RILIS: Pembela Masyarakat Adat Menilai Hakim PN Ruteng Cari-cari Kesalahan

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat (PPMAN) yang tergabung dalam tim hukum lima 5 Masyarakat Adat Pocoleok (Ignasius Nasat, Nikolaus Panas, Yoseph Kapas, Mikael Gamal, dan Karolus Maja) merespons pernyataan Ketua Pengadilan Negeri Ruteng di media daring Foresa pada 1 Juni 2024 kemarin.

 

Dalam pernyataan di media, Ketua Pengadilan Negeri Ruteng mengatakan pihaknya telah melakukan pemanggilan pada lima Termohon di atas, melalui Kantor Pos Ruteng dan kesalahan soal keterlambatan surat panggilan atau relaas tersebut bukan berada pada pihak mereka tetapi Kantor Pos.

 

Begini pernyataannya:

“Kami sudah melakukan pemanggilan pada tanggal 13 Mei, melalui Kantor Pos Ruteng. Sesuai dengan peraturan MA bahwa surat relaas dikirimkan melalui pihak ketiga, maka Kantor Pos-lah yang terlambat memberi tahu, yaitu tanggal 17 Mei,” kata Ketua Pengadilan Negeri Ruteng, I Made Hendra Satya Dharma, kepada Floresa pada 1 Juni.

 

Pemanggilan sidang itu terkait perkara Permohonoan Konsinyasi Nomor 1/Pdt P-Kons/2024/PN Rtg. Antara PT PLN Persero dengan Lima Masyarakat Adat Pocoleok. Namun sidang dimulai pada pukul 09.00 WIT, sementara Relaas, baru diserahkan pada Para Termohon pada pukul 12.00 WIT.

 

Menurut Tim Hukum yang juga tergabung dalam Advokasi Pocoleok soal pembangunan Geothermal (PLTP Ulumbu) di wilayah adat, pernyataan Ketua pengadilan Negeri Ruteng yang sekaligus hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Permohonan Konsinyasi Nomor 1/Pdt P-Kons/2024/PN Rtg. antara PT PLN Persero dengan Lima Masyarakat Adat Pocoleok ini,  tidaklah tepat dan sengaja mencari dan melemparkan kesalahan kepada pihak lain.

 

Tim kuasa hukum menilai tindakan ketua pengadilan yang langsung melakukan penetapan merupakan tindakan yang keliru dan tidak mencerminkan sebagai penegak hukum yang dapat memberikan keadilan tapi memberikan keadilan berdasarkan kepentingan dan keuntungan.

 

Gregorius B Djako, perwakilan Koalisi Advokasi Pocoleok, mengatakan sebagai seorang pemimpin persidangan permohonan, seharusnya Ketua Pengadilan tidak melakukan tindakan seperti itu—melemparkan tanggung jawab soal kekeliruan pada pihak lain (Kantor Pos).

 

RILIS: Pembela Masyarakat Adat Poco Leok Buat Pengaduan ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial

“Sikap seperti itu menunjukkan bahwa Ketua Pengadilan Negeri Ruteng bukan pemimpin. Seorang pemimpin harusnya berdiri di depan menghadapi kritik bukan menyalahkan pihak lain, yang dimana, dalam keterangan persnya, Hakim yang juga merupakan Ketua Pengadilan Negeri Ruteng, menyalahkan Kantor Pos yang telat membawa surat tersebut,” kata Gregorius, 03 Juni 2024.

 

Laki-laki yang biasa disapa Greg ini mengatakan, seharusnya hakim bisa menunda persidangan dan memanggil kembali para Termohon untuk mendengarkan keterangan dari kelima masyarakat adat, yang memang sejak awal melakukan penolakan atas segala upaya yang telah dilakukan oleh Pemohon yaitu PT PLN Persero.

 

Selain itu, Marthen Salu, salah satu advokat dari lima masyarakat adat Pocoleok juga menyampaikan  kemarahannya atas tindakan hakim pengadilan Negeri Ruteng, “Ini merupakan catatan buruk bagi aparat penegak hukum yang melakukan persidangan secara terburu-buru. Ada kesan bahwa ini merupakan pesanan,” kesal Marthen.

