka perihal data-data ini. Tidak hanya kepada masyarakat Pulau Rempang, namun juga pada lembaga negara seperti Ombudsman Republik indonesia (ORI). Tidak hanya sekali, Ombudsman RI bahkan telah berulang meminta BP Batam memberikan data detail warga yang telah menerima relokasi ini.

Di tengah kondisi yang menempatkan masyarakat Rempang pada posisi sulit, pemerintah justru dirasa terus membuat warga kian terbelit. Pemerintah dinilai hanya mengubah narasi dari penggusuran menjadi relokasi, mengubahnya lagi menjadi transmigrasi lokal yang belakangan didengungkan oleh Kementerian Transmigrasi. Warga meyakini langkah-langkah pemerintah ini bukanlah solusi, sebaliknya hanya cara baru untuk menggusur dan merenggut ruang hidup mereka di Pulau Rempang. Padahal, warga telah turun temurun mendiami Pulau Rempang sejak, ratusan tahun lalu.

 

Di RDP ini, warga juga menyampaikan sejumlah hal yang mendasari gerak mereka mempertahankan kampung. Bahwa Pulau Rempang bukanlah tanah kosong, sebaliknya Rempang dan masyarakatnya telah eksis, jauh sebelum Indonesia merdeka. Keberadaan masyarakat Pulau Rempang ini, terbukti dari jejak makam leluhur mereka di sana.

 

Bahwa warga telah hidup dari generasi ke generasi di Pulau Rempang. Berdampingan dengan laut dan tanah yang memberikan penghidupan untuk leluhur yang kemudian diwariskan kepada mereka sampai saat ini. Sehingga eksistensi kampung-kampung mereka di sana adalah keniscayaan.

 

Atas dasar hal-hal di atas, dalam RDP bersama Komisi VI DPR RI ini, warga Pulau Rempang menuntut:

1. Batalkan PSN Rempang Eco City
2. Hentikan Kekerasan, Kriminalisasi dan tegakkan hokum seadil-adilnya
3. Keluarkan PT MEG dari Pulau Rempang, hentikan kekerasan dan premanisme
4. Pulihkan hak-hak masyarakat Rempang
5. Hentikan solusi-solusi palsu pembangunan masyarakat
6. Cabut Aturan-aturan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat
7. Berikan pengakuan hak atas tanah masyarakat

 

Pengacara dari Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, Edy K Wahid, dalam RDP tersebut, mengatakan masyarakat Pulau Rempang dari awal tidak dilibatkan dalam rencana PSN Rempang Eco City. Hal ini menandakan masyarakat di Pulau Rempang tidak diakui pemerintah. Akibatnya, sampai saat ini tidak muncul solusi yang jelas dari persoalan yang ada di Pulau Rempang. Padahal masyarakat sudah hidup turun temurun sejak ratusan tahun lalu di sana.

 

“Saat ini tidak ada pengakuan hak pada masyarakat Rempang oleh BP Batam. Akui dulu hak masyarakat, baru bisa musyawarah.”

 

Senada dengan Edy, pengacara dari Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang lain, Ahmad Fauzi, menyampaikan pihaknya juga menyoroti Keputusan Presiden (Keppres) No 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam. Aturan ini, kata Fauzi, menjadi momok bagi masyarakat Batam, karena BP Batam diberi kewenangan atas lahan yang ada di Batam wilayah kerjanya.

 

Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, meminta Komisi VI DPR RI untuk memperhatikan betul aturan ini. Karena, saat ini konflik karena ancaman penggusuran, tidak hanya terjadi di Pulau Rempang, tetapi juga menimpa masyarakat di bagian lain di Kota Batam. “Jadi masyarakat di Rempang itu dianggap tidak ada karena aturan ini.”

 

Eko Yunanda, Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat WALHI Riau, rencana pembangunan di Pulau Rempang, selain tidak berlandaskan HAM yang kemudian memunculkan konflik, kajian terhadap dampak lingkungan juga belum terlihat wujudnya. Pulau Kecil seperti Rempang yang luasnya kurang dari 2.000 kilometer persegi, tidak boleh menerima beban pembangunan yang berpotensi merusak daya dukung dan daya tamping Pulau Rempang itu sendiri.

