SIARAN PERS: PPMAN Berkonsultasi ke LPSK Soal Kriminalisasi Mikael Ane

Pendampingan terhadap kasus yang dihadapi Mikael Ane, salah satu Anggota Masyarakat Adat Ngkiong, di Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, terus dilakukan. Kali ini, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) melakukan konsultasi secara langsung dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada 14 Mei 2024.

 

Saat pertemuan, dari pihak LPSK yang hadir yaitu Brigadir Jenderal Polisi (Purn) Dr. Achmadi, S.H., M.A.P. Sebagai Wakil Ketua LPSK. Kemudian Syahrial Martanto Wiryawan selaku Tenaga Ahli Senior LPSK serta Muhammad Busyrol Fuad selaku Tenaga Ahli LPSK.

 

Pertemuan tersebut membahas pemulihan hak Mikael Ane, yang sebelumnya dikriminalisasi menggunakan UU Kehutanan, yang telah diubah dalam UU Cipta Kerja. Sebelumnya, Mikael Ane menempati wilayah adat, yang belakangan diklaim sebagai Kawasan Taman Wisata Rakyat Ruteng oleh pemerintah.

 

Melalui Putusan Pengadilan Negeri Ruteng Nomor: 34/Pid.B/LH/2023/PN Rtg tertanggal 5 September 2023, Mikael Ane dipidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan pidana denda sejumlah Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

 

Upaya banding pun dilakukan, namun Pengadilan Tinggi Kupang melalui putusan Nomor 139/Pid/2023/PT KPG tertanggal 22 November 2023 menyatakan menguatkan putusan sebelumnya. Mikael Ane melalui PPMAN selaku kuasa hukumnya, kembali mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Melalui putusan Nomor: 2639 K/Pid.Sus/2024 tertanggal 06 Mei 2024, Mahkamah Agung menyatakan bahwa perbuatan Mikael Ane bukan tindak pidana. Untuk itu, Mikael Ane dilepaskan dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).

 

Mahkamah Agung kemudian menyatakan untuk memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Sayangnya, kebebasan Mikael Ane baru bisa diwujudkan pada 08 Mei 2024 setelah ditahan selama 406 hari atau sekitar 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan, 11 (sebelas) hari. Kerugian dan pelanggaran ini pun kemudian dilanjutkan dengan konsultasi dan diakhiri dengan memasukkan aduan ke LPSK dengan harapan, agar Mikael Ane sebagai korban kriminalisasi mendapatkan rehabilitasi, ganti kerugian, restitusi maupun hak untuk mendapatkan kompensasi dari negara.

 

Tim Hukum Mikael Ane, Ermelina Singereta mengatakan, Mikael Ane, selain mengalami kerugian materil atas kriminalisasi yang dialami, keluarganya juga sampai hari ini mengalami trauma. Selain itu, ditahannya Mikael Ane sebagai tulang punggung keluarga, mengakibatkan ekonomi keluarganya menjadi tidak terpenuhi. Tindakan kriminalisasi itu pun berdampak pada Masyarakat Adat Ngkiong secara keseluruhan.

 

“Kasus yang dialami Mikael Ane menyebabkan ekonomi keluarganya tidak terpenuhi. Lebih jauh, Masyarakat Adat Ngkiong tidak bisa lagi mengakses wilayah adatnya dengan leluasa, karena takut nasibnya juga berujung ke penjara,” ucap Ermelina.

 

Terkait konsultasi tersebut, Brigadir Jenderal Polisi (Purn) Dr. Achmadi, S.H., M.A.P. selaku Wakil Ketua LPSK menanggapi dengan baik. Ia menyampaikan bahwa menerima itu serta akan berusaha mencarikan solusi terbaik bagi korban.

 

“LPSK akan menerima karena bagi kami kasus ini tergolong baru, untuk itu akan dijalankan sesuai prosedurnya serta mencari jalan keluar yang terbaik,” tegas Achmadi.

Ermelina Singereta juga menegaskan bahwa LPSK diharapkan dapat membuat terobosan baru untuk memberikan solusi terkait berbagai persoalan hukum yang dialami oleh Masyarakat Adat, seperti Mikael Ane. Mengingat, pemulihan terhadap hak tidak bisa ditunda-tunda lagi.