 

 

Marthen mengatakan, proses sangat terlihat dibuat dengan terburu-buru alias kejar target, karena dalam relaas tertanggal 13 Mei 2024 yang diterima oleh Termohon pada tanggal 17 Mei 2024 tepatnya pada siang hari. Selain itu, relaas tersebut tertulis Agenda Persidangan Pertama, seakan ada panggilan kedua dan seterusnya.

 

“Tapi ini tidak ada panggilan kedua dan langsung ditetapkan tanpa kehadiran termohon.  Harap Mahkamah lihat ini sebagai alasan untuk mendengarkan keberatan kita mewakili para Termohon,” ungkap Marthen.

 

Marthen bilang, hakim seharusnya tetap menggunakan jadwal persidangan secara berurutan mulai dari sidang pertama sampai pada pengucapan putusan hakim. Hal ini, katanya, sudah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.

 

“Karena itu tindakan hakim merupakan tindakan yang telah melanggar ketentuan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, maka karena itu Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial perlu melakukan evaluasi, pengawasan, dan bahkan perlu melakukan penurunan jabatan bagi hakim yang merupakan Ketua Pengadilan Negeri Ruteng tersebut,” tegas Marthen.

 

“Kami juga akan ke Komisi 3 DPR RI untuk meminta DPR RI menjalankan tugas dan fungsinya melakukan pengawasan terhadap Lembaga-lembaga aparat penegak hukum di Indonesia khususnya kepada Mahkamah Agung atas kasus ini,” tambahnya.

 

Katanya, dampak dari penetapan ini, menghilang hak-hak konstitusi para termohon dan juga Masyarakat  Adat Poco Leok yang lainnya, yang sedang mempertahankan hak-haknya atas tanah ulayat.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi narahubung berikut ini:

Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904

RILIS: Pembela Masyarakat Adat Poco Leok Buat Pengaduan ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial

Tim Kuasa Hukum Lima orang Masyarakat Adat Poco Leok yang tergabung dalam Advokasi pembangunan Geothermal (PLTP Ulumbu) di wilayah adat, membuat pengaduan ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial terkait dengan ketidakprofesionalan Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Permohonoan Konsinyasi Nomor 1/Pdt P-Kons/2024/PN Rtg. Antara PT PLN Persero dengan Lima Masyarakat Adat Poco Leok.

 

Kelima  Masyarakat Adat Poco Leok itu yakni Ignasius Nasat, Nikolaus Panas, Yoseph Kapas, Mikael Gamal, dan Karolus Maja.

 

Pengaduan tersebut disampaikan pada dua lembaga Negara terkait dengan penetapan Pengadilan Negeri Ruteng yang menjalani persidangan tanpa kehadiran para Termohon. Bagaimana tidak, sidang dimulai pada pukul 09.00 WIT, sementara Relaas, baru diserahkan pada Para Termohon pada pukul 12.00 WIT.

 

Begini kronologinya:

Sebelumnya,  pada 17 Mei 2024, Pengadilan Negeri Ruteng menjalani persidangan penitipan ganti kerugian (konsinyasi) No.1/PDT-P-Kons/2024/PN Rtg yang dimohon oleh PT PLN (Persero) unit Induk pembangunan Nusa Tenggara Timur (UIP)Nusra.

 

Dalam persidangan pertama, para Termohon tidak dapat menghadiri persidangan sebab relaas panggilan persidangan pertama itu,  kepada para Termohon, baru diserahkan oleh Juru sita pengadilan Negeri Ruteng pada Jumat 17 Mei 2024 pukul 12.00 WITA. Padahal, persidangan akan dilangsungkan pada  hari itu juga, Jumat  17 Mei 2024 pukul 09:00 WITA di Pengadilan Negeri Ruteng. Sehingga, dengan jarak tempat tinggalnya Para Termohon yang terlampau jauh, tidak memungkinkan Para Termohon untuk dapat hadir di persidangan itu.

 

Atas Nama Proyek Strategis Nasional, 9 Orang Masyarakat Adat Poco Leok Menjadi Korban Kekerasan

“Terkait dengan terbatasnya waktu pengiriman relaas panggilan sidang oleh Juru Sita Pengadilan Negeri Ruteng, kami menduga adanya kesengajaan mengingat relaas panggilan sudah ditandatangani oleh Juru sita pengganti Pengadilan Negeri Ruteng Luther viktor Manawe, pada 13 Mei 2024 oleh Juru Sita Pengadilan. Namun, baru terdistribusi kepada Para Termohon pada 17 Maret 2024 sesuai dengan jadwal persidangan, sehingga tidak memungkinkan Para Termohon untuk hadir dalam persidangan,” kata Gregorius B Djako, advokat pembela masyarakat adat.

