Kuasa Hukum Masyarakat Adat Tobelo Dalam keberatan dengan Sikap Hakim PN Soasio

Tidore – Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam saat melakukan pendampingan hukum terhadap terdakwa Alen Baikole dan Samuel Gebe atas dakwaan pembunuhan berencana, melakukan protes keras kepada Kemal S.H, yang merupakan salah satu hakim anggota PN Soasio saat lanjutan pemeriksaan saksi a de charge (02/08/2023).

 

Tim kuasa hukum menilai bahwa hakim tersebut tidak netral dalam melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang keterangannya meringankan terdakwa, dengan kerapkali melontarkan diksi yang mencibir.

 

“Kami mengajukan keberatan dimuka persidangan terhadap Sikap Hakim Anggota Kemal karena pertanyaan dan pernyataannya yang tidak mencerminkan etika dan prilaku hakim.” Terang Ermelina Singereta yang merupakan salah satu kuasa hukum terdakwa

 

“Padahal dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim, sangat jelas bahwa hakim tidak boleh berpihak serta dilarang menyudutkan dan melontarkan umpatan kepada para pihak serta kuasanya. Tambah Erna, sapaan akrab Ermelina Singereta

 

Selain itu, keberatan yang di lontarkan kuasa hukum terdakwa juga ditujukan atas sikap dan tindakan hakim Kemal yang secara berulang secara keliru mengaitkan perkara Praperadilan (Prapid) yang sebelumnya di ajukan terdakwa dengan fakta pokok perkara yang tidak berkaitan

 

Mohammad Maulana, yang juga salah satu Tim Penasihat Hukum Terdakwa menjelaskan ketika persidangan, Hakim Kemal kerapkali melontarkan pernyataan yang seolah menstigma dan mengambil kesimpulan bahwa pelaku pembunuhan adalah masyarakat tobelo dalam dengan mengaitkannya dengan ciri-ciri rambut gondrong

 

Fakta yang terurai di persidangan tidak ada yang menyebutkan fakta pembunuhan ini dengan masyarakat adat tobelo dalam dan selain itu, terdakwa juga di rentang waktu tempus peristiwa tersebut terjadi, tidak berambut gondrong dan tengah bekerja, sebagaimana saksi yang menerangkan alibinya

 

Dalam persidangan pemeriksaan saksi tersebut, terungkap fakta persidangan bahwa terdakwa Alen Baikole ketika peristiwa pembunuhan terjadi berada di kampung Tukur-Tukur, tidak seperti yang dituduhkan kepadanya. Kesemua saksi yang dihadirkan memberikan keterangan yang sama.

 

“Menjadi fakta persidangan hari ini menjelaskan bahwa Alen Baikole berada di kampung, bukan di lokasi pembunuhan sebagaimana dituduhkan. Kami berharap Hakim dapat jernih memilah dan menilai setiap kesaksian,”.

 

Sementara pengacara terdakwa lainnya, Hendra Kasim menambahkan, proses persidangan ini berpotensi menjadi tidak objektif karena Salah satu hakim anggota pernah menjadi hakim tunggal di persidangan pra peradilan di kasus ini. Pengacara terdakwa berpendapat bahwa pengetahuan atas fakta hakim di persidangan sebelumnya dapat mempengaruhi perspektif dan menimbulkan prasangka terhadap terdakwa.

 

“Klien kami sudah dalam posisi dirugikan akibat penunjukkan salah satu hakim anggota yang sebelumnya telah menjadi hakim di persidangan pra peradilan. Karena beliau sudah membuat putusan di awal dan mengetahui fakta-fakta yang kami nilai tidak diindahkan oleh hakim tersebut,” Tegas Hendra Kasim.

 

Hendra kembali mengingatkan bahwa ada indikasi pelanggaran terhadap Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim terutama dalam poin yang mengatur terkait integritas.

