Pelatihan Paralegal, Sebuah Jalan Penguatan Kapasitas bagi Pembela Masyarakat Adat di Kutei Cawang ‘An Kab. Rejang Lebong Prov. Bengkulu Region Sumatera

Rejang Lebong, Bengkulu, 11 Maret 2022, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), bekerjasama dengan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melaksanakan pelatihan paralegal bagi Komunitas Masyarakat Adat bertempat di komunitas Masyarakat Adat Cawang ‘An, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.

 

Pelatihan ini dihadiri oleh tiga puluh satu anak muda yang terdiri dari laki-laki dan perempuan sebagai utusan dari Komunitas Masyarakat Adat di wilayah Bengkulu.

 

Pembukaan Pelatihan Paralegal pada Sabtu (11/03/2023) dihadiri oleh Tokoh Masyarakat Adat dari Komunitas Cawang ‘An, Kepala Desa Cawang Lama, Ketua Pelaksana Harian Daerah (PHD) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rejang Lebong, Ketua PW AMAN Bengkulu, Koordinator PPMAN Region Sumatera beserta anggotanya, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VII, Direktorat KMA, PB AMAN dan Seknas PPMAN.

 

Sjamsul Hadi, Direktur KMA mengatakan bahwa pelatihan paralaegal ini merupakan implementasi dari adanya kerjasama antara Direktorat KMA dan PPMAN yang telah dilaksanakan pada tahun 2022. Sjamsul menambahkan bahwa memang sangat diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah dan NGO khususnya dalam ini PPMAN yang melakukan penanganan kasus dan advokasi Masyarakat Adat. Sjamsul begitu akrab disapa menambahkan bahwa tugas dan kewajiban Pemerintah untuk melakukan advokasi walaupun terkadang pemerintah baik itu pusat maupun daerah melakukan pelanggaran hukum terhadap Masyarakat Adat, selain pemerintah, perusahaan juga melakukan pelanggaran hukum yang akhirnya banyak masyarakat adat yang hak-haknya dilanggar sementara PPMAN melakukan pendampingan dan pembelaan terhadap Masyarakat Adat yang memiliki masalah hukum karena memperjuangkan hak-haknya.

 

Sementara Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus menyampaikan bahwa kerjasama dengan KMA akan terus berlanjut di beberapa daerah lainnya. Laki-laki yang biasa disapa Alam ini, menambahkan harapannya pelatihan paralegal dilakukan agar masyarakat adat memiliki kemampuan untuk memahami hukum, memahami dan melihat kondisi masalah yang ada di komunitas Masyarakat Adat dan juga memiliki kemampuan untuk mendampingi masyarakat adat yang memiliki masalah hukum karena memperjuangkan hak-haknya.

 

Pelatihan paralegal ini juga dihadiri Ketua PHW AMAN Bengkulu, Deff Tri Hardianto, dan memberikan sambutan, dalam sambutannya Ketua PHW AMAN Bengkulu ini mengatakan pelatihan paralegal ini sangat penting mengingat begitu banyak masalah hukum yang terjadi di komunitas masyarakat adat di wilayah Bengkulu. Laki-laki yang biasa di panggil Deff Tri ini mengatakan hampir semua Masyarakat Adat memiliki masalah hukum mulai dari masalah penguasaan tanah ulayat dan juga ada masalah masyarakat adat yang mendapatkan tindakan kriminalisasi dari aparat karena memperjuangkan hak-haknya. Deff Tri berharap dengan adanya anggota komunitas Masyarakat Adat yang mengikuti pelatihan paralegal ini dapat memberikan ilmu dan pengetahuan yang diperoleh untuk kepentingan pendampingan maupun pembelaan terhadap Masyarakat Adat, mengingat sangat susah mencari advokat yang secara ikhlas dan sukarela mau membantu masyarakat adat. Walaupun saat ini sudah ada beberapa advokat anggota PPMAN yang siap membantu Masyarakat Adat, namun keberadaan advokat tersebut masih kurang, karena semakin banyak masalah hukum yang terjadi dan dialami oleh masyarakat adat.

 

Sementara Koordinator PPMAN Region Sumatera, Suryadi dalam sambutannya menyampaikan Lokalatih Paralegal ini dilakukan untuk meningkatkan kapasitas Masyarakat Adat untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya dan komunitas adatnya. Surya menambahkan peserta lokalatih paralegal diberikan pengetahuan Hukum Dasar, HAM, Gender, dan Keorganisasian agar kelak mampu menjembatani kerja kerja advokat. Koordinator PPMAN ini menambahkan, Ada banyak kader Paralegal yg telah berpraktek dan berhasil membela komunitas Masyarakat Adat di region Sumatra. PPMAN juga telah beberapa kali melaksanakan pelatihan paralegal di komunitas Kuntu kampar, Talang Mamak dan Inhu nah. Surya berharap agar kegiatan ini berjalan lancar dan menghasilkan Paralegal yang berkualitas, memiliki pengetahuan yang baik dalam melakukan kerja advokasi ke depannya.

***

Putusan Mahkamah Agung Menyatakan Masyarakat Adat Sebagai Penerima Manfaat Nilai Ekonomi Karbon

Mahkamah Agung pada 20 Februari 2023 telah mengeluarkan putusan perkara hak uji materiil yang diajukan oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan teregister dengan No.61/P/HUM/2022.

 

Putusan MA tersebut berdasarkan atas pengajukan permohonan hak uji materiil terhadap Peraturan Peraturan Presiden No.98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

 

Permohonan tersebut diajukan oleh Kesatuan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibarani, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Wahid, salah seorang warga Kasepuhan Cibarani.

 

Dalam pertimbangan hukumnya, MA menyatakan bahwa Masyarakat Adat merupakan pelaku utama dalam pengelolaan perhutanan sosial yang diperbolehkan melakukan pemanfaatan hutan pada: hutan adat dengan fungsi hutan lindung; dan hutan adat dengan fungsi hutan produksi, dalam bentuk kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan yaitu penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.

 

Lebih lanjut, dalam putusannya tersebut, MA menyatakan bahwa Masyarakat Adat merupakan penyelenggara Nilai Ekonomi Karbon dalam Pasal 46 ayat (2) huruf d Perpres Nomor 98/2021 karena kontribusinya pada peningkatan cadangan karbon melalui pemanfaatan hutan dalam bentuk kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan.

