Oleh : Fatiatulo Lazira, S.H
Menilik sejarahnya, hakikat keberadaan pranata praperadilan adalah untuk mencegah terjadinya tindakan-tindakan penyalahgunaan wewenang yang berpotensi melanggar hak-hak asasi manusia, secara khusus hak asasi seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Secara sederhana, praperadilan dapat dimaknai sebagai sarana pengawasan secara horizontal terhadap tindakan-tindakan upaya paksa yang dilakukan penegak hukum terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana.
Pasal 77 UU No. 8/1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), telah mengatur secara limitatif ruang lingkup atau objek praperadilan, yakni wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus, tentang : a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Pada perkembangannya, objek praperadilan mengalami perluasan, baik dari sisi praktik penegakan hukum maupun regulasi. Dari sisi praktik penegakan hukum, perluasan objek praperadilan dapat ditemui dalam Putusan No. 04/Pid.Pra/2015/PN.Jkt.Sel., tertanggal 16 Februari 2015, dalam Perkara Budi Gunawan selaku pemohon praperadilan melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku termohon praperadilan. H. SARPIN RIZALDI, S.H., M.H., selaku hakim praperadilan dalam perkara tersebut menyatakan dalam pertimbangan hukumnya, pada pokoknya bahwa: “Pemohon bukanlah subyek hukum pelaku Tipikor yang menjadi kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tipikor, sehingga proses penyidikan yang dilakukan KPK tidak sah. Dengan demikian pula penetapan status Pemohon sebagai Tersangka, tidak sah“. Artinya, penetapan status tersangka seseorang merupakan objek praperadilan.
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 Tentang UU No. 8/1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), juga menafsirkan bahwa, objek praperadilan tidak hanya yang telah ditentukan oleh Pasal 77 KUHAP, yaitu: a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Tetapi juga termasuk “penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”. Dalam pertimbangan hukumnya, pada paragraph [3.16], MK secara eksplisit menyatakan bahwa, KUHAP tidak memiliki chek and balance system atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak mengenal mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak menerapkan prinsip pengecualian (exclusionary) atas alat bukti yang diperoleh secara tidak sah seperti di Amerika Serikat. Lebih lanjut, MK kemudian mengutip Paul Roberts dan Adrian Zuckerman. Menurutnya, ada 3 (tiga) prinsip yang mendasari perlunya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti, yaitu: Pertama, rights protection by the state. Hak tersebut lahir karena terkadang upaya dari penyelidik atau penyidik dalam menemukan alat bukti dilakukan dengan melanggar hak asasi calon tersangka atau tersangka.
Dalam rangka mengembalikan atau mempertahankan hak yang sudah dilanggar maka diperlukan suatu mekanisme pengujian perolehan alat bukti untuk mengetahui dan memastikan apakah alat bukti tersebut sudah benar-benar diambil secara sah. Kedua, deterrence (disciplining the police). Pengesampingan atau pengecualian alat bukti yang diambil atau diperoleh secara tidak sah, akan mencegah/ menghalangi para penyidik maupun penuntut umum mengulangi kembali kesalahan mereka di masa mendatang. Apabila hakim secara rutin mengecualikan/ mengesampingkan alat bukti yang didapat secara tidak sah tersebut, maka hal itu menjadi pesan yang sangat jelas kepada aparat penegak hukum bahwa tidak ada manfaat yang bisa diambil dari melanggar hukum, kemudian motivasi dari aparat penegak hukum untuk melanggar hukum akan menurun drastis. Ketiga, the legitimacy of the verdict. Dalam proses acara pidana diperlukan suatu sistem yang dapat dipercaya sehingga masyarakat yakin terhadap sistem hukum atau sistem peradilannya. Apabila hakim sudah terbiasa memaklumi aparat penyidik dan penuntut umum dalam menyajikan alat bukti yang didapat secara tidak sah, maka sistem hukum tersebut akan diragukan legitimasinya dan masyarakat akan segera mengurangi rasa hormatnya (Paul Roberts and Adrian Zuckerman, Criminal Evidence (New York: Oxford University Press Inc, reprinted 2008) hal. 149-159).
