Keterangan Ahli Tertulis Dalam Sengketa di PTUN Jakarta No. 542/G/TF/2023/PTUN-Jkt

Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., CCMs., Advokat
Universitas Atma Jaya Yogyakarta

              Yang Mulia Majelis Hakim Pemeriksa sengketa TUN No. 542/G/TF/2023/PTUN-Jkt di PTUN Jakarta, Para Penggugat dan para Kuasa Hukum para Penggugat, Kuasa Hukum DPR dan Kuasa Hukum Presiden/Pemerintah.  Perkenankan saya menyampaikan usulan/masukan sehubungan dengan pemeriksaan sengketa tata usaha negara ini berikut ini.

Pertama, Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang diajukan oleh para penggugat melalui para kuasa hukumnya pada hakikatnya merupakan gugatan yang berisi tuntutan terhadap “sikap diam/abai” pejabat pemerintahan dalam melaksanakan kewenangan yang ada padanya untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan, yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan, dapat dikualifikasi sebagai tindakan berupa tidak melakukan perbuatan konkret (by omission) atau dalam Bahasa Latin disebut sebagai passivum inesse actionem (tindakan faktual pasif) yang dilakukan oleh badan atau pejabat administrasi pemerintahan dalam perspektif Pasal 4 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Perbuatan melanggar hukum tersebut terjadi karena sikap diam/abai terhadap permohonan yang diajukan oleh AMAN dkk., yang pernah mengajukan Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023, perihal: Permohonan Pembentukan UU Tentang Masyarakat Hukum Adat, kepada DPR dan Presiden. Tindak lanjut atas permohonan tersebut sebenarnya merupakan kewajiban dari DPR dan Presiden berdasarkan kewenangan konstitusional yang diatribusikan oleh Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 UUD Negara RI Tahun 1945 yang memberikan kewenangan kepada DPR dan Presiden untuk melakukan tindakan faktual dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat adat yang salah satunya adalah melalui tindakan pengaturan oleh negara (moderantibus actionem civitatis) untuk membentuk undang-undang yang berkaitan dengan kewajiban konstitusional negara guna melaksanakan Pasal 18 B ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa: “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Hal itu berarti konstitusi secara eksplisit memerintahkan DPR dan Presiden sebagai pihak yang berwenang melakukan tindakan faktual untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat antara lain dengan membentuk undang-undang untuk membentuk UU Tentang Masyarakat Hukum Adat.

 

Kedua, tindakan perlindungan oleh negara (status praesidio mensurae) terhadap hak-hak rakyat in casu masyarakat adat seharusnya berupa: tindakan pengaturan (regulatory actio), tindakan memberikan jaminan atas hak-hak masyarakat adat (actio cavendi iura populorum indigenarum), tindakan memenuhi kebutuhan masyarakat adat (actus ad usus necessarios in communitatibus indigenae) dan tindakan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran atas hak-hak masyarakat adat (lex cogendi si est violatio iurium populorum indigenarum).  Keseluruhan rangkaian tindakan perlindungan terhadap masyarakat adat tersebut saling terkait/tak terpisahkan yang berada dalam lingkup fungsi pemerintahan (munera imperium). Jika gugatan dari para penggugat tersebut dikaitkan dengan hukum positif,  Pasal 3 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017 telah mengatur secara limitatif kriteria permohonan yang dapat diajukan melalui mekanisme fiktif positif/permohonan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan untuk mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan, yaitu: a. Permohonan dalam lingkup kewenangan badan dan/atau pejabat pemerintahan; b. Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan; c. Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan yang belum pernah ditetapkan dan/atau dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan; dan d. Permohonan untuk kepentingan Termohon secara langsung. Tindakan faktual pasif yang dipersoalkan dalam gugatan penggugat adalah tindakan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat yang terdiri dari rangkaian tindakan yang saling terkait sebagaimana telah disampakan di atas yang terdiri diekspresikan dalam bentuk serangkaian tindakan untuk melaksanakan kewajiban vide Pasal 18 B ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 dan menindaklanjuti permohonan yang diajukan oleh AMAN dkk., yang pernah mengajukan Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023. Dalam hal ini isu hukumnya bukan semata-mata hanya soal pembentukan UU Perlindungan Masyarakat Adat, tetapi pada hakikatnya (in essentia) adalah tindakan untuk memberikan perlindungan (opus providere tutelam) bagi masyarakat adat.