 

Gregorius B Djako, yang juga Staf Bidang Litigasi di Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) itu mengatakan, tindakan ketua Pengadilan Negeri Ruteng yang juga Hakim, yang telah memutuskan permohonan ini, tidak profesional dalam menangani perkara ini.

 

Katanya, prilaku hakim ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 UU RI No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menurutnya, seorang hakim diwajibkan untuk menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di tengah masyarakat.

 

“Seorang hakim harus memiliki integritas dan berkepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum serta wajib menaati kode etik dan pedoman prilaku hakim,” ujar  Gregorius.

 

PERNYATAAN SIKAP MASYARAKAT SIPIL ATAS PENGERAHAN APARAT BERSENJATA DAN TINDAKAN BRUTAL TERHADAP MASYARAKAT ADAT POCOLEOK MANGGARAI

Selain itu, Gregorius mengnyayangkan, Ketua pengadilan Negeri Ruteng memutuskan permohonan konsinyasi tanpa kehadiran Para Termohon, sehingga tidak memberikan rasa keadilan bagi Masyarakat Adat Pocoleok.

 

Sementara itu, salah satu anggota koalisi Advokasi Pocoleok, yang sehari-hari mendampingi Para Termohon, menyesalkan prilaku hakim Ketua Pengadilan Negeri Ruteng yang secara sadar, tidak bersikap adil serta profesional dalam memutuskan perkara.

 

“Tindakan hakim bertentangan dengan keputusan bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang kode etik dan pedoman perilaku hakim,” tegasnya.

 

Ia bilang, seorang hakim minimal harus bersikap mandiri, berprilaku adil dan bersikap profesional, yang artinya hakim membuka ruang sebesar-besarnya agar Masyarakat pencari keadilan mendapatkan keadilan Hakiki dalam setiap keputusannya.

 

“Sikap Hakim pengadilan Negeri Ruteng, jauh dari prilaku yang harus digunakan oleh seorang hakim yang juga menjadi wakil Tuhan di Bumi,” kesalnya.

 

Harapannya, agar Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung dapat memberikan peringatan dan teguran serta sanksi kepada Ketua Pengadilan Negeri Ruteng yang dalam memimpin persidangan jauh dari sikap profesional.

 

Sebab, katanya, dampak putusan pengadilan menghilangkan hak-hak konstitusi para termohon dan juga Masyarakat  Adat Pocoleok yang lainnya, yang sedang mempertahankan hak-haknya atas tanah ulayat.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi narahubung berikut ini:

Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904

PERNYATAAN SIKAP MASYARAKAT SIPIL ATAS PENGERAHAN APARAT BERSENJATA DAN TINDAKAN BRUTAL TERHADAP MASYARAKAT ADAT POCOLEOK MANGGARAI

Jakarta, 27 November 2023 – Masyarakat Adat Poco Leok Manggarai, Nusa Tenggara Timur Kembali mendapat perlakuan semena-mena oleh aparat bersenjata (Polri dan TNI) yang bertugas mengamankan pihak PT PLN dan tim PADIATAPA (Persetujuan di Awal Tanpa Paksaan) mendatangi Poco Leok, wilayah yang menjadi target pengembangan industri penambangan Geothermal. Peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu, 25 November 2023.

 

Masyarakat Adat Poco Leok menolak kehadiran PLN geothermal dan tim PADIATAPA (Persetujuan di awal tanpa paksa) karena hal itu merupakan eksploitasi dan perampasan tanah (Wilayah Adat) Masyarakat Adat Poco Leok untuk kepentingan pembangunan pembangkit listrik tenaga (PLTP) atau Geothermal. Dengan dalih melakukan sosialisasi kepada warga, pihak PLN membawa pengamanan aparat bersenjata lengkap berjumlah ratusan orang, baik Polri maupun TNI. Tidak kurang tujuh unit mobil dan puluhan kendaraan roda dua dikerahkan melakukan pengamanan tersebut.