Semangat Pengujian Penetapan Status Tersangka
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Frasa “bukti permulaan” tersebut, harus dimaknai sesuai Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, yakni minimal 2 (dua) alat bukti yang sah sesuai Pasal 184 KUHAP, antara lain: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa.
Pertimbangan hukum hakim praperadilan dalam Putusan Nomor 1/Pid.Pra/2023/PN.Sos., pada Pengadilan Negeri Soasio, dalam menilai keabsahan penetapan status tersangka, menunjukkan kegagalan tafsir kaitannya dengan Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014. Dalam pertimbangan hukumnya, hakim praperadilan menyatakan, bahwa:
Menimbang, bahwa terlebih dahulu perlu disamakan persepsi tentang materi permohonan praperadilan yang diajukan Pemohon, apakah permohonan tentang sah tidaknya penetapan Tersangka atas nama Pemohon yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon, mengingat praperadilan tidak memeriksa tentang materi perkara dan tiada proses tanpa prosedur, sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) dan ayat 4 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2016 yang menyebutkan Pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara, Persidangan perkara Praperadilan dipimpin oleh Hakim Tunggal karena sifat pemeriksaannya yang tergolong singkat dan pembuktiannya yang hanya memeriksa aspek formil, tidak sama sekali memeriksa aspek materiil.
“Bahwa pengertian Tersangka sebagaimana dalam Pasal 1 angka 14 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUU-XII/2014, bahwa “Frasa bukti permulaan” harus dimaknai dua alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), oleh sebab itu maka setiap orang yang akan ditetapkan sebagai Tersangka harus ada 2 (dua) alat bukti yang sah;Menimbang bahwa hakim menilai proses penetapan tersangka atas nama Para Pemohon telah sesuai dengan hukum acara yang berlaku dalam perkara aquo Termohon menggunakan Alat bukti saksi dan surat sebagaimana Bukti T-4 sampai dengan T-10 sehingga menurut Hakim sudah memenuhi ketentuan Pasal 184 KUHAP oleh karena itu Petitum Angka 4 (empat) Para Pemohon sudah sepatutnya ditolak;
Melalui pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 1/Pid.Pra/2023/PN.Sos., tersebut, dapat disimpulkan bahwa hakim praperadilan, hanya menilai keterpenuhan alat bukti secara kuantitas, yakni minimal 2 (dua) alat bukti sebagai dasar penetapan status tersangka, tanpa menguji keabsahan peroleh alat bukti yang terindikasi sarat pelanggaran hukum dan hak asasi manusia sebagaimana dikemukakan dalam materi permohonan praperadilan. Hakim praperadilan tampak mengabaikan semangat, yang menjadi alasan pengujian mengapa penetapan status tersangka termasuk objek peradilan sebagaimana termaktub dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, bahwa tidak terdapat pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat menguji keabasahan penetapan status tersangka bilamana penetapan status tersangka tersebut mengandung kekeliruan.
Pengujian penetapan status terangka melalui pranata praperadilan adalah semangat perlindungan hak asasi manusia dari tindakan sewenang-wenang penegak hukum. Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, mengandung semangat bahwa penilaian terhadap keterpenuhan alat bukti tidak semata-mata keterpenuhan alat bukti secara kuantitas, yakni minimal 2 (dua) alat bukti, tetapi juga harus diuji bagaimana alat bukti itu diperoleh, apakah sudah memenuhi syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan serta menghormati hak asasi manusia atau tidak.
Penulis menilai, bahwa pertimbangan hukum hakim praperadilan dalam Putusan Nomor 1/Pid.Pra/2023/PN.Sos., belum mengandung semangat pengujian status penetapan tersangka sebagaimana dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, karena hanya menilai ketepernuhan alat bukti secara formalitas tanpa menguji bagaimana alat bukti tersebut diperoleh. Oleh karena itu, penting bagi Mahkmah Agung sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelengaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, termasuk praperadilan, untuk menegaskan kembali pemaknaan semangat pengujian penetapan status tersangka melalui pranata praperadilan
***