 

“Pemulihan hak Mikael Ane tidak bisa ditunda lagi, sehingga harus segera diwujudkan,” tegasnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi Tim Penasehat Hukum PPMAN:

Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812.1339.904
Marselinus Suliman, S.H – 0823.3630.0460
Maximilianus Herson Loi, S.H – 0812.3831.7885

PERLAWANAN MIKAEL ANE, MASYARAKAT ADAT GENDANG NGKIONG, DALAM MENCARI KEADILAN ATAS KRIMINALISASI DIRINYA BERLANJUT KE TINGKAT BANDING

SIARAN PERS

 

Ruteng (22/09/2023) – Mikael Ane (57 Tahun), seorang tokoh Masyarakat Adat Ngkiong, secara resmi telah mengajukan upaya hukum Banding ke Pengadilan Tinggi Kupang. Upaya hukum tersebut dikarenakan dirinya mengalami kriminalisasi atas tuduhan menduduki wilayah hutan Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng tanpa ijin sehingga dilaporkan oleh pihak pengelola. Padahal sejauh apa yang dipahami oleh Mikael Ane sendiri dan didukung oleh keterangan baik saksi maupun saksi ahli, lahan tersebut merupakan lahan miliknya yang diperoleh turun-temurun.

 

Berdasarkan overlay peta wilayah, terungkap bahwa wilayah kelola TWA Ruteng bersinggungan langsung dengan wilayah kelola Gendang Ngkiong, termasuk milik Mikael Ane.

 

Pada pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri Ruteng, Mikael Ane dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan dan denda Rp. 300 (tiga ratus) juta subsidair 6 bulan penjara.

 

Tidak hanya itu, rumah Mikael Ane juga dirampas oleh Negara untuk dihancurkan. Dirinya di dakwa dengan dakwaan pertama Pasal 36 angka 19 Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Jo Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kemudian, dakwaan kedua menggunakan Pasal 40 ayat (2) Jo Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Memori Banding Mikael Ane telah diterima oleh Panitera PN Ruteng pada tanggal 21 September 2023 dengan Nomor Akta 34/Akta Pid.B/LH/2023/PN Rtg.

 

“Perlawanan Mikael Ane merupakan perjuangan seluruh Masyarakat Adat Manggarai pada khususnya. Mengapa? Apa yang dialami oleh Mikael Ane dipastikan juga akan dialami oleh semua Masyarakat Adat yang wilayah adat mereka di klaim secara sepihak oleh Negara. Bagaimana mungkin seseorang yang telah mendiami sebuah wilayah kelola jauh sebelum Negara lahir kemudian dirinya di pidana?” ungkap Maximilianus Herson Loi, S.H, salah seorang Penasehat Hukum Mikael Ane yang berasal dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Alasan Mikael Ane melakukan upaya hukum Banding tidak bukan ialah agar Negara sadar bahwa menjadi tugas dan kewajiban Negara sesuai amanat UUD Tahun 1945 untuk memberikan perlindungan serta pengakuan kepada Masyarakat Adat secara substantif, bukan hanya melihat bukti administratif. Karena penerapan hukum tidak hanya bicara tentang apa yang tertulis, tetapi juga melihat apa yang telah berlaku dan menjadi kebiasaan di dalam kehidupan masyarakat.

 

Lebih lanjut, pasal-pasal yang dituduhkan kepada Mikael Ane merupakan pasal-pasal yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Oleh karenanya demi kepastian hukum dalam upaya pemenuhan rasa keadilan di masyarakat, kekeliruan Hakim tingkat pertama perlu dikoreksi oleh tingkat yang lebih tinggi.

 

“Bukankah tujuan hukum adalah memberikan kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi setiap warga negara? Klien kami diakui sebagai Masyarakat Adat, tetapi tidak diakui hak-haknya. Pasal-pasal dakwaan sudah dicabut dan tidak berlaku ditambah dengan Majelis Hakim PN Ruteng di dalam pertimbangannya sangat sempit, memakai konstruksi hukum kaca mata kuda, tidak melihat realitas sehingga dalam penerapan hukum menjadi keliru,” paparnya lebih lanjut.