 

 

Syamsul Alam Agus, S.H., selaku Ketua PPMAN, menyatakan bahwa putusan MA tersebut perlu diapresiasi dan merupakan bukti pengakuan eksistensi hukum Masyarakat Adat dalam sistem hukum di Indonesia.

 

“Pertama, apresiasi kami sampaikan kepada Mahkamah Agung yang telah menyatakan melalui pertimbangan hukumnya, bahwa Masyarakat Adat termasuk penyelenggara Nilai Ekonomi Karbon karena kontribusinya pada peningkatan cadangan karbon,” ujarnya melalui keterangan pers.

 

Alam juga menilai bahwa Perpres No.98/2021 tidak menegaskan posisi Masyarakat Adat sebagai penyelenggara NEK, sementara Masyarakat Adat merupakan subyek hukum yang berkontribusi langsung terhadap peningkatan cadangan karbon. Selain itu, putusan tersebut juga semakin menegaskan pengakuan kedudukan hukum masyarakat adat dalam permohonan Hak Uji Materiil di MA.

 

“Kedua, Putusan MA juga sudah memberikan pengakuan terhadap kedudukan hukum (legal standing) Masyarakat Adat. Ketiga, kami mendorong agar pemerintah dalam menerbitkan regulasi terkait teknis hak-hak Masyarakat Adat sebagai penerima manfaat atas karbon, memperhatikan Putusan MA tersebut,” sambung Alam.

 

MA menyatakan Para Pemohon Hak Uji Materiil No. 61/P/HUM/2022, yang notabene salah satunya adalah Masyarakat Adat, diakui kedudukan hukumnya sebagai Pemohon.

 

“Hal ini tentunya merupakan kabar gembira, setelah sebelumnya Mahkamah Konstitusi juga melalui Putusan No. 35/PUU-X/2012 mengakui dan menerima kedudukan hukum masyarakat adat sebagai pemohon Uji Materiil,” tegasnya.

 

SYAMSUL ALAM AGUS, S.H.
Ketua PPMAN
CP: 0811-8889-083

***

ULTIMATUM RAKYAT KEPADA PRESIDEN DAN DPR RI: SEGERA CABUT PERPPU TIPU-TIPU

Siaran Pers
ULTIMATUM RAKYAT KEPADA PRESIDEN DAN DPR RI:
SEGERA CABUT PERPPU TIPU-TIPU

 

Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), Komite Pembela Hak Konstitusi (KEPAL) dan
Jaringan Ultimatum Rakyat

 

Jakarta, 17 Januari 202

 

Pada akhir tahun 2022, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Kami menilai, penerbitan Perppu ini tidak lebih dari manuver politik pemerintah untuk mensiasati Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.91/PUU-XVIII/2020 yang telah menyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat. Kami menilai, Bagi kami, argumentasi adanya kegentingan yang memaksa seperti yang tertuang dalam Perppu tersebut tidak lebih dari sekedar akrobat pemerintah mengakali putusan MK. Mengganti bungkus, namun tetap memaksakan isi dan substansi UUCK. Alih-alih melakukan perbaikan proses dan substansi seperti yang telah diminta MK sebagai penjaga Konsitusi Negara. Dengan sikap tersebut, pemerintah justru semakin memperdalam pelanggaran konstitusional yang dilakukannya.

 

Sikap pemerintah di atas memberikan sinyal semakin menguatnya otoritarianisme Negara yang telah memperlihatkan gejalanya sejak beberapa tahun terakhir. Pengalaman beberapa tahun terakhir menyimpulkan bahwa gerakan-gerakan perlawanan rakyat yang telah dilakukan di berbagai wilayah, baik nasional maupun daerah belum mampu memaksa DPR RI dan Pemerintah mendengarkan dan mengakomodir aspirasi rakyat.

 

Sejak 10 Januari 2023, Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) dan Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) bersama ratusan organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari kelompok buruh, tani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, masyarakat miskin kota, pemuda dan mahasiswa, akademisi dan berbagai elemen rakyat lainnnya memberikan ultimatum kepada Presiden untuk segera mencabut Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Kami juga menuntut DPR RI agar segera menolak Perppu tersebut.

 

Sejak diluncurkan, ultimatum ini telah mendapat atensi yang cukup luas dari rakyat. Hingga hari ini, terdapat 206 organisasi rakyat yang tersebar di 30 provinsi dan 101 Kabupaten/Kota yang telah menyatakan bergabung dalam ultimatum ini.

 

Hari ini, Selasa, 17 Januari 2022 adalah tenggat waktu 7 (tujuh) hari yang kami berikan kepada Presiden untuk segera mencabut Perppu tersebut. Kami mengingatkan kembali, jika hingga pukul 24.00 WIB malam ini, Presiden tidak kunjung mencabut Perppu CK seperti desakan dan tuntutan kami dalam ultimatum. Maka kami pastikan dalam beberapa hari ke depan, rakyat akan melakukan gelombang aksi penolakan secara besar-besaran dan pembangkangan sipil di berbagai daerah. Sikap ini sebagai bentuk protes dan ketidakpercayaan terhadap penyelenggara Negara yang telah mengkhianati konstitusi melalui berbagai kebijakan yang inkonstitusional.

 

Demikian pernyataan sikap ini kami buat dan sampaikan. Agar dapat dipahami oleh semua pihak. Kami juga menghimbau kepada seluruh elemen rakyat yang telah menanggung beban berlipat atas kebijakan-kebijakan inkonstitusional pemerintah agar melakukan berbagai aksi penolakan, protes dan pembangkangan lainnya hingga Presiden benar-benar mencabut.