Ketiga,  Rancangan Undang-Undang Tentang Masyarakat Hukum Adat telah beberapa kali masuk dalam Proglegnas, termasuk ke dalam Prolegnas Priotas, sebagai berikut: a) Prolegnas Periode 2005-2009, dengan judul “RUU tentang Hak-Hak Masyarakat Adat”, dengan nomor urut 101; RUU tentang Pengakuan dan Penghormatan Masyarakat Adat dan Tradisinya, dengan nomor urut 273, berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 01/DPR-RI/III/2004-2005 Tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005-2009; b) Prolegnas Periode 2009-2014, dengan judul “RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat” dengan nomor urut 161.  Pada tahun 2013, RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas 2014, dengan nomor urut 26. c) Prolegnas Periode 2015-2019, dengan judul “RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat”, dengan nomor urut 42. Pada tahun 2017, RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas, dengan nomor urut 45. d) Prolegnas Periode 2020-2024, dengan judul “RUU tentang Masyarakat Hukum Adat, dengan nomor urut 160. Pada tahun 2020, RUU tentang Masyarakat Hukum Adat ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas, dengan nomor urut 22. RUU yang beberapa kali dimasukkan ke dalam Prolegnas dan tak kunjung diselesaikan selain telah melanggar prinsip anggaran berbasis kinerja  (performance based budgeting) sebagaiman diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU APBN karena perencanaan yang kunjung direalisasikan dengan dibentuk dan disahkannya UU terkait, juga tindakan perencanaan (consilio opus) yang tak kunjung diselesaikan serta melampaui batas tahun anggaran tahunan (one year budgeting) itu juga melanggar asas kepastian hukum (principium certitudinis legalis) dalam lingkup Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Keempat,  DPR dan Presiden sesungguhnya telah diwajibkan oleh UUD Negara RI Tahun 1945 untuk membentuk UU Tentang Masyarakat Hukum Adat, namun dengan perencanaan yang tidak pasti, mendiamkan permohonan untuk melaksanakan kewajiban tersebut (Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023) dan serangkaian tindakan yang menunjukkan sikap abai (indifferens habitus)  dan tindakan penundaan berlarut (mora actio) yang dilakukan DPR dan Presiden telah mengakibatkan pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Hukum Adat terkatung-katung/tidak jelas (exilii), sehingga berdampak pada ketidakpastian hukum (legalis dubitationem). Tidak ada perlindungan hukum terhadap masyarakat adat in casu Para Penggugat yang mengalami kerugian yang nyata mulai dari praktik penggusuran perampasan wilayah adat, kriminalisasi Masyarakat Adat dan hilangnya identitas Para Penggugat sebagai Masyarakat Adat di Indonesia yang dikemukakan secara lengkap dalam fakta-fakta hukum gugatan para penggugat perlu ditempatkan dalam konteks tindakan faktual pasif yang menimbulkan kerugian terhadap hak-hak masyarakat adat vide Pasal 18 B jo Pasal 28I ayat (3) dan (4) UUD Negara RI 1945 ((3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan  perkembangan zaman dan peradaban. (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan  hak  asasi  manusia  adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah) serta Pasal 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 6 ayat (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah; dan Pasal 6 ayat (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman).

 

Demikian, keterangan yang merupakan usulan/masukan bagi pertimbangan Majelis Hakim pemeriksa sengketa TUN No. No. 542/G/TF/2023/PTUN-Jkt jika berkenan dipertimbangkan. Atas kebijaksanaan Majelis Hakim yang memberikan kesempatan menyampaikan masukan/usulan ini, saya menghaturkan terima sebesar-besarnya.

 

Jakarta, 21 Maret 2024

Hormat saya,

 

(Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., CCMs., Advokat)

Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 

 

Tiga Ahli Memberi Keterangan di Depan Majelis Hakim PTUN Jakarta. Perintah Konstitusi, UU Masyarakat Adat Harus Segera disahkan!

Kamis, 21 Maret 2024, sidang lanjutan terkait gugatan komunitas masyarakat adat dari beberapa daerah melalui Aliansi Masyarakat Adat Nusanta (AMAN), dan di dampingi Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat (PPAN) sebagai kuasa hukum penggugat dalam sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, dengan agenda mendengar keterangan ahli.

 

Gugatan Dalam Sengketa di PTUN Jakarta No. 542/G/TF/2023/PTUN-JKT, itu ditujukan pada Presiden dan DPR RI karena dianggap telah mengabaikan amanat konstitusi dan janji membentuk Undang-Undang Masyarakat Adat sejak 20 tahun lalu.

