Gugatan TUN PMH Penguasa: DPR dan Pemerintah Kembali Mangkir Dari Sidang

Press Release

 

Jakarta (16/11/2023) – Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Penguasa, dalam hal ini DPR dan Presiden RI, yang dilayangkan oleh Masyarakat Adat, telah masuk dalam tahapan sidang persiapan (dismissal process) kedua. Namun, kembali pihak tergugat tidak menghadiri sidang persiapan tersebut. Mereka digugat oleh Masyarakat Adat melalui kuasa hukumnya, yakni Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), karena RUU Masyarakat Hukum Adat tersebut tak kunjung selesai dalam kurun lebih dari 15 tahun. Padahal, sejak tahun 2020 lalu,  persiapan RUU di tingkat I telah selesai tapi tak kunjung menjadi RUU Inisiatif DPR. Akibatnya, Masyarakat Adat sering menjadi objek kriminalisasi dan kehilangan ruang hidup mereka. Tidak ada perlindungan dan pengakuan yang cukup terhadap mereka. Terbukti, menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) rentang 5 tahun kebelakang, 301 kasus menimpa Masyarakat Adat. PPMAN sendiri, selama Januari – Oktober 2023 telah menangani 33 kasus di mana 12 kasus terkait kriminalisasi dan perampasan lahan.

 

“Tampaknya pihak Tergugat yaitu Penguasa tidak merasa penting memperhatikan Masyarakat Adat. Komitmen membentuk payung hukum, Undang-Undang untuk Masyarakat Adat cuma janji kosong rejim penguasa,” ungkap Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pengurus PPMAN.

 

Menurut Pasal 63 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986  tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang  Perubahan atas Undang-Undang  Nomor 5 tahun 1986 tentang  Peradilan Tata Usaha Negara, kehadiran pihak Tergugat dibutuhkan dalam sidang persiapan guna melengkapi data dan memberi penjelasan agar gugatan Penggugat dapat lebih lengkap.

 

“Sehingga dapat diterjemahkan bahwa ketidakhadiran kembali pihak Tergugat dalam sidang ini adalah bentuk kesengajaan dalam menghalang-halangi Masyarakat Adat menuntut hak dasar mereka untuk diakui, dilindungi dan dihormati,” jelasnya lebih lanjut.

 

DPR dan Presiden RI digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur oleh AMAN, Masyarakat Adat Ngkiong Manggarai, Tobelo Dalam Halmahera, dan Osing Banyuwangi.

 

“Sebagai warga negara wajib untuk terus mengingatkan Pemerintah agar memenuhi kewajiban konstitusionalnya, terlebih kewajiban melindungi segenap rakyat Indonesia, tanpa terkecuali” pungkasnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi :

 

Syamsul Alam Agus, S.H – 0811.8889.083

 

Fatiatulo Lazira, S.H – 0812.1387.776

PPMAN: KETIDAKHADIRAN DPR DAN PRESIDEN DI PERSIDANGAN, PRESEDEN BURUK KETIDAKPATUHAN TERHADAP PROSES HUKUM

Press Release

 

Jakarta, (02/11/2023) – Sidang gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), dengan agenda pemeriksaan persiapan yang dilangsungkan di PTUN Jakarta, tidak dihadiri oleh DPR dan Presiden sebagai pihak tergugat.

 

Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) sekaligus sebagai kuasa hukum Para Penggugat menilai ketidakhadiran DPR dan Presiden di persidangan mengkonfirmasi ketidakberpihakan kedua lembaga negara itu terhadap Masyarakat Adat di Indonesia.

 

“Kami menyesalkan sikap DPR dan Presiden yang tidak menghargai proses hukum. Ketidakhadiran mereka di persidangan adalah contoh buruk ketidakpatuhan negara yang tidak patut dicontoh”, ujarnya.

 

Menurut Alam, sikap abai DPR dan Presiden sudah ditunjukkan sejak RUU Masyarakat Hukum Adat masuk dalam prolegnas pada tahun 2004 sampai dengan sekarang.

 

“DPR dan Presiden bersikap abai dan melakukan tindakan penundaan berlarut pada proses pembentukan UU Masyakarat Hukum Adat, yang merupakan kewajiban konstitusional kedua lembaga itu. Akibatnya, praktik perampasan wilayah adat, penggusuran masyarakat adat dari wilayah adat, diskriminasi dan kriminalisasi serta hilangnya identitas yang melekat pada Masyarakat Adat yang mempertahankan wilayah adatnya, terus berlanjut” jelas Alam.

 

Kuasa Hukum Masyarakat Adat saat menyerahkan berkas perkara
Kuasa Hukum Masyarakat Adat saat menyerahkan berkas perkara

 

Ia pun berharap, pengadilan dapat menjadi ruang bagi Para Penggugat untuk menuntut keadilan atas wilayah adatnya.