 

Selain itu, transisi energi dalam pembangunan PLTS dan pabrik kaca, berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yang cukup besar. Kondisi ini juga Akan memperparah kerusakan ekosistem laut, yang berdampak terhadap masyarakat pesisir. Demikian juga dengan potensi rusaknya wilayah darat di Pulau Rempang yang dapat menghancurkan pangan local.

 

Menangapi aduan masyarakat Pulau Rempang ini, sejumlah anggota Komisi VI DPR RI buka suara. Salah satunya adalah Rieke Diah Pitaloka Intan Purnama Sari. Ia mengaku senang dengan dikeluarkannya proyek Rempang dari status PSN sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 tahun 2025. Rieke juga mendesak Jaksa Agung untuk mengusut pihak-pihak yang terlibat terkait adanya potensi korupsi di proyek Rempang Eco City. Ia juga mendorong dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada BP Batam yang selama ini memainkan peran penting di sana. “Warga tidak mungkin datang ke sini, kalau mereka tidak putus asa. Insya Allah tidak ada yang tidak bisa. Saya dukung pemerintah untuk evaluasi PSN Rempang Eco City, apalagi sudah tidak PSN. Tidak ada satu agama pun mengijinkan tanah masyarakat dirampas.” “Apakah proyek ini sudah ada kajian atau belum?. Investasi belum pasti, kerugian sudah didapat masyarakat,” tambahnya.

 

Terkait dengan aduan warga Rempang soal adanya intimidasi, pihaknya berharap keadilan yang seadil-adilnya untuk masyarakat. Ia mendesak agar segala bentuk kekerasanan, intimidasi, kriminalisasi bagi masyarakat Pulau Rempang dan masyarakat dimanapun berada dihentikan. Lebih jauh, Nurdin Khalid, mengatakan pihaknya sudah membentuk Panitia Kerja (Panja) terkait persoalan lahan di Batam. Pada prosesnya, tim akan segera turun ke lapangan, termasuk datang langsung ke Pulau Rempang pada 15 sampai 17 Mei 2025 mendatang.

 

Lebih lanjut, Andrie Yunus selaku Wakil Koord. Eksternal KontraS menegaskan bahwa dengan dicabutnya status PSN, sudah seharusnya pemerintah meninjau ulang kembali pelaksanaan proyek yang sejauh ini telah menciderai hak-hak masyarakat yang terdampak secara langsung. Lebih lanjut, DPR RI perlu melakukan evaluasi total terhadap alat-alat negara yang dikerahkan dalam proyek Rempang Eco City termasuk terhadap peristiwa kekerasan hingga intimidasi terhadap warga masyarakat adat Rempang.

 

“Terakhir, kami menilai pelaku kekerasan non-negara yang turut terlibat melakukan kekerasan, harus segera diproses hukum.”

 

Narahubung:

1. Amar-GB
2. YLBHI
3. YLBHI-LBH Pekanbaru
4. KontraS
4. Eknas Walhi
5. Walhi Riau
6. Trend Asia
7. PPMAN
8. LSBHMK

Siaran Perss, Masyarakat Adat Serawai Akui Kecewa dengan Putusan Vonis Pidana

Bengkulu, Kamis, 17 April 2025, Keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Tais, Kabupaten Seluma atas dua orang warga komunitas adat Serawai Semidang Sakti yang mendapatkan tuduhan atas pencurian buah sawit yang tumbuh di atas tanah milik leluhur mereka menjadi putusan yang mengecewakan bagi masyarakat adat.

 

Sebab, meski vonis percobaan dengan pidana ringan yang dijatuhkan kepada Anton Afriadi dan Kayun yakni satu bulan dan tak menjalani kurungan badan. Bagi masyarakat adat Serawai Semidang Sakti, putusan itu tak mengubah tudingan pencuri kepada Anton dan Kayun.