 

Juru Bicara:

  • Nining Elitos (KASBI – 0813 1733 1801)
  • Dewi Kartika (KPA – 0813 9477 5484)
  • Gunawan (IHCS – 0815 8474 5469)
  • Zenzi Suhadi (WALHI – 0812 8985 0005)
  • Rukka Sombolinggi (AMAN – 0812 1060 794)

Atas nama Rakyat Indonesia:

  1. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
  2. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
  3. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
  4. Serikat Petani Indonesia (SPI)
  5. Aliansi petani Indonesia (API)
  6. Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
  7. Bina Desa
  8. Lokataru Foundation
  9. Solidaritas Perempuan (SP)
  10. Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)
  11. Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
  12. Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
  13. Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
  14. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
  15. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)
  16. Sajogyo Institute (Sains)
  17. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
  18. Yayasan PUSAKA
  19. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS)
  20. Sawit Watch (SW)
  21. Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM)
  22. Perkumpulan HuMa Indonesia
  23. Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK-Indonesia)
  24. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
  25. Aliansi Organis Indonesia (AOI)
  26. Institute for Ecosoc Rights
  27. FIAN Indonesia
  28. Indonesia for Global Justice (IGJ)
  29. FIELD Indonesia (Yayasan Daun Bendera Nusantara)
  30. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)
  31. Jaringan Masyarakat Tani Indonesia (JAMTANI)
  32. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)
  33. Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)
  34. Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
  35. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
  36. Majelis Hukum HAM dan LHKP PP Muhammadiyah
  37. Persatuan Petani Siantar Simalungun (PPSS)
  38. Forum Peduli Kebenaran dan Keadilan Sambirejo (FPKKS)
  39. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI)
  40. STaM Cilacap
  41. Serikat Tani Independen Pemalang (STIP)
  42. Pergerakan Petani Banten (P2B)
  43. Serikat Tani Tebo (STT)
  44. Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB)
  45. Yayasan Sitas Desa Blitar Jawa Timur
  46. Serikat Petani Bali (SPB)
  47. Yayasan Tanah Merdeka (YTM)
  48. Serikat Nelayan Teluk Palu (SNTP)
  49. Perserikatan Petani Sulawesi Selatan (PPSS)
  50. Serikat Tani Likudengen Uraso Luwu Utara (STL)
  51. Serikat Petani Latemmamala (SPL) Soppeng
  52. Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Sulteng

PPMAN Desak Polisi Hentikan Intimidasi terhadap Petani Desa Kalasey Dua di Minahasa

Oleh Apriadi Gunawan

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendesak kepolisian untuk segera menghentikan segala bentuk tindakan intimidasi terhadap petani di Desa Kalasey Dua, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

 

PPMAN juga meminta seluruh petani, mahasiswa, dan pendamping hukum yang ditangkap secara sewenang-wenang, segera dibebaskan.

 

Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus menyatakan bahwa ada 12 orang petani, mahasiswa, dan pendamping hukum yang ditangkap saat terjadi penggusuran di lahan garapan petani di Desa Kalasey Dua pada Senin (7/11/2022). Mereka sempat ditahan di Polresta Manado. Namun, akhirnya mereka dibebaskan setelah diprotes oleh berbagai pihak, termasuk PPMAN.

 

“Sudah bebas semua yang ditahan, tapi polisi mengejar dua orang lainnya,” kata Syamsul Alam saat dihubungi pada Rabu (9/11/2022).

 

Ia menjelaskan bahwa telah terjadi penggusuran oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Utara dan ratusan aparat kepolisian di lahan garapan petani di Desa Kalasey Dua pada 7 November 2022. Sejak pukul 10.00 WITA, aparat kepolisian dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) memaksa masuk ke lahan petani untuk melakukan penggusuran. Petani yang menolak kehadiran tersebut, memblokade jalan.Tetapi, aparat kepolisian tetap memaksa dengan tindakan represif terhada massa aksi.

 

“Akibat tindakan represif tersebut, beberapa orang petani mengalami luka-luka di bagian leher dan tangan kiri,” ungkap Syamsul.

 

Dalam peristiwa itu, Syamsul menilai bahwa Pemprov Sulawesi Utara, khususnya Gubernur Sulawesi Utara, tidak taat hukum. Ia menerangkan, lahan yang hendak dikuasai oleh Pemprov Sulawesi Utara tersebut masih dalam proses upaya hukum kasasi, bahkan belum ada putusan untuk melakukan eksekusi.

“Tapi, Pemprov Sulawesi Utara menggunakan aparat yang dilengkapi senjata api lengkap untukmemaksa masuk dan beberapa kali menembakkan gas air mata kepada massa aksi. Ini tindakan arogan,” tandas Syamsul sembari menambahkan kalau dalam penggusuran itu ada salah satu anggota polisi yang terekam mengeluarkan caci maki terhadap petani.

 

Ironisnya, sebut Syamsul, ada beberapa warga dan mahasiswa yang terus dikejar dan ditangkap oleh aparat kepolisian dan Satpol PP secara represif menggunakan kekerasan. Bahkan, posko petani di Desa Kalasey Dua dihancurkan, sehingga beberapa mahasiswa dan petani harus lari ke dalam hutan untuk menyelamatkan diri.

 

Ia menyatakan bahwa pihaknya sangat prihatin dengan cara-cara kekerasan yang diperlihatkan oleh aparat kepolisian dan Satpol PP. Untuk itu, Syamsul menegaskan kalau PPMAN menuntut Pemprov Sulawesi Utara untuk menghentikan cara-cara kekerasan saat melakukan penggusuran. Ia juga meminta aparat kepolisian untuk segera menarik pasukannya dari lokasi penggusuran.

 

“Tarik aparat kepolisian dan hentikan intimidasi kepada petani, mahasiswa, dan pendamping hukum,” tandasnya.

 

Menurut Syamsul, cara-cara kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dan Satpol PP, merupakan tindakan melanggar hak asasi manusia.

 

“Tindakan represif aparat yang berkali-kali menembakkan peluru gas air mata ke arah warga, juga kategori tindakan yang tidak manusiawi,” ujarnya.

 

Kronologi Proses Hukum

 

Sejak 1982, petani Desa Kalasey Dua telah menggarap lahan pertanian dengan menanam pisang, singkong, kelapa dan lain-lain. Lalu, pada 2021, Gubernur Sulawesi Utara mengeluarkan SK Hibah No. 368/2021 tentang Pelaksanaan Hibah Tanah kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia seluas 20 hektar.

 

Namun, pada awal 2022, petani Desa Kalasey Dua – melalui kuasa hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado – mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Manado dengan perkara No. 9/G/2022/PTUN.Mdo. Pada 24 Oktober 2022, LBH Manado melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung setelah pengadilan di PTUN Manado menyatakan bahwa gugatan petani Desa Kalasey Dua “tidak diterima”dan Pengadilan Tinggi TUN Makassar menguatkan putusan PTUN Manado.

 

Kronologi Eksekusi Lahan

 

Warga mendapatkan informasi bahwa akan ada proses eksekusi lahan milik petani di Desa Kalasey Dua Minahasa pada 7 November 2022. Sekitar pukul 07.00 WITA, petani dan jaringan masyarakat yang melakukan aksi solidaritas, mulai berkumpul. Ada sekitar 80 orang berada di titik utama yang merupakan titik masuk sebelah ring road lahan petani. Massa melakukan ibadah singkat, kemudian berjaga di lokasi menunggu kedatangan pihak pemerintah.