 

Adapun pihak penggugat adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), beserta 9 (sembilan) orang Perwakilan Masyarakat Adat. Mereka berasal dari Komunitas Masyarakat Adat Kasepuhan Cisungsang Jawa Barat, Komunitas Masyarakat Adat Osing Banyuwangi, Komunitas Masyarakat Adat Gendang Ngkiong Manggarai dan Komunitas Masyarakat Adat Tobelo Dalam Halmahera.

 

Permohonan Para Penggugat disebabkan karena DPR dan Presiden tidak menindaklanjuti proses pembentukan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat sehingga berimbas negatif terhadap pemenuhan hak-hak konstitusional para penggugat.

 

6 orang Masyarakat Adat Tobelo Dalam dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan 20 tahun penjara. Pada tingkat banding, mereka malah dijatuhi pidana hukuman mati dan penjara seumur hidup. Mikael Ane sendiri dipidana dengan hukuman penjara 1,5 tahun.

 

6 orang Masyarakat Adat Tobelo Dalam dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan 20 tahun penjara. Pada tingkat banding, mereka malah dijatuhi pidana hukuman mati dan penjara seumur hidup. Mikael Ane sendiri dipidana dengan hukuman penjara 1,5 tahun.

RUU Masyarakat Adat Tak Kunjung Disahkan, Masyarakat Adat Gugat DPR RI dan Presiden

SIARAN PERS Untuk segera diberitakan
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)

 

Jakarta (25/10/2023) – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendaftarkan gugatan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Presiden Republik Indonesia ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, pada 25 Oktober 2023. Gugatan tersebut berdasarkan pada perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).

 

Gugatan tersebut diajukan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang tidak kunjung dibahas oleh DPR dan Presiden RI. Meskipun RUU Masyarakat Adat telah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas Prioritas) DPR RI. RUU tersebut mandeg dan tidak pernah naik ke tingkat II (Paripurna) untuk menjadi RUU inisiatif DPR yang kemudian dibahas bersama Pemerintah.

 

“Sejak 2009, RUU Masyarakat Adat berproses tanpa ada kepastian. Situasi tersebut yang mendorong perwakilan kelompok Masyarakat Adat mengajukan gugatan,” ujar Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana Nasional Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Alam menjelaskan, pihak penggugat sebanyak sepuluh orang, satu mewakili organisasi Masyarakat Adat, yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Sementara tujuh di antara penggugat ada di dalam penjara yang diduga mengalami kriminalisasi.

 

“Ini menjadi poin penting. Karena tidak adanya UU perlindungan dan pengakuan Masyarakat Adat, mereka menjadi rentan mengalami kriminalisasi,” tegasnya.

 

Adapun pihak Penggugat yakni Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Adat Kasepuhan Karang Lebak Banten, Masyarakat Adat Ngkiong Manggarai Timur, Masyarakat Adat Osing Banyuwangi, dan Masyarakat Adat Tobelo Dalam Halmahera Maluku Utara.

 

 

Pendaftaran gugatan terhadap DPR dan Presiden RI telah diterima oleh PTUN dengan nomor perkara 542/G/TF/2023/PTUN Jakarta.

 

“Melalui gugatan ini kami ingin mengingatkan kepada pemerintah bahwa tanpa adanya payung hukum nasional yang secara khusus mengatur Masyarakat Adat, maka konflik di level komunitas Masyarakat Adat ke depan berpotensi semakin tinggi. Kami berharap pemerintah serius sehingga data kasus tidak sekedar menjadi angka statistik,” sambung Fatiatulo Lazira S.H, salah seorang tim kuasa hukum dari PPMAN.

 

Pembentukan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat sebagaimana amanat Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, merupakan kewajiban konstitusional DPR dan Presiden sebagai penyelenggara negara. Ketiadaan payung hukum khusus mengatur Masyarakat Adat membawa sejumlah konsekuensi negatif terhadap mereka, antara lain ancaman kriminalisasi atas akses pengelolaan hutan, hilangnya wilayah adat, bahkan lebih jauh, hilangnya eksistensi dan identitas adat itu sendiri.

 

AMAN mencatat selama 5 tahun belakang, terjadi 301 kasus perampasan wilayah adat. PPMAN juga mendata selama Januari hingga September 2023 telah terjadi 12 kasus kriminalisasi yang terkait dengan konflik pengakuan atas pengelolaan wilayah adat.

 

Pendaftaran gugatan TUN terkait perbuatan melawan hukum yang dilayangkan Masyarakat Adat mempertimbangkan banyak hal, salah satunya adalah momentum tahun politik 2024. Dalam konteks kontestasi pemilu, isu Masyarakat Adat kerap dijadikan bahan kampanye. Namun, setelah calon tersebut berkuasa, isu tersebut redup dan tak tersentuh.

 

 

Dampak Tidak Disahkannya RUU Masyarakat Adat

 

RUU Masyarakat Hukum Adat telah selesai diharmonisasi tetapi tidak pernah berlanjut untuk ditetapkan. Berkali-kali pula AMAN dan perwakilan Masyarakat Adat lainnya terus mengingatkan agar pembahasan dilanjutkan sehingga tersedianya kepastian hukum.