 

“Penerapan terkait integritas Hakim ada pengaturan soal Prasangka dan Pengetahuan Atas Fakta. Sewajarnya apabila mengikuti aturan tersebut maka Hakim di pra peradilan tidak boleh menjadi hakim pada pokok perkara (persidangan acara biasa). Sebab sudah ada pengetahuan dan prasangka sebelumnya. Tentu kami akan melaporkan ini ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung. Sebagai upaya agar proses persidangan tetap objektif” jelasnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi narahubung berikut ini:

Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904
Hendra Kasim, S.H, M.H – 0823-4499-9986

 

***

TERKAIT INSIDEN PEMANAHAN WARGA DI HALMAHERA TENGAH, PPMAN MEMINTA POLISI AGAR PROFESIONAL DAN PROSEDURAL

RILIS MEDIA – untuk segera diberitakan

 

Jakarta, 4 Juli 2023 – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) meminta pihak Kepolisian dalam hal ini Polda Maluku Utara agar profesional dan prosedural merespon insiden pemanahan terhadap 2 orang korban, warga Halmahera Tengah. Permintaan tersebut dilayangkan PPMAN agar Polda Maluku Utara tidak terkesan selalu menyalahkan komunitas Masyarakat Adat yang berdiam di dalam hutan atas setiap insiden. Apalagi, pihak kepolisian belum memiliki informasi yang cukup terhadap pelaku yang dikategorikan sebagai Orang Tidak Dikenal (OTK).

 

“Klasifikasi OTK ini jika dikaitkan dengan wilayah pengejaran pelaku ke dalam hutan menimbulkan kekhawatiran bagi PPMAN atas eksistensi Masyarakat Adat khususnya yang berdiam di dalam hutan. Apalagi pengerahan personil gabungan merupakan bentuk respon serius atas informasi yang masih perlu didalami. Polisi harus profesional dan prosedural. Jangan sampai sewenang-wenang,” ungkap Syamsul Agus Alam, Koordinator PPMAN.

 

PPMAN menilai aksi pengejaran pelaku ke dalam hutan selama beberapa hari belakang melahirkan persepsi bahwa pelaku merupakan kelompok Masyarakat suku tertentu yang mendiami kawasan hutan tersebut. Padahal, dengan klasifikasi OTK tersebut, banyak kemungkinan ataupun asumsi yang dapat dibangun tentang siapa pelaku pemanahan tersebut. Hal lainnya, stigmatisasi terhadap kelompok Masyarakat Adat tertentu merupakan bentuk pelanggaran atas hak asasi manusia. Penerapan teori kausalitas (sebab-akibat) harusnya diterapkan sejak awal penyelidikan dilakukan.

 

“Misalnya, ambil contoh Masyarakat Adat Tobelo Dalam. Mereka kerap mendapat stigmatisasi dan kriminalisasi atas suatu peristiwa tindak pidana. Sebagian mereka ada di dalam hutan. Oleh sebab itu, penting bagi semua pihak meletakkan konflik di kawasan hutan dalam perspektif yang lebih komprehensif. Kajian hukum kausalitas tidak diterapkan secara serampangan,” lanjutnya.

 

PPMAN juga menyampaikan rasa simpati terhadap korban pemanahan di Halmahera Tengah. Di tengah gencarnya eksploitasi pertambangan dan kehutanan khususnya di Halmahera Tengah, ancaman konflik antar masyarakat maupun konflik struktural merupakan peristiwa nyata. Perlu perhatian bersama untuk menciptakan kondisi aman untuk semua.

 

“Kami berharap kedua korban akan lekas membaik, namun yang tak kalah penting dalam pandangan kami adalah bagaimana ada sebuah kebijakan tata kelola kawasan hutan yang memberi perlindungan bagi semua, termasuk Masyarakat Adat yang mendiami kawasan hutan. Hutan merupakan ruang hidup terpenting bagi mereka. Harus disikapi secara hati-hati dengan penuh penghormatan atas hak-hak Masyarakat Adat sesuai aturan perundang-undangan,” tutupnya.