“Hakim kami anggap tak mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat. Tanah itu, milik leluhur kami dan sudah lama kami kelola,” kata Tahardin, tokoh adat komunitas Serawai Semidang Sakti, Jumat, 18 April 2025.

 

Menurut Tahardin, konflik yang berlangsung di komunitas adat mereka sejak tahun 1986 dengan PT Perkebunan Nusantara IV Regional VII, menjadi petunjuk bahwa masyarakat adat sebagai pemilik tanah terus berjuang untuk mempertahankan yang menjadi hak mereka.

Itu mengapa, bagi masyarakat adat Serawai Semidang Sakti, apa yang telah dilakukan PTPN VII, adalah bentuk perampasan lahan. “Analoginya begini, saya menaruh rokok di meja anda. Lantas apa mejanya, jadi otomatis milik saya? Begitulah tindakan PTPN VII kepada kami,” kata Tahardin.

 

Sementara itu, Fitriansyah, kuasa hukum Kantor Hukum Masyarakat Adat Bengkulu mengatakan, bahwa secara prinsip mereka tidak menampik bahwa ada aktivitas pemanenan buah sawit yang dilakukan oleh Anton dan Kayun. Namun hal itu bukan tindak pidana melainkan sengketa keperdataan yang semestinya harus diputuskan Onslag atau lepas dari segala tuntutan hukum.

 

Meski begitu, terkait dengan tindak lanjut pasca vonis. Fitriansyah dan seluruh kuasa hukum Kantor Hukum Masyarakat Adat Bengkulu masih akan mempertimbangkan langkah berikutnya. Mengingat, apa yang saat ini sedang dihadapi oleh Anton dan Kayun,menjadi representatif dari perjuangan masyarakat adat Serawai yang ada di Kabupaten Seluma.

“Kami akan diskusikan lebih lanjut,” katanya.

Sebelumnya, pada Kamis, 17 April 2025, Majelis Hakim PN Tais menjatuhkan vonis satu bulan kepada Anton dan Kayun atas perkara tindak pidana ringan (Tipiring) percurian buah kelapa sawit yang diklaim milik PTPN 4 regional 7 Talo-Pino, kabupaten Seluma.

 

Sidang terbuka yang dipimpin oleh hakim tunggal Galuh Kumalasari memutus Anton dan Kayun terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan perbuatan tindak pidana Pecurian ringan.

 

Atas itu, majelis menjatuhkan pidana kepada mereka dengan penjara satu bulan namun menetapkan pidana tersebut tidak harus dijalani terkecuali keduanya mengulangi perbuatan yang sama dalam masa percobaan tiga bulan.

 

Hakim juga menyarankan agar masyarakat adat memperjuangkan wilayah adatnya. Sebab sudah ada SK Bupati Seluma tentang penetapan wilayah adat di Kabupaten Seluma.

 

Narahubung:

M. Alfath-AMAN Bengkulu
+6283181638588

Endang-AMAN Bengkulu
+6283165649462

Siaran Pers, Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) Kupatan Kendeng 2025 “Urip Urup Kanggo Bumi”

Rembang, 4-5 April 2025

Masyarakat Kendeng yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) kembali melaksanakan kegiatan kebudayaan rutin tahunan “Kupatan Kendeng”. Kupatan yang berarti “ngaku lepat” atau mengaku bersalah adalah ungkapan permintaan maaf atas segala kesalahan secara sadar dan ikhlas untuk terus menjaga persaudaraan dan solidaritas. Bukan hanya kepada sesama manusia, namun lebih dari itu namun merupakan ungkapan permintaan maaf atas kelalaian manusia dalam menjaga alam sekaligus bentuk penguatan tekad untuk selalu menjaga kelestarian alam, khususnya di Pegunungan Kendeng.

