PPMAN: KETIDAKHADIRAN DPR DAN PRESIDEN DI PERSIDANGAN, PRESEDEN BURUK KETIDAKPATUHAN TERHADAP PROSES HUKUM

Press Release

 

Jakarta, (02/11/2023) – Sidang gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), dengan agenda pemeriksaan persiapan yang dilangsungkan di PTUN Jakarta, tidak dihadiri oleh DPR dan Presiden sebagai pihak tergugat.

 

Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) sekaligus sebagai kuasa hukum Para Penggugat menilai ketidakhadiran DPR dan Presiden di persidangan mengkonfirmasi ketidakberpihakan kedua lembaga negara itu terhadap Masyarakat Adat di Indonesia.

 

“Kami menyesalkan sikap DPR dan Presiden yang tidak menghargai proses hukum. Ketidakhadiran mereka di persidangan adalah contoh buruk ketidakpatuhan negara yang tidak patut dicontoh”, ujarnya.

 

Menurut Alam, sikap abai DPR dan Presiden sudah ditunjukkan sejak RUU Masyarakat Hukum Adat masuk dalam prolegnas pada tahun 2004 sampai dengan sekarang.

 

“DPR dan Presiden bersikap abai dan melakukan tindakan penundaan berlarut pada proses pembentukan UU Masyakarat Hukum Adat, yang merupakan kewajiban konstitusional kedua lembaga itu. Akibatnya, praktik perampasan wilayah adat, penggusuran masyarakat adat dari wilayah adat, diskriminasi dan kriminalisasi serta hilangnya identitas yang melekat pada Masyarakat Adat yang mempertahankan wilayah adatnya, terus berlanjut” jelas Alam.

 

Kuasa Hukum Masyarakat Adat saat menyerahkan berkas perkara
Kuasa Hukum Masyarakat Adat saat menyerahkan berkas perkara

 

Ia pun berharap, pengadilan dapat menjadi ruang bagi Para Penggugat untuk menuntut keadilan atas wilayah adatnya.

 

Adapun pihak penggugat adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), beserta 9 (sembilan) orang Perwakilan Masyarakat Adat. Mereka berasal dari Komunitas Masyarakat Adat Kasepuhan Cisungsang Jawa Barat, Komunitas Masyarakat Adat Osing Banyuwangi, Komunitas Masyarakat Adat Gendang Ngkiong Manggarai dan Komunitas Masyarakat Adat Tobelo Dalam Halmahera.

 

Permohonan Para Penggugat disebabkan karena DPR dan Presiden tidak menindaklanjuti proses pembentukan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat sehingga berimbas negatif terhadap pemenuhan hak-hak konstitusional para penggugat.

 

6 orang Masyarakat Adat Tobelo Dalam dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan 20 tahun penjara. Pada tingkat banding, mereka malah dijatuhi pidana hukuman mati dan penjara seumur hidup. Mikael Ane sendiri dipidana dengan hukuman penjara 1,5 tahun.

 

6 orang Masyarakat Adat Tobelo Dalam dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan 20 tahun penjara. Pada tingkat banding, mereka malah dijatuhi pidana hukuman mati dan penjara seumur hidup. Mikael Ane sendiri dipidana dengan hukuman penjara 1,5 tahun.

SUKU MOI MELAWAN GUGATAN PT SORONG AGRO SAWITINDO

Siaran Pers Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua

 

Jakarta, 20 Oktober 2023 – Perusahaan PT Sorong Agro Sawitindo  (SAS) sebelumnya pemegang konsensi perkebunan kelapa sawit seluas 40.000 ribu hektar yang terletak di Kabupaten Sorong, Papua Barat. Awal tahun 2022 melalui SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2012 pemerintah mencabut izin pelepasan kawasan hutan yang dipegang PT SAS. BKPM kemudian mencabut izin  usaha  PT SAS melalui keputusan Nomor : 20221227-21-0006 tanggal 22 Desember 2022. Perusahaan tidak terima atas keputusan tersebut lalu mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta dengan perkara 368/G/2023/PTUN.JKT meminta pembatalan.

