PPMAN: TUNTUTAN 3 TAHUN PENJARA KEPADA MIKAEL ANE MERUPAKAN BURUK RUPA PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA TERHADAP MASYARAKAT ADAT

Siaran Pers

 

Ruteng (31/08/2023) – Mikael Ane, seorang tokoh Masyarakat Adat Ngkiong, Manggarai, NTT terancam 3 tahun penjara ditambah denda Rp. 300 juta subsidair 6 bulan penjara. Ancaman tersebut dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) hari ini.

 

Mikael Ane dituduh melanggar Pasal 36 angka 19 dan Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Singkatnya, ia didakwa atas tindakan penyerobotan lahan Taman Wisata Alam Ruteng.

 

Pasca pembacaan tuntutan, Penasehat Hukum terdakwa dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Marsel Suliman S.H, mengungkapkan keprihatinan atas situasi hukum yang berlaku tanpa melihat kondisi substansi Masyarakat Adat.

 

“Tuntutan tersebut menguatkan asumsi kami bahwa Masyarakat Adat sangat rentan terusir dari wilayahnya sendiri. Klien kami mengolah tanah adatnya, yang di klaim sepihak sebagai tanah Taman Wisata Alam Ruteng. Apa artinya? Hal ini berarti tidak ada pengakuan (rekognisi) dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat,” ungkapnya.

 

Advokat tersebut melanjutkan penjelasannya atas sikap kliennya dalam memandang putusan atas dirinya. Kliennya tetap akan memperjuangkan hak dasar sebagai Masyarakat Adat sebagaimana ditegaskan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B.

 

“Bapak Mikael Ane tetap konsisten dan tetap berjuang atas pengakuan wilayah adatnya sebagaimana diakui di dalam konstitusi,” terangnya

 

Persoalan yang dihadapi oleh Mikael Ane bukanlah hal baru di republik ini. PPMAN mengungkapkan bahwa selama Januari sampai Juni 2023, telah terjadi konflik yang terkait wilayah kelola adat dan sumber daya alam. Umumnya bermuara pada upaya kriminalisasi Masyarakat Adat.

 

“Kasus Bapak Mikael Ane menambah daftar panjang ancaman kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat,” terang Syamsul Alam Agus, S.H, Ketua Badan Pengurus PPMAN.

 

Pria yang kerap disapa dengan nama Alam tersebut juga menambahkan akan situasi ke depan yang mungkin terjadi terhadap Masyarakat Adat di seluruh Indonesia dengan berkaca pada tuntutan terhadap Mikael Ane.

 

“Pengakuan dan perlindungan dari negara sering terlambat dibandingkan dengan keluarnya ijin-ijin penguasaan lahan baik oleh korporat maupun negara itu sendiri melalui badan usaha miliknya. Kami kuatir, status Masyarakat Adat hanyalah sebatas tulisan di atas kertas, tidak nyata di lapangan,” tambahnya.

 

Sebagai informasi tambahan, Mikael Ane juga dituntut dirampas bangunan rumahnya untuk dihancurkan. Ia dikenakan tuntutan tidak hanya fisik namun juga mental karena terancam kehilangan semua yang ia miliki dan usahakan sepanjang hidupnya. Atas dasar itulah, Marsel Suliman bersama tim Penasehat Hukum lainnya akan mengajukan nota pembelaan (pledoi) menjelaskan posisi kasus yang menimpa klien mereka. Tanggal 4 September 2023 diagendakan pembacaan pledoi yang dimaksud.

 

“Persoalan batas wilayah dan proses penetapannya harus dilihat tidak hanya apa yang tertulis, tetapi bagaimana cara negara memperlakukan Masyarakat Adat sebagai entitas komunitas yang lebih dulu ada daripada negara itu sendiri. Mikael Ane layak dibebaskan dari tuntutan karena apa yang dikerjakan adalah wilayah adat mereka. Di dalam pembelaan nanti akan kami jelaskan”, terangnya.