 

“Urip Urup Kanggo Bumi” adalah refleksi selama beberapa tahun terakhir dimana masyarakat dibombardir habis-habisan oleh negara melalui sepaket pembahasan kebijakan super cepat dan tanpa partisipasi bermakna seperti revisi UU TNI, revisi UU Minerba, Omnibuslaw hingga revisi UU KPK. Berbagai gelombang protes atau aksi atas kebijakan tersebut oleh masyarakat-masyarakat tapak perjuangan justru direspon dengan represif, kekerasan, intimidasi, dan bahkan kriminalisasi. “Urip Urup” adalah ajakan untuk terus menyala ditengah gelap demokrasi Indonesia. Masyarakat yang harus terus kuat dan terhubung satu sama lain sebagai bagian dari senasib sepenanggungan seperjuangan atas ulah negara yang lalai terhadap pemenuhan hak-hak dasar rakyatnya.

Momen Kupatan tahun ini, masyarakat Kendeng mengundang perwakilan kecil masyarakat yang masih berjuangan di Jawa Tengah seperti Pracimantoro Wonogiri, Rembang, Pati, Blora dan jaringan seperti LBH Semarang, YLBHI, JATAM, Trend Asia, Taring Padi, Dandhy dan person aktifis lainnya. Rembuk kampung yang dimaksudkan dalam momen mengumpulkan masyarakat lintas daerah ini dimaksudkan untuk saling bertukar persoalan dan pembelajaran penting dari perjuangan-perjuangan antar daerah. Wonogiri dengan rencana ekspansi tambang dan pabrik semennya secara organik masyarakat terorganisir untuk melawan perusakan lingkungan yang mengancam ekosistem kawasan bentang alam karst (KBAK) Gunungsewu. Rembuk kampung kali ini jadi momen penting Wonogiri belajar dan menguatkan dukungan dari Kendeng dan masyarakat lainnya yang sudah lama dan memiliki pengalaman dalam perjuangan penolakan pabrik semen.

 

Di satu sisi, Rembang dan konteks Kendeng secara khusus mengalami perluasan pertambangan yang cukup masif. Perubahan kebijakan tata ruang baik di Provinsi maupun Kabupaten telah mengakomodir potensi gelombang kerusakan alam secara masif atas dasar pertumbuhan ekonomi dan perluasan kantong-kantong kawasan industri. Parahnya Pemkab Rembang justru tidak peduli dengan kondisi itu, munculnya Perda terkait dengan penarikan retribusi tambang baik yang legal maupun ilegal menujukkan watak rakus atas sumber daya alam yang harusnya dijaga bukan diobral habis-habisan.

Pada situasi nasional tidak jauh berbeda. Berlanjutnya program PSN, food estate, ditambah dengan adanya revisi UU TNI, revisi UU Minerba menunjukkan rezim yang sudah siap memukul bahkan menggigit jika masyarakat protes atasnya. Padahal jika melihat produksi semen hingga awal 2024 saja telah overproduksi ratusan juta dengan angka konsumsi kurang dari setengahnya. Artinya penambahan konsesi dan pabrik semen tidak lah urgent dilakukan baik secara ekonomi apalagi dalam kacamata lingkungan yang jelas berdampak besar.

 

Sejak awal tahun 2024, pemerintah hanya mewacanakan untuk melakukan moratorium tambang dan pabrik semen atas dasar overproduksi tersebut. Namun hingga kini, tidak keluar satu kebijakan apapun untuk merealisasikan wacana tersebut. Hal ini tentu berhubungan terhadap makin menjamurnya tambang-tambang termasuk dengan dampak yang menyertainya semisal longsor, banjir, kekeringan, dan potensi krisis lainnya. Padahal jika moratorium ini serius dilakukan, maka cita-cita kedaulatan/ketahanan pangan akan tercapai. Jawa Tengah sebagai salah satu lumbung pangan besar di Indonesia akan bisa mencukupi kebutuhan domestik manakala keseriusan terhadap moratorium tambang dan kelestarian lingkungan ditindaklanjuti.

