Atas Nama Proyek Strategis Nasional, 9 Orang Masyarakat Adat Poco Leok Menjadi Korban Kekerasan

Poco Leok, Manggarai, NTT, 26 Juni 2023

 

Perluasan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Satar Mese, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, memakan korban dari komunitas Masyarakat Adat. Sebelumnya, Masyarakat Adat Poco Leok yang berasal dari 10 gendang (komunitas wilayah adat) di lembah Gunung Poco Leok secara tegas menyatakan sikap menolak pengembangan PLTP Ulumbu di wilayah adat mereka. Beberapa kali upaya paksa pemasangan patok (pilar) dari PLN mengalami kegagalan. Namun, pada Rabu (21/6) lalu, dengan didukung ratusan personil aparat keamanan dari TNI dan Polres Manggarai, upaya pemasangan patok berhasil dilakukan. Tapi, upaya ini juga menghasilkan korban di sisi Masyarakat Adat.

 

“9 orang Masyarakat Adat Pocoleok mengalami kekerasan, dengan 5 orang luka fisik hingga di rawat sementara di Puskesmas Ponggeok Dan RSUD, lalu ada 4 orang perempuan adat mengalami pelecehan seksual. Itu belum termasuk puluhan orang yang pingsan saat peristiwa bentrok kemarin. Saya sendiri yang menolong dan membawa ke Puskesmas,” ungkap seorang Pemuda Adat Poco Leok yang tidak ingin namanya disebutkan, mengingat keamanan situasi di lokasi.

 

Tindakan kekerasan aparat pengamanan di lapangan dipandang sebuah kewajaran dengan mengatasnamakan proyek strategis nasional. Seolah-olah, Negara dalam hal ini PLN menutup mata atas sikap penolakan dan hanya melihat dukungan. Di pihak lainnya, kewajiban Negara atas pemenuhan pengakuan atas keberadaan Masyarakat Adat belum terlaksana dengan baik.

 

“Peristiwa kekerasan di Poco Leok dapat dipandang sebagai bentuk pembiaran, lebih tepatnya, sikap tutup mata Pemerintah Jokowi atas keberadaan Masyarakat Adat di Poco Leok. Semua hal yang menyangkut Masyarakat Adat selalu dari pendekatan formil, bukan fakta eksistensi,” jelas Ermelina Singereta, S.H, M.H, Kepala Divisi Advokasi Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Menyikapi peristiwa kekerasan yang dialami oleh Masyarakat Adat Poco Leok, PPMAN akan melakukan upaya hukum yang diperlukan agar kepentingan masyarakat diperhatikan secara serius oleh Pemerintah dan atau pihak perusahaan. Kemudian, upaya hukum juga ditujukan agar aparat penegak hukum tidak sekedar menjadi aparat pengamanan perusahaan.

 

“Dugaan kami, Polres Manggarai memahami latar belakang penolakan Masyarakat Adat Poco Leok karena ini (sikap penolakan) telah ada sejak tahun 2019 lalu. Terlepas pro dan kontra di masyarakat, Polisi adalah milik setiap orang, bukan hanya perusahaan. Upaya hukum atas peristiwa ini sedang kami analisis secara serius,” ungkap Ermelina.

Perlu diketahui, PPMAN merupakan organisasi sayap dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). PPMAN memiliki mandat kerja melakukan pendampingan hukum dan pemajuan hak masyarakat adat di seluruh Nusantara.

 

Untuk informasi lebih lanjut terkait Masyarakat Adat Poco Leok dapat menghubungi:

Ermelina Singereta, S.H, M.H : 0812-1339-904

 

***

Lawan Kriminalisasi PT. Mega Haltim Mineral, Masyarakat Adat Tobelo Boeng Laporkan Ke Komnas HAM

Minamin (5/6/2023) – Masyarakat Adat Tobelo Boeng Desa Minamin yang mengalami intimidasi dan potensi kriminalisasi atas laporan pihak PT Mega Haltim Mineral (MHM) ke Polsek Wasile Selatan melaporkan kasusnya kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM). Disaksikan oleh warga dan Kepala Adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke, Novenia Ambuea (36 thn) salah seorang perwakilan Masyarakat Adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin diterima laporannya oleh 2 orang Komisioner Komnas HAM secara langsung melalui media komunikasi Zoom.

 

Novenia menyampaikan keresahan ruang hidup yang semakin sempit serta tekanan yang dialami oleh warga paska MHM masuk ke wilayah Desa Minamin.

 

“Keberadaan kami sudah ada sebelum perusahaan ada. Sekarang mereka masuk tanpa ijin, ketika kami tolak, mereka laporkan kami ke polisi. Apa Negara ini sudah tidak mengakui kami lagi, Masyarakat Adat?”, ungkap Nove ketika diminta Komisioner Komnas HAM menceritakan latar belakang kasus yang dihadapinya.

 

Laporan Masyarakat Adat Tobelo Boeng Minamin difasilitasi oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) selaku pendamping hukum dari Masyarakat Adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin , sebagai pihak terlapor. Ketua PPMAN, Syamsul Alam Agus, menekankan bahwa pertemuan antara Masyarakat Adat dan Komnas HAM sangat penting agar Komnas HAM mendapatkan informasi langsung atas peristiwa hukum yang dialami oleh Masyarakat Adat.

 

“Kasus pelanggaran hak asasi manusia, khususnya apa yang dialami oleh Masyarakat Adat Tobelo Boeng, sangat baik bagi Komisioner Komnas HAM mendengar keterangan langsung dari warga. Saudari Nove jangan ragu menjelaskan peristiwa yang dialami kepada Komnas HAM,” ucap Syamsul Alam Agus kepada Novenia agar lebih dalam menceritakan peristiwa yang dialaminya.