 

Penasehat Hukum Mikael Ane lainnya, Ermelina Singereta, S.H, M.H, memberikan penekanan penting mengapa upaya hukum Banding harus dilakukan selain menggunakan alasan-alasan yuridis. Ermelina melihat bahwa upaya kliennya dapat menjadi langkah positif bagi edukasi publik dan aparat hukum terkait isu Masyarakat Adat. Dimensi hak ekonomi, politik, sosial dan budaya Masyarakat Adat belum menjadi pusat pengembangan hukum di Indonesia.

 

“Isu Masyarakat Adat hanya muncul di permukaan, sepintas diakui sebagai bahan justifikasi atau rasionalisasi aturan hukum. Tapi dari aspek substansi, Masyarakat Adat dipersulit dalam memperoleh perlindungan dan pengakuan dari negara. Keterlambatan negara dalam menjalankan kewajibannya berbuah kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang mengelola lahan mereka sendiri,” jelasnya.

 

Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebutkan telah terjadi 301 kasus konflik wilayah adat selama 2019-2023. Kemudian, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menyebutkan hingga Agustus 2023 masih ada sekitar 23,17 juta Hektare wilayah adat yang belum mendapat pengakuan dari Pemerintah Daerah. PPMAN sendiri mencatat dari 27 kasus yang terjadi rentang waktu Januari hingga Juni 2023, 11 kasus diantara terkait dengan persoalan pengelolaan wilayah dan sumber daya.

 

“Fakta dan data yang tersedia sering tidak menjadi sumber rujukan, terutama oleh aparat penegak hukum dalam melihat kesulitan yang dialami oleh Masyarakat Adat. Aktivitas Mikael Ane mengelola lahannya sendiri bukanlah sebuah tindakan melawan hukum akan tetapi sebuah langkah pemenuhan hak dasar yang justru dilindungi oleh hukum,” ucapnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

 

Ermelina Singereta, S.H, M.H (0812.1339.904)

Marselinus Suliman, S.H (0823.3630.0460)

Maximilianus Herson Loi, S.H (0812.3831.7885)

AKIBAT PUTUSAN PN RUTENG, MIKAEL ANE MENJADI KORBAN PERADILAN SESAT -Potret Buram Atas Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia-

Siaran Pers

 

Ruteng (Selasa, 05/09/2023) – sehari setelah nota pembelaan dibacakan, Mikael Ane (57 Tahun), seorang tokoh Masyarakat Adat Gendang Ngkiong divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Ruteng.

 

Adapun vonis yang dijatuhkan adalah pidana penjara 1 tahun 6 bulan kurungan, ditambah denda 300 juta rupiah subsidair 6 bulan kurungan. Rumah milik Mikael Ane juga terancam dihancurkan. Di dalam nota pembelaan (pledooi), Penasehat Hukum memberikan argumentasi hukum beserta dukungan bukti bahwa pasal dakwaan terhadap Mikael Ane telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

Lebih jauh, Penasehat Hukum mengungkapkan sesuai amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2014 terkait Pasal 50 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 tentang Kehutanan bahwa terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan tidak dapat dikriminalisasi. Akibatnya, Mikael Ane menjadi korban peradilan sesat, sebuah peradilan yang tidak mencari kebenaran sejati (materiele waarheid).

 

Mikael Ane didakwa dalam dakwaan pertama dengan Pasal 36 angka 19 Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Jo Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima Miliar Rupiah).” Sedangkan dakwaan kedua menggunakan Pasal Pasal 40 ayat (2) Jo Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

 

“Kami akan banding, perjuangan mencari kebenaran materil tidak hanya di pengadilan negeri,” tegas Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) yang merupakan Penasehat Hukum dari Mikael Ane.

