Putusan Mahkamah Agung Menyatakan Masyarakat Adat Sebagai Penerima Manfaat Nilai Ekonomi Karbon

Mahkamah Agung pada 20 Februari 2023 telah mengeluarkan putusan perkara hak uji materiil yang diajukan oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan teregister dengan No.61/P/HUM/2022.

 

Putusan MA tersebut berdasarkan atas pengajukan permohonan hak uji materiil terhadap Peraturan Peraturan Presiden No.98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

 

Permohonan tersebut diajukan oleh Kesatuan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibarani, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Wahid, salah seorang warga Kasepuhan Cibarani.

 

Dalam pertimbangan hukumnya, MA menyatakan bahwa Masyarakat Adat merupakan pelaku utama dalam pengelolaan perhutanan sosial yang diperbolehkan melakukan pemanfaatan hutan pada: hutan adat dengan fungsi hutan lindung; dan hutan adat dengan fungsi hutan produksi, dalam bentuk kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan yaitu penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.

 

Lebih lanjut, dalam putusannya tersebut, MA menyatakan bahwa Masyarakat Adat merupakan penyelenggara Nilai Ekonomi Karbon dalam Pasal 46 ayat (2) huruf d Perpres Nomor 98/2021 karena kontribusinya pada peningkatan cadangan karbon melalui pemanfaatan hutan dalam bentuk kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan.

 

 

Syamsul Alam Agus, S.H., selaku Ketua PPMAN, menyatakan bahwa putusan MA tersebut perlu diapresiasi dan merupakan bukti pengakuan eksistensi hukum Masyarakat Adat dalam sistem hukum di Indonesia.

 

“Pertama, apresiasi kami sampaikan kepada Mahkamah Agung yang telah menyatakan melalui pertimbangan hukumnya, bahwa Masyarakat Adat termasuk penyelenggara Nilai Ekonomi Karbon karena kontribusinya pada peningkatan cadangan karbon,” ujarnya melalui keterangan pers.

 

Alam juga menilai bahwa Perpres No.98/2021 tidak menegaskan posisi Masyarakat Adat sebagai penyelenggara NEK, sementara Masyarakat Adat merupakan subyek hukum yang berkontribusi langsung terhadap peningkatan cadangan karbon. Selain itu, putusan tersebut juga semakin menegaskan pengakuan kedudukan hukum masyarakat adat dalam permohonan Hak Uji Materiil di MA.

 

“Kedua, Putusan MA juga sudah memberikan pengakuan terhadap kedudukan hukum (legal standing) Masyarakat Adat. Ketiga, kami mendorong agar pemerintah dalam menerbitkan regulasi terkait teknis hak-hak Masyarakat Adat sebagai penerima manfaat atas karbon, memperhatikan Putusan MA tersebut,” sambung Alam.

 

MA menyatakan Para Pemohon Hak Uji Materiil No. 61/P/HUM/2022, yang notabene salah satunya adalah Masyarakat Adat, diakui kedudukan hukumnya sebagai Pemohon.

 

“Hal ini tentunya merupakan kabar gembira, setelah sebelumnya Mahkamah Konstitusi juga melalui Putusan No. 35/PUU-X/2012 mengakui dan menerima kedudukan hukum masyarakat adat sebagai pemohon Uji Materiil,” tegasnya.

 

SYAMSUL ALAM AGUS, S.H.
Ketua PPMAN
CP: 0811-8889-083

***

PPMAN : Hakim PN Palopo Harus Segera Bebaskan Mahasiswa Korban Kriminalisasi

Oleh Apriadi Gunawan

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) meminta majelis hakim untuk membebaskan 12 mahasiswa yang tengah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Palopo, Sulawesi Selatan karena telah menjadi korban penegakan hukum yang tidak adil usai mendemo dugaan korupsi dalam tubuh Kejaksaan Negeri Palopo.

 

PPMAN menilai bahwa betapa pun tajamnya pedang keadilan, ia seharusnya tidak memenggal kepala orang yang tidak bersalah, apalagi mahasiswa yang sedang menyoroti penegakan hukum atas dugaan tindak pidana korupsi.

 

Mohammad Maulana, penasihat hukum PPMAN, menyatakan kalau para mahasiswa yang saat ini diadili di PN Palopo merupakan korban penegakan hukum yang sarat dengan serentetan pelanggaran hak. Menurutnya, tidak ada alasan untuk menghukum mereka.

 

“Di persidangan, tidak ada satu pun fakta yang mengonfirmasi bahwa terdapat perbuatan yang melanggar hukum. Ini bukti bahwa para mahasiswa tidak bersalah, (sehingga mereka) seharusnya dibebaskan,” kata Maulana kepada wartawan pada Senin (13/2/2023).

 

Ia menyatakan, pada sidang putusan yang akan dijadwalkan tanggal 21 Februari 2023, pihaknya berharap majelis hakim dapat memberikan keadilan bagi para terdakwa yang notabene masih berstatus sebagai mahasiswa.