 

Dua jam kemudian, petani mendapatkan kabar bahwa pemerintah membawa aparat polisi dan Satpol PP menuju titik perkebunan petani dan mereka berkumpul di Kantor Desa. Ada sekitar tujuh mobil Sabhara yang berjaga. Warga melakukan penghadangan, namun beberapa orang massa solidaritas ditangkap.

Sekitar pukul 10.00 WITA, aparat tiba di lahan petani dan dihadang oleh warga. Aparat melakukan kekerasan dan beberapa petani ditangkap. Sekitar satu jam setelahnya, aparat memaksa masuk ke lahan petani dengan mengerahkan mobil pemadam kebakaran, menyiram warga, dan melempar gas air mata. Aparat memaksa menerobos masuk dan melakukan kekerasan dengan menabrak beberapa warga yang menghadang.

KADER KOMUNITAS MASYARAKAT ADAT MENINGKATKAN KAPASITAS PEMBELAAN HUKUM MELALUI PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT

Jaminan konstitusional terhadap pengakuan dan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, pada kenyataannya masih terbentur oleh sistem penegakan hukum yang belum mampu menerjemahkan jaminan konstitusional ke dalam peraturan operasional teknis. Akibatnya, respon negara terhadap perjuangan masyarakat adat yang membela diri dan mempertahankan hak ulayat selalu diwarnai kriminalisasi, termasuk pembela masyarakat adatnya sebagai human right defenders.

 

Dalam acara diskusi publik (Rabu, 14/9/2022) sebagai rangkaian pelaksanaan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bekerjasama dengan Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (PERADI PERGERAKAN), Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyatakan bahwa dalam banyak kasus, perjuangan masyarakat adat terhambat oleh paradigma negara yang selalu menilai bahwa eksistensi masyarakat adat hanya diakui bilamana telah terbit peraturan tentang pengakuan masyarakat adat.

 

“Masyarakat adat itu sudah ada dan hidup secara turun temurun dalam wilayah adatnya jauh sebelum negara ini berdiri. Kalau negara tidak mengakui mereka beserta hak-hak kolektifnya (masyarakat adat) dengan alasan karena tidak adanya peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat, itu adalah paradigma negara yang keliru” kata Rukka.

 

Senada dengan itu, Sugeng Teguh Santoso, S.H., Ketua Dewan Pimpinan Pusat Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan), menyatakan bahwa macetnya Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat menunjukkan eksistensi masyarakat adat seperti antara ada dan tiada.

 

“Masyarakat adat itu seperti antara ada dan tiada. Sebab, jaminan pengakuan dan penghormatan konstitusional melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, tidak ditindaklanjuti dalam peraturan operasional dengan bentuk undang-undang. Hal ini terbukti dengan tidak disahkannya Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat yang sudah terparkir puluhan tahun”, kata Sugeng.

 

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD Tahun 1945”) sebagai landasan konstitusional, telah menjamin pengakuan dan pengormatan Masyarakat Adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang berbunyi: “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

 

Sugeng menilai bahwa macetnya pengesahan RUU Masyarakat Adat akibat banyaknya kepentingan korporasi yang terganggu bilamana RUU disahkan. Ini akan menjadi tantangan bagi pembela hak-hak masyarakat adat.

 

“Upaya mewujudkan pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah bagian dari tantangan yang harus dihadapi oleh para peserta PKPA PPMAN Angkatan I ini, yang diharapkan menjadi advokat pembela hak-hak masyarakat adat. Tidak ada hak terwujud begitu saja, tanpa perjuangan mewujudkannya”, pesan Sugeng.

 

Hadir pula dalam acara diskusi publik itu, D.Y. Witanto selaku Asisten Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Kombes Pol. Veris Septiansyah, S.H., S.I.K., M.Si., dan M.H.

 

Menurut Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Umum PPMAN, tujuan PKPA ini sebagai bentuk respon untuk memperkuat akses keadilan bagi masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum.

 

“PKPA merupakan salah satu syarat utama untuk menjadi advokat sebagaimana ditegaskan
dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 2 ayat (1), yang mengatur bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat dan melakukan magang selama 2 tahun terus menerus pada kantor advokat/organisasi bantuan hukum dan telah dinyatakan lulus ujian advokat.

 

“Maksud penyelenggaraan PKPA ini, dalam rangka memfasilitasi peningkatan kapasitas kader masyarakat adat untuk membela kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh anggota komunitas adat” kata Alam.

 

Hormat Kami,
Sekretariat Nasional PPMAN

 

Syamsul Alam Agus, S.H.
Ketua

Permohonan Uji Materiil terhadap Perpres 98/2021

 

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional atau Perpres 98/2021 yang mengatur tentang pasar karbon.

 

Ketentuan tersebut dipandang sebagai upaya mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia untuk pengendalian perubahan iklim. Namun, Perpres itu justru menunjukkan ketidakadilan negara melalui pengamputasian peran dan kedudukan Masyarakat Adat dalam pengelolaan karbon, di mana Masyarakat Adat tidak diakui sebagai subjek penyelenggara yang memilki hak atas karbon.

 

Padahal, Prinsip 22 dalam Rio Declaration on Environment and Development (Deklarasi Rio) menegaskan bahwa Masyarakat Adat mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan karena pengetahuan dan praktik tradisionalnya. Wilayah adat memiliki kontribusi langsung dalam mengurangi dampak perubahan iklim.

 

Hal tersebut dapat dilihat dari praktik tradisional yang dilakukan oleh Masyarakat Adat di Kasepuhan Cibarani dan Karang di Kabupaten Lebak, Banten, misalnya. Keduanya memiliki luas wilayah adat berupa hutan adatmasing-masing sekitar 490 hektar dan 462 hektar.

 

Di sana, hutan adat memiliki fungsi spiritualitas, sosial-budaya, jasa lingkungan, konservasi, dan ekonomi yang telah dirawat oleh Masyarakat Adatsecara turun-temurun dari generasi ke generasi. Dan pengakuan atas hal itu telah dinyatakanMahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 35/PUU-X/2012.

 

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi pernah menegaskan bahwa sebagian besar biodiversitas yang berada dalam kondisi baik di muka bumi ini, terdapat di dalam wilayah adat.