 

Lebih jauh, vonis pidana penjara terhadap Mikael Ane berpotensi menjadi ancaman serius terhadap eksistensi Masyarakat Adat Gendang Ngkiong dan lainnya di sekitar Taman Wisata Alam Ruteng. Apa sebab? Dari hasil overlay peta kawasan, terlihat irisan antara wilayah taman wisata dengan wilayah adat. Vonis tersebut juga dipandang sebagai bentuk pengingkaran amanat UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi, dan Persetujuan Indonesia di PBB atas Hak Masyarakat Adat.

 

“Kami menghormati putusan Hakim hari ini, namun kami mempunyai hak banding yang diatur oleh undang-undang untuk tidak setuju dengan cara pandang dan pertimbangan hakim berdasarkan alat bukti yang kami sampaikan. Lebih jauh, secara substansi dan kontekstual, putusan hari ini mengancam ruang hidup Masyarakat Adat sekitar taman wisata. Terdapat 60 Gendang di sana” paparnya lebih lanjut.

 

Pengacara PPMAN lainnya, Marselinus Suliman S.H, menjelaskan bahwa titik persoalan kasus ini adalah pandangan Hakim yang berpendapat bahwa pasal-pasal yang telah dicabut tersebut masih berlaku dan relevan akibat norma yang diatur oleh pasal aturan baru masih sama. Oleh karenanya, argumentasi penasehat hukum dikesampingkan.

 

“Siapa yang benar atau tidak terhadap asas legalitas tersebut harus di uji di tingkat yang lebih tinggi, yaitu pengadilan tinggi. Kami ingin menegaskan kembali perihal Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 5 Tahun 2014 yang mengatur bahwa demi hukum seseorang terdakwa lepas dari segala tuntutan apabila ia dikenakan pasal-pasal yang sudah tidak berlaku” jelasnya.

 

Pada sidang sebelumnya, Mikael Ane dituntut 3 tahun penjara ditambah denda Rp. 300 juta subsidair 6 bulan kurungan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Mikael Ane dengan pasal-pasal yang sudah tidak berlaku lagi. Alat bukti surat juga disampaikan untuk mendukung argumentasi Penasehat Hukum terdakwa.

 

“Pasal yang dituduhkan sudah dicabut oleh Pasal 112 UU Kerusakan Hutan yang kemudian juga telah dicabut oleh Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, atas dasar tersebut demi hukum sewajarnya Bapak Mikael Ane dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana menduduki kawasan hutan secara tidak sah,” tutupnya.

 

Sekedar untuk diketahui, Mikael Ane ditangkap, ditahan, dan diadili karena dianggap menduduki wilayah Taman Wisata Alam Ruteng. Di sisi lainnya, Mikael Ane dan leluhurnya telah ada dan berdiam di wilayah hutan tersebut sebelum Taman Wisata Alam Ruteng ada dan melakukan aktivitas. Atas situasi inilah upaya banding dilakukan oleh Penasehat Hukum Mikael Ane.

 

Informasi tambahan lainnya adalah upaya Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri di mana putusan tersebut dijatuhkan.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi Tim Penasehat Hukum PPMAN:

 

1. Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812.1339.904
2. Marselinus Suliman, S.H – 0823.3630.0460
3. Maximilianus Herson Loi, S.H – 0812.3831.7885

JPU GUNAKAN PASAL YANG TIDAK BERLAKU, PLEDOI PPMAN: DEMI HUKUM, TUNTUTAN HARUS DINYATAKAN TIDAK DAPAT DITERIMA

Siaran Pers

 

Ruteng (Senin, 04/09/2023) – Tim Penasehat Hukum tokoh adat Ngkiong, Mikael Ane, sesuai agenda sidang membacakan nota pembelaan (pledoi) terhadap kliennya. Nota pembelaan sebanyak 59 halaman tersebut mengupas fakta-fakta hukum, baik kesaksian di muka persidangan maupun bukti surat yang menunjukkan bahwa kliennya tidak bersalah mengolah lahan di lahan adatnya sendiri.