 

“Kami berharap majelis hakim membebaskan para mahasiswa,” kata Maulana.

 

Kejanggalan pada Fakta Persidangan

 

Maulana menyatakan bahwa semua fakta persidangan telah diabaikan oleh kejaksaan. Menurutnya, para mahasiswa telah memberikan potret baik atas dukungan pada semangat pemberantasan korupsi. Namun, jaksa penuntut umum justru memperlihatkan hal yang sebaliknya dalam perkara tersebut. Dengan menarasikan aksi demonstrasi sebagai kekerasan, tegas Maulana, jaksa menuntut 12 orang terdakwa mahasiswa dengan hukuman 3-7 tahun.

 

“Tuntutan jaksa ini memperlihatkan semangat anti-demokrasi dan anti-kritik dalam kasus ini,” ungkapnya.

 

Atas tuntutan yang mengada-ada itu, penasihat hukum terdakwa telah mengajukan nota pembelaan atau pledoi terhadap surat tuntutan jaksa penuntut umum. Maulana menyebut bahwa pledoi yang mereka soroti bukan hanya tentang tuntutan yang terlalu tinggi, tapi fakta yang ditutupi.

 

Ia menyebut dalam persidangan bahwa ada dua hal yang selama penyidikan dan penuntutan yang tampaknya sengaja disembunyikan. Pertama, terkait CCTV yang tidak pernah diperlihatkan secara transparan.

 

“Ini aneh,” tandasnya.

 

Kedua, terkait dengan pemeriksaan konstruksi pagar rubuh yang menimpa dua satpam kejaksaan, di mana satu di antaranya meninggal. Maulana menyatakan kalau beberapa saksi yang dihadirkan jaksa di persidangan, menerangkan bahwa interval robohya pagar, adalah kurang dari dua menit. Kalau pun ada aktivitas dorong mendorong pagar yang membuat pagar roboh dalam waktu secepat itu, maka bisa saja menimbulkan pertanyaan pada kualitas pagar yang dibangun pada dua minggu sebelum insiden bertanggal 21 Juli 2022 tersebut.

 

Maulana juga memaparkan adanya berbagai pengkambinghitaman terhadap para terdakwa di hadapan persidangan, mulai dari skenario laporan yang dibuat bukan oleh pelapor, namun pihak kepolisian; BAP yang bertentangan dengan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum; CCTV yang disembunyikan; dan penghindaran pemeriksaan terhadap proyek pembangunan pagar.

 

Maulana menyatakan bahwa sebelum insiden yang berujung pada tewasnya Abdul Azis itu, Kejaksaan Negeri Palopo seharusnya membuka ruang dialog dalam menyambut aksi demontrasi mahasiswa. Menurutnya, insiden tersebut terjadi akibat keengganan untuk membuka ruang dialog, sehingga terkesan menutupi proses tindak lanjut atas penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang dipersoalkan mahasiswa.

 

“Saat aksi mahasiswa, Kejaksaan Negeri Palopo justru menutup akses dengan memerintahkan (petugas) security untuk menutup pagar, yang seketika membuat rubuh pagar,” katanya.

 

Maulana menerangkan, alih-alih menunjukkan tanggung jawab terhadap insiden kecelakaan tersebut, melalui serangkaian upaya tersistematis dalam rangkaian penyidikan dan penuntutan, Kejaksaan Negeri Palopo justru terkesan menunjukkan serangkaian upaya untuk menutup ruang pada tanggung jawab. Sebaliknya, mereka malah mengkambinghitamkan para mahasiswa atas insiden robohnya pagar. Padahal, insiden tersebut seharusnya dipandang sebagai momen penting dalam membuka borok pengerjaan proyek pembangunan pagar kantor yang sebelumnya juga telah dipersoalkan oleh publik terkait indikasi dugaan korupsi dalam tubuh Kejaksaan Negeri Palopo.

 

Akar Masalah

 

Maulana menerangkan bahwa permasalahan yang menyeret 12 mahasiswa ke pengadilan itu, berawal dari aksi protes di depan kantor Kejaksaan Negeri Kota Palopo pada 21 Juli 2022. Aksi mahasiswa dilakukan dalam rangka menuntut penuntasan sejumlah kasus dugaan korupsi yang ditangani Kejaksaan Negeri Palopo, seperti dugaan korupsi SPPD fiktif DPRD Palopo, dugaan korupasi pembangunan Puskesmas Sendan, dugaan korupsi terkait keterlibatan Dinas Pendidikan bersama oknum Kejaksaan Negeri Palopo. Namun, demo mahasiswa itu berujung kriminalisasi terhadap mahasiswa dan memakan korban dua orang satpam yang tertimpa gerbang yang roboh tersebut, satu di antaranya meninggal dunia.

 

***