 

“Di tengah penghancuran(terhadap Masyarakat Adat dan wilayah adatnya), kita masih menyelamatkan 80 persenkeanekaragaman hayati di dunia,”

 

ujar Rukka yang percaya bahwa krisis iklim salah satunya disebabkan karena tindakan yang berasal dari cara pandang yang menghancurkan alam dan bersikap tidak adil pada sesama.

 

Menurutnya, solusi untuk keluar dari krisis, tak akan terjadi jika kita tidak mengubah cara kita menempatkan dan memandang Masyarakat Adat yang telah menjaga
keanekaragaman hayati yang tersisa.

 

Sementara itu, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)  organisasi sayap AMAN berbentuk perkumpulan yang keanggotaannya terdiri dari advokat dan/atau ahli hukum yang peduli dan berkomitmen pada kerja pembelaan dan pemajuan Masyarakat Adat – menilai Perpres 98/2022 bertentangan dengan asas keadilan, keterbukaan, dan partisipasi karena tidak memiliki keberpihakan dan tidak melibatkan Masyarakat Adat dalam prosesnya.

 

Selain itu, Perpres tersebut juga bertentangan dengan konstitusi dan sejumlah Undang-Undang (UU) terkait dengan tata kelola karbon, terutama dalam hal “hak menguasai negara” dan “dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” PPMAN mengingatkan bahwa pemerintah seharusnya menghormati, mendorong, dan mempertimbangkan tanggung jawabnya terhadap Masyarakat Adat dalam aksi menangani perubahan iklim seperti yang diutarakan melalui UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim.

 

Akan tetapi, muatan materi Perpres 98/2021 tidak mengatur secara jelas dan tegas pelibatan Masyarakat Adat dalam penyelenggaraan nilai ekonomi karbon. Maka, pada hari ini, 28 September 2022, PPMAN mengajukan pendaftaran permohonan uji materiil terhadap Perpres 98/2021.

 

Fatiatulo Lazira, S.H. – 0812-1387-776

POLRI yang Presisi Melalui Penghormatan dan Perlindungan HAM bagi Masyarakat Adat

 

Catatan Peringatan HUT ke-76 Bhayangkara Polri

Jakarta, 1 Juli 2022

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendukung program Polri Presisi –
prediktif, responsibilitas, transparansi, berkeadilan dengan merekomendasikan agenda strategis
mewujudkan keadilan dan penghormatan hak asasi manusia dalam penanganan kasus terhadap
masyarakat adat. Sejumlah langkah maju perlu diperkuat, sementara berbagai tantangan di tingkat
substansi/kebijakan, struktur dan budaya di kepolisian dalam penanganan kasus kekerasan yang
dialami oleh masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum membutuhkan langkah
perbaikan/koreksi.

 

UUD 1945 memberikan mandat khusus kepada Institusi Kepolisian sebagai alat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum. Sesuai Pasal 4 UU No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian, dalam mewujudkan
tujuannya Polri wajib menjunjung tinggi HAM.

 

Sebagai hasil reformasi, melalui Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 Polri dipisahkan dari institusi TNI,
reformasi kelembagaan ini dipertegas melalui UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Paradigma aparat negara seharusnya menjaga berkembangnya sendi-sendi
demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta kewajiban perlindungan
dan pengayoman, semangat penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.

 

Untuk memastikan implementasi penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia bagi pimpinan
dan anggota Kepolisian Republik Indonesia, pimpinan Polri telah menerbitkan Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar
Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahkan
dalam Perkap tersebut menegaskan pengakuan institusi Polri atas keberadaan masyarakat adat dalam
pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Budaya Lokal yang dimaksudnya dalam Peraturan Polri ini
adalah adat, tradisi, kebiasaan atau tata nilai yang masih kuat dianut oleh masyarakat setempat dalam
rangka memelihara keamanan, ketertiban dan ketenteraman di lingkungan warga masyarakat
setempat.

 

Penyikapan kepolisian pada penanganan kasus-kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan
hukum merupakan penentu awal akses masyarakat adat pada keadilan. Sikap proaktif pimpinan polri
dalam mengusut kasus kekerasan terhadap masyarakat adat yang melibatkan anggota Polri perlu
diapresiasi. PPMAN mencatat, pada 2022 ini, misalnya, Divisi Propam dan Pengamanan (Propam)
Mabes Polri telah menindaklanjuti pengaduan PPMAN terkait dugaan pelanggaran disiplin dan
kekerasan yang dilakukan oleh anggota dan pimpinan kepolisian di Polres Nagekeo, Nusa Tenggara
Timur dalam rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Waduk Mbay/Lambo.
Di tengah kemajuan ini, dari bulan Januari hingga Juni 2022, PPMAN masih menerima pengaduan yang
terkait anggota kepolisian sebagai pelaku tindak kekerasan, melakukan kriminalisasi terhadap

 

pembela dan masyarakat adat yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari perampasan oleh
industri ekstraktif disektor perkebunan dan pertambangan, maupun polri dianggap menghambat
langkah korban memperjuangkan keadilan.

 

Dari 16 (enam belas) kasus yang di dalami, terdapat 4 kasus di mana polisi dilaporkan melakukan
kriminalisasi kepada pembela masyarakat adat. 4 kasus tersebut dialami oleh advokat pembela
masyarakat adat yang tengah melakukan pendampingan kepada masyarakat adat tana’ai di
Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Ia dilaporkan karena memperjuangkan hak masyarakat adat
yang berhadapan dengan perusahaan pemilik SKP HGU. Kriminaliasasi juga dialami oleh Kepala Desa
Kinipan di Kalimantan Tengah yang berjuang bersama masyarakat adat Kinipan dalam
mempertahankan wilayah adatnya yang dirampas oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Kriminalisasi yang dialami oleh Willem Hengky (Kepala Desa Kinipan) telah diputuskan oleh Pengadilan
Negeri Palangkaraya, Willem tidak terbukti bersalah dari seluruh dakwaan dan pengadilan
memerintahkan Willem Hengki segera dibebaskan dari tahanan. Kasus kriminalisasi lainnya dialami
oleh masyarakat adat di Natumingka, Tano Batak, Sumatera Utara yang berhadapan dengan PT. Toba
Pulp Lestari (PT.TPL). Diawal tahun 2022 Kepolisian juga melakukan penangkapan terhadap 3 (tiga)
orang Masyarakat Adat Kaili Tado di Kabupaten Pasang Kayu, Sulawesi Barat yang mepertahankan
wilayah adatnya dari perampasan lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT.
Mamuang.