 

Rukka Sombolingi, Sekjen AMAN mengatakan bahwa pihaknya telah mengirimkan permohonan resmi untuk pembahasan RUU Masyarakat Adat, tepatnya pada 31 Juli 2023 ke DPR RI dan 1 Agustus 2023 ke presiden, tapi hingga saat ini tidak ada tanggapan dari para pembuat kebijakan.

 

“Karena tidak ada tanggapan, maka hari ini kami mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta,” ungkapnya.

 

Lebih lanjut, Rukka mengatakan bahwa RUU Masyarakat Adat yang tak kunjung disahkan, menujukan bahwa DPR dan pemerintah tidak bersungguh-sungguh untuk memberikan pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat.

 

Ia mencontohkan berbagai berdampak buruk bagi Masyarakat Adat di tingkat tapak akibat dari tidak adanya paying hukum nasional yang melindungi Masyarakat Adat. Misalnya, tentang mitigasi perubahan iklim dan transisi energi.

 

“Bendungan, PLTA, geothermal, dll, saat ini semua dibangun dengan merampas wilayah adat. Hutan-hutan terbaik yang selama ini dijaga oleh Masyarakat Adat, diklaim oleh pemerintah dalam urusan perdagangan karbon,” ujarnya.

 

Hal lain yang ia contohkan adalah Kawasan hutan lindung, konservasi, taman nasional, tambang, telah merugikan Masyarakat Adat karena diusir dari kampung halamannya, bahkan dikriminalisasi.

 

“Orang Tobelo Dalam yang mengalami stigma, bahkan dipenjara seumur hidup. Mikael Ane dihukum 1,5 tahun penjara karena hidup di wilayah adatnya yang diklaim oleh pemerintah sebagai kawasan hutan taman wisata alam. Ini dampak buruk dan membuat Masyarakat Adat rentan karena tidak adanya perlindungan dan kepastian hukum,” pungkasnya.

 

Narahubung
Syamsul Alam Agus, S.H – Ketua Badan Pelaksana PPMAN (0811-8889-083)
Fati Lazira, S.H – Kuasa Hukum Masyarakat Adat (0812-1387-776)

PERNYATAAN SIKAP ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN) DAN PERHIMPUNAN PEMBELA MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (PPMAN) ATAS TINDAKAN BRUTAL POLISI MENEMBAKI KOMUNITAS MASYARAKAT ADAT BANGKAL KABUPATEN SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Bogor, 7 Oktober 2023

 

Hari ini kembali kita menyaksikan brutalitas aparat kepolisian dalam melakukan penanganan konflik ketika Komunitas Masyarakat Adat berhadapan dengan perusahaan. 1 (satu) nyawa melayang dan 2 (dua) lainnya terluka akibat peluru senjata pihak kepolisian. Puluhan orang lainnya turut ditangkap. Untuk menjawab tuntutan Masyarakat Adat atas lahan plasma yang puluhan tahun tak juga diberikan oleh PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) I, sebuah entitas bisnis milik Best Group, Polisi tak segan menembaki Masyarakat Adat yang seharusnya mereka lindungi.

 

Pihak Kepolisian telah mengetahui bahwa konflik antara Masyarakat Adat dan perusahaan adalah akumulasi sikap perusahaan yang tidak tunduk pada sebuah proses perjanjian. Pihak Kepolisian juga mengetahui bahwa Masyarakat Adat Bangkal di Seruyan mayoritas merupakan Masyarakat Adat Dayak Temuan dan Kuhin. Akan tetapi, sepertinya pihak kepolisian lebih berpihak ke perusahaan, bukan menjadi pihak netral dalam melakukan pengamanan. Pihak Kepolisian diduga melanggar hak asasi manusia serta peraturan kepolisian terutama yang terkait prosedur penembakan, penanganan konflik sosial dan pedoman penanganan unjuk rasa.

 

Menyikapi brutalitas aparat kepolisian terhadap masyarakat sehingga menyebabkan 1 orang anggota Komunitas Masyarakat Adat meninggal dunia dan 2 lainnya terluka , Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyatakan beberapa hal sebagai berikut:

 