 

Alhasil, penolakan Masyarakat Adat Poco Leok atas kedatangan mereka dibalas dengan tindakan represif oleh aparat. Aparat secara brutal mendorong bahkan memukul warga untuk tidak menghalang-halangi kedatangan mereka. Berlindung dibalik Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam upaya liberalisasi tenaga listrik, PLN dengan menggunakan tangan aparat tak segan melukai warga. Harga diri sebagai manusia diinjak-injak dan ruang hidup Masyarakat Adat Poco Leok akan hilang demi pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal).

 

Tindakan represif aparat kepada Masyarakat Adat Poco Leok merupakan pelanggaran dan pengingkaran terhadap  hak atas kebebasan mengeluarkan dan menyampaikan pendapat sebagaimana yang dijamin dalam UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights/ICCPR);

 

Prinsip persetujuan di awal tanpa paksaan pihak PLN hanyalah jargon usang sebagai pelengkap persyaratan memuluskan pinjaman dari bank untuk pembiayaan proyek geothermal. Berkali-kali masyarakat menolak, tetapi tidak diindahkan. Jawaban atas penolakan adalah popor senjata, pitingan dan terjangan sepatu lapangan petugas.

 

Penolakan Masyarakat Adat Poco Leok, Manggarai, terkait pembangunan pembangkit listrik Geothermal di Poco Leok, merupakan UPAYA MEMPERTAHANKAN WILAYAH ADATNYA sebagaimana dijamin dalam instrumen hukum nasional dan Hukum Internasional yang mengakui dan menghormati hak-hak Masyarakat Adat, yaitu Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 Jo. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 Jo. Pasal 6 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012, Tanggal 16 Mei 2013 Jo Deklarasi Perserikatan Bangsa bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration On The Rights Of Indigenous Peoples) Jo Konvensi ILO No. 169 Tahun 1989 Mengenai Masyarakat Hukum Adat.

 

Warga Poco Leok saat lakukan penolakan kehadiran rombongan PLN beserta Aparat TNI dan Kepolisian
Warga Poco Leok saat lakukan penolakan kehadiran rombongan PLN beserta Aparat TNI dan Kepolisian

 

Atas berulangnya peristiwa kekerasa aparat terhadap Masyarakat Adat Poco Leok, maka Koalisi Advokasi Poco Leok menegaskan:

 

  1. Mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh PLN melalui aparat keamanan (TNI dan Polri);
  2. Mendesak Kapolri mencopot Kapolda NUSA Tenggra Timur dan Kapolres Manggarai karena melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia;
  3. Mendesak Kapolri dan Panglima TNI untuk memerintahkan penarikan aparat keamananan yang bertugas di Poco Leok;
  4. Mendesak Kapolri, Kapolda Nusa Tenggara Timur, dan Kapolres Manggarai agar menghentikan kriminalisasi kepada Masyarakat Adat Poco Leok, dengan cara menghentikan pemanggilan dalam bentuk apapun kepada Masyarakat Adat Poco Leok.
  5. Mendesak Menteri BUMN melakukan evaluasi terhadap jajaran Direksi PT PLN atas peristiwa di Poco Leok;
  6. Mendesak Pemerintah Indonesia dan PT PLN menghentikan sementara aktivitas apapun terkait pembangunan Geothermal di Poco Leok hingga ada pernyataan resmi akan mengikuti prinsip-prinsip yang tertuang di dalam free, prior, informed, consent (FPIC) sesuai panduan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).

 

Demikian pernyataan sikap ini kami berikan agar semua pihak terkait dapat segera menindaklanjuti dan menunjukkan itikad baik terhadap warga negara yang seharusnya dilindungi.

 

Koalisi Advokasi Poco Leok:

  1. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
  2. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
  3. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
  4. Trend Asia
  5. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  6. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar
  7. JPIC OFM
  8. Justice, Peace and Integrity of Creation- Societas Verbi Divini (JPIC-SVD)
  9. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur,
  10. Sunspirit for Justice and Peace, Labuan Bajo
  11. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Labuan Bajo

 

Narahubung:

  1. Ermelina Singereta, S.H., M.H. : 0812-1339-904
  2. Judianto Simanjuntak, S.H. : 0857-7526-0228

***

MASYARAKAT ADAT POCO LEOK LAPOR KOMNAS HAM KARENA ALAMI KRIMINALISASI OLEH KEPOLISIAN RESOR MANGGARAI

Jakarta, 20 Oktober 2023 – Adanya Tindakan Kekerasan, kesewenangan, ancaman dan intimidasi yang telah dilakukan oleh anggota Kepolisian Polres Manggarai, Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) terhadap Masyarakat Adat Poco Leok.