 

Tiga ahli yang dihadirkan yakni:

    1. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.,CCMs., Advokat, Ahli Administrasi Negara dan Keuangan Negara – Atmajaya Yogyakarta.
    2. Yance Arizona, SH, MH, MA., Ahli HTN dan Masyarakat Adat – UGM
    3.  Ismail Hasani, S.H., M.H., Ahli Peraturan Perundang-Undangan – UIN Syarif Hidayatullah.

 

Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., CCMs, mengatakan, DPR dan Presiden sesungguhnya telah diwajibkan oleh UUD Negara RI Tahun 1945 untuk membentuk UU Tentang Masyarakat Hukum Adat, namun dengan perencanaan yang tidak pasti, mendiamkan permohonan untuk melaksanakan kewajiban tersebut (Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023) dan serangkaian tindakan yang menunjukkan sikap abai (indifferens habitus)  dan tindakan penundaan berlarut (mora actio) yang dilakukan DPR dan Presiden telah mengakibatkan pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Hukum Adat terkatung-katung/tidak jelas (exilii), sehingga berdampak pada ketidakpastian hukum (legalis dubitationem).

Selengkapnya baca:

Keterangan Ahli Tertulis Dalam Sengketa di PTUN Jakarta No. 542/G/TF/2023/PTUN-Jkt

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat (PPAN).

Tidak ada perlindungan hukum terhadap masyarakat adat in casu Para Penggugat yang mengalami kerugian yang nyata mulai dari praktik penggusuran perampasan wilayah adat, kriminalisasi Masyarakat Adat dan hilangnya identitas Para Penggugat sebagai Masyarakat Adat di Indonesia yang dikemukakan secara lengkap dalam fakta-fakta hukum gugatan para penggugat perlu ditempatkan dalam konteks tindakan faktual pasif yang menimbulkan kerugian terhadap hak-hak masyarakat adat vide Pasal 18 B jo Pasal 28I ayat (3) dan (4) UUD Negara RI 1945 ((3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan  perkembangan zaman dan peradaban. (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan  hak  asasi  manusia  adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah) serta Pasal 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 6 ayat (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah; dan Pasal 6 ayat (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman).

 


Sebelumnya, pada Kamis, 14 Maret 2024, PPMAN juga mendampingi 6 orang saksi fakta masyarakat adat dari berbagai daerah, yakni:

  1. Abdon Nababan, yang bersaksi telah mengawal pengesahan RUU Masyarakat Adat sejak Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) tahun 1999.
  2. Effendi Buhing, seorang Ketua Adat Laman Kinipan dari Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, mengungkapkan rentetan konflik yang mereka alami dengan perusahaan sawit yang menyerobot lahan adat. Peristiwa ini terjadi pada 22 Juni 2020.
  3. Faris Bobero, anggota adat O’Hoberera Manyawa (suku Tobelo di luar hutan) di Maluku Utara yang berkali-kali diintimidasi saat melakukan advokasi pada masyarakat adat Tobelo.
  4. Ferdinandes Danse, masyarakat adat Golo Munde, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, yang menjadi saksi atas kasus Masyarakat Adat yang menjadi korban kriminalisasi karena menduduki tanah adatnya dan tanah adat tersebut diklaim sebagai Kawasan TWA Ruteng dan sekaligus mengadvokasi terkait dengan adanya penerbitan peraturan daerah untuk pengakuan masyarakat adat, namun Perda tersebut tidak memberikan Perlindungan kepada Masyarakat Adat.
  5. Momonus, masyarakat adat Dayak Iban Semunying Jaya di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, yang pernah menjabat kepala desa di sana tetapi tidak pernah mendapatkan sosialisasi dari perusahaan sawit yang beroperasi di desa mereka.
  6. Hermina Mawa, perempuan penenun dan ketua kelompok tani di Komunitas Masyarakat Adat Rendu, Kabupaten Nagekeo, NTT, yang menjadi korban dari proyek strategis Nasional pembangunan waduk Lambo, korban mengalami kerugian secara ekonomi, ruang,wilayah dan peralatan untuk berekspresi, tempat ritual tergusur, dan akan berdampak pada hilangnya asal usulnya sebagai perempuan adat, demi pembangunan proyek Waduk Lambo oleh pemerintah di wilayah adat mereka.
Para saksi Fakta