 

 

Berdasarkan pengaduan dan permohonan bantuan hukum yang diterima oleh Kantor Hukum
Masyarakat Adat Nusantara di 7 (tujuh) Region, kemudian ditindaklanjuti melalui proses
pendampingan hukum. Berdasarkan kasus-kasus tersebut PPMAN mengidentifikasi 9 (sembilan) pola
pelanggaran yang dilakukan oleh polri terhadap masyarakat adat, yaitu: (1) Kriminalisasi dan
Minimnya Akuntabilitas Penetapan Status Tersangka, (2) Penundaan Proses (undue delay), (3)

 

Mengejar Pengakuan Tersangka, (4) Penangkapan Sewenang-Wenang, (5) Penahanan Sewenang-
Wenang, (6) Permasalahan Akuntabilitas Penahanan, (7) Hak Penasihat Hukum yang Dibatasi, (8)

 

Penyiksaan dan impunitas bagi pelaku (9) Pembunuhan di luar proses hukum (extra-judicial killing).
Sementara itu, menurut catatan Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM), berdasarkan
jumlah aduan periode 1 Januari – 7 Juni 2022, Polri merupakan instansi yang paling banyak diadukan
terkait pelanggaran HAM di komunitas masyarakat adat setelah pihak koorporasi dan pemerintah
daerah. Dalam laporan tersebut, Komnas HAM menguraikan tindakan lainnya yang dialami
masyarakat adat terkait dengan kekerasan oleh aparat, kriminalisasi dan diskriminasi penanganan
laporan oleh polisi, dan permasalahan penetapan status tersangka pemimpin adat.

 

Meski perhatian Kepolisian terus meningkat pada isu akuntabilitas internal, kasus-kasus di atas
menunjukkan masih adanya tantangan di lapis kebijakan/subtansi, struktur dan kultur hukum di tubuh
kepolisian. Saat ini, juga belum ada rujukan kebijakan khusus di kepolisian tentang penanganan kasus
masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum dalam posisi sebagai korban, saksi maupun
tersangka. Padahal, kebijakan ini akan menguatkan akses keadilan mengingat telah ada Peraturan
Kapolri (PERKAP) No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia
Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 6 huruf (G) yang tegas
menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas-tugasnya Kepolisian Republik Indonesia harus
menghormati dan melindungi Hak Masyarakat Adat.

 

Meningkatnya pelanggaran yang dialami oleh masyakat adat menunjukkan inkosistensi polri dalam mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-
hak khusus masyarakat adat.

 

khusus di kepolisian ini dibutuhkan mengingat tidaklah mudah mengubah persepsi
individual aparat kepolisian mengenai masyarakat adat. Apalagi, program-program pendidikan untuk
menguatkan perspektif keadilan dan ketrampilan penanganan kasus kekerasan yang dialami oleh
masyarakat adat masih terbatas.

 

Untuk mendukung terwujudnya POLRI Presisi melalui optimalisasi pemenuhan hak asasi manusia
dalam penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum, PPMAN
merekomendasikan kepada Kepolisian RI, yaitu:

 

  1. 1. Pentingnya memperkuat pemahaman setiap anggota polri untuk menghormati hak-hakkhusus masyarakat adat sebagaimana yang tertuang dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-
    Bangsa tentang hak masyarakat adat dalam implementasi tugas dan fungsi kepolisian;
  2. Pentingnya pimpinan polri membentuk satu kebijakan presisi untuk menjadi pedoman
    penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum;
  3. Pimpinan polri harus segera memastikan langkah pencegahan dan penanganan setiap anggota
    polri dalam situasi konflik sumber daya alam dimana proyek pembangunan stragis nasional
    yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta yang mengancam keberadaan
    masyarakat adat;
  4. Perlu segera adanya reformasi Kepolisian baik di dalam fungsi penegakan hukum dan fungsi
    menjaga ketertiban. Termasuk didalamnya perbaikan kultur dan penegakan hukum terhadap
    anggota polri yang melakukan tindak pidana didalam menjalankan tugasnya;
  5. Memastikan langkah pencegahan dan penanganan kasus kekerasan dan penyiksaan yang
    dilakukan oleh aparat kepolisian, yang juga mencakup upaya pemulihan bagi korban.

 

Demikian pres release ini disampaikan untuk disiarkan.
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
Syamsul Alam Agus, Ketua PPMAN, 08118889083

UU IKN Ingkari Konstitusi: Rakyat Minta Pembatalan Lewat Judicial Review

 

Jakarta/Kalimantan Timur, 1 April 2022 –

 

Hari ini,

Rakyat Indonesia mendaftarkan gugatan Judicial Review atas Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) ke Mahkamah Konstitusi. Seperti halnya UU Cipta Kerja dan UU Minerba, proses pembentukan UU IKN
ini bertentangan dengan UUD 1945 dan melabrak semua asas formil pembentukanperundang-undangan, partisipasi publik dan kedayagunaan-kehasilgunaan [1]. Regulasi hukum di rezim pemerintahan Joko Widodo dan DPR RI telah dibajak segelintir oligarki untuk mengamankan kepentingan bisnis mereka dan lagi-lagi rakyat diabaikan. Gugatan didaftarkan oleh Busyro Muqoddas dari Muhammadiyah, Trisno Rahardjo Dosen  Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ibu Dahlia dari Suku Paser Balik, Penajam Paser Utara Kalimantan Timur, Rukka Sombolinggi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Zenzi Suhadi dari WALHI Eksekutif Nasional.

 

“JR UU IKN ini merupakan satu di antara banyak regulasi hasil kerja kilat antara pemerintahan Presiden Jokowi dan DPR RI yang digugat oleh rakyat. Sebelumnya ada UU Cipta Kerja yang digugat di MK dan telah dinyatakan cacat prosedural. Begitu juga UU Minerba yang saat ini masih dalam proses persidangan. Pemerintah dan DPR
benar-benar telah menghancurkan tatanan demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,” kata Muhammad Arman, Kuasa Hukum Aliansi Rakyat Gugat Pemindahan Ibu Kota Negara (ARGUMEN).