 

Tindakan intimidasi dan kriminalisasi yang telah dilakukan oleh Kepolisian Polres Manggarai merupakan tindakan pelanggaran hukum sebagaimana mandat dari Undang-undang Dasar 1945 yang terdapat pada Pasal 28 D ayat 1 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

 

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 3 ayat (3) “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Pasal 5 ayat (3) “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”. Hal ini merupakan pengingkaran terhadap fungsi kepolisian dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada Masyarakat sebagaimana amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 

Polres Manggarai telah melayangkan surat panggilan terhadap Masyarakat Adat Poco Leok terkait dengan dugaan tindak pidana dengan sengaja menghalangi atau merintangi Pembangunan Pengusahaan Panas Bumi dan/atau barang siapa dengan kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah yang terletak di Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai sebagaimana dimamksud dalam Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi.

 

Masyarakat Adat Poco Leok tidak mengetahui alasan Kepolisian Polres Manggarai melakukan pemanggilan tersebut. Masyarakat Adat menilai bahwa pemanggilan tersebut sangat tidak beralasan.

 

“Jika ada orang yang masuk ke wilayah tempat tinggal kami dan kami tidak kenal apalagi tahu tujuannya, wajar jika kami mempertahankan tanah tempat tinggal kami, kami tidak melakukan apapun, hanya mempertahankan tanah yang menjadi milik kami yang telah diwariskan oleh leluhur kami” ujar salah seorang warga yang enggan di sebut namanya dengan alasan keamanan dirinya.

 

Pemanggilan terhadap Masyarakat Adat Poco Leok tersebut merupakan tindakan kesewenang-wenangan Polres Manggarai dengan menggunakan kekuasaannya. Ini MERUPAKAN KRIMINALISASI TERHADAP MASYARAKAT ADAT POCO LEOK untuk membungkam perjuangan masyarakat adat Poco Leok dalam mempertahankan wilayah adatnya.

 

Menyoroti masalah ini, KOALISI ADVOKASI POCO LEOK menyampaikan bahwa tindakan Kepolisian Resort (Polres) Manggarai yang melakukan Kekerasan, kesewenangan, ancaman dan intimidasi merupakan tindakan pelanggaran hukum. Untuk ini Koalisi Advokasi Poco Leok mengambil langkah hukum atas sikap dan tindakan dari Kepolisian Polres Manggarai.

 

Koalisi Advokasi Poco Leok telah mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk melaporkan tindakan Kepolisian Polres Manggarai yang telah melakukan kekerasan, kesewenangan, ancaman dan intimidasi terhadap Masyarakat Adat Poco Leok dengan melakukan pemanggilan dan meminta keterangan.

 

Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN,) Syamsul Alam Agus menyampaikan bahwa tindakan intimidasi, tekanan dan ancaman dengan cara memanggil Masyarakat Adat yang memiliki hak penuh atas tanah ulayatnya dan wilayah yang berpotensi terkena dampak dari rencana pembagunan geotermal telah melanggar Pasal 11 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang pelaksanaan Peraturan Kapolri nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 

“Pihak Kepolisian tidak memahami konteks persoalan Masyarakat Adat, melihat aturan hanya dari sisi sempit. Pihak Kepolisian sebaiknya menggali terlebih dahulu perihal konsep kepemilikan tanah komunal atau Ulayat dan Hak Asasi yang telah dijamin oleh undang-undang semisal Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan UU HAM. Peraturan Kapolri (Perkap) juga mengadopsi konsep HAM tersebut”, jelasnya.

 

Syamsul Alam Agus juga menambahkan, bahwa seharusnya Kepolisan Polres Manggarai memberikan perlindungan kepada Masyarakat Adat yang memiliki kerentanan, karena tanahnya diambil oleh orang tanpa persetujuan dari Masyarakat Adat. Namun kehadiran pihak Kepolisian tidak melindungi masyarakat tapi melindungi orang-orang atau perusahaan yang datang merusak tanah Masyarakat Adat.

 

“Konsep perlindungan itu kepada yang lemah, bukan kepada yang berkuasa dan kuat. Jangan di balik konsepnya,” tegasnya.