 

##############
Sekilas mengenai PPMAN:

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) adalah organisasi kemasyarakatan yang merupakan organisasi sayap dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Organisasi PPMAN berbentuk perkumpulan yang keanggotaannya terdiri dari advokat dan ahli hukum yang peduli dan berkomitmen pada kerja pembelaan dan pemajuan hak – hak Masyarakat Adat diseluruh nusantara. Sejarah terbentuknya PPMAN melalui pelaksanaan Konferensi Nasional (KONFERNAS) Pertama yang diselenggarakan di komunitas adat Sassa’, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan pada tanggal 25 – 27 September 2013.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Syamsul Alam Agus, S.H – Koordinator Nasional PPMAN

0811-8889-083

Lawan Kriminalisasi PT. Mega Haltim Mineral, Masyarakat Adat Tobelo Boeng Laporkan Ke Komnas HAM

Minamin (5/6/2023) – Masyarakat Adat Tobelo Boeng Desa Minamin yang mengalami intimidasi dan potensi kriminalisasi atas laporan pihak PT Mega Haltim Mineral (MHM) ke Polsek Wasile Selatan melaporkan kasusnya kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM). Disaksikan oleh warga dan Kepala Adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke, Novenia Ambuea (36 thn) salah seorang perwakilan Masyarakat Adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin diterima laporannya oleh 2 orang Komisioner Komnas HAM secara langsung melalui media komunikasi Zoom.

 

Novenia menyampaikan keresahan ruang hidup yang semakin sempit serta tekanan yang dialami oleh warga paska MHM masuk ke wilayah Desa Minamin.

 

“Keberadaan kami sudah ada sebelum perusahaan ada. Sekarang mereka masuk tanpa ijin, ketika kami tolak, mereka laporkan kami ke polisi. Apa Negara ini sudah tidak mengakui kami lagi, Masyarakat Adat?”, ungkap Nove ketika diminta Komisioner Komnas HAM menceritakan latar belakang kasus yang dihadapinya.

 

Laporan Masyarakat Adat Tobelo Boeng Minamin difasilitasi oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) selaku pendamping hukum dari Masyarakat Adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin , sebagai pihak terlapor. Ketua PPMAN, Syamsul Alam Agus, menekankan bahwa pertemuan antara Masyarakat Adat dan Komnas HAM sangat penting agar Komnas HAM mendapatkan informasi langsung atas peristiwa hukum yang dialami oleh Masyarakat Adat.

 

“Kasus pelanggaran hak asasi manusia, khususnya apa yang dialami oleh Masyarakat Adat Tobelo Boeng, sangat baik bagi Komisioner Komnas HAM mendengar keterangan langsung dari warga. Saudari Nove jangan ragu menjelaskan peristiwa yang dialami kepada Komnas HAM,” ucap Syamsul Alam Agus kepada Novenia agar lebih dalam menceritakan peristiwa yang dialaminya.

 

MHM melaporkan Nove dan Yulius Dagali (53 Thn) ke Polsek Wasile Selatan akibat ada penolakan warga yang berujung pada pemblokiran jalan masuk perusahaan. MHM menggunakan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Adapun ancaman pasal tersebut adalah dipidana dengan hukuman kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta. Di pihak lainnya, MHM belum melakukan kewajibannya terhadap masyarakat sebelum melakukan aktivitasnya.

 

Komisioner Komnas HAM, Hari Kurniawan, S.H dan Anis Hidayah, S.H, M.H, dalam tanggapannya bahwa Komnas HAM menerima pelaporan dan akan dengan segera merespon pengaduan tersebut dan memerintahkan salah seorang analis Komnas HAM mengawal kasus ini serta mengumpulkan informasi lanjutan.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi tim kuasa hukum Masyarakat Adat Tobelo Boeng dari Perhimpunan Pembela Adat Nusantara (PPMAN):

 

– Hendra Kasim, S.H, M.H – 082344999986
– Syamsul Alam Agus, S.H – 08118889083 (Koordinator PPMAN)

Masyarakat Adat Tobelo Dalam Dikriminalisasi oleh Polres Halmahera Timur. PPMAN : Batalkan Pemeriksaan Tahap II Terhadap Masyarakat Adat Tobelo Dalam

URGENT ACTION

 

Rekan2 sekalian,
Komunitas Masyarakat Adat Se-Nusantara dan Jaringan Organisasi Masyarakat Sipil

 

Mohon dukungannya untuk bersolidaritas atas upaya permohonan dua orang anggota masyarakat adat tobelo dalam yang saat ini di kriminalisasi oleh Polres Halmahera Timur.

 

Alen Baikole dan Samuel Gebe alias Samuel di kriminalisasi oleh Polres Halmahera Timur pada Maret 2023. Ke dua anggota masyarakat adat di tangkap dan disangkakan sebagai pelaku pembunuhan pada peristiwa 29 Oktober 2022.