 

“Urip Urup Kanggo Bumi” adalah perwujudan bahwa menyalakan api perlawanan tidak bisa dilakukan hanya dengan satu obor, butuh ada puluhan bahkan ratusan obor yang saling terhubung untuk mampu membakar hama perampas kedaulatan rakyat.

 

Salam Kendeng!
Lestari !!!

 

Narahubung:
Joko Prianto: 0821-3438-6363

PERNYATAAN SIKAP : PPMAN MENOLAK KRIMINALISASI ADVOKAT PEMBELA MASYARAKAT ADAT DAN MASYARAKAT ADAT YANG MEMPERJUANGKAN HAK ATAS TANAH

Kami, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dengan ini menyatakan sikap tegas menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap advokat yang membela masyarakat adat serta terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan haknya atas tanah leluhur.

 

Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak advokat yang mendampingi masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-haknya justru menjadi sasaran kriminalisasi, baik melalui pelaporan hukum yang tidak berdasar maupun intimidasi dalam bentuk lainnya. Demikian pula, masyarakat adat yang mempertahankan wilayah adatnya dari perampasan sering kali dikriminalisasi dengan tuduhan yang tidak adil.

 

Terbaru, pada tanggal 21 Maret 2025, sekelompok orang yang mengatasnamakan kuasa hukum PT.Krisrama melaporkan 12 orang masyarakat adat dan seorang advokat pembela masyarakat adat yang tengah menjalankan profesinya sebagai advokat yang tengah membela masyarakat adat suku Soge Natarmage dan Goban Runut, NTT, Anton Yohanis Bala, S.H. Di Polda Nusa Tenggara Timur.

 

Ada dua laporan polisi yang disampaikan, pertama Laporan Polisi Nomor : LP/B/63/III/2025/SPKT/POLDA NUSA TENGGARA TIMUR dengan pelapor RM. ALOYSIUS NDATE dan kedua dengan Laporan Polisi Nomor: LP/B/64/III/2025/SPKT/POLDA NUSA TENGGARA TIMUR pelapor EPHIVANUS MARKUS NALE RIMO.

 

Kedua laporan tersebut diterima oleh Kepolisian Daerah NTT, para pelapor menggunakan UU No. 1 Tahun 1946 tentang KUHP sebagaimana pasal 335 dan 167 KUHP dengan waktu peristiwa kejadian pada 9 Agustus 2014 dan 19 Desember 2023. Sebagaimana diketahui, salah satu pelapor atasanama EPHIVANUS MARKUS NALE RIMO juga merupakan kuasa hukum PT. Krisrama sebagaimana Press Release Tim Kuasa Hukum PT. Krisrama yang dipublish pada tanggal 20 Maret 2025.

 

Sebelumnya, pada tanggal 19 Maret 2025, pelapor anggota masyarakat adat yang juga merupakan korban dari peristiwa pidana penggusuran rumah, perusakan tanaman warga serta ancaman nyawa yang dilakukan oleh PT. Krisrama pada tanggal 22 Januari 2025 mendatangi Polres Sikka. Kedatangan korban bersama kuasa hukumnya dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) ditemui oleh Kapolres Sikka, AKBP Moh. Mukhson. S.H.,S.I.K.,M.H. menanyakan perkembangan penanganan atas pelaporan yang disampaikan pada tanggal 22 Januari dan 18 Februari 2025.

 

PPMAN menilai pelaporan kuasa hukum PT. Krisrama ini merupakan bentuk pelemahan terhadap hak asasi manusia, hak atas bantuan hukum, serta hak masyarakat adat yang telah dijamin dalam konstitusi dan berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional.

 

Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus, S.H., mengatakan “Pembelaan yang dilakukan oleh Anton Yohanis Bala, S.H. kepada masyarakat adat merupakan keberpihakan profesi yang dijamin oleh undang-undang dan merupakan mandat organisasi PPMAN untuk memberikan bantuan hukum dan melakukan pembelaan kepada seluruh masyarakat adat di Indonesia yang menghadapi ketidakadilan dan pelanggaran HAM”

 

Perlindungan hukum bagi seorang advokat yang sedang menjalankan profesinya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Undang-undang ini mengatur hak imunitas advokat. Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan “advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan” serta Pasal 16 “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.”

