Kamis, 21 Maret 2024, sidang lanjutan terkait gugatan komunitas masyarakat adat dari beberapa daerah melalui Aliansi Masyarakat Adat Nusanta (AMAN), dan di dampingi Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat (PPAN) sebagai kuasa hukum penggugat dalam sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, dengan agenda mendengar keterangan ahli.
Gugatan Dalam Sengketa di PTUN Jakarta No. 542/G/TF/2023/PTUN-JKT, itu ditujukan pada Presiden dan DPR RI karena dianggap telah mengabaikan amanat konstitusi dan janji membentuk Undang-Undang Masyarakat Adat sejak 20 tahun lalu.
Tiga ahli yang dihadirkan yakni:
-
- W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum.,CCMs., Advokat, Ahli Administrasi Negara dan Keuangan Negara – Atmajaya Yogyakarta.
- Yance Arizona, SH, MH, MA., Ahli HTN dan Masyarakat Adat – UGM
- Ismail Hasani, S.H., M.H., Ahli Peraturan Perundang-Undangan – UIN Syarif Hidayatullah.
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., CCMs, mengatakan, DPR dan Presiden sesungguhnya telah diwajibkan oleh UUD Negara RI Tahun 1945 untuk membentuk UU Tentang Masyarakat Hukum Adat, namun dengan perencanaan yang tidak pasti, mendiamkan permohonan untuk melaksanakan kewajiban tersebut (Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023) dan serangkaian tindakan yang menunjukkan sikap abai (indifferens habitus) dan tindakan penundaan berlarut (mora actio) yang dilakukan DPR dan Presiden telah mengakibatkan pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Hukum Adat terkatung-katung/tidak jelas (exilii), sehingga berdampak pada ketidakpastian hukum (legalis dubitationem).
Selengkapnya baca:
Keterangan Ahli Tertulis Dalam Sengketa di PTUN Jakarta No. 542/G/TF/2023/PTUN-Jkt
Tidak ada perlindungan hukum terhadap masyarakat adat in casu Para Penggugat yang mengalami kerugian yang nyata mulai dari praktik penggusuran perampasan wilayah adat, kriminalisasi Masyarakat Adat dan hilangnya identitas Para Penggugat sebagai Masyarakat Adat di Indonesia yang dikemukakan secara lengkap dalam fakta-fakta hukum gugatan para penggugat perlu ditempatkan dalam konteks tindakan faktual pasif yang menimbulkan kerugian terhadap hak-hak masyarakat adat vide Pasal 18 B jo Pasal 28I ayat (3) dan (4) UUD Negara RI 1945 ((3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah) serta Pasal 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 6 ayat (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah; dan Pasal 6 ayat (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman).
Sebelumnya, pada Kamis, 14 Maret 2024, PPMAN juga mendampingi 6 orang saksi fakta masyarakat adat dari berbagai daerah, yakni:
- Abdon Nababan, yang bersaksi telah mengawal pengesahan RUU Masyarakat Adat sejak Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) tahun 1999.
- Effendi Buhing, seorang Ketua Adat Laman Kinipan dari Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, mengungkapkan rentetan konflik yang mereka alami dengan perusahaan sawit yang menyerobot lahan adat. Peristiwa ini terjadi pada 22 Juni 2020.
- Faris Bobero, anggota adat O’Hoberera Manyawa (suku Tobelo di luar hutan) di Maluku Utara yang berkali-kali diintimidasi saat melakukan advokasi pada masyarakat adat Tobelo.
- Ferdinandes Danse, masyarakat adat Golo Munde, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, yang menjadi saksi atas kasus Masyarakat Adat yang menjadi korban kriminalisasi karena menduduki tanah adatnya dan tanah adat tersebut diklaim sebagai Kawasan TWA Ruteng dan sekaligus mengadvokasi terkait dengan adanya penerbitan peraturan daerah untuk pengakuan masyarakat adat, namun Perda tersebut tidak memberikan Perlindungan kepada Masyarakat Adat.
- Momonus, masyarakat adat Dayak Iban Semunying Jaya di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, yang pernah menjabat kepala desa di sana tetapi tidak pernah mendapatkan sosialisasi dari perusahaan sawit yang beroperasi di desa mereka.
- Hermina Mawa, perempuan penenun dan ketua kelompok tani di Komunitas Masyarakat Adat Rendu, Kabupaten Nagekeo, NTT, yang menjadi korban dari proyek strategis Nasional pembangunan waduk Lambo, korban mengalami kerugian secara ekonomi, ruang,wilayah dan peralatan untuk berekspresi, tempat ritual tergusur, dan akan berdampak pada hilangnya asal usulnya sebagai perempuan adat, demi pembangunan proyek Waduk Lambo oleh pemerintah di wilayah adat mereka.