  1. Mengecam keras tindakan brutal (excessive power) aparat Kepolisian dalam melakukan penanganan konflik sosial dan unjuk rasa yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Bangkal, Seruyan, Kalimantan Tengah dengan melakukan penembakan dan penangkapan;
  2. Mengecam tindakan aparat Kepolisian melakukan pemblokiran akses keluar masuk kampung dan Desa Bangkal. Tindakan yang kami nilai telah melanggar konstitusi dan hak asasi manusia terutama hak dasar Masyarakat Adat atas akses ekonomi, sosial, politik dan budaya.
  3. Mendesak pihak Kepolisian membebaskan sejumlah Masyarakat Adat yang ditangkap ketika berunjuk rasa memprotes perusahaan;
  4. Mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk memberikan dan memenuhi hak-hak hukum Masyarakat Adat di Desa Bangkal, baik yang tertembak dan juga yang ditahan;
  5. Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar memerintahkan penarikan pasukan pengamanan perusahaan dan mengedepankan upaya dialog bersama semua pemangku kepentingan di Desa Bangkalan, Seruyan;
  6. Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar melakukan penyidikan terhadap pelaku penembakan di Desa Bangkal serta menonaktifkan Kapolres Seruyan dan Kapolda Kalteng sebagai pertanggung jawaban komando wilayah (command responsibility) sehingga terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia;
  7. Mendorong Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) membentuk Tim Pencari Fakta Independen agar melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Komunitas Adat Bangkal Seruyan sehingga hasil tersebut dapat digunakan sebagai bahan proses yudisial sebagai bentuk upaya selanjutnya;
  8. Mendesak agar dilakukan uji balistik oleh pihak independen agar peristiwa penembakan terhadap Komunitas Masyarakat Adat Bangkal dapat dijelaskan secara objektif
  9. Demikian pernyataan sikap ini disampaikan, agar menjadi masukan dan perhatian bagi Kepolisian Republik Indonesia dalam melakukan penanganan konflik di Komunitas Adat Bangkal, Seruyan, Kalimantan Tengah.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

 

Erasmus Cahyadi, S.H – Deputi II Sekjen AMAN bidang Politik dan Hukum (0812-8428-0644)
Syamsul Alam Agus, S.H – Ketua Badan Pelaksana PPMAN (0811-8889-083)

PPMAN: HENTIKAN UPAYA KRIMINALISASI MASYARAKAT ADAT POCO LEOK

SIARAN PERS

 

Manggarai (4/10/2023) – 7 (tujuh) warga Masyarakat Adat Poco Leok, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, mendapat pemanggilan klarifikasi di Kepolisian Resor Manggarai. Pemanggilan warga tersebut dilatarbelakangi oleh aktivitas warga Poco Leok yang menolak adanya pembangunan pembangkit listrik Geothermal (PLTP Ulumbu) di wilayah adat mereka.

 

Seperti yang diketahui bersama, pembangunan pembangkit listrik panas bumi di wilayah Poco Leok masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Masyarakat Adat Poco Leok telah melakukan 19 kali aksi penolakan terhadap proyek geothermal tersebut. Adapun alasan kepolisian melayangkan surat undangan klarifikasi kepada ketujuh warga Adat Poco Leok karena ada laporan informasi Nomor: Li-R/14/IX/Res.5.2/2023/Reskrim tanggal 27 September 2023 yang kemudian pada tanggal yang sama keluar Surat Perintah Penyelidikan Sp.Lidik/339/IX/2023/Sat Reskrim.

 

“Surat pemanggilan yang berkedok undangan wawancara/ klarifikasi oleh pihak Kepolisian Resor Manggarai terindikasi merupakan skenario penekanan terhadap penolakan Masyarakat Adat Poco Leok, dengan kata lain, pola lama dan sering digunakan penguasa membungkam suara rakyat tertindas,” tegas Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Sebagai informasi, ketujuh warga Masyarakat Adat Poco Leok yang dipanggil pihak Polres Manggarai telah menghubungi PPMAN untuk mendapatkan nasehat hukum dan pendampingan hukum. Masyarakat bingung kenapa aktivitas menyuarakan pendapat dan mempertahankan wilayah adat dianggap sebagai perbuatan kriminal.

 

“Siapa yang tidak kecewa, marah bahkan melawan ketika tanah adatnya terancam hilang? Komunitas Masyarkat Adat hanya mempertahankan apa yang menjadi hak mereka sesuai konstitusi. Negara sepatutnya mengedepankan dialog intensif bukan malah menekan warga dengan cara-cara seperti melakukan pemanggilan,” jelasnya lebih lanjut.

 

Ketujuh warga Adat Poco Leok yang dipanggil terancam mendapatkan kriminalisasi menggunakan Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Pasal 73 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang dan atau Pasal 212 KUHP yang mengatur tentang kekerasan terhadap pejabat dengan ancaman penjara 1 tahun 4 bulan.

 

“Meniadakan dialog, mengerahkan pasukan kemudian terjadi kekerasan di lapangan lalu masyarakat di kriminalisasi adalah pola yang biasa terjadi ketika negara dalam hal ini penguasa lebih berpihak kepada uang daripada warganya sendiri,” ungkapnya.

 

PPMAN mendesak Pemerintah dan pihak kepolisian agar segera menghentikan pemanggilan kepada warga Adat Poco Leok dan lebih mengutamakan proses dialog yang mengedepankan prinsip-prinsip kesetaraan, keterbukaan dan pemahaman atas isu Masyarakat Adat. PPMAN melihat praktek lapangan pelaksanaan PSN sering berujung pada represivitas dan perampasan ruang hidup masyarakat, sebagaimana yang terjadi di beberapa wilayah program PSN.

 

“Dalam prakteknya, PSN kerap bermasalah dan melahirkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Ambil contoh kasus Waduk Lambo di Rendu Botowe dan kasus Rempang Eco City Batam. Hari ini di Poco Leok. Pemerintah seolah-olah tidak belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut. Kami harap segera hentikan upaya-upaya pembungkaman terhadap rakyat, agar kita dapat disebut beradab,” tutupnya.