 

Sebelumnya Bupati Sorong tahun 2021 mencabut izin lokasi, izin lingkungan dan izin usaha PT SAS, tindakan bupati ini disambut baik masyarakat Suku Moi, dalam kasus ini perusahaan menggugat dan membatalkan keputusan bupati.

 

Suku Moi adalah Orang Asli Papua yang mewarisi, menguasai dan memiliki tanah dan hutan adat sudah sejak turun temurun hingga saat ini. Keberadaan  Suku Moi telah diakui Pemerintah  melalui Peraturan Daerah (perda) Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong, sebagaimana termuat dalam Pasal (2) yang berbunyi: “Dengan Peraturan Daerah ini Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong memberikan Pengakuan dan Perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong”. 

 

Suku Moi telah bersikap menjaga tanah dan hutan adat, mereka menolak perkebunan kelapa sawit PT Sorong Agro Sawitindo beroperasi diwilayah adatnya. Alasannya, perkebunan kelapa sawit merampas hak atas tanah dan/ hutan adat dan berpotensi menghilangkan sumber kehidupan masyarakat, dan mendatangkan malapetaka sosial dan lingkungan, sebagaimana dialami saudara mereka di daerah ini. Mereka memutuskan untuk mengelola sendiri tanah dan hutan adat di wilayah adatnya sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki dan diwariskan secara turun temurun.

 

Suku Moi khawatir Gugatan PT SAS akan menghilangkan hak-hak dan mata pencaharian masyarakat yang bersumber dari hutan, tanah, sungai dan kekayaan alam sekitarnya. Mereka  memutuskan untuk melawan Gugatan PT SAS dengan mengajukan permohonan Intervensi di PTUN Jakarta.

 

Permohonan intervensi ini kami lakukan untuk mempertahankan hak dan kepentingan kami sebagai masyarakat adat Suku Moi. Kami ingin Majelis hakim secara hati-hati memeriksa Gugatan ini karena kami akan dirugikan jika perusahaan memenangkan gugatan ini. Hakim harus lebih memperhatikan keberadaan dan hak kami “ujar Edison Sede (masyarakat adat suku Moi dari kampung Gisim)

 

Saya perempuan adat suku Moi keberatan gugatan Perusahaan, kami tidak mau kehilangan sumber penghidupan keluarga dari tanah dan hutan, kami Perempuan berkebun, mengambil sagu menjadi makanan, menjaga obat-obatan tradisional semua dari hutan. Jika Perusahaan masuk kami akan hilang. Ujar Solvina Klawom (perempuan adat suku Moi)  

 

Ayup Paa, pendamping masyarakat adat suku Moi mengatakan Tindakan pencabutan Izin Usaha PT SAS yang dilakukan oleh BPKM sudah seharusnya dilakukan, ada banyak pelanggaran yang dilakukan.  Selain ada penolakan masyarakat juga berdampak kepada lingkungan hidup. Akan lebih tepat jika BKPM mendorong kepada instansi lain seperti KLHK dan Pemda untuk segera mengakui hutan adat masyarakat. Masyarakat dapat mengembangkan sendiri kehidupan ekonominya tanpa harus memfasilitasi perkebunan skala besar yang membawa dampak negatif besar.

 

Berdasarkan hal tersebut kami Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua Bersama Masyarakat Adat Suku Moi menyatakan :

 

  1. Majelis Hakim Hakim Perkara 368/G/2023/PTUN.JKT menerima Permohonan Intervensi yang dilakukan Masyarakat Adat Suku Moi dan dalam memeriksa perkara mengutamakan keadilan bagi masyarakat adat suku moi sebagai pemilik tanah dan hutan adat ;
  2. Pihak Tergugat yakni BKPM melakukan tindakan lanjutan bersama lembaga pemerintahan lainnya (KHLK dan Pemerintah Daerah) segera melakukan pengakuan hutan adat masyarakat Suku Moi dengan tujuan melindungi hak-hak masyarakat ;
  3. BKPM dan KLHK membuka seluruh informasi pencabutan perizinan di Tanah Papua sebagai bentuk kewajiban yang telah diatur didalam berbagai peraturan perundang-undangan.

 

Kontak Person:

Ayub Paa (0812-4021-6526)

Judianto Simanjuntak (0857-7526-0228)

Tigor Hutapea (0812-8729-6684)