 

Di dalam persidangan hari ini, Mikael Ane di damping 2 orang penasehat hukumnya, yaitu Maximilianus Herson Loi, S.H dan Marselinus Suliman, S.H. Keduanya merupakan advokat Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Maximilianus Herson Loi membuka pembelaan yang diberi judul “Hentikan Kriminalisasi Terhadap Masyarakat Adat Gendang Ngkiong” dengan penekanan bahwa kliennya adalah korban penegakan hukum yang tidak adil (unfair) yang sarat pelanggaran terhadap hak asasi manusia sebagaimana tercantum di dalam Konstitusi dan Deklarasi HAM PBB, termasuk pengakuan dunia terhadap hak-hak Masyarakat Adat sebagaimana diatur di dalam United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat) di mana Indonesia ikut mendukung dan menandatangani deklarasi tersebut.

 

Belum lagi adanya pengakuan oleh Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Manggarai Timur. Artinya, Mikael Ane adalah anggota Masyarakat Adat yang wajib dihormati hak-hak dasarnya termasuk wilayah adatnya.

 

“Bahwa kita mengetahui, Gendang Ngkiong telah ada sejak ratusan tahun lalu dengan struktur dan kelembagaan, ritus dan hukum adat yang hidup sampai saat ini. Oleh sebab itu, patut dipertanyakan alasan pihak Taman Wisata Alam Ruteng melaporkan Bapak Mikael Ane karena mengolah lahannya sendiri. Ini jelas kriminalisasi, oleh karenanya demi hukum tuntutan harus dinyatakan tidak dapat diterima,” ucap Herson.

 

Pada sidang sebelumnya, Mikael Ane dituntut 3 tahun penjara ditambah denda Rp. 300 juta subsidair 6 bulan kurungan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Mikael Ane dengan pasal-pasal yang sudah tidak berlaku lagi. Alat bukti surat juga disampaikan untuk mendukung argumentasi Penasehat Hukum terdakwa.

 

“Pasal yang dituduhkan sudah dicabut oleh Pasal 112 UU Kerusakan Hutan yang kemudian juga telah dicabut oleh Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, atas dasar tersebut demi hukum sewajarnya Bapak Mikael Ane dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana menduduki kawasan hutan secara tidak sah,” jelas Hesron.

 

Penasehat Hukum terdakwa lainnya, Marselinus Suliman, S.H, menyampaikan antara fakta persidangan dan alat bukti yang diajukan mendukung pernyataan bahwa Mikael Ane tidak melakukan tindak pidana sebagaimana dituduhkan. Disajikan bukti peta overlay wilayah adat Gendang Ngkiong dan Taman Wisata ALam Ruteng di mana saling beririsan atau dengan kata lain terjadi tumpang tindih kawasan.

 

“Tidak ada bukti yang cukup kuat menjelaskan proses pelepasan hak atas wilayah hutan adat Ngkiong sebagaimana di klaim oleh pihak Taman Wisata Alam Ruteng. Lok Pahar adalah wilayah Adat, bukan Taman Wisata. Sesuatu alas hak haruslah diperoleh dengan itikad baik, bukan sebaliknya, menunjukkan peta kawasan tanpa ada sejarah yang kuat asal-usul dan cara perolehannya,” terang Marselinus.

 

Marselinus juga merujuk bukti putusan Mahkamah Konstitusi serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 5 Tahun 2014 untuk menjelaskan mengapa kliennya harus dibebaskan demi hukum.

 

“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2014 menjelaskan jika masyarakat yang hidup turun-temurun di dalam hutan tidak dapat di proses secara hukum. Kemudian SEMA Nomor 5 Tahun 2014 mengatur dengan jelas apabila seseorang terdakwa dituntut dengan pasal yang sudah tidak berlaku lagi maka harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum,” tegas Marselinus.

 

Sementara itu, Ketua Badan Pengurus PPMAN Syamsul Alam Agus, menyampaikan kepatuhan terhadap asas legalitas. Asas legalitas adalah suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini juga melindungi dari penyalahgunaan wewenang hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan dilarang. Asas ini juga mengatur bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang. Oleh karenanya, penting untuk disampaikan agar persidangan yang dipimpin oleh Majelis Hakim yang mulia tidak menjadi sebuah “peradilan sesat” karena menghukum seseorang tanpa sebuah dasar hukum yang jelas.