 

Sebagai informasi tambahan, pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu yang menyasar Wilayah Adat Poco Leok, Manggarai, NTT, bermula dari penetapan Menteri ESDM di tahun 2017 atas wilayah Flores sebagai Pulau Panas Bumi. Penetapan tersebut termuat di dalam SK Menteri ESDM No.2268 K/MEM/2017. Kemudian, melihat potensi wilayah, PT PLN sebagai pemilik PLTP Ulumbu berniat mengembangkan kapasitas dari 7,5 MW menjadi 40 MW. Terpilih wilayah Poco Leok yang terdiri dari 14 Kampung Adat di 3 Desa.

 

Perluasan proyek panas bumi PLTP Ulumbu berdasarkan pada SK Nomor HK/417/2022 tentang Penetapan Lokasi Perluasan PLTP Unit 5-6 di Poco Leok yang diteken Bupati Manggarai. Poco Leok juga telah ditetapkan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), dan didanai oleh Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) melalui PT PLN (Persero). Terdapat 60 titik rencana pemboran yang dapat berakibat pada kerusakan lingkungan serta hilangnya ruang hidup Masyarakat Adat Poco Leok. Masalah terjadi ketika proyek tersebut tidak melibatkan partisipasi dan pendapat warga Adat Poco Leok. Pemerintah tidak mengakui adanya Masyarakat Adat Poco Leok.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

 

Syamsul Alam Agus, S.H (Ketua Badan Pengurus PPMAN) – 0811.8889.083
Ermelina Singereta, S.H, M.H (Manager Litigasi PPMAN) – 0812.1339.904

LIVING LAW: ANCAMAN BAGI MASYARAKAT ADAT DAN KEBERAGAMAN?

Pengesahan UU No. 1/2023 Tentang Kita Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat pengaturan terhadap perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang hidup sebagai tindak pidana, menuai pro dan kontra. Pengaturan ini dinilai cukup akomodatif sekaligus mengkonfirmasi eksistensi hukum adat, namun pada sa’at yang bersamaan dinilai mereduksi nilai-nilai yang hidup dan berkembang (living law) ke dalam sistem hukum yang normatif – positivistik.

 

“Pengaturan ini juga tidak serta-merta dapat dimaknai sebagai bentuk pengakuan terhadap komunitas masyarakat adat tertentu. Apalagi pada faktanya, paradigma penegakan hukum terhadap pengakuan masyarakat adat, masih diletakkan pada pengakuan secara legal administratif dalam bentuk peraturan daerah dan/atau keputusan administratif. Padahal konstitusi telah mengamanatkan pembentukan UU Tentang Masyarakat Adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

 

“Ketiadaan UU Tentang Masyarakat Adat turut memperumit konsep living law dalam KUHP sebagai tindak pidana dalam kaitannya dengan masyarakat adat yang selalu menjadi korban kriminalisasi, penggusuran, perampasan wilayah adat dan ruang hidup lainnya”, kata Syamsul Alam Agus, Ketua Umum Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Pria yang juga sedang mengadvokasi beberapa komunitas masyarakat adat itu bersama beberapa pengacara yang terhimpun dalam PPMAN, menuturkan bahwa per 1 Januari s/d 30 Juni 2023, PPMAN telah menangani sejumlah 27 (dua puluh tujuh) kasus masyarakat adat, dengan rincian: 11 (sebelas) kasus terkait perampasan lahan masyarakat adat, 10 (sepuluh) kasus terkait kriminalisasi masyarakat adat, 2 (dua) kasus kekerasan terhadap perempuan, 2 (dua) kasus lainnya terkait dengan pengrusakan aset.

 

“Pendekatan hukum terhadap kasus-kasus sebagaimana tersebut, tidak akomodatif terhadap hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat juga, bahkan penegak hukum tak jarang menegasikan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat dengan hukum nasional”, kritiknya.

 

Ancaman Bagi Kelompok Minoritas

 

Menurut Alam, pengaturan living law sebagai tindak pidana juga bertentangan dengan asas legalitas dalam hukum pidana.

 

“Dalam asas legalitas terkandung makna, bahwa hukum harus tertulis (lexs cripta), hukum harus jelas / tidak ambigu (lex certa), tidak boleh ditafsirkan secara analogi (lex stricta) dan tidak boleh diberlakukan surut (lex praevia). Rumusan Pasal 12 ayat (2) KUHP baru ini mengandung ketidakpastian hukum dan berpotensi melanggar hak asasi manusia, sebab hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) masih banyak yang tidak tertulis dan plural, karenanya dapat digunakan sebagai alat kriminalisasi terhadap setiap orang yang distigma menyimpang atau berbeda dengan kelompok masyarakat pada umumnya, utamanya kelompok minoritas”, jelasnya.

 

Untuk diketahui, UU No. 1/2023 Tentang Kita Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disahkan dan mencabut Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam Pasal 12 ayat (2) KUHP yang baru, mengatur: “Untuk dinyatakan sebagai Tindak Pidana, suatu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundang-undangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”.