 

Hak imunitas seorang advokat juga diatur dalam Pasal 6 Kode Etik Advokat Indonesia sehingga seorang advokat tidak dapat dituntut karena tindakan yang dilakukan dalam menjalankan profesinya sebagai advokat.

 

Advokat juga dapat melakukan pendamingan diluar pengadilan, seperti yang termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013. “Putusan ini memberikan perlindungan kepada advokat di dalam maupun di luar sidang pengadilan”.

 

Penegasan Undang-Undang dan Putusan Mahkamah Konstitusi diatas, menurut Alam sekaligus menguji profesionalisme mereka, pihak-pihak yang menyatakan sebagai kuasa hukum PT. Krisrama dan juga kepada pihak kepolisian yang menerima laporan tersebut.

 

“Kriminalisasi terhadap advokat dan masyarakat adat bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai prinsip keadilan dan demokrasi. Kami berkomitmen untuk terus mengawal kasus-kasus kriminalisasi ini serta mendukung setiap upaya perlindungan bagi para pembela hak masyarakat adat” tegas Alam.

 

Selain itu, PPMAN menilai, upaya kriminalisasi yang berulang dilakukan oleh PT. Krisrama kepada masyarakat adat hanyalah merupakan pengalihan dari proses audit menyeluruh atas status pemberian hak guna usaha yang dikeluarkan oleh Kantor Wilayah BPN Nusa Tenggara Timur yang ditenggarai cacat prosedural dan syarat adanya praktik korupsi.

 

Pada 31 Januari 2025, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) telah menemui pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap Surat Keputusan Pemberian Surat Hak Guna Usaha (HGU) PT. Krisrama Nomor: 1/HGU/BPN.53/VII/2023 yang mencakup wilayah adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut di Nangahale. SK HGU ini diduga dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat setempat dan mengabaikan hak-hak konstitusional mereka atas tanah adat.

 

Atas pelaporan dan upaya kriminalisasi PT. Krisrama, PPMAN menyatakan sikap :

 

  1. Menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap advokat yang membela masyarakat adat dalam memperjuangkan hak atas tanah dan sumber daya alamnya. Advokat memiliki peran penting dalam penegakan keadilan dan hak asasi manusia, sehingga tidak boleh dikriminalisasi karena menjalankan tugasnya.
  2. Menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang mempertahankan haknya atas tanah dan wilayah adatnya. Masyarakat adat berhak atas pengakuan, perlindungan, dan penghormatan terhadap hak-haknya sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, serta Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).
  3. Menuntut aparat penegak hukum dalam hal ini Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur untuk bersikap netral dan profesional dalam menangani sengketa tanah yang melibatkan masyarakat adat, dengan menjunjung tinggi prinsip keadilan dan supremasi hukum.
  4. Mendesak pemerintah dan lembaga terkait untuk menghentikan segala bentuk represi terhadap advokat dan masyarakat adat, serta mengambil langkah-langkah konkret dalam menyelesaikan konflik agraria dengan pendekatan berbasis hak asasi manusia dan keadilan sosial.
  5. Mendorong solidaritas luas dari masyarakat sipil, organisasi hak asasi manusia, dan komunitas hukum dalam membela hak-hak advokat dan masyarakat adat yang menjadi korban kriminalisasi.
  6. PPMAN bersama 150 advokat seluruh Indonesia menyatakan bersama dengan advokat pembela masyarakat adat yang dikriminalisasi untuk menegakkan officium nobile dan tetap teguh dan konsisten membela anggota masyarakat yang dikriminalisasi.

 

Demikian pernyataan sikap ini kami buat, sebagai bentuk komitmen kami terhadap penegakan keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan penghormatan terhadap hak masyarakat adat atas tanah dan kehidupannya.

 

Bogor, 22 Maret 2025

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)

 

Syamsul Alam Agus, 08118889083