 

“Dalam hukum pidana, dikenal asas legalitas. Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu. Asas ini di masa kini lebih sering diselaraskan dengan asas non retroaktif, atau asas bahwa peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut. Kami berharap Majelis Hakim tidak memaksakan sebuah keputusan yang bertentangan dengan hukum dan keadilan, agar tidak menjadi peradilan sesat,” ujarnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi Tim Penasehat Hukum PPMAN:

 

1. Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812.1339.904
2. Marselinus Suliman, S.H – 0823.3630.0460
3. Maximilianus Herson Loi, S.H – 0812.3831.7885

PPMAN: TUNTUTAN 3 TAHUN PENJARA KEPADA MIKAEL ANE MERUPAKAN BURUK RUPA PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA TERHADAP MASYARAKAT ADAT

Siaran Pers

 

Ruteng (31/08/2023) – Mikael Ane, seorang tokoh Masyarakat Adat Ngkiong, Manggarai, NTT terancam 3 tahun penjara ditambah denda Rp. 300 juta subsidair 6 bulan penjara. Ancaman tersebut dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) hari ini.

 

Mikael Ane dituduh melanggar Pasal 36 angka 19 dan Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Singkatnya, ia didakwa atas tindakan penyerobotan lahan Taman Wisata Alam Ruteng.

 

Pasca pembacaan tuntutan, Penasehat Hukum terdakwa dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Marsel Suliman S.H, mengungkapkan keprihatinan atas situasi hukum yang berlaku tanpa melihat kondisi substansi Masyarakat Adat.

 

“Tuntutan tersebut menguatkan asumsi kami bahwa Masyarakat Adat sangat rentan terusir dari wilayahnya sendiri. Klien kami mengolah tanah adatnya, yang di klaim sepihak sebagai tanah Taman Wisata Alam Ruteng. Apa artinya? Hal ini berarti tidak ada pengakuan (rekognisi) dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat,” ungkapnya.

 

Advokat tersebut melanjutkan penjelasannya atas sikap kliennya dalam memandang putusan atas dirinya. Kliennya tetap akan memperjuangkan hak dasar sebagai Masyarakat Adat sebagaimana ditegaskan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B.

 

“Bapak Mikael Ane tetap konsisten dan tetap berjuang atas pengakuan wilayah adatnya sebagaimana diakui di dalam konstitusi,” terangnya

 

Persoalan yang dihadapi oleh Mikael Ane bukanlah hal baru di republik ini. PPMAN mengungkapkan bahwa selama Januari sampai Juni 2023, telah terjadi konflik yang terkait wilayah kelola adat dan sumber daya alam. Umumnya bermuara pada upaya kriminalisasi Masyarakat Adat.

 

“Kasus Bapak Mikael Ane menambah daftar panjang ancaman kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat,” terang Syamsul Alam Agus, S.H, Ketua Badan Pengurus PPMAN.

 

Pria yang kerap disapa dengan nama Alam tersebut juga menambahkan akan situasi ke depan yang mungkin terjadi terhadap Masyarakat Adat di seluruh Indonesia dengan berkaca pada tuntutan terhadap Mikael Ane.

 

“Pengakuan dan perlindungan dari negara sering terlambat dibandingkan dengan keluarnya ijin-ijin penguasaan lahan baik oleh korporat maupun negara itu sendiri melalui badan usaha miliknya. Kami kuatir, status Masyarakat Adat hanyalah sebatas tulisan di atas kertas, tidak nyata di lapangan,” tambahnya.

 

Sebagai informasi tambahan, Mikael Ane juga dituntut dirampas bangunan rumahnya untuk dihancurkan. Ia dikenakan tuntutan tidak hanya fisik namun juga mental karena terancam kehilangan semua yang ia miliki dan usahakan sepanjang hidupnya. Atas dasar itulah, Marsel Suliman bersama tim Penasehat Hukum lainnya akan mengajukan nota pembelaan (pledoi) menjelaskan posisi kasus yang menimpa klien mereka. Tanggal 4 September 2023 diagendakan pembacaan pledoi yang dimaksud.