 

***

DI PERSIDANGAN KRIMINALISASI MASYARAKAT ADAT NGKIONG, AHLI NILAI JPU TIDAK UPDATE PASAL PERUNDANG-UNDANGAN

Ruteng (21/8/2023) – Babak lanjutan persidangan di Pengadilan Negeri Ruteng, dengan terdakwa Mikael Ane, seorang tokoh Masyarakat Adat Gendang Ngkiong, yang di dakwa menduduki kawasan hutan, menghadirkan 2 Ahli untuk dimintai keterangannya. Para ahli tersebut adalah Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Ahli hukum pidana, Dr. Ahmad Sofian, S.H, M.H.

 

Agenda sidang Perkara dengan nomor 34/Pid.B/LH/2023/PN.Rtg tersebut ditujukan untuk mendengarkan keterangan ahli dan pandangan keilmuannya agar ditemukan kebenaran hukum tidak hanya formil namun juga materiil.

 

Dr. Ahmad Sofian, S.H, M.H., saat memberikan Keterangan sebagai Ahli Hukum Pidana
Dr. Ahmad Sofian, S.H, M.H., saat memberikan Keterangan sebagai Ahli Hukum Pidana

 

Di dalam persidangan tersebut, ketika ditanya oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ahmad Sofian sebagai ahli menyatakan bahwa JPU tidak memperhatikan dan update (mengikuti perkembangan) perubahan aturan perundang-undangan. Ahli tidak mau menjawab pertanyaan JPU karena apa yang ditanyakan sudah tidak berlaku lagi.

 

“Bagaimana saya menjawab rumusan unsur pasal yang sudah tidak berlaku lagi?” tegas Ahmad Sofian.

 

Di hadapan persidangan, JPU mendakwa Mikael Ane melakukan perbuatan sebagaimana di maksud dalam Pasal 78 ayat 2 UU 41/1999 tentang Kehutanan. Sedangankan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112, maka ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

Pasal 78 ayat 2 UU 41/1999 tentang Kehutanan, yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima Miliar Rupiah).”

 

Ahli juga menyampaikan pendapat terkait rumusan dakwaan kedua, yaitu Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengenaan pasal tersebut dikarenakan dalam dakwaan Mikael Ane dituduh melakukan aktivitas di dalam wilayah Taman Wisata Alam Ruteng.

 

“Pasal ini merupakan delik materiil yang mesti dibuktikan secara ilmu pengetahuan mengenai dampak kerusakan ekosistem sebagai akibat dari perbuatan terdakwa,” jelasnya lebih lanjut.

 

Bunyi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah “setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam”.

 

Sementara itu, pendamping hukum dari Mikael Ane, Maximilianus Herson Loi, S.H, memandang bahwa keterangan ahli pada hari ini menguatkan argumentasi hukum eksepsi yang sempat dilayangkan sebelum pemeriksaan saksi dan ahli. Oleh karenya, maka klien mereka layak untuk dilepaskan berdasarkan hukum.

 

“Selama persidangan berlangsung JPU tidak membuktikan delik materilnya yang sesuai dengan rumusan pasal dalam Dakwaan Kedua. Yang ada pembuktiannya Hanyar berdasarkan Keterangan Saksi Fakta yang sebenarnya bertolakbelakang dengan rumusan delik yang dimaksud dalam pasal tersebut ( psl 33 ayat 3 UU.No.5/1990 ttg Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya)”, paparnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi pendamping hukum Bapak Mikael Ane:

 

1. Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904
2. Herson, S.H – 0812-3831-7885

 

***

SEKJEND AMAN NILAI LAMBANNYA RESPON NEGARA TERHADAP PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT MENJADI SUMBER KRIMINALISASI MIKAEL ANE

Ruteng (21/8/2023) – Babak lanjutan persidangan di Pengadilan Negeri Ruteng, dengan terdakwa Mikael Ane, seorang tokoh Masyarakat Adat Gendang Ngkiong, yang di dakwa menduduki kawasan hutan, menghadirkan 2 Ahli untuk dimintai keterangannya. Salah satu Ahli yang didatangkan tim pendamping hukum Mikael Ane adalah Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

 

Rukka Sombolinggi, menyampaikan pengantar pendapat ahlinya, menekankan bahwa banyak konflik yang menimpa Masyarakat Adat disebabkan karena adanya perbedaan perspektif atas penguasaan lahan, dimana perbedaan tersebut tidak setara, sehingga yang satu cenderung represif. Padahal, baik aturan internasional dan hukum nasional juga memberikan pengakuan atas kehadiran Masyarakat Adat.

 

“Perkara ini sesungguhnya berkaitan erat dengan tema penghormatan, perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan hak Masyarakat Adat sebagaimana diatur di dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945. Akar perkara ini adalah competing claim, adanya 2 klaim terhadap satu wilayah yang sama. Bapak Mikael Ane memang tidak merasa bersalah karena mengelola wilayah yang secara turun temurun diwariskan dari leluhur untuk dimanfaatkan,” jelas Sekjend AMAN membuka keterangannya.