 

Sementara itu, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, mengatakan bahwa sejak awal rencana pembangunan geotermal di Poco Leok telah mendapat penolakan terkait rencana Pembangunan pembangkit listrik Geothermal (PLTP Ulumbu) di Poco Leok. namun Pemerintah tetap tidak menghiraukan penolakan tersebut dan malah mengerahkan Kepolisian untuk melakukan tindakan represif dan intimidasi terhadap Masyarakat Adat Poco Leok.

 

“Atas nama Proyek Strategis Nasional yang dibuat tanpa konsultasi terlebih dahulu, rakyat kecil rentan terusir dari wilayah mereka seperti yang dialami oleh Masyarakat Adat Poco Leok”, ujar Melky.

 

Erasmus Cahyadi, Deputi II Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menambahkan bahwa Koalisi melakukan pengaduan ke Komnas HAM agar Komnas HAM segera memberikan perlindungan kepada Masyarakat Adat Poco Leok dan memantau atas tindakan represif dan intimidasi yang telah dilakukan oleh Kepolisian Polres Manggarai, Erasmus Cahyadi juga mengharapkan Komnas HAM memberikan rekomendasi kepada Polres Manggarai agar menghentikan kriminalisasi kepada Masyarakat Adat Poco Leok.

 

Pria kelahiran Poco Leok ini juga menambahkan meminta kepada Komnas HAM untuk turun ke Poco Leok untuk bertemu dengan masyarakat dan menerima secara langsung pengaduan, serta meninjau lokasi pembangunan pembangkit listrik Geothermal (PLTP Ulumbu) di Poco Leok.

 

“Kunjungan Komnas HAM ke Poco Leok menjadi krusial tidak hanya bagi masyarakat akan tetapi juga bagi Komnas HAM menggali fakta sesungguhnya atas apa yang terjadi di lapangan,” jelas Erasmus.

 

Dihubungi melalui telephone, Komisioner Komnas HAM Bapak Hari Kurniawan, menyampaikan bahwa Komnas HAM akan melakukan rapat bersama untuk mengambil keputusan terkait dengan pengaduan dari Koalisi Advokasi Poco Leok, dan juga Komnas HAM akan segera memberikan perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat Poco Leok.

 

Kedepannya, Koalisi Advokasi Poco Leok akan terus melakukan pengaduan ke berbagai lembaga negara atas tindakan dan sikap Kepolisian yang tidak berpihak pada masyarakat dan juga akan meminta dukungan dari berbagai pihak baik nasional maupun internasional terkait dengan masalah yang menimpa Masyarakat Adat Poco Leok khususnya terkait dengan pembangunan Geotermal.

 

KOALISI ADVOKASI POCO LEOK

 

1. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
2. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
3. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
4. Trend Asia
5. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
6. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makasar
7. JPIC OFM
8. Justice, Peace and Integrity of Creation- Societas Verbi Divini (JPIC-SVD)
9. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur,
10. SUNSPIRIT for justice and peace is a civil society organization working in the area of social justice and peace in Indonesia.
11. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Labuan Bajo

 

Narahubung:
1. Ermelina Singereta (08121339904)
2. Muh. Jamil (082165470477)

PPMAN: HENTIKAN UPAYA KRIMINALISASI MASYARAKAT ADAT POCO LEOK

SIARAN PERS

 

Manggarai (4/10/2023) – 7 (tujuh) warga Masyarakat Adat Poco Leok, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, mendapat pemanggilan klarifikasi di Kepolisian Resor Manggarai. Pemanggilan warga tersebut dilatarbelakangi oleh aktivitas warga Poco Leok yang menolak adanya pembangunan pembangkit listrik Geothermal (PLTP Ulumbu) di wilayah adat mereka.

 

Seperti yang diketahui bersama, pembangunan pembangkit listrik panas bumi di wilayah Poco Leok masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Masyarakat Adat Poco Leok telah melakukan 19 kali aksi penolakan terhadap proyek geothermal tersebut. Adapun alasan kepolisian melayangkan surat undangan klarifikasi kepada ketujuh warga Adat Poco Leok karena ada laporan informasi Nomor: Li-R/14/IX/Res.5.2/2023/Reskrim tanggal 27 September 2023 yang kemudian pada tanggal yang sama keluar Surat Perintah Penyelidikan Sp.Lidik/339/IX/2023/Sat Reskrim.