 

Marsel Suliman juga menyoroti pengenaan pasal tuntutan yang dikenakan terhadap kliennya. Ia mengungkapkan jika pasal yang dikenakan adalah pasal yang sudah tidak berlaku lagi. Pasal yang dituduhkan sudah dicabut oleh Pasal 112 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Kerusakan Hutan sebagaimana diubah terakhir kalinya dengan Pasal 37 UU Cipta Kerja. Semakin kuat dugaan kriminalisasi dilakukan agar Masyarakat Adat kehilangan ruang hidup dan kelola atas tanah adat mereka.

 

“Pasal 78 ayat (2) itu sudah tidak berlaku lagi. Sudah di cabut oleh Pasal 112 UU Kerusakan Hutan. Kuat dugaan bahwa kasus ini dipaksakan sebagai upaya pelemahan Masyarakat Adat mengelola wilayah adatnya. Pertanyaan paling segera untuk dijawab adalah, mana yang terpenting, manusia untuk hutan atau hutan untuk manusia?” terangnya.

 

Di persidangan sebelumnya dengan agenda pemeriksaan keterangan Ahli, terungkap bahwa undang- Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak ditetapkan dan disahkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja tanggal 30 Desember Tahun 2022.

 

Dalam Pasal 185 Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, berbunyi; “Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O2O Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.

 

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

 

Marsel Suliman, S.H – 082336300460

Ermelina Singereta, S.H, M.H – 08121339904

TUNTUTAN JPU TERHADAP DUA ORANG O’HONGANA MANYAWA BUKTI KETIDAKADILAN NEGARA TERHADAP MASYARAKAT ADAT

PRESS RELEASE

 

Halmahera Timur  – Tim kuasa hukum terdakwa Samuel Gebe (36) dan Alen Baikole (31) menyatakan keberatan atas tuntutan 18 tahun penjara terhadap kliennya. Mereka menilai bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) keliru menerapkan tuntutan berdasarkan fakta persidangan (30/8/2023).

 

Di dalam persidangan, tidak ada keterangan saksi yang melihat langsung, mendengarkan dan mengetahui bahwa kliennya merencanakan atau merancang pembunuhan, selain itu tidak ada satu saksi pun yang melihat langsung kliennya yang melakukan pembunuhan, saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan oleh Jaksa penuntut Umum merupakan saksi yang mengetahui peristiwa tersebut berdasarkan informasi dari pihak lainnya yang masih harus divalidasi kebenarannya. Oleh sebabnya, kesaksian tersebut tidak bernilai sebagai alat bukti yang sah.

 

“Saksi-saksi yang dihadirkan JPU hanyalah saksi testimonium de Auditu, saksi yang mendengarkan dari pihak lainnya. Maka nilai pembuktiannya diragukan kebenarannya,” ini pun sudah disampaikan oleh Ahli yang kami ajukan pada agenda keterangan Ahli pada persidangan yang lalu, ungkap Hendra Kasim, S.H, M.H, salah seorang Kuasa Hukum terdakwa.

 

Hendra Kasim juga menyoroti penerapan pasal tuntutan pembunuhan berencana merupakan sebuah pasal paksaan terhadap kliennya. Stigmatisasi lebih kental dibandingkan dengan alat bukti yang disajikan di muka persidangan. Di dalam tuntutan JPU, disebutkan melalui keterangan saksi bahwa ada serangan dari “orang utan” yang memiliki ciri-ciri celana merah dan rambut panjang atau gondrong.

 

“Fakta persidangan, menurut pandangan kami, sangat jelas dipengaruhi asumsi stigmatisasi. Identifikasi liar atas ciri-ciri fisik disematkan kepada ciri-ciri suku tertentu. Di pihak lain, dalam fakta yang terungkap di persidangan tidak ada satu pun saksi yang memberikan keterangan secara nyata dengan ciri-ciri yang disebutkan atau dituduhkan oleh JPU,” lanjutnya.

 

Menyikapi tuntutan JPU yang telah dibacakan, tim kuasa hukum akan segera membuat nota pembelaan terhadap kliennya. Diharapkan, melalui pembelaan tersebut dapat menerangkan secara jelas posisi kasus yang dihadapi kliennya.