 

“Persoalan batas wilayah dan proses penetapannya harus dilihat tidak hanya apa yang tertulis, tetapi bagaimana cara negara memperlakukan Masyarakat Adat sebagai entitas komunitas yang lebih dulu ada daripada negara itu sendiri. Mikael Ane layak dibebaskan dari tuntutan karena apa yang dikerjakan adalah wilayah adat mereka. Di dalam pembelaan nanti akan kami jelaskan”, terangnya.

 

Marsel Suliman juga menyoroti pengenaan pasal tuntutan yang dikenakan terhadap kliennya. Ia mengungkapkan jika pasal yang dikenakan adalah pasal yang sudah tidak berlaku lagi. Pasal yang dituduhkan sudah dicabut oleh Pasal 112 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Kerusakan Hutan sebagaimana diubah terakhir kalinya dengan Pasal 37 UU Cipta Kerja. Semakin kuat dugaan kriminalisasi dilakukan agar Masyarakat Adat kehilangan ruang hidup dan kelola atas tanah adat mereka.

 

“Pasal 78 ayat (2) itu sudah tidak berlaku lagi. Sudah di cabut oleh Pasal 112 UU Kerusakan Hutan. Kuat dugaan bahwa kasus ini dipaksakan sebagai upaya pelemahan Masyarakat Adat mengelola wilayah adatnya. Pertanyaan paling segera untuk dijawab adalah, mana yang terpenting, manusia untuk hutan atau hutan untuk manusia?” terangnya.

 

Di persidangan sebelumnya dengan agenda pemeriksaan keterangan Ahli, terungkap bahwa undang- Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak ditetapkan dan disahkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja tanggal 30 Desember Tahun 2022.

 

Dalam Pasal 185 Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, berbunyi; “Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2O2O Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.

 

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

 

Marsel Suliman, S.H – 082336300460

Ermelina Singereta, S.H, M.H – 08121339904

SEKJEND AMAN NILAI LAMBANNYA RESPON NEGARA TERHADAP PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT MENJADI SUMBER KRIMINALISASI MIKAEL ANE

Ruteng (21/8/2023) – Babak lanjutan persidangan di Pengadilan Negeri Ruteng, dengan terdakwa Mikael Ane, seorang tokoh Masyarakat Adat Gendang Ngkiong, yang di dakwa menduduki kawasan hutan, menghadirkan 2 Ahli untuk dimintai keterangannya. Salah satu Ahli yang didatangkan tim pendamping hukum Mikael Ane adalah Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

 

Rukka Sombolinggi, menyampaikan pengantar pendapat ahlinya, menekankan bahwa banyak konflik yang menimpa Masyarakat Adat disebabkan karena adanya perbedaan perspektif atas penguasaan lahan, dimana perbedaan tersebut tidak setara, sehingga yang satu cenderung represif. Padahal, baik aturan internasional dan hukum nasional juga memberikan pengakuan atas kehadiran Masyarakat Adat.

 

“Perkara ini sesungguhnya berkaitan erat dengan tema penghormatan, perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan hak Masyarakat Adat sebagaimana diatur di dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945. Akar perkara ini adalah competing claim, adanya 2 klaim terhadap satu wilayah yang sama. Bapak Mikael Ane memang tidak merasa bersalah karena mengelola wilayah yang secara turun temurun diwariskan dari leluhur untuk dimanfaatkan,” jelas Sekjend AMAN membuka keterangannya.

 

Rukka Sombolinggi (Sekjend AMAN) Saat Memberikan Keterangan Sebagai Ahli dalam Sidang Bapak Mikael Ane
Rukka Sombolinggi (Sekjend AMAN) Saat Memberikan Keterangan Sebagai Ahli dalam Sidang Bapak Mikael Ane

 

Dinamika isu Masyarakat Adat di level internasional tidak diikuti secara cepat juga di level nasional. Perkembangan hukum nasional seolah-olah mempunyai sifat paradoks (saling bertentangan) memandang status Masyarakat Adat di Indonesia. Dalam Konstitusi diakui, akan tetapi bentuk pengakuan membutuhkan proses berbelit serta lama, sehingga tidak menjawab kebutuhan perlindungan dan pengakuan atas Masyarakat Adat yang telah ada jauh sebelum negara terbentuk.

