Press Release
Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan) Jakarta Selatan, mengucapkan selamat atas peraya’an Hari Masyarakat Adat Internasional Sedunia (HIMAS) pada tanggal 9 Agustus 2023 yang digelar di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Fatiatulo Lazira, S.H., Ketua DPC Peradi Pergerakan Jaksel, berharap perayaan HIMAS dapat terus memperkuat posisi masyarakat adat dalam bingkai hukum positif Indonesia, mengingat selama ini praktik pelanggaran hak-hak masyarakat adat masih terus terjadi. Kriminalisasi, penggusuran dan perampasan wilayah adat sehingga berakibat pada hilangnya ruang hidup adalah fenomena yang terus mengancam dan membayang-bayangi kehidupan masyarakat adat.
“Meskipun eksistensi hukum masyarakat adat telah diakui dalam berbagai instrumen hukum internasional maupun hukum nasional, namun kekosongan hukum secara operasional – teknis tentang pengakuan masyarakat adat menjadi ancaman setiap waktu. Oleh karenanya, Peradi Pergerakan Jaksel mendorong agar Rancangan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat segera disahkan sebagai wujud komitmen negara terhadap pelaksanaan Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang menyatakan: negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”, jelas pria berprofesi Advokat itu.
Menurutnya, Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional pengakuan dan penghormatan masyarakat adat, seharusnya dioperasionalkan dalam sebuah undang-undang operasional teknis sesuai amanat konstitusi tersebut.
“Sejauh pengamatan kami, ketiadaan peraturan operasional teknis pengakuan dan penghormatan masyarakat adat telah berdampak pada hilangnya hak masyarakat adat untuk membela diri ketika berhadapan dengan hukum. Apalagi pada kenyataanya, tolak ukur keberadaan masyarakat adat atau pengakuan kedudukan hukumnya (legal standing) ketika berhadapan dengan hukum masih diletakkan pada persyaratan administratif negara, misalnya harus ada peraturan daerah atau penetapan tentang masyarakat adat. Praktik ini justru akan mendelegitimasi posisi masyarakat adat sebagai subyek hukum”, ujar Fati.
Oleh karena itu, lanjut Fati, pembentukan UU Tentang Masyarakat Adat adalah keniscayaan sebagai manifestasi pelaksanaan Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 dan tanggungjawab negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia.
***