Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat (PPMAN) yang tergabung dalam tim hukum lima 5 Masyarakat Adat Pocoleok (Ignasius Nasat, Nikolaus Panas, Yoseph Kapas, Mikael Gamal, dan Karolus Maja) merespons pernyataan Ketua Pengadilan Negeri Ruteng di media daring Foresa pada 1 Juni 2024 kemarin.
Dalam pernyataan di media, Ketua Pengadilan Negeri Ruteng mengatakan pihaknya telah melakukan pemanggilan pada lima Termohon di atas, melalui Kantor Pos Ruteng dan kesalahan soal keterlambatan surat panggilan atau relaas tersebut bukan berada pada pihak mereka tetapi Kantor Pos.
Begini pernyataannya:
Pemanggilan sidang itu terkait perkara Permohonoan Konsinyasi Nomor 1/Pdt P-Kons/2024/PN Rtg. Antara PT PLN Persero dengan Lima Masyarakat Adat Pocoleok. Namun sidang dimulai pada pukul 09.00 WIT, sementara Relaas, baru diserahkan pada Para Termohon pada pukul 12.00 WIT.
Menurut Tim Hukum yang juga tergabung dalam Advokasi Pocoleok soal pembangunan Geothermal (PLTP Ulumbu) di wilayah adat, pernyataan Ketua pengadilan Negeri Ruteng yang sekaligus hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Permohonan Konsinyasi Nomor 1/Pdt P-Kons/2024/PN Rtg. antara PT PLN Persero dengan Lima Masyarakat Adat Pocoleok ini, tidaklah tepat dan sengaja mencari dan melemparkan kesalahan kepada pihak lain.
Tim kuasa hukum menilai tindakan ketua pengadilan yang langsung melakukan penetapan merupakan tindakan yang keliru dan tidak mencerminkan sebagai penegak hukum yang dapat memberikan keadilan tapi memberikan keadilan berdasarkan kepentingan dan keuntungan.
Gregorius B Djako, perwakilan Koalisi Advokasi Pocoleok, mengatakan sebagai seorang pemimpin persidangan permohonan, seharusnya Ketua Pengadilan tidak melakukan tindakan seperti itu—melemparkan tanggung jawab soal kekeliruan pada pihak lain (Kantor Pos).
RILIS: Pembela Masyarakat Adat Poco Leok Buat Pengaduan ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
“Sikap seperti itu menunjukkan bahwa Ketua Pengadilan Negeri Ruteng bukan pemimpin. Seorang pemimpin harusnya berdiri di depan menghadapi kritik bukan menyalahkan pihak lain, yang dimana, dalam keterangan persnya, Hakim yang juga merupakan Ketua Pengadilan Negeri Ruteng, menyalahkan Kantor Pos yang telat membawa surat tersebut,” kata Gregorius, 03 Juni 2024.
Laki-laki yang biasa disapa Greg ini mengatakan, seharusnya hakim bisa menunda persidangan dan memanggil kembali para Termohon untuk mendengarkan keterangan dari kelima masyarakat adat, yang memang sejak awal melakukan penolakan atas segala upaya yang telah dilakukan oleh Pemohon yaitu PT PLN Persero.
Selain itu, Marthen Salu, salah satu advokat dari lima masyarakat adat Pocoleok juga menyampaikan kemarahannya atas tindakan hakim pengadilan Negeri Ruteng, “Ini merupakan catatan buruk bagi aparat penegak hukum yang melakukan persidangan secara terburu-buru. Ada kesan bahwa ini merupakan pesanan,” kesal Marthen.
Marthen mengatakan, proses sangat terlihat dibuat dengan terburu-buru alias kejar target, karena dalam relaas tertanggal 13 Mei 2024 yang diterima oleh Termohon pada tanggal 17 Mei 2024 tepatnya pada siang hari. Selain itu, relaas tersebut tertulis Agenda Persidangan Pertama, seakan ada panggilan kedua dan seterusnya.
“Tapi ini tidak ada panggilan kedua dan langsung ditetapkan tanpa kehadiran termohon. Harap Mahkamah lihat ini sebagai alasan untuk mendengarkan keberatan kita mewakili para Termohon,” ungkap Marthen.
Marthen bilang, hakim seharusnya tetap menggunakan jadwal persidangan secara berurutan mulai dari sidang pertama sampai pada pengucapan putusan hakim. Hal ini, katanya, sudah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.
“Karena itu tindakan hakim merupakan tindakan yang telah melanggar ketentuan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, maka karena itu Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial perlu melakukan evaluasi, pengawasan, dan bahkan perlu melakukan penurunan jabatan bagi hakim yang merupakan Ketua Pengadilan Negeri Ruteng tersebut,” tegas Marthen.
“Kami juga akan ke Komisi 3 DPR RI untuk meminta DPR RI menjalankan tugas dan fungsinya melakukan pengawasan terhadap Lembaga-lembaga aparat penegak hukum di Indonesia khususnya kepada Mahkamah Agung atas kasus ini,” tambahnya.
Katanya, dampak dari penetapan ini, menghilang hak-hak konstitusi para termohon dan juga Masyarakat Adat Poco Leok yang lainnya, yang sedang mempertahankan hak-haknya atas tanah ulayat.
—
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi narahubung berikut ini:
Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904