 

“Doktrin hak menguasai negara telah berkali-kali dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi. Contohnya melalui putusan MK No. 35/PUU-X/2012, yang secara ringkas menyimpulkan bahwa penguasaan negara atas hutan di wilayah adat adalah bertentangan dengan UUD 1945. Pengakuan kepada Masyarakat Adat berbelit-belit dan politis karena melalui Peraturan Daerah (Perda),” ujarnya.

 

Pada kesimpulan akhirnya, Rukka Sombolinggi menegaskan bahwa kasus yang menimpa Mikael Ane seharusnya tidak terjadi apabila Negara dalam hal ini Pemerintah beserta seluruh aparaturnya memahami konsep dan aspek hukum terhadap Masyarakat Adat. Kelambanan Negara merespon kebutuhan atas perlindungan dan pengakuan terhadap Masyarakat Adat berpengaruh kepada rendahnya penghormatan kepada Masyarakat Adat. Kekeliruan tersebut semestinya di sadari dan dihentikan. Ia memohon Mikael Ane dilepaskan.

 

“Pengabaian yang tercermin dari kelambanan negara dalam menjalankan kewajiban konstitusi ini tidak boleh ditimpakan kepada Bapak Mikael Ane. Oleh karena itu alangkah bijaksana apabila Majelis Hakim yang mulia melepaskan Bapak Mikael Ane dari seluruh tuntutan,” tutupnya.

 

Sementara itu, pendamping hukum dari Mikael Ane, Maximilianus Herson Loi, S.H, memandang bahwa keterangan ahli pada hari ini menguatkan argumentasi hukum eksepsi yang sempat dilayangkan sebelum pemeriksaan saksi dan ahli. Oleh karenya, maka klien mereka layak untuk dilepaskan berdasarkan hukum.

 

“Selama persidangan berlangsung JPU tidak membuktikan delik materiilnya yang sesuai dengan rumusan pasal dalam Dakwaan Kedua. Yang ada pembuktiannya Hanya berdasarkan Keterangan Saksi Fakta yang sebenarnya bertolak belakang dengan rumusan delik yang dimaksud dalam pasal tersebut ( psl 33 ayat 3 UU.No.5/1990 ttg Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya)”, paparnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi pendamping hukum Bapak Mikael Ane:

 

1. Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904
2. Herson, S.H – 0812-3831-7885

 

***

Pembela Masyarakat Adat Nusantara hadirkan tokoh adat Ngkiong dalam persidangan Mikael Ane

Press Release

 

Ruteng (15/08/2023) – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menghadirkan dua tokoh masyarakat adat Ngkiong yaitu Tua Golo Thadeus Dosen dan Tua Teno Pius Paulus sebagai saksi meringankan dalam sidang perkara Nomor 34/Pid.B/LH/2023/PN. Rtg, atas nama Mikael Ane (Masyarakat adat gendang ngkiong) yang di dakwa Menduduki Kawasan Hutan di Pengadilan Negeri Ruteng, Kab. Manggarai

 

Kedudukan Tua Golo merupakan orang yang memiliki tugas untuk menyelesaikan masalah sosial yang terjadi di komunitas Masyarakat Adat. Sementara Tua Teno memiliki kewenangan atau otoritas untuk mendistribusikan tanah kepada warga masyarakat adat setempat berdasarkan hukum adat. Otoritas tersebut tidak dapat digantikan kepada pihak lain.

 

Pendamping Hukum menilai bahwa kehadiran saksi yang meringankan di pengadilan untuk memberikan keterangan guna menyampaikan fakta hukum, kebiasaan adat yang biasa dilakukan oleh Masyarakat Adat dalam menyelesaikan masalah.

 

“Saksi yang meringankan menyampaikan bahwa kami tidak pernah tinggal di wilayah orang lain, kami tinggal di wilayah adat yang telah kami dapat dari leluhur kami secara turun temurun. Maximilianus Herson Loy, sebagai salah satu Tim Penasihat Hukum menyampaikan bahwa keterangan saksi yang meringankan memberikan fakta-fakta hukum ke Majelis Hakim, bahwa terdakwa tinggal di tanah ulayat