 

MHM melaporkan Nove dan Yulius Dagali (53 Thn) ke Polsek Wasile Selatan akibat ada penolakan warga yang berujung pada pemblokiran jalan masuk perusahaan. MHM menggunakan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Adapun ancaman pasal tersebut adalah dipidana dengan hukuman kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta. Di pihak lainnya, MHM belum melakukan kewajibannya terhadap masyarakat sebelum melakukan aktivitasnya.

 

Komisioner Komnas HAM, Hari Kurniawan, S.H dan Anis Hidayah, S.H, M.H, dalam tanggapannya bahwa Komnas HAM menerima pelaporan dan akan dengan segera merespon pengaduan tersebut dan memerintahkan salah seorang analis Komnas HAM mengawal kasus ini serta mengumpulkan informasi lanjutan.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi tim kuasa hukum Masyarakat Adat Tobelo Boeng dari Perhimpunan Pembela Adat Nusantara (PPMAN):

 

– Hendra Kasim, S.H, M.H – 082344999986
– Syamsul Alam Agus, S.H – 08118889083 (Koordinator PPMAN)

Masyarakat Adat Tobelo Dalam Dikriminalisasi oleh Polres Halmahera Timur. PPMAN : Batalkan Pemeriksaan Tahap II Terhadap Masyarakat Adat Tobelo Dalam

URGENT ACTION

 

Rekan2 sekalian,
Komunitas Masyarakat Adat Se-Nusantara dan Jaringan Organisasi Masyarakat Sipil

 

Mohon dukungannya untuk bersolidaritas atas upaya permohonan dua orang anggota masyarakat adat tobelo dalam yang saat ini di kriminalisasi oleh Polres Halmahera Timur.

 

Alen Baikole dan Samuel Gebe alias Samuel di kriminalisasi oleh Polres Halmahera Timur pada Maret 2023. Ke dua anggota masyarakat adat di tangkap dan disangkakan sebagai pelaku pembunuhan pada peristiwa 29 Oktober 2022.

 

Kedua tersangka menggunakan hak hukum yang di jamin konstitusi dengan mengajukan praperadilan di PN Soasio, Tidore Kepulauan, Maluku Utara.

 

Saat proses praperadilan berlangsung, setelah melalui proses pembuktian, Polres Halmahera Timur bekerjasama dengan Kejaksaan Negeri Tidore akan mempercepat proses P21 (berkas lengkap dan akan menjalani penuntutan).

 

Kami mohon solidaritas rekan2 masyarakat adat se nusantara untuk segera mengirimkan desakan kepada masing2 pihak berikut untuk membatalkan pemeriksaan tahap II (P21) berkas perkara yang akan dilangsungkan pada senin, 8 Mei 2023.

 

====================================================================================

 

Templete surat :

 

Kepada Yth.
Kepala Kejaksaan Negeri Tidore, Maluku Utara
C.q. Jaksa Peneliti Perkara tersangka Alen Baikole dan Samuel Gebe alias Samuel

 

Perihal: Penolakan Pemeriksaan Tahap II

 

Dengan hormat,

 

Saya, sebagai warga negara, prihatin dan terpanggil untuk mengingatkan bapak dalam penanganan perkara yang saat ini berproses di Polres Halmahera Timur dan akan dipaksakan oleh penyidik polres Halmahera Timur pelimpahan tahap II-nya ke Kejaksaan Negeri Tidore.

 

Hari ini, Minggu, 7 Mei 2023, saya telah mendapat informasi dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) selaku bagian dari Tim Advokasi Untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, bahwa Kasat Reskrim Polres Halmahera Timur, IPDA Muhammad Kurniawan, S.Tr.K. telah mengirimkan surat pemanggilan pemeriksaan tahap II Saudara Alen Baikole dan Samuel Gebe alias Samuel pada tanggal 8 Mei 2023 di Kejaksaan Negeri Tidore lewat pesan whatsapp. Usaha tidak terpuji dan terkesan dipaksakan ini dilakukan oleh Kasat Reskrim Polres Halmahera Timur ditengah proses Pra Peradilan yang diajukan oleh Saudara Alen Baikole dan Samuel Gebe.

 

Dari Tim Advokasi Untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam selaku kuasa pemohon praperadilan juga menyampaikan bahwa proses praperadilan yang di pimpin oleh majelis hakim tunggal PN Soasio, Tidore Kepulauan, Kemal Syarudin, S.H. akan memasuki tahap kesimpulan (8/5) dan agenda putusan pada tanggal 9 Mei 2023.

 

Kami mengikuti proses pra peradilan tersebut sejak awal digelar di PN Soasio. Dalam agenda pembuktian pada tanggal 4 dan 5 Mei 2023, melalui pembuktian surat dan keterangan saksi fakta dan ahli di hadapan majelis, pihak Termohon, dalam hal ini diwakili oleh Kasat Reskrim Polres Halmahera Timur dan Binkum Polda Maluku Utara tidak dapat mendalilkan alasan-alasan kuat guna menjawab fakta-fakta persidangan. Bahwa terungkap sebagai fakta persidangan, penetapan tersangka, penangkapan, penahahan dan penyitaan barang bukti tersangka dilakukan secara instan dalam kurun waktu 8 jam dihari yang sama (22 Maret 2023), hal ini telah menyebabkan ketidaktelitian dan sarat keterpaksaan sehingga melanggar prosedur. Mirisnya lagi, penyidik Polres Halmahera Tengah telah melakukan berbagai upaya yang dapat dikategorikan sebagai penggunaan kekuasaan yang eksesif (excessive use of force). Anggota kepolisian Halmahera Timur melampaui upaya yang dibutuhkan seperti penggunaan upaya paksa yaitu adanya tindakan penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan tersangka. Fakta persidangan melalui keterangan saksi terungkap bahwa penyidik telah melakukan penyiksaan kepada Alen Baikole dengan mengikat tangan dikursi, memukul dibagian wajah dan menginjak dibagian dada.