 

“Surat pemanggilan yang berkedok undangan wawancara/ klarifikasi oleh pihak Kepolisian Resor Manggarai terindikasi merupakan skenario penekanan terhadap penolakan Masyarakat Adat Poco Leok, dengan kata lain, pola lama dan sering digunakan penguasa membungkam suara rakyat tertindas,” tegas Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Sebagai informasi, ketujuh warga Masyarakat Adat Poco Leok yang dipanggil pihak Polres Manggarai telah menghubungi PPMAN untuk mendapatkan nasehat hukum dan pendampingan hukum. Masyarakat bingung kenapa aktivitas menyuarakan pendapat dan mempertahankan wilayah adat dianggap sebagai perbuatan kriminal.

 

“Siapa yang tidak kecewa, marah bahkan melawan ketika tanah adatnya terancam hilang? Komunitas Masyarkat Adat hanya mempertahankan apa yang menjadi hak mereka sesuai konstitusi. Negara sepatutnya mengedepankan dialog intensif bukan malah menekan warga dengan cara-cara seperti melakukan pemanggilan,” jelasnya lebih lanjut.

 

Ketujuh warga Adat Poco Leok yang dipanggil terancam mendapatkan kriminalisasi menggunakan Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Pasal 73 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang dan atau Pasal 212 KUHP yang mengatur tentang kekerasan terhadap pejabat dengan ancaman penjara 1 tahun 4 bulan.

 

“Meniadakan dialog, mengerahkan pasukan kemudian terjadi kekerasan di lapangan lalu masyarakat di kriminalisasi adalah pola yang biasa terjadi ketika negara dalam hal ini penguasa lebih berpihak kepada uang daripada warganya sendiri,” ungkapnya.

 

PPMAN mendesak Pemerintah dan pihak kepolisian agar segera menghentikan pemanggilan kepada warga Adat Poco Leok dan lebih mengutamakan proses dialog yang mengedepankan prinsip-prinsip kesetaraan, keterbukaan dan pemahaman atas isu Masyarakat Adat. PPMAN melihat praktek lapangan pelaksanaan PSN sering berujung pada represivitas dan perampasan ruang hidup masyarakat, sebagaimana yang terjadi di beberapa wilayah program PSN.

 

“Dalam prakteknya, PSN kerap bermasalah dan melahirkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Ambil contoh kasus Waduk Lambo di Rendu Botowe dan kasus Rempang Eco City Batam. Hari ini di Poco Leok. Pemerintah seolah-olah tidak belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut. Kami harap segera hentikan upaya-upaya pembungkaman terhadap rakyat, agar kita dapat disebut beradab,” tutupnya.

 

Sebagai informasi tambahan, pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu yang menyasar Wilayah Adat Poco Leok, Manggarai, NTT, bermula dari penetapan Menteri ESDM di tahun 2017 atas wilayah Flores sebagai Pulau Panas Bumi. Penetapan tersebut termuat di dalam SK Menteri ESDM No.2268 K/MEM/2017. Kemudian, melihat potensi wilayah, PT PLN sebagai pemilik PLTP Ulumbu berniat mengembangkan kapasitas dari 7,5 MW menjadi 40 MW. Terpilih wilayah Poco Leok yang terdiri dari 14 Kampung Adat di 3 Desa.

 

Perluasan proyek panas bumi PLTP Ulumbu berdasarkan pada SK Nomor HK/417/2022 tentang Penetapan Lokasi Perluasan PLTP Unit 5-6 di Poco Leok yang diteken Bupati Manggarai. Poco Leok juga telah ditetapkan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), dan didanai oleh Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) melalui PT PLN (Persero). Terdapat 60 titik rencana pemboran yang dapat berakibat pada kerusakan lingkungan serta hilangnya ruang hidup Masyarakat Adat Poco Leok. Masalah terjadi ketika proyek tersebut tidak melibatkan partisipasi dan pendapat warga Adat Poco Leok. Pemerintah tidak mengakui adanya Masyarakat Adat Poco Leok.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

 

Syamsul Alam Agus, S.H (Ketua Badan Pengurus PPMAN) – 0811.8889.083
Ermelina Singereta, S.H, M.H (Manager Litigasi PPMAN) – 0812.1339.904