 

Kedua tersangka menggunakan hak hukum yang di jamin konstitusi dengan mengajukan praperadilan di PN Soasio, Tidore Kepulauan, Maluku Utara.

 

Saat proses praperadilan berlangsung, setelah melalui proses pembuktian, Polres Halmahera Timur bekerjasama dengan Kejaksaan Negeri Tidore akan mempercepat proses P21 (berkas lengkap dan akan menjalani penuntutan).

 

Kami mohon solidaritas rekan2 masyarakat adat se nusantara untuk segera mengirimkan desakan kepada masing2 pihak berikut untuk membatalkan pemeriksaan tahap II (P21) berkas perkara yang akan dilangsungkan pada senin, 8 Mei 2023.

 

====================================================================================

 

Templete surat :

 

Kepada Yth.
Kepala Kejaksaan Negeri Tidore, Maluku Utara
C.q. Jaksa Peneliti Perkara tersangka Alen Baikole dan Samuel Gebe alias Samuel

 

Perihal: Penolakan Pemeriksaan Tahap II

 

Dengan hormat,

 

Saya, sebagai warga negara, prihatin dan terpanggil untuk mengingatkan bapak dalam penanganan perkara yang saat ini berproses di Polres Halmahera Timur dan akan dipaksakan oleh penyidik polres Halmahera Timur pelimpahan tahap II-nya ke Kejaksaan Negeri Tidore.

 

Hari ini, Minggu, 7 Mei 2023, saya telah mendapat informasi dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) selaku bagian dari Tim Advokasi Untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, bahwa Kasat Reskrim Polres Halmahera Timur, IPDA Muhammad Kurniawan, S.Tr.K. telah mengirimkan surat pemanggilan pemeriksaan tahap II Saudara Alen Baikole dan Samuel Gebe alias Samuel pada tanggal 8 Mei 2023 di Kejaksaan Negeri Tidore lewat pesan whatsapp. Usaha tidak terpuji dan terkesan dipaksakan ini dilakukan oleh Kasat Reskrim Polres Halmahera Timur ditengah proses Pra Peradilan yang diajukan oleh Saudara Alen Baikole dan Samuel Gebe.

 

Dari Tim Advokasi Untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam selaku kuasa pemohon praperadilan juga menyampaikan bahwa proses praperadilan yang di pimpin oleh majelis hakim tunggal PN Soasio, Tidore Kepulauan, Kemal Syarudin, S.H. akan memasuki tahap kesimpulan (8/5) dan agenda putusan pada tanggal 9 Mei 2023.

 

Kami mengikuti proses pra peradilan tersebut sejak awal digelar di PN Soasio. Dalam agenda pembuktian pada tanggal 4 dan 5 Mei 2023, melalui pembuktian surat dan keterangan saksi fakta dan ahli di hadapan majelis, pihak Termohon, dalam hal ini diwakili oleh Kasat Reskrim Polres Halmahera Timur dan Binkum Polda Maluku Utara tidak dapat mendalilkan alasan-alasan kuat guna menjawab fakta-fakta persidangan. Bahwa terungkap sebagai fakta persidangan, penetapan tersangka, penangkapan, penahahan dan penyitaan barang bukti tersangka dilakukan secara instan dalam kurun waktu 8 jam dihari yang sama (22 Maret 2023), hal ini telah menyebabkan ketidaktelitian dan sarat keterpaksaan sehingga melanggar prosedur. Mirisnya lagi, penyidik Polres Halmahera Tengah telah melakukan berbagai upaya yang dapat dikategorikan sebagai penggunaan kekuasaan yang eksesif (excessive use of force). Anggota kepolisian Halmahera Timur melampaui upaya yang dibutuhkan seperti penggunaan upaya paksa yaitu adanya tindakan penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan tersangka. Fakta persidangan melalui keterangan saksi terungkap bahwa penyidik telah melakukan penyiksaan kepada Alen Baikole dengan mengikat tangan dikursi, memukul dibagian wajah dan menginjak dibagian dada.