 

Rukka Sombolinggi (Sekjend AMAN) Saat Memberikan Keterangan Sebagai Ahli dalam Sidang Bapak Mikael Ane
Rukka Sombolinggi (Sekjend AMAN) Saat Memberikan Keterangan Sebagai Ahli dalam Sidang Bapak Mikael Ane

 

Dinamika isu Masyarakat Adat di level internasional tidak diikuti secara cepat juga di level nasional. Perkembangan hukum nasional seolah-olah mempunyai sifat paradoks (saling bertentangan) memandang status Masyarakat Adat di Indonesia. Dalam Konstitusi diakui, akan tetapi bentuk pengakuan membutuhkan proses berbelit serta lama, sehingga tidak menjawab kebutuhan perlindungan dan pengakuan atas Masyarakat Adat yang telah ada jauh sebelum negara terbentuk.

 

“Doktrin hak menguasai negara telah berkali-kali dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi. Contohnya melalui putusan MK No. 35/PUU-X/2012, yang secara ringkas menyimpulkan bahwa penguasaan negara atas hutan di wilayah adat adalah bertentangan dengan UUD 1945. Pengakuan kepada Masyarakat Adat berbelit-belit dan politis karena melalui Peraturan Daerah (Perda),” ujarnya.

 

Pada kesimpulan akhirnya, Rukka Sombolinggi menegaskan bahwa kasus yang menimpa Mikael Ane seharusnya tidak terjadi apabila Negara dalam hal ini Pemerintah beserta seluruh aparaturnya memahami konsep dan aspek hukum terhadap Masyarakat Adat. Kelambanan Negara merespon kebutuhan atas perlindungan dan pengakuan terhadap Masyarakat Adat berpengaruh kepada rendahnya penghormatan kepada Masyarakat Adat. Kekeliruan tersebut semestinya di sadari dan dihentikan. Ia memohon Mikael Ane dilepaskan.

 

“Pengabaian yang tercermin dari kelambanan negara dalam menjalankan kewajiban konstitusi ini tidak boleh ditimpakan kepada Bapak Mikael Ane. Oleh karena itu alangkah bijaksana apabila Majelis Hakim yang mulia melepaskan Bapak Mikael Ane dari seluruh tuntutan,” tutupnya.

 

Sementara itu, pendamping hukum dari Mikael Ane, Maximilianus Herson Loi, S.H, memandang bahwa keterangan ahli pada hari ini menguatkan argumentasi hukum eksepsi yang sempat dilayangkan sebelum pemeriksaan saksi dan ahli. Oleh karenya, maka klien mereka layak untuk dilepaskan berdasarkan hukum.

 

“Selama persidangan berlangsung JPU tidak membuktikan delik materiilnya yang sesuai dengan rumusan pasal dalam Dakwaan Kedua. Yang ada pembuktiannya Hanya berdasarkan Keterangan Saksi Fakta yang sebenarnya bertolak belakang dengan rumusan delik yang dimaksud dalam pasal tersebut ( psl 33 ayat 3 UU.No.5/1990 ttg Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya)”, paparnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi pendamping hukum Bapak Mikael Ane:

 

1. Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904
2. Herson, S.H – 0812-3831-7885

 

***

Katakan Suku Talang Mamak Belum Diakui, PT Era Perkasa Mining Harus Minta Maaf!

Riau –  Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Region Sumatera dan YLBHI-LBH Pekanbaru yang tergabung didalam Tim Advokasi Tolak Tambang Batubara mendampingi Masyarakat Adat Talang Mamak yang diwakili oleh Batin Talang Piring Jaya, hadir dalam konsultasi publik terkait dengan penyusunan dokumen paska tambang (14/8/23).

 

Kegiatan ini dilaksanakan oleh PT Era Perkasa Mining dan dilaksanakan di aula Kecamatan Rakit Kulim. Namun, alih-alih mendapatkan ruang untuk menyampaikan keluhan dan aspirasinya, Batin Talang Piring Jaya malah mendapatkan penghinaan dari PT Era Perkasa Mining. PT Era Perkasa Mining mengatakan bahwa Masyarakat Adat Talang Mamak belum diakui oleh pemerintah.

 

Menanggapi penghinaan yang dialami, Batin Talang Piring Jaya, memutuskan Keluar dari Rapat (Walk Out) dan menyatakan menolak segala bentuk rencana tambang batubara di daerahnya.

 

Pernyataan PT Era Perkasa Mining, seolah-olah mengesankan bahwa tindakan pengabaian perusahaan, terhadap Masyarakat Adat Talang Mamak dalam proses perizinan perusahaan pertambangan batubara, wajar belaka. Padahal secara konstitusional, pengakuan dan penghormatan keberadaan masyarakat adat dan hak-hak masyarakat hukum adat, telah diatur secara tegas dalam Pasal 18B ayat 2 dan Pasal 28 ayat 3 UUD 1945.