 

Saya selaku warga negara, mengingatkan Bapak selaku pihak yang akan menerima pelimpahan perkara tahap II, agar dapat melakukan penolakan atau penundaan terhadap rencana pelimpahan tahap II atas nama tersangka Alen Baikole dan Samuel Gebe alias Samuel karena proses pra peradilan yang tengah berlangsung dan juga pemberitahuan oleh pihak kepolisian Halmahera Timur yang mendadak, hanya lewat pesan whatsapp dan dilakukan pada hari libur (minggu, 7 Mei 2023).

 

Sebagaimana Bapak ketahui, Praperadilan bertujuan menegakkan dan memberikan perlindungan hak asasi manusia (HAM) tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Mekanisme ini dipandang sebagai bentuk pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan.

 

Penekanan atas maksud diatas, pada tanggal 4 April 2023, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah menerbitkan surat perlindungan khusus kepada Saudara Alen Baikole yang ditujukan kepada Kapolda Maluku Utara.

 

Saya merasa sangat keberatan dengan cara dan keputusan Kasat Reskrim Polres Halmahera Timur tersebut, karena permohonan praperadilan saudara Alen Baikole dan Samuel Gebe alias Samuel adalah instrumen hukum yang diakui dalam peraturan perundang-undangan yang dijamin oleh Konstitusi.

 

Praperadilan yang diajukan oleh tersangka merupakan bukti yang sangat penting untuk membela diri dalam sidang dan menyatakan adanya dugaaan pelanggaran KUHAP dan Perkap No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Perkara Pidana. Saya telah mempelajari dengan seksama materi permohonan tersebut serta mengikuti persidangan praperadilan yang digelar dan yakin bahwa fakta-fakta dalam persidangan praperadilan tersebut memiliki nilai bukti yang tinggi dan sangat relevan dengan dugaan pelanggaran atas penyidikan kasus yang sedang disangkakan oleh penyidik Polres Halamahera Timur.

 

Saya memahami bahwa sebagai jaksa yang akan menuntut perkara ini, Bapak memiliki hak untuk menolak atau menerima berkas perkara yang diajukan oleh penyidik. Namun, saya merasa bahwa keputusan Anda untuk menolak seluruh berkas perkara yang diajukan oleh penyidik Polres Halmahera Timur dalam sangkaan kepada Saudara Alen Baikole dan Samuel Gebe alias Samuel adalah sebuah keadilan yang berdasarkan pada fakta-fakta yang sebenarnya.

 

Saya berharap Bapak dapat mempertimbangkan kembali atas rencana pemeriksaan ke II saudara Alen Baikole Samuel Gebe alias Samuel. Saya memohon kiranya Bapak dapat mempertimbangkan kembali rencana tersebut setelah putusan praperadilan dibacakan di PN Soasio pada tanggal 8 Mei 2023.

 

Demikian surat ini saya ajukan. Saya berharap pihak yang Anda pimpin dapat mempertimbangkan dengan seksama keberatan saya ini dan memberikan keputusan yang adil dan seimbang bagi Alen Baikole dan Samuel Gebe Alias Samuel sebagai anggota Masyarakat Adat Tobelo Dalam.

 

Terima kasih atas perhatian Anda.

 

Hormat saya,

———

 

Dikirimkan kepada :
1. Kepala Kejaksaan Negeri Tidore, +62 821 87355684
2. Kapolres Halmahera Timur, +62 813 27772002
3. Komisi Kejaksan RI, +62 856 91514387
4. Ketua Komnas HAM, +62 812 9401766

MASYARAKAT ADAT (O Hagana Manyawa Tobelo Dalam) MENGGUGAT: GUGATAN PRA PERADILAN ATAS TINDAKAN SEWENANG-WENANG DAN PELANGGARAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH POLRES HALMAHERA TIMUR

PRESS RELEASE

 

Selasa, (2/5/2023) Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, Maluku Utara menggelar persidangan perdana pra Peradilan yang diajukan oleh 2 (dua) anggota Masyarakat Adat Tobelo Dalam (O Hagana Manyawa), yang bernama Samuel Baikole dan Alen Baikole.

 

Upaya hukum ini dilakukan karena adanya dugaan kesalahan prosedur dan tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Termohon (Kepolisian Polres Halmahera Timur) mulai dari proses penangkapan, penahanan dan penetapan sebagai tersangka. Bahwa, termohon melakukan penangkapan dan penahanan terhadap dua tersangka yang dituduh telah melakukan pembunuhan berencana terhadap seorang masyarakat dari Dusun Tukur-Tukur pada Oktober 2022. Persidangan ini dipimpin oleh Hakim Tunggal, Kemal Syafrudin, S.H.

 

Pada persidangan ini, kedua tersangka diwakili oleh kuasa hukumnya yang berasal dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Marimoi yang tergabung dalam Tim Advokasi Untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Kuasa hukum kedua tersangka berjumlah 11 advokat pembela yang berasal dari Jakarta, Makasar dan Ternate.

 

Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus, S.H. hadir dalam persidangan tersebut, ditemui setelah persidangan. Alam sapaannya, menjelaskan mengenai gugatan Praperadilan ini dilakukan karena diyakini adanya tindakan pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh Polres Halmahera Timur, mulai dari proses penangkapan, penahanan dan penetapan status kedua Masyarakat Adat sebagai tersangka. Tindakan ini merupakan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena termohon yang dalam Persidangan Pra Peradilan ini diwakilkan oleh Kasat Reskrim Polres Halmahera Timur dan Binkum Polda Maluku Utara diduga telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Kedua tersangka.

 

“Berdasarkan keterangan yang kami miliki, sangat kuat dugaan bahwa penangkapan serta penahanan tersangka telah melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)” ungkap Alam.

 

Ketua PPMAN ini menambahkan bahwa tindakan Termohon dengan melakukan penyitaan terhadap barang milik Tersangka tanpa prosedur merupakan tindakan pelanggaran hukum, karena sejatinya penyitaan barang milik tersangka harus memiliki keterkaitan dengan suatu peristiwa pidana, dan selain itu penyitaan harusnya dilakukan melalui proses di Pengadilan, sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), atau setidaknya mengacuh pada Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana.

 

Sementara Ketua Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Maharani Caroline, S.H. mengatakan bahwa tindakan termohon dengan melakukan kekerasan dengan cara menendang, memukul, mengikat tangan tersangka di kursi, mengintimidasi dan mengancam agar kedua tersangka mengakui perbuatan yang tidak dilakukan merupakan tindakan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang harus dituntut secara hukum.

 

Perempuan yang biasa disapa dengan Rani ini juga menambahkan bahwa gugatan Prapid ini juga meminta kepada Termohon untuk memberikan ganti kerugian atas tindakan yang telah merugikan kedua tersangka, kerugian baik itu secara materiil maupun imateriil.

 

“Selain itu Termohon harus melakukan rehabilitasi nama baik kedua tersangka melalui media lokal dan media nasional”, tuntut Rani.

 

Pra Peradilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentikan penuntutan dan Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi ( pasal 1 angka 10 KUHAP).

 

Agenda persidangan pra peradilan berikutnya pada tanggal 3 sampai dengan 9 Mei 2023 adalah pembuktian, kesimpulan para pihak dan majelis tunggal pada tanggal 9 Mei 2023 rencananya akan menjatuhkan putusan atas perkara ini.

 

Narahubung :
Syamsul Alam Agus – 08118889083
Maharani Caroline – 082187358212

 

***

Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam Laporkan Dugaan Kekerasan Polisi di Haltim ke Komnas HAM

Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Tobelo Dalam resmi mendaftarkan permohonan pra Peradilan ke Pengadilan Negeri Kelas II Soasio, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Rabu (5/4).

 

Permohonan pra Peradilan dengan nomor 1/Pid.Pra/2023/PN.Sos itu ditujukan kepada Polres Halmahera Timur sebagai Termohon.

 

 

Sebelumnya, anggota Polres Haltim selaku Termohon menangkap dan menahan dua orang Masyarakat Adat Suku Togutil Tobelo Dalam bernama Alen Baikole dan Samuel Baikole.

 

Alen diamankan di tempat kerjanya, lingkungan SP3 Desa Subaim. Sedangkan Samuel di rumahnya, Dusun II Smean, Kecamatan Buli, Haltim.

 

PPMAN dan LBH Marimoi yang tergabung dalam Tim advokasi menilai, langkah Polres Haltim tidak sesuai prosedur hukum.

 

Bahkan, proses penggeledahan atau penyitaan dinilai keliru dan bertentangan dengan ketentuan serta undang-undang yang berlaku.

 

Ketua PPMAN, Syamsul Alam Agus, menilai tindak pidana yang disangkakan kepada para Pemohon adanya rekayasa yang seharusnya tidak dapat disangkakan.

 

“Langkah penangkapan, penahanan, hingga penetapan tersangka sarat pelanggaran HAM,” ucap Ketua PPMAN yang akrab dipanggil Alam

 

Menurutnya, dari banyaknya temuan pelanggaran itulah yang menjadi dasar tim advokasi mengajukan permohonan pra Peradilan.

 

Bagi Alam, praktik penegakkan hukum dan profesionalisme polisi sangat penting dalam menjalankan tugas dan fungsinya

 

“Tentu berdasarkan undang-undang, dan ini sebagai salah satu langkah korektif bagi Termohon dalam menjalankan tugasnya,” tandasnya.

 

Ketua Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Maharani Caroline, mengatakan dalam penangkapan, Termohon tidak memiliki surat penangkapan.

 

“Padahal KUHAP mengatur bahwa penangkapan tanpa surat perintah hanya dapat dilakukan saat seseorang tertangkap tangan,” jelasnya.

 

Di samping itu, sambung Maharani, Temohon menangkap para Pemohon disertai tindakan kekerasan. “Agar Pemohon mengakui perbuatannya,” katanya.

 

Selain itu, tindakan Termohon melakukan penyitaan telah melanggar aturan dalam KUHAP. Sebab, langkah penyitaan harus mendapat izin dari pengadilan.

 

“Tindakan Termohon menyita sebuah handphone milik Alen Baikole merupakan tindakan yang telah melanggar aturan KUHAP,” jelasnya.

 

***

PPMAN MENGECAM SEGALA BENTUK TINDAK KEKERASAN & PENANGKAPAN OLEH APARAT KEPOLISIAN TERHADAP MASYARAKAT ADAT DI BERBAGAI DAERAH

Oleh Apriadi Gunawan

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengecam tindak kekerasan aparat kepolisian yang menangkap secara paksa sejumlah Masyarakat Adat di berbagai daerah.

 

Dalam data yang diterima sedikitnya ada 17 orang Masyarakat Adat yang ditangkap polisi dalam sepekan ini. Mereka adalah dua orang Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, yaitu Alen Baikole dan Samuel serta 15 orang Masyarakat Adat dari Kampung Dingin, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, yaitu Prans, Maring, Priska, Andi, Ayes, Fitra, Riko, Ilham, Uban, Misen, Rio, Ferdinan Salvino, Sastiano Kesek, Dominikus, dan Ferdy.

 

Ketua Badan Pelaksana PPMAN Syamsul Alam Agus menyebut bahwa mereka telah menerima pengaduan mengenai penangkapan dan penyiksaan yang dialami oleh 17 orang Masyarakat Adat tersebut.

 

Di Tobelo Dalam, kasus penangkapan dan penyiksaan terhadap Alen Baikole dan Samuel,  diduga erat terhubung dengan pembatasan atas upaya enam orang Masyarakat Adat yang ingin menggunakan hak hukumnya dalam membela dan membuktikan skenario “peradilan sesat” yang membuat mereka dipenjara seumur hidup dan mendekam 20 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Ternate.

 

Ketua Badan Pelaksana PPMAN yang biasa dipanggil Alam menerangkan kalau kedua korban ditangkap dan mengalami penyiksaan saat proses interogasi kepolisian, sementara anggota keluarga dibatasi aksesnya untuk bertemu. Kemudian, korban juga dibatasi haknya untuk mendapatkan layanan bantuan hukum pengacara sesuai dengan pilihan dan keputusan korban.

 

“Upaya sistematis (atas) kriminalisasi ini merupakan cara kepolisian membungkam suara penolakan Masyarakat Adat atas pembangunan yang merusak wilayah adat mereka,” kata Alam pada Senin (27/3/2023).

 

Penangkapan Masyarakat Adat Tobelo Dalam

 

Alam menerangkan bahwa pada 22 Maret 2023, pihak kepolisian di Halmahera Timur, kembali menangkap dan menahan seorang Masyarakat Adat bernama Alen Baikole dari Suku Togutil, Tobelo Dalam, Maluku Utara. Alen ditangkap di tempat kerjanya di Subaim pada pagi hari.

 

Alam menyatakan, berdasarkan informasi yang dihimpun PPMAN di lokasi, diduga Alen telah mengalami penyiksaan saat penangkapan dan interogasi oleh pihak kepolisian di Halmahera Timur.

 

“Ada luka memar di wajah Alen, diduga akibat pukulan saat dilakukan interogasi. Alen juga mengeluhkan sakit di bagian dada dan seluruh badannya karena ditendang,” ungkap Alam sembari menambahkan informasi kedua tangan Alen dalam kondisi terikat di kursi saat dilakukan interogasi.

 

Selanjutnya, Alen Baikole ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pelaku pembunuhan yang diduga terjadi pada 29 Oktober 2022 di Kebun Semilo, Desa Gotowasi, Kecamatan Maba Selatan, Halmahera Timur. Alen ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Maret 2023.

 

Alam mengatakan, tuduhan atas kasus pembunuhan yang dilakukan Alen, coba dipaksakan lewat istrinya. Penyidik Polres Halmahera Timur menekan dan memaksa istri Alen yang berinisial Y untuk mengakui bahwa Alen benar telah melakukan pembunuhan pada 29 Oktober 2022. Namun, Y berusaha meyakinkan penyidik bahwa suaminya Alen tidak pernah melakukan pembunuhan karena pada waktu peristiwa disebutkan, Alen sedang bersamanya.

 

“Ironisnya, dengan nada mengancam akan memenjarakan Y selama 7 tahun, anggota kepolisian tetap memaksa Y untuk membenarkan tuduhannya,” ujarnya.

 

Selain menangkap Alen, petugas polisi di Polres Halmahera Timur juga menangkap seorang Masyarakat Adat bernama Samuel. Penangkapan Samuel dilakukan polisi sehari sebelum Alen ditetapkan sebagai tersangka. Samuel ditahan penyidik Polres Halmahera Timur pada 21 Maret 2023. Samuel diduga mendapat tekanan dalam proses pengambilan keterangan.

 

“Penangkapan kedua anggota Masyarakat Adat Tobelo Dalam ini dilakukan polisi saat mereka sedang berjuang mempertahankan wilayah adatnya dari ekspansi modal dan pembangunan di wilayah Masyarakat Adat Tobelo Dalam yang masif,” ungkap Alam.

 

Dikatakan Alam, kasus kriminalisasi yang dilakukan polisi terhadap Masyarakat Adat Tobelo Dalam, bukan yang pertama.

 

Sebelumnya pada 29 Maret 2019, Masyarakat Adat Tobelo yang bernama Habel Lilinger alias Hambiki alias Niklas Dilingir, Hago Baikole alias Hago, Rinto Tojouw alias Rinto, Toduba Hakaru alias Toduba, Awo Gihali alias Awo, dan Saptu Tojou alias Saptu ditangkap polisi atas tuduhan telah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana.

 

Keenam Masyarakat Adat tersebut bekerja sebagai petani dan pemburu. Mereka berdomisili di Desa Dodaga, Kecamatan Wasile Timur, Halmahera Timur.

 

Pada 30 Maret 2020, Pengadilan Negeri Soasio menjatuhkan hukuman bervariasi kepada enam Masyarakat Adat Tobelo Dalam. Habel Lilinger alias Hambiki alias Niklas Dilinger dan Hago Baikole alias Hago dipidana penjara seumur hidup, Toduba Hakaru alias Toduba dan Saptu Tojou alias Saptu dipidana penjara 20 tahun penjara, dan Rinto Tojou alias Rinto dan Awo Gihali alias Awo dipidana penjara selama 16 tahun.

 

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan banding atas putusan tersebut. Selang satu bulan pada 30 April 2020, Pengadilan Tinggi Maluku Utara memperberat pidana masing-masing terdakwa, di antaranya Habel Lilinger alias Hambiki alias Niklas Dilinger dan Hago Baikole alias Hago dengan pidana mati, Toduba Hakaru alias Toduba dan Saptu Tojou alias Saptu dengan pidana penjara seumur hidup, serta Rinto Tojouw dan Awo Gihali alias Awo dengan pidana penjara 20 tahun. Atas putusan Pengadilan Tinggi Maluku Utara itu, para terdakwa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

 

Alam menerangkan bahwa Alen Baikole yang kini ditangkap dan ditahan di Polres Halmahera Timur, diketahui memiliki fakta- fakta atas dugaaan “peradilan sesat” terhadap enam Masyarakat Adat Tobelo Dalam.

 

Menurutnya, penangkapan Alen Baikole dapat menjadi halangan bagi keenam terpidana dalam memperjuangkan keadilan melalui proses Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung. Sebaliknya, penangkapan Alen Baikole akan memberi ruang bagi kepolisian menutupi skenario kriminalisasi yang selama ini digunakan untuk membungkam suara kritis Masyarakat Adat di Tobelo Dalam atas pembangunan yang merusak lingkungan dan menghancurkan wilayah adat.

 

Saat ini, kata Alam, PPMAN dan Lembaga Bantuan Hukum Marimoi yang terhimpun sebagai Tim Pembela untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, akan memberi bantuan hukum kepada Alen Baikole serta enam terpidana lain.

 

“Mereka telah menjadi korban kriminalisasi anggota kepolisian yang pantas dibela untuk mendapatkan keadilan,” katanya.

 

Penangkapan Masyarakat Adat Kutai Barat

 

Sementara di Kutai Barat, aparat kepolisian melakukan penangkapan terhadap sejumlah Masyarakat Adat dari lokasi tambang batubara PT Energi Batu Hitam (EBH) di Kampung Dingin, Kecamatan Muara Lawa, Kabupaten Kutai Barat pada Sabtu (25/3/2023). Selain Masyarakat Adat, polisi juga menangkap seorang pengacara bernama Sastiano Kesek.

 

Alam menyatakan bahwa penangkapan anggota Masyarakat Adat beserta pengacaranya itu, berawal saat Sastiono merekam kedatangan puluhan anggota polisi ke sebuah tenda terpal yang didirikan warga. Peristwa itu disiarkan langsung melalui Facebook pada pukul 14.00 WITA.

 

Sekitar empat menit kemudian, anggota kepolisian mendatangi tenda warga. Mereka mengatakan bahwa mereka mendapat perintah untuk melaksanakan pembongkaran tenda warga.

 

Setelah itu, tidak diketahui pasti apa yang terjadi karena video mati. Lalu, sekitar pukul 16.00 WITA, beredar lagi video beberapa pria sudah berada dalam mobil yang diduga kendaraan dari kepolisian. Ada dua orang pria yang tangannya diborgol, sedangkan beberapa orang lainnya tidak diborgol.

 

Alam mengatakan bahwa mereka akan memberikan pendampingan hukum terhadap Masyarakat Adat yang ditangkap polisi. “Mereka korban kriminalisasi yang pantas untuk dibela dan mendapatkan keadilan,” kata Alam.

 

***

Pelatihan Paralegal, Sebuah Jalan Penguatan Kapasitas bagi Pembela Masyarakat Adat di Kutei Cawang ‘An Kab. Rejang Lebong Prov. Bengkulu Region Sumatera

Rejang Lebong, Bengkulu, 11 Maret 2022, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), bekerjasama dengan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melaksanakan pelatihan paralegal bagi Komunitas Masyarakat Adat bertempat di komunitas Masyarakat Adat Cawang ‘An, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.

 

Pelatihan ini dihadiri oleh tiga puluh satu anak muda yang terdiri dari laki-laki dan perempuan sebagai utusan dari Komunitas Masyarakat Adat di wilayah Bengkulu.

 

Pembukaan Pelatihan Paralegal pada Sabtu (11/03/2023) dihadiri oleh Tokoh Masyarakat Adat dari Komunitas Cawang ‘An, Kepala Desa Cawang Lama, Ketua Pelaksana Harian Daerah (PHD) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rejang Lebong, Ketua PW AMAN Bengkulu, Koordinator PPMAN Region Sumatera beserta anggotanya, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VII, Direktorat KMA, PB AMAN dan Seknas PPMAN.

 

Sjamsul Hadi, Direktur KMA mengatakan bahwa pelatihan paralaegal ini merupakan implementasi dari adanya kerjasama antara Direktorat KMA dan PPMAN yang telah dilaksanakan pada tahun 2022. Sjamsul menambahkan bahwa memang sangat diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah dan NGO khususnya dalam ini PPMAN yang melakukan penanganan kasus dan advokasi Masyarakat Adat. Sjamsul begitu akrab disapa menambahkan bahwa tugas dan kewajiban Pemerintah untuk melakukan advokasi walaupun terkadang pemerintah baik itu pusat maupun daerah melakukan pelanggaran hukum terhadap Masyarakat Adat, selain pemerintah, perusahaan juga melakukan pelanggaran hukum yang akhirnya banyak masyarakat adat yang hak-haknya dilanggar sementara PPMAN melakukan pendampingan dan pembelaan terhadap Masyarakat Adat yang memiliki masalah hukum karena memperjuangkan hak-haknya.

 

Sementara Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus menyampaikan bahwa kerjasama dengan KMA akan terus berlanjut di beberapa daerah lainnya. Laki-laki yang biasa disapa Alam ini, menambahkan harapannya pelatihan paralegal dilakukan agar masyarakat adat memiliki kemampuan untuk memahami hukum, memahami dan melihat kondisi masalah yang ada di komunitas Masyarakat Adat dan juga memiliki kemampuan untuk mendampingi masyarakat adat yang memiliki masalah hukum karena memperjuangkan hak-haknya.

 

Pelatihan paralegal ini juga dihadiri Ketua PHW AMAN Bengkulu, Deff Tri Hardianto, dan memberikan sambutan, dalam sambutannya Ketua PHW AMAN Bengkulu ini mengatakan pelatihan paralegal ini sangat penting mengingat begitu banyak masalah hukum yang terjadi di komunitas masyarakat adat di wilayah Bengkulu. Laki-laki yang biasa di panggil Deff Tri ini mengatakan hampir semua Masyarakat Adat memiliki masalah hukum mulai dari masalah penguasaan tanah ulayat dan juga ada masalah masyarakat adat yang mendapatkan tindakan kriminalisasi dari aparat karena memperjuangkan hak-haknya. Deff Tri berharap dengan adanya anggota komunitas Masyarakat Adat yang mengikuti pelatihan paralegal ini dapat memberikan ilmu dan pengetahuan yang diperoleh untuk kepentingan pendampingan maupun pembelaan terhadap Masyarakat Adat, mengingat sangat susah mencari advokat yang secara ikhlas dan sukarela mau membantu masyarakat adat. Walaupun saat ini sudah ada beberapa advokat anggota PPMAN yang siap membantu Masyarakat Adat, namun keberadaan advokat tersebut masih kurang, karena semakin banyak masalah hukum yang terjadi dan dialami oleh masyarakat adat.

 

Sementara Koordinator PPMAN Region Sumatera, Suryadi dalam sambutannya menyampaikan Lokalatih Paralegal ini dilakukan untuk meningkatkan kapasitas Masyarakat Adat untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya dan komunitas adatnya. Surya menambahkan peserta lokalatih paralegal diberikan pengetahuan Hukum Dasar, HAM, Gender, dan Keorganisasian agar kelak mampu menjembatani kerja kerja advokat. Koordinator PPMAN ini menambahkan, Ada banyak kader Paralegal yg telah berpraktek dan berhasil membela komunitas Masyarakat Adat di region Sumatra. PPMAN juga telah beberapa kali melaksanakan pelatihan paralegal di komunitas Kuntu kampar, Talang Mamak dan Inhu nah. Surya berharap agar kegiatan ini berjalan lancar dan menghasilkan Paralegal yang berkualitas, memiliki pengetahuan yang baik dalam melakukan kerja advokasi ke depannya.

***

Putusan Mahkamah Agung Menyatakan Masyarakat Adat Sebagai Penerima Manfaat Nilai Ekonomi Karbon

Mahkamah Agung pada 20 Februari 2023 telah mengeluarkan putusan perkara hak uji materiil yang diajukan oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan teregister dengan No.61/P/HUM/2022.

 

Putusan MA tersebut berdasarkan atas pengajukan permohonan hak uji materiil terhadap Peraturan Peraturan Presiden No.98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

 

Permohonan tersebut diajukan oleh Kesatuan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibarani, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Wahid, salah seorang warga Kasepuhan Cibarani.

 

Dalam pertimbangan hukumnya, MA menyatakan bahwa Masyarakat Adat merupakan pelaku utama dalam pengelolaan perhutanan sosial yang diperbolehkan melakukan pemanfaatan hutan pada: hutan adat dengan fungsi hutan lindung; dan hutan adat dengan fungsi hutan produksi, dalam bentuk kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan yaitu penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.

 

Lebih lanjut, dalam putusannya tersebut, MA menyatakan bahwa Masyarakat Adat merupakan penyelenggara Nilai Ekonomi Karbon dalam Pasal 46 ayat (2) huruf d Perpres Nomor 98/2021 karena kontribusinya pada peningkatan cadangan karbon melalui pemanfaatan hutan dalam bentuk kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan.

 

 

Syamsul Alam Agus, S.H., selaku Ketua PPMAN, menyatakan bahwa putusan MA tersebut perlu diapresiasi dan merupakan bukti pengakuan eksistensi hukum Masyarakat Adat dalam sistem hukum di Indonesia.

 

“Pertama, apresiasi kami sampaikan kepada Mahkamah Agung yang telah menyatakan melalui pertimbangan hukumnya, bahwa Masyarakat Adat termasuk penyelenggara Nilai Ekonomi Karbon karena kontribusinya pada peningkatan cadangan karbon,” ujarnya melalui keterangan pers.

 

Alam juga menilai bahwa Perpres No.98/2021 tidak menegaskan posisi Masyarakat Adat sebagai penyelenggara NEK, sementara Masyarakat Adat merupakan subyek hukum yang berkontribusi langsung terhadap peningkatan cadangan karbon. Selain itu, putusan tersebut juga semakin menegaskan pengakuan kedudukan hukum masyarakat adat dalam permohonan Hak Uji Materiil di MA.

 

“Kedua, Putusan MA juga sudah memberikan pengakuan terhadap kedudukan hukum (legal standing) Masyarakat Adat. Ketiga, kami mendorong agar pemerintah dalam menerbitkan regulasi terkait teknis hak-hak Masyarakat Adat sebagai penerima manfaat atas karbon, memperhatikan Putusan MA tersebut,” sambung Alam.

 

MA menyatakan Para Pemohon Hak Uji Materiil No. 61/P/HUM/2022, yang notabene salah satunya adalah Masyarakat Adat, diakui kedudukan hukumnya sebagai Pemohon.

 

“Hal ini tentunya merupakan kabar gembira, setelah sebelumnya Mahkamah Konstitusi juga melalui Putusan No. 35/PUU-X/2012 mengakui dan menerima kedudukan hukum masyarakat adat sebagai pemohon Uji Materiil,” tegasnya.

 

SYAMSUL ALAM AGUS, S.H.
Ketua PPMAN
CP: 0811-8889-083

***

PPMAN : Hakim PN Palopo Harus Segera Bebaskan Mahasiswa Korban Kriminalisasi

Oleh Apriadi Gunawan

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) meminta majelis hakim untuk membebaskan 12 mahasiswa yang tengah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Palopo, Sulawesi Selatan karena telah menjadi korban penegakan hukum yang tidak adil usai mendemo dugaan korupsi dalam tubuh Kejaksaan Negeri Palopo.

 

PPMAN menilai bahwa betapa pun tajamnya pedang keadilan, ia seharusnya tidak memenggal kepala orang yang tidak bersalah, apalagi mahasiswa yang sedang menyoroti penegakan hukum atas dugaan tindak pidana korupsi.

 

Mohammad Maulana, penasihat hukum PPMAN, menyatakan kalau para mahasiswa yang saat ini diadili di PN Palopo merupakan korban penegakan hukum yang sarat dengan serentetan pelanggaran hak. Menurutnya, tidak ada alasan untuk menghukum mereka.

 

“Di persidangan, tidak ada satu pun fakta yang mengonfirmasi bahwa terdapat perbuatan yang melanggar hukum. Ini bukti bahwa para mahasiswa tidak bersalah, (sehingga mereka) seharusnya dibebaskan,” kata Maulana kepada wartawan pada Senin (13/2/2023).

 

Ia menyatakan, pada sidang putusan yang akan dijadwalkan tanggal 21 Februari 2023, pihaknya berharap majelis hakim dapat memberikan keadilan bagi para terdakwa yang notabene masih berstatus sebagai mahasiswa.

 

“Kami berharap majelis hakim membebaskan para mahasiswa,” kata Maulana.

 

Kejanggalan pada Fakta Persidangan

 

Maulana menyatakan bahwa semua fakta persidangan telah diabaikan oleh kejaksaan. Menurutnya, para mahasiswa telah memberikan potret baik atas dukungan pada semangat pemberantasan korupsi. Namun, jaksa penuntut umum justru memperlihatkan hal yang sebaliknya dalam perkara tersebut. Dengan menarasikan aksi demonstrasi sebagai kekerasan, tegas Maulana, jaksa menuntut 12 orang terdakwa mahasiswa dengan hukuman 3-7 tahun.

 

“Tuntutan jaksa ini memperlihatkan semangat anti-demokrasi dan anti-kritik dalam kasus ini,” ungkapnya.

 

Atas tuntutan yang mengada-ada itu, penasihat hukum terdakwa telah mengajukan nota pembelaan atau pledoi terhadap surat tuntutan jaksa penuntut umum. Maulana menyebut bahwa pledoi yang mereka soroti bukan hanya tentang tuntutan yang terlalu tinggi, tapi fakta yang ditutupi.

 

Ia menyebut dalam persidangan bahwa ada dua hal yang selama penyidikan dan penuntutan yang tampaknya sengaja disembunyikan. Pertama, terkait CCTV yang tidak pernah diperlihatkan secara transparan.

 

“Ini aneh,” tandasnya.

 

Kedua, terkait dengan pemeriksaan konstruksi pagar rubuh yang menimpa dua satpam kejaksaan, di mana satu di antaranya meninggal. Maulana menyatakan kalau beberapa saksi yang dihadirkan jaksa di persidangan, menerangkan bahwa interval robohya pagar, adalah kurang dari dua menit. Kalau pun ada aktivitas dorong mendorong pagar yang membuat pagar roboh dalam waktu secepat itu, maka bisa saja menimbulkan pertanyaan pada kualitas pagar yang dibangun pada dua minggu sebelum insiden bertanggal 21 Juli 2022 tersebut.

 

Maulana juga memaparkan adanya berbagai pengkambinghitaman terhadap para terdakwa di hadapan persidangan, mulai dari skenario laporan yang dibuat bukan oleh pelapor, namun pihak kepolisian; BAP yang bertentangan dengan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum; CCTV yang disembunyikan; dan penghindaran pemeriksaan terhadap proyek pembangunan pagar.

 

Maulana menyatakan bahwa sebelum insiden yang berujung pada tewasnya Abdul Azis itu, Kejaksaan Negeri Palopo seharusnya membuka ruang dialog dalam menyambut aksi demontrasi mahasiswa. Menurutnya, insiden tersebut terjadi akibat keengganan untuk membuka ruang dialog, sehingga terkesan menutupi proses tindak lanjut atas penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang dipersoalkan mahasiswa.

 

“Saat aksi mahasiswa, Kejaksaan Negeri Palopo justru menutup akses dengan memerintahkan (petugas) security untuk menutup pagar, yang seketika membuat rubuh pagar,” katanya.

 

Maulana menerangkan, alih-alih menunjukkan tanggung jawab terhadap insiden kecelakaan tersebut, melalui serangkaian upaya tersistematis dalam rangkaian penyidikan dan penuntutan, Kejaksaan Negeri Palopo justru terkesan menunjukkan serangkaian upaya untuk menutup ruang pada tanggung jawab. Sebaliknya, mereka malah mengkambinghitamkan para mahasiswa atas insiden robohnya pagar. Padahal, insiden tersebut seharusnya dipandang sebagai momen penting dalam membuka borok pengerjaan proyek pembangunan pagar kantor yang sebelumnya juga telah dipersoalkan oleh publik terkait indikasi dugaan korupsi dalam tubuh Kejaksaan Negeri Palopo.

 

Akar Masalah

 

Maulana menerangkan bahwa permasalahan yang menyeret 12 mahasiswa ke pengadilan itu, berawal dari aksi protes di depan kantor Kejaksaan Negeri Kota Palopo pada 21 Juli 2022. Aksi mahasiswa dilakukan dalam rangka menuntut penuntasan sejumlah kasus dugaan korupsi yang ditangani Kejaksaan Negeri Palopo, seperti dugaan korupsi SPPD fiktif DPRD Palopo, dugaan korupasi pembangunan Puskesmas Sendan, dugaan korupsi terkait keterlibatan Dinas Pendidikan bersama oknum Kejaksaan Negeri Palopo. Namun, demo mahasiswa itu berujung kriminalisasi terhadap mahasiswa dan memakan korban dua orang satpam yang tertimpa gerbang yang roboh tersebut, satu di antaranya meninggal dunia.

 

***