 

Saya selaku warga negara, mengingatkan Bapak selaku pihak yang akan menerima pelimpahan perkara tahap II, agar dapat melakukan penolakan atau penundaan terhadap rencana pelimpahan tahap II atas nama tersangka Alen Baikole dan Samuel Gebe alias Samuel karena proses pra peradilan yang tengah berlangsung dan juga pemberitahuan oleh pihak kepolisian Halmahera Timur yang mendadak, hanya lewat pesan whatsapp dan dilakukan pada hari libur (minggu, 7 Mei 2023).

 

Sebagaimana Bapak ketahui, Praperadilan bertujuan menegakkan dan memberikan perlindungan hak asasi manusia (HAM) tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Mekanisme ini dipandang sebagai bentuk pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan.

 

Penekanan atas maksud diatas, pada tanggal 4 April 2023, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah menerbitkan surat perlindungan khusus kepada Saudara Alen Baikole yang ditujukan kepada Kapolda Maluku Utara.

 

Saya merasa sangat keberatan dengan cara dan keputusan Kasat Reskrim Polres Halmahera Timur tersebut, karena permohonan praperadilan saudara Alen Baikole dan Samuel Gebe alias Samuel adalah instrumen hukum yang diakui dalam peraturan perundang-undangan yang dijamin oleh Konstitusi.

 

Praperadilan yang diajukan oleh tersangka merupakan bukti yang sangat penting untuk membela diri dalam sidang dan menyatakan adanya dugaaan pelanggaran KUHAP dan Perkap No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Perkara Pidana. Saya telah mempelajari dengan seksama materi permohonan tersebut serta mengikuti persidangan praperadilan yang digelar dan yakin bahwa fakta-fakta dalam persidangan praperadilan tersebut memiliki nilai bukti yang tinggi dan sangat relevan dengan dugaan pelanggaran atas penyidikan kasus yang sedang disangkakan oleh penyidik Polres Halamahera Timur.

 

Saya memahami bahwa sebagai jaksa yang akan menuntut perkara ini, Bapak memiliki hak untuk menolak atau menerima berkas perkara yang diajukan oleh penyidik. Namun, saya merasa bahwa keputusan Anda untuk menolak seluruh berkas perkara yang diajukan oleh penyidik Polres Halmahera Timur dalam sangkaan kepada Saudara Alen Baikole dan Samuel Gebe alias Samuel adalah sebuah keadilan yang berdasarkan pada fakta-fakta yang sebenarnya.

 

Saya berharap Bapak dapat mempertimbangkan kembali atas rencana pemeriksaan ke II saudara Alen Baikole Samuel Gebe alias Samuel. Saya memohon kiranya Bapak dapat mempertimbangkan kembali rencana tersebut setelah putusan praperadilan dibacakan di PN Soasio pada tanggal 8 Mei 2023.

 

Demikian surat ini saya ajukan. Saya berharap pihak yang Anda pimpin dapat mempertimbangkan dengan seksama keberatan saya ini dan memberikan keputusan yang adil dan seimbang bagi Alen Baikole dan Samuel Gebe Alias Samuel sebagai anggota Masyarakat Adat Tobelo Dalam.

 

Terima kasih atas perhatian Anda.

 

Hormat saya,

———

 

Dikirimkan kepada :
1. Kepala Kejaksaan Negeri Tidore, +62 821 87355684
2. Kapolres Halmahera Timur, +62 813 27772002
3. Komisi Kejaksan RI, +62 856 91514387
4. Ketua Komnas HAM, +62 812 9401766

MASYARAKAT ADAT (O Hagana Manyawa Tobelo Dalam) MENGGUGAT: GUGATAN PRA PERADILAN ATAS TINDAKAN SEWENANG-WENANG DAN PELANGGARAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH POLRES HALMAHERA TIMUR

PRESS RELEASE

 

Selasa, (2/5/2023) Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, Maluku Utara menggelar persidangan perdana pra Peradilan yang diajukan oleh 2 (dua) anggota Masyarakat Adat Tobelo Dalam (O Hagana Manyawa), yang bernama Samuel Baikole dan Alen Baikole.

 

Upaya hukum ini dilakukan karena adanya dugaan kesalahan prosedur dan tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Termohon (Kepolisian Polres Halmahera Timur) mulai dari proses penangkapan, penahanan dan penetapan sebagai tersangka. Bahwa, termohon melakukan penangkapan dan penahanan terhadap dua tersangka yang dituduh telah melakukan pembunuhan berencana terhadap seorang masyarakat dari Dusun Tukur-Tukur pada Oktober 2022. Persidangan ini dipimpin oleh Hakim Tunggal, Kemal Syafrudin, S.H.