 

Konstitusi menyebutkan, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI. Mahkamah Konstitusi juga telah menetapkan pengakuan atas tanah adat, salah satunya melalui putusan MK No. 35/PUU-X/2012 terkait pengujian UU Kehutanan yang makin menguatkan eksistensi masyarakat hukum adat di Indonesia.

 

Pertambangan batubara yang dibuka di wilayah Masyarakat Adat Talang Mamak, telah jelas-jelas merugikan masyarakat. Tiap malam, anak-anak Suku Talang Mamak, kesulitan tidur, karena deru suara mesin tambang yang tiada henti. Perusahaan-perusahaan pertambangan batubara yang ada, juga dengan serampangan merubah topografi jalan yang biasa dilalui oleh masyarakat.

 

Lebih parahnya lagi, perusahaan-perusahaan pertambangan batubara di wilayah Masyarakat Adat Talang Mamak juga merubah topografi sungai dan diduga melakukan pencemaran air.

 

***

Pembela Masyarakat Adat Nusantara hadirkan tokoh adat Ngkiong dalam persidangan Mikael Ane

Press Release

 

Ruteng (15/08/2023) – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menghadirkan dua tokoh masyarakat adat Ngkiong yaitu Tua Golo Thadeus Dosen dan Tua Teno Pius Paulus sebagai saksi meringankan dalam sidang perkara Nomor 34/Pid.B/LH/2023/PN. Rtg, atas nama Mikael Ane (Masyarakat adat gendang ngkiong) yang di dakwa Menduduki Kawasan Hutan di Pengadilan Negeri Ruteng, Kab. Manggarai

 

Kedudukan Tua Golo merupakan orang yang memiliki tugas untuk menyelesaikan masalah sosial yang terjadi di komunitas Masyarakat Adat. Sementara Tua Teno memiliki kewenangan atau otoritas untuk mendistribusikan tanah kepada warga masyarakat adat setempat berdasarkan hukum adat. Otoritas tersebut tidak dapat digantikan kepada pihak lain.

 

Pendamping Hukum menilai bahwa kehadiran saksi yang meringankan di pengadilan untuk memberikan keterangan guna menyampaikan fakta hukum, kebiasaan adat yang biasa dilakukan oleh Masyarakat Adat dalam menyelesaikan masalah.

 

“Saksi yang meringankan menyampaikan bahwa kami tidak pernah tinggal di wilayah orang lain, kami tinggal di wilayah adat yang telah kami dapat dari leluhur kami secara turun temurun. Maximilianus Herson Loy, sebagai salah satu Tim Penasihat Hukum menyampaikan bahwa keterangan saksi yang meringankan memberikan fakta-fakta hukum ke Majelis Hakim, bahwa terdakwa tinggal di tanah ulayat yang telah dimiliki, dikuasai dan dikelola secara turun temurun. Tanah yang menjadi objek sengketa adalah tanah ulayat, tambah Herson.

 

Sementara Muhamad Maulana, salah satu tim hukum yang juga hadir dalam persidangan ini menganggap pertanyaan dari Jaksa Penuntut Umum terkesan mendiskreditkan kepemilikan wilayah adat dengan melontarkan pernyataan bahwa masyarakat tidak punya sertipikat tanah. Mao menambahkan bahwa pertanyaan dan pernyataan Jaksa Penuntut Umum menunjukan ketidakpahaman Aparat Penegak Hukum tentang Masyarakat Adat, dimana Masyarakat Adat tidak harus memiliki surat-surat sebagai bukti kepemilikan atas tanah ulayatnya. Ketiadaan sertifikat tanah yang dimiliki oleh Masyarakat Adat tidak berarti hilangnya hak asal-usul atas wilayah adatnya. Hal ini sesuai dengan konstitusi dan UUPA yang menegaskan bahwa hukum adat merupakan sumber hukum agraria nasional. Dengan demikian pemilikan tanah ulayat adalah sah secara hukum berdasarkan UUPA.

 

Marselinus Suliman tim hukum lainnya juga menyampaikan, saksi yang meringankan hari ini memberikan keterangan mengenai kebiasaan Masyarakat Adat yang menjalankan ritual kepada leluhur, ucapan syukur, adanya makam leluhur, pohon yang hidupnya puluhan tahun.

 

Fakta yang terurai di persidangan menunjukan bahwa Masyarakat Adat tinggal di wilayah ulayatnya yang diwariskan secara turun temurun. Saksi-saksi tidak mengetahui bahwa tanah Ulayat mereka telah diambil alih secara sepihak oleh negara sebagai kawasan TWA.

 

Fakta persidangan hari ini menjelaskan bahwa selain rumah terdakwa, ada juga rumah main yang berada di lokasi sengketa.

 

Selain itu kami juga atas sikap dan tindakan Jaksa yang sampai saat ini tidak memberikan berkas perkara secara lengkap kepada kami, dan kami melaporkan tindakan dan sikap ketidakprofesionalan Jaksa Penuntut Umum kepada Komisi Kejaksaan, Tegas pria yang biasa disapa Marsel.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi narahubung berikut ini:

 

Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904
Herson, S.H. 081238317885