Press Release
Batam – Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang mengecam keras pernyataan ugal-ugalan yang disampaikan oleh Kapolresta Barelang terkait dengan papan bunga di depan Pengadilan Negeri Batam yang hilang karena tertiup angin. Pernyataan ini mencerminkan ketidakprofesionalan Kepolisian sebagai aparat penegak hukum. (08/11/2023)
Selain tidak profesional, ucapan Kapolresta yang menyatakan bahwa papan bunga tertiup angin pun kami anggap sebagai upaya ‘cuci tangan’. Dalam beberapa kesempatan, Kepolisian memang seringkali ‘mengkambinghitamkan’ angin. Sebelumnya pada tanggal 7 September 2023 lalu, saat aparat begitu brutal menembakan gas air mata, ‘angin’ juga disalahkan karena mengarah ke sekolah.
Lebih jauh, kami menilai bahwa pernyataan ini merupakan bentuk sikap pengabaian masalah, di tengah perhatian nasional dan internasional terhadap isu pelanggaran HAM di Pulau Rempang. Alih-alih mencari dalang yang mencuri dan sengaja menghilangkan papan bunga tersebut, pernyataan dari Kapolres justru akan memperkeruh suasana dan semakin melukai perasaan keluarga korban khususnya keluarga masyarakat Rempang yang masih ditahan, ucap Sopandi Wakil Ketua PBH Peradi Batam.
Berdasarkan informasi di lapangan, tak berselang lama setelah papan bunga yang berisi solidaritas terhadap korban kriminalisasi hilang, persisnya pada senin, 6 November 2023, pagi harinya, mulai bermunculan papan bunga tandingan. Berbagai papan bunga tersebut berisikan kata-kata yang kontra dengan papan bunga sebelumnya yang menghilang secara misterius.
“Kami menduga bahwa ada keterlibatan pihak-pihak yang tidak terima dengan upaya permohonan praperadilan sebagai dalang dari hilangnya papan bunga yang berisi solidaritas terhadap masyarakat rempang ini. Hal ini menunjukkan watak pihak tersebut yang anti kritik dan represif terhadap ekspresi masyarakat.” Ucap Andi Wijaya Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru.
Andi Wijaya menambahkan bahwa papan bunga yang sebelumnya dikirimkan oleh berbagai simpul masyarakat sipil merupakan bentuk solidaritas masyarakat terhadap tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh Kepolisian. Bentuk ekspresi itu merupakan perbuatan sah dan konstitusional sehingga harus dihormati. Papan bunga tentu saja bukan sesuatu yang dapat diklasifikasikan sebagai ancaman sehingga tidak perlu untuk diamankan. Selain itu, warga yang bersolidaritas saat itu juga sempat dilarang masuk ke Pengadilan Negeri Batam dan warga yang sudah didalam Pengadilan diusir dari Pengadilan Negeri Batam padahal sidang terbuka untuk umum sehingga tidak ada yang boleh membatasi warga untuk menyaksikan persidangan.
Terlebih dalam perkara ini, Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang saat itu, sedang mengajukan permohonan pra peradilan kepada Pengadilan Negeri Batam atas berbagai pelanggaran prosedural dalam tindakan Kepolisian. Di tengah kriminalisasi yang sedang berjalan, wajar jika masyarakat membangun solidaritas, salah satunya dengan mengirimkan dukungan dan doanya salah satunya lewat medium papan bunga dengan tuntutan hakim agar menghadirkan keadilan.
“Sudah seharusnya Kepolisian mencari dalang di balik pencurian papan bunga ucapan daripada masyarakat terkait dukungan dan doa melalui papan bunga agar hakim mengadili perkara praperadilan tersebut secara adil, yang pada intinya isi papan bunga positif semua kata-katanya. Sebab tindakan pencurian seperti ini dapat menimbulkan kegaduhan di publik nantinya dan ketidaknyamanan masyarakat. Untuk itu, Kepolisian harus segera melakukan penyelidikan atas kasus ini dan mengungkap siapa pelaku dan motifnya agar terang dan tidak jadi isu liar di masyarakat.” Kata Mangara Sijabat Direktur LBH Mawar Saron Batam.
Mangara menambahkan, bahwa selain itu, kami menilai upaya menghilangkan dan mencuri papan bunga yang berisi ucapan doa dan dukungan masyarakat terhadap hakim dalam mengadili perkara praperadilan ini merupakan bentuk pembatasan kebebasan berekspresi. Hal tersebut tentu saja melanggar berbagai instrumen nasional maupun internasional seperti halnya yang diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hingga Kovenan Hak Sipil dan Politik.
Even Sembiring Direktur Eksekutif Walhi Riau mengungkapkan, “hal ini juga kami anggap sebagai upaya menggembosi gerakan masyarakat yang bersolidaritas bersama warga Rempang yang mengalami kriminalisasi. Upaya memanipulasi narasi pun terus dilakukan untuk mengaburkan fakta sebenarnya. Semua ini tentu tidak terlepas dari arus investasi yang masuk dengan memaksakan kehendak sehingga berimplikasi pada terlanggarnya hak-hak masyarakat. Jika nyata-nyata peristiwa pembatasan kebebasan sipil ini diintervensi kekuatan yang besar, maka kami meminta Presiden Jokowi untuk memberikan perhatiannya pada persoalan yang kami yakini tidak bisa diselesaikan oleh Kepolisian Republik Indonesia. Sebab ini merupakan ancaman serius terhadap demokrasi di Indonesia.”
Untuk diketahui, Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang terdiri atas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), YLBHI-LBH Pekanbaru; Eksekutif Nasional WALHI; Eksekutif Daerah WALHI Riau; LBH Mawar Saron Batam; PBH Peradi Batam; Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN); Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA); Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Trend Asia.
***