 

Pada persidangan ini, kedua tersangka diwakili oleh kuasa hukumnya yang berasal dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Marimoi yang tergabung dalam Tim Advokasi Untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Kuasa hukum kedua tersangka berjumlah 11 advokat pembela yang berasal dari Jakarta, Makasar dan Ternate.

 

Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus, S.H. hadir dalam persidangan tersebut, ditemui setelah persidangan. Alam sapaannya, menjelaskan mengenai gugatan Praperadilan ini dilakukan karena diyakini adanya tindakan pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh Polres Halmahera Timur, mulai dari proses penangkapan, penahanan dan penetapan status kedua Masyarakat Adat sebagai tersangka. Tindakan ini merupakan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena termohon yang dalam Persidangan Pra Peradilan ini diwakilkan oleh Kasat Reskrim Polres Halmahera Timur dan Binkum Polda Maluku Utara diduga telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Kedua tersangka.

 

“Berdasarkan keterangan yang kami miliki, sangat kuat dugaan bahwa penangkapan serta penahanan tersangka telah melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)” ungkap Alam.

 

Ketua PPMAN ini menambahkan bahwa tindakan Termohon dengan melakukan penyitaan terhadap barang milik Tersangka tanpa prosedur merupakan tindakan pelanggaran hukum, karena sejatinya penyitaan barang milik tersangka harus memiliki keterkaitan dengan suatu peristiwa pidana, dan selain itu penyitaan harusnya dilakukan melalui proses di Pengadilan, sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), atau setidaknya mengacuh pada Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana.

 

Sementara Ketua Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Maharani Caroline, S.H. mengatakan bahwa tindakan termohon dengan melakukan kekerasan dengan cara menendang, memukul, mengikat tangan tersangka di kursi, mengintimidasi dan mengancam agar kedua tersangka mengakui perbuatan yang tidak dilakukan merupakan tindakan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang harus dituntut secara hukum.

 

Perempuan yang biasa disapa dengan Rani ini juga menambahkan bahwa gugatan Prapid ini juga meminta kepada Termohon untuk memberikan ganti kerugian atas tindakan yang telah merugikan kedua tersangka, kerugian baik itu secara materiil maupun imateriil.

 

“Selain itu Termohon harus melakukan rehabilitasi nama baik kedua tersangka melalui media lokal dan media nasional”, tuntut Rani.

 

Pra Peradilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentikan penuntutan dan Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi ( pasal 1 angka 10 KUHAP).

 

Agenda persidangan pra peradilan berikutnya pada tanggal 3 sampai dengan 9 Mei 2023 adalah pembuktian, kesimpulan para pihak dan majelis tunggal pada tanggal 9 Mei 2023 rencananya akan menjatuhkan putusan atas perkara ini.

 

Narahubung :
Syamsul Alam Agus – 08118889083
Maharani Caroline – 082187358212

 

***

PPMAN MENGECAM SEGALA BENTUK TINDAK KEKERASAN & PENANGKAPAN OLEH APARAT KEPOLISIAN TERHADAP MASYARAKAT ADAT DI BERBAGAI DAERAH

Oleh Apriadi Gunawan

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengecam tindak kekerasan aparat kepolisian yang menangkap secara paksa sejumlah Masyarakat Adat di berbagai daerah.

 

Dalam data yang diterima sedikitnya ada 17 orang Masyarakat Adat yang ditangkap polisi dalam sepekan ini. Mereka adalah dua orang Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, yaitu Alen Baikole dan Samuel serta 15 orang Masyarakat Adat dari Kampung Dingin, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, yaitu Prans, Maring, Priska, Andi, Ayes, Fitra, Riko, Ilham, Uban, Misen, Rio, Ferdinan Salvino, Sastiano Kesek, Dominikus, dan Ferdy.

 

Ketua Badan Pelaksana PPMAN Syamsul Alam Agus menyebut bahwa mereka telah menerima pengaduan mengenai penangkapan dan penyiksaan yang dialami oleh 17 orang Masyarakat Adat tersebut.

 

Di Tobelo Dalam, kasus penangkapan dan penyiksaan terhadap Alen Baikole dan Samuel,  diduga erat terhubung dengan pembatasan atas upaya enam orang Masyarakat Adat yang ingin menggunakan hak hukumnya dalam membela dan membuktikan skenario “peradilan sesat” yang membuat mereka dipenjara seumur hidup dan mendekam 20 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Ternate.

 

Ketua Badan Pelaksana PPMAN yang biasa dipanggil Alam menerangkan kalau kedua korban ditangkap dan mengalami penyiksaan saat proses interogasi kepolisian, sementara anggota keluarga dibatasi aksesnya untuk bertemu. Kemudian, korban juga dibatasi haknya untuk mendapatkan layanan bantuan hukum pengacara sesuai dengan pilihan dan keputusan korban.

 

“Upaya sistematis (atas) kriminalisasi ini merupakan cara kepolisian membungkam suara penolakan Masyarakat Adat atas pembangunan yang merusak wilayah adat mereka,” kata Alam pada Senin (27/3/2023).

 

Penangkapan Masyarakat Adat Tobelo Dalam

 

Alam menerangkan bahwa pada 22 Maret 2023, pihak kepolisian di Halmahera Timur, kembali menangkap dan menahan seorang Masyarakat Adat bernama Alen Baikole dari Suku Togutil, Tobelo Dalam, Maluku Utara. Alen ditangkap di tempat kerjanya di Subaim pada pagi hari.

 

Alam menyatakan, berdasarkan informasi yang dihimpun PPMAN di lokasi, diduga Alen telah mengalami penyiksaan saat penangkapan dan interogasi oleh pihak kepolisian di Halmahera Timur.

 

“Ada luka memar di wajah Alen, diduga akibat pukulan saat dilakukan interogasi. Alen juga mengeluhkan sakit di bagian dada dan seluruh badannya karena ditendang,” ungkap Alam sembari menambahkan informasi kedua tangan Alen dalam kondisi terikat di kursi saat dilakukan interogasi.

 

Selanjutnya, Alen Baikole ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pelaku pembunuhan yang diduga terjadi pada 29 Oktober 2022 di Kebun Semilo, Desa Gotowasi, Kecamatan Maba Selatan, Halmahera Timur. Alen ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Maret 2023.

 

Alam mengatakan, tuduhan atas kasus pembunuhan yang dilakukan Alen, coba dipaksakan lewat istrinya. Penyidik Polres Halmahera Timur menekan dan memaksa istri Alen yang berinisial Y untuk mengakui bahwa Alen benar telah melakukan pembunuhan pada 29 Oktober 2022. Namun, Y berusaha meyakinkan penyidik bahwa suaminya Alen tidak pernah melakukan pembunuhan karena pada waktu peristiwa disebutkan, Alen sedang bersamanya.

 

“Ironisnya, dengan nada mengancam akan memenjarakan Y selama 7 tahun, anggota kepolisian tetap memaksa Y untuk membenarkan tuduhannya,” ujarnya.

 

Selain menangkap Alen, petugas polisi di Polres Halmahera Timur juga menangkap seorang Masyarakat Adat bernama Samuel. Penangkapan Samuel dilakukan polisi sehari sebelum Alen ditetapkan sebagai tersangka. Samuel ditahan penyidik Polres Halmahera Timur pada 21 Maret 2023. Samuel diduga mendapat tekanan dalam proses pengambilan keterangan.

 

“Penangkapan kedua anggota Masyarakat Adat Tobelo Dalam ini dilakukan polisi saat mereka sedang berjuang mempertahankan wilayah adatnya dari ekspansi modal dan pembangunan di wilayah Masyarakat Adat Tobelo Dalam yang masif,” ungkap Alam.

 

Dikatakan Alam, kasus kriminalisasi yang dilakukan polisi terhadap Masyarakat Adat Tobelo Dalam, bukan yang pertama.

 

Sebelumnya pada 29 Maret 2019, Masyarakat Adat Tobelo yang bernama Habel Lilinger alias Hambiki alias Niklas Dilingir, Hago Baikole alias Hago, Rinto Tojouw alias Rinto, Toduba Hakaru alias Toduba, Awo Gihali alias Awo, dan Saptu Tojou alias Saptu ditangkap polisi atas tuduhan telah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana.

 

Keenam Masyarakat Adat tersebut bekerja sebagai petani dan pemburu. Mereka berdomisili di Desa Dodaga, Kecamatan Wasile Timur, Halmahera Timur.

 

Pada 30 Maret 2020, Pengadilan Negeri Soasio menjatuhkan hukuman bervariasi kepada enam Masyarakat Adat Tobelo Dalam. Habel Lilinger alias Hambiki alias Niklas Dilinger dan Hago Baikole alias Hago dipidana penjara seumur hidup, Toduba Hakaru alias Toduba dan Saptu Tojou alias Saptu dipidana penjara 20 tahun penjara, dan Rinto Tojou alias Rinto dan Awo Gihali alias Awo dipidana penjara selama 16 tahun.

 

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan banding atas putusan tersebut. Selang satu bulan pada 30 April 2020, Pengadilan Tinggi Maluku Utara memperberat pidana masing-masing terdakwa, di antaranya Habel Lilinger alias Hambiki alias Niklas Dilinger dan Hago Baikole alias Hago dengan pidana mati, Toduba Hakaru alias Toduba dan Saptu Tojou alias Saptu dengan pidana penjara seumur hidup, serta Rinto Tojouw dan Awo Gihali alias Awo dengan pidana penjara 20 tahun. Atas putusan Pengadilan Tinggi Maluku Utara itu, para terdakwa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

 

Alam menerangkan bahwa Alen Baikole yang kini ditangkap dan ditahan di Polres Halmahera Timur, diketahui memiliki fakta- fakta atas dugaaan “peradilan sesat” terhadap enam Masyarakat Adat Tobelo Dalam.

 

Menurutnya, penangkapan Alen Baikole dapat menjadi halangan bagi keenam terpidana dalam memperjuangkan keadilan melalui proses Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung. Sebaliknya, penangkapan Alen Baikole akan memberi ruang bagi kepolisian menutupi skenario kriminalisasi yang selama ini digunakan untuk membungkam suara kritis Masyarakat Adat di Tobelo Dalam atas pembangunan yang merusak lingkungan dan menghancurkan wilayah adat.

 

Saat ini, kata Alam, PPMAN dan Lembaga Bantuan Hukum Marimoi yang terhimpun sebagai Tim Pembela untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, akan memberi bantuan hukum kepada Alen Baikole serta enam terpidana lain.

 

“Mereka telah menjadi korban kriminalisasi anggota kepolisian yang pantas dibela untuk mendapatkan keadilan,” katanya.

 

Penangkapan Masyarakat Adat Kutai Barat

 

Sementara di Kutai Barat, aparat kepolisian melakukan penangkapan terhadap sejumlah Masyarakat Adat dari lokasi tambang batubara PT Energi Batu Hitam (EBH) di Kampung Dingin, Kecamatan Muara Lawa, Kabupaten Kutai Barat pada Sabtu (25/3/2023). Selain Masyarakat Adat, polisi juga menangkap seorang pengacara bernama Sastiano Kesek.

 

Alam menyatakan bahwa penangkapan anggota Masyarakat Adat beserta pengacaranya itu, berawal saat Sastiono merekam kedatangan puluhan anggota polisi ke sebuah tenda terpal yang didirikan warga. Peristwa itu disiarkan langsung melalui Facebook pada pukul 14.00 WITA.

 

Sekitar empat menit kemudian, anggota kepolisian mendatangi tenda warga. Mereka mengatakan bahwa mereka mendapat perintah untuk melaksanakan pembongkaran tenda warga.

 

Setelah itu, tidak diketahui pasti apa yang terjadi karena video mati. Lalu, sekitar pukul 16.00 WITA, beredar lagi video beberapa pria sudah berada dalam mobil yang diduga kendaraan dari kepolisian. Ada dua orang pria yang tangannya diborgol, sedangkan beberapa orang lainnya tidak diborgol.

 

Alam mengatakan bahwa mereka akan memberikan pendampingan hukum terhadap Masyarakat Adat yang ditangkap polisi. “Mereka korban kriminalisasi yang pantas untuk dibela dan mendapatkan keadilan,” kata Alam.

 

***