 

UU IKN dibahas secara super kilat dalam 17 hari. DPR RI dan pemerintah tidak memberi ruang partisipasi publik yang baik padahal merekalah yang paling banyak menanggung implikasi dari regulasi predatoris ini. UU IKN bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

 

Tim Kuasa Hukum ARGUMEN menilai bahwa regulasi ini tidak punya kebermanfaatan bagi rakyat banyak di situasi pandemi dan krisis ekonomi yang melanda warga. UU IKN juga telah menempatkan masyarakat adat semakin terpinggirkan sebab komunitas tidak pernah diajak bicara padahal mereka telah lama hidup di dalam wilayah yang dijadikan lokasi pemindahan ibu kota negara. Bahkan alokasi wilayah yang telah ditetapkan
pemerintah untuk kawasan IKN mencapai 256.142 hektar dimana di dalamnya juga terdapat kehidupan masyarakat adat.

 

“Tata kelola lingkungan dan hak atas tanah di indonesia yang amburadul, menimbulkan bencana dan konflik, karena kajian kelayakan suatu usaha senantiasa dilakukan untuk melegitimasi keputusan politik penguasa, bukan untuk melihat suatu usaha layak atau tidak. Begitu juga dengan pemindahan IKN ini,” kata Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional WALHI.

 

Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN menegaskan “Tidak adanya partisipasi penuh dan efektif masyarakat adat dalam pembentukan UU IKN adalah satu dari sekian banyak bentuk diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat di Indonesia. Pembangunan IKN tanpa persetujuan (Free Prior Informed Consent -FPIC) dari Masyarakat Adat adalah pelanggaran konstitusi sekaligus menjadi penanda suksesi yang paripurna penghancuran keberadaan Masyarakat Adat di IKN dan penegasan terhadap watak pemerintahan yg berkuasa hari ini sebagai pemerintah yang otoritarian sekaligus tunduk pada kepentingan para oligarki.”

 

Catatan media:
[1] Dalam dokumen JR, Tim Penggugat dari Aliansi Rakyat Gugat Pemindahan Ibu Kota Negara (ARGUMEN) mengatakan bahwa UU IKN ini bertentangan dengan – sedikitnya ada 8 pasal dalam UUD 1945 yang seharusnya menjadi falsafah dalam proses penyusunan hukum di negara ini. Pasal-pasal tersebut yakni:

 

a. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, menyatakan:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945”;
b. Pasal 22A UUD 1945, menyatakan:
“Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan
undang-undang”;
c. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, menyatakan:
“Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;
d. Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 menyatakan:

“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”;

e. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”;
f. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakan:
“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”;
g. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”;
h. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 menyatakan:

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman
dan peradaban”;

 

Kontak Media:
Muhammad Arman, Tim Kuasa Hukum Aliansi Rakyat Gugat Pemindahan Ibu Kota
Negara (ARGUMEN), +62 812-1879-1131
Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, +62 812-8985-0005
Rukka Sambolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara -AMAN, +62 812 1060794

Presiden Jokowi Resmikan PLTA Poso di Tengah Derita Berkempanjangan Warga

Demi listrik untuk industri, ratusan hektar wilayah adat masyarakat Danau Poso akan rusak bahkan akan
ditenggelamkan. Masyarakat Adat Danau Poso bersama koalisi organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari
KPA, WALHI, AMAN, JATAM, Solidaritas Perempuan, dan Bersihkan Indonesia, mengecam sikap pemerintah yangterus memaksa pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso yang mempertaruhkan keselamatan rakyat dan lingkungan.

 

Mega Proyek PLTA Poso yang berkapasitas 515 MW, telah menimbulkan berbagai masalah seperti perampasan tanah, kerusakan lingkungan dan kemiskinan. Padahal Danau Poso sebagai identitas dan sumber kehidupan masyarakat adat di sekitar Danau Poso sejak beratus tahun lamanya, menjadi tulang punggung perekonomian warga.

 

Kehidupan dan masa depan ribuan warga yang bermukim di hulu-hilir Danau Poso, sangat bergantung pada Danau terbesar ketiga di Indonesia itu. Lahan pertanian seperti sawah dan kebun di pinggiran danau misalnya, pengelolaannya mengikuti siklus air dari Danau Poso. Demikian juga dengan nelayan tradisional dan penambang pasir tradisional yang menjadikan Danau Poso sebagai sumber mata pencaharian. Danau Purba Jantungnya Wallace ini juga kaya akan biota laut yang selama ini terus dijaga oleh masyarakat, bahkan oleh para peneliti dunia menjadi laboratorium alam.

 

Kini, Danau Poso itu dicaplok, aliran airnya dibendung untuk membangkitan sumber energi listrik. Air sungai yang selama ini esensial bagi warga setempat, dimanfaatkan oleh PLTA Poso untuk menghidupkan 11 turbin PLTA Poso I (4×30 MW), PLTA Poso II (3×65 MW), dan PLTA extension (4×50 MW). Untuk memaksimalkan turbin PLTA, PT Poso Energy melakukan pengerukan sepanjang 12,8 km di outlet Danau Poso dan mereklamasi wilayah adat Danau Poso dengan dalih penataan sungai.

 

Untuk menjaga pasokan kebutuhan PLTA Poso, perusahaan mulai membicarakan rencana pembebasan tanah di sekeliling Danau Poso. PLTA Poso bertujuan untuk pemenuhan keterbutuhan listrik, sehingga skema pembebasan tanahnya kemungkinan besar menggunakan skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Namun sejauh apa proses pembebasan lahan 18 desa di sekeliling Danau Poso untuk PLTA I, maupun lokasi rencana PLTA III, tidak pernah ada keterbukaan proses penetapan lokasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum ditentukan.

 

Pembangunan PLTA Poso I telah ditentang masyarakat Danau Poso sejak awal pembangunan, karena sama sekali tidak mengikutsertakan peran dan partisipasi masyarakat, khususnya masyarakat adat. Suara-suara penolakan warga pun telah berulang kali disampaikan ke pemerintah, namun tidak digubris terlebih ditindaklanjuti. Kehadiran PLTA Poso juga pernah telah menyebabkan konflik antar masyarakat di Desa Sulewana dan Desa Peura, yang berlanjut hingga saat ini, beberapa mengalami intimidasi, dan ada proses ganti rugi yang tidak sesuai dan persoalan lainnya.

 

Terkait konteks keterlibatan, perempuan menghadapi tantangan berlapis karena sering kali tidak dianggap sebagai pemegang kepentingan untuk hadir dan menyampaikan pendapatnya. Padahal, peran dan pengalaman perempuan sangat relevan di berbagai lini kehidupan masyarakat, termasuk di dalam pengelolaan sumber-sumber agraria dan pelestarian lingkungan. Pemerintah justru terus mendorong agar PLTA ini untuk segera dioperasikan, meski hingga hari ini warga setempat menolak keras.

 

Upaya paksa pemerintah dalam pembangunan PLTA, mempertaruhkan keselamatan dan masa depan warga dan ruang hidupnya. Hal ini bisa terlihat dari kejadian uji coba pintu air bendungan PLTA Poso I pada April 2020 lalu yang mengakibatkan sekitar 266 hektar lahan sawah dan kebun di 16 desa/kelurahan di sekeliling Danau Poso tenggelam-terendam air; ladang penggembalaan tenggelam; 94 kerbau Desa Tokilo mati dalam rentang 2 bulan; hilangnya Tradisi Budaya Danau Mosango di wilayah Kompodongi; dan mata pencaharian nelayan tradisional terganggu. Uji coba yang dilakukan PLTA Poso ini juga merusak siklus air dan keanekaragaman hayati Danau Poso; mencemari sumber air warga; dan merendam rawa yang berperan penting bagi perkembangbiakan biota Danau Poso.

 

Di tengah derita dan jeritan warga itu, Presiden Jokowi justru meresmikan PLTA Poso Energy pada Jumat 25 Februari 2022. Sebuah langkah yang jelas-jelas melukai hati ribuan warga di sekitar Danau Poso, diiringi dengan rasa bangga telah meresmikan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) terbesar di Indonesia. Dengan mengatasnamakan EBT, melalui proyek ini pemerintah berdalih mengupayakan menjaga lingkungan dengan meninggalkan batubara. Nyatanya PLTA Poso yang selama ini sudah berjalan telah mengganggu ekologi, bahkan menyebabkan hilangnya endemik ikan yang berada di sungai Poso. Pun mengancam keberlangsungan kehidupan ribuan masyarakat adat yang tinggal di sekitar Danau Poso. Ironi apabila menyebut penenggelaman wilayah adat Danau Poso ialah untuk mengejar perkembangan EBT, tanpa memikirkan jauh resikonya terhadap masyarakat Danau Poso.

 

PLTA Poso dibangun bukan untuk kepentingan masyarakat Danau Poso. Presiden Jokowi lebih mengutamakan kepentingan korporasi, daripada warga yang selama ratusan tahun menjadikan Danau Poso sebagai sumber kehidupannya. Didukung dengan berbagai fasilitas kebijakan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten, kepentingan korporasi melenggang tanpa mempertimbangkan situasi dan keberlangsungan kehidupan manusia, ekosistem, dan lingkungan, bahkan mengabaikan pemenuhan hak asasi manusia. Listrik sebanyak 515 MW tidak mungkin dapat diserap seluruhnya oleh masyarakat di Poso atau pun bagian Sulawesi Tengah lainnya. PLTA Poso dibangun demi menjaga pasokan listrik industri tambang, terutama pemurnian tambang. Listrik yang dihasilkan oleh PLTA Poso, yaitu untuk mendukung industri tambang, terutama pemurnian tambang di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah.

 

Hal ini tidak berlebihan, mengingat PLTA Poso milik PT Poso Energy ialah anak usaha Kalla Energy yang merupakan sub-holding dari konsorsium bisnis Kalla Group. Kalla Group juga memiliki bisnis smelter untuk pemurnian tambang. Informasi lain juga menyebutkan bahwa di Sulawesi Tengah telah berdiri 20 pabrik pemurnian tambang yang memerlukan pasokan listrik yang tinggi.

 

Berdasar catatan potensi daya rusak lingkungan, praktik pelepasan tanah yang dipaksakan, jejak perusahaan dan daftar hitam penerima manfaat PLTA Poso, maka bukan tanpa sebab Masyarakat Adat Danau Poso menolak hadirnya PLTA Poso.

 

Untuk itu, melalui pernyataan sikap bersama ini, Masyarakat Adat Danau Poso bersama KPA, WALHI, AMAN, JATAM, Solidaritas Perempuan, dan Bersihkan Indonesia, menuntut:

 

  1. Presiden harus memastikan hak konstitusional Masyarakat Adat Danau Poso tidak terampas oleh
    kepentingan perusahaan dan melindungi serta menjamin pemenuhan hak atas sumber agraria
    masyarakat.
  2. Presiden dan Gubernur Sulawesi Tengah harus bertanggungjawab untuk segera menyelesaikan
    konflik agraria yang selama ini dialami Masyarakat Adat Danau Poso dan perusahaan.
  3. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk segera mencabut izin PT. Poso Energi secara
    keseluruhan, diutamakan PLTA I yang telah menggusur, menenggelamkan sawah dan kebun,
    merusak wayamasapi dan keramba, serta menghilangkan budaya, adat, dan pekerjaan tradisional.
  4. PT. Poso Energi segera tuntaskan masalah-masalah dampak lingkungan, sosial dan ekonomi yang
    ditimbulkan oleh operasional PLTA Poso seperti penggusuran dan pengerukan sungai.
  5. Kepala Balai Wilayah Sungai Sulawesi III mengembalikan siklus normal air Danau Poso seperti
    semula dan menentukan batas sempadan Danau Poso pada 509 Mdpl.
  6. Pemerintah Daerah untuk melibatkan Masyarakat Adat Danau Poso dalam setiap proses
    pengambilan kebijakan mengenai danau.
  7. Komnas HAM bersama Komnas Perempuan segera melakukan investigasi mendalam, terkait
    operasional PLTA Poso yang menenggelamkan wilayah sekitar Danau Poso sehingga
    menyebabkan tercerabutnya akar adat, budaya, dan sumber penghidupan Masyarakat Adat Danau
    Poso dan mengkondisikan lokasi menjadi ruang yang aman dan kondusif bagi seluruh warga,
    utamanya anak dan perempuan

 

Demikian pernyataan rilis ini kami sampaikan untuk diketahui dan segera ditindaklanjuti oleh para pemangku kepentingan dan kewenangan sebagaimana mestinya.

 

Narahubung:
● Masyarakat Adat Danau Poso : +62 822-9950-2992 (Yombu Wuri )
● Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) : +62 858 5223 3755 (Linda DR)
● Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) : +63 999 4120 029 (Dwi Sawung)
● Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) : +62 812 1879 1131 (Muhammad Arman)
● Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) : +62 813 1978 9181 (Melky Nahar)
● Solidaritas Perempuan : +62 812 3610 2978 (Gita Ayu A)
● Gerakan #BersihkanIndonesia : +62 898 9937 398 (Cyva)