 

“Fakta bahwa telah terjadi pembunuhan adalah benar, namun siapa yang membunuh ini yang paling penting untuk kita temukan bersama-sama. Sebab keadilan tidak memandang bentuk fisik apalagi latar belakang etnis. Kami akan siapkan pledoi dengan sebaik-baiknya,” terangnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi kuasa hukum terdakwa:

 

Hendra Kasim, S.H, M.H – 0823 4499 9986
Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812 1339 904

LIVING LAW: ANCAMAN BAGI MASYARAKAT ADAT DAN KEBERAGAMAN?

Pengesahan UU No. 1/2023 Tentang Kita Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat pengaturan terhadap perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang hidup sebagai tindak pidana, menuai pro dan kontra. Pengaturan ini dinilai cukup akomodatif sekaligus mengkonfirmasi eksistensi hukum adat, namun pada sa’at yang bersamaan dinilai mereduksi nilai-nilai yang hidup dan berkembang (living law) ke dalam sistem hukum yang normatif – positivistik.

 

“Pengaturan ini juga tidak serta-merta dapat dimaknai sebagai bentuk pengakuan terhadap komunitas masyarakat adat tertentu. Apalagi pada faktanya, paradigma penegakan hukum terhadap pengakuan masyarakat adat, masih diletakkan pada pengakuan secara legal administratif dalam bentuk peraturan daerah dan/atau keputusan administratif. Padahal konstitusi telah mengamanatkan pembentukan UU Tentang Masyarakat Adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

 

“Ketiadaan UU Tentang Masyarakat Adat turut memperumit konsep living law dalam KUHP sebagai tindak pidana dalam kaitannya dengan masyarakat adat yang selalu menjadi korban kriminalisasi, penggusuran, perampasan wilayah adat dan ruang hidup lainnya”, kata Syamsul Alam Agus, Ketua Umum Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Pria yang juga sedang mengadvokasi beberapa komunitas masyarakat adat itu bersama beberapa pengacara yang terhimpun dalam PPMAN, menuturkan bahwa per 1 Januari s/d 30 Juni 2023, PPMAN telah menangani sejumlah 27 (dua puluh tujuh) kasus masyarakat adat, dengan rincian: 11 (sebelas) kasus terkait perampasan lahan masyarakat adat, 10 (sepuluh) kasus terkait kriminalisasi masyarakat adat, 2 (dua) kasus kekerasan terhadap perempuan, 2 (dua) kasus lainnya terkait dengan pengrusakan aset.

 

“Pendekatan hukum terhadap kasus-kasus sebagaimana tersebut, tidak akomodatif terhadap hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat juga, bahkan penegak hukum tak jarang menegasikan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat dengan hukum nasional”, kritiknya.

 

Ancaman Bagi Kelompok Minoritas

 

Menurut Alam, pengaturan living law sebagai tindak pidana juga bertentangan dengan asas legalitas dalam hukum pidana.

 

“Dalam asas legalitas terkandung makna, bahwa hukum harus tertulis (lexs cripta), hukum harus jelas / tidak ambigu (lex certa), tidak boleh ditafsirkan secara analogi (lex stricta) dan tidak boleh diberlakukan surut (lex praevia). Rumusan Pasal 12 ayat (2) KUHP baru ini mengandung ketidakpastian hukum dan berpotensi melanggar hak asasi manusia, sebab hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) masih banyak yang tidak tertulis dan plural, karenanya dapat digunakan sebagai alat kriminalisasi terhadap setiap orang yang distigma menyimpang atau berbeda dengan kelompok masyarakat pada umumnya, utamanya kelompok minoritas”, jelasnya.

 

Untuk diketahui, UU No. 1/2023 Tentang Kita Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disahkan dan mencabut Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam Pasal 12 ayat (2) KUHP yang baru, mengatur: “Untuk dinyatakan sebagai Tindak Pidana, suatu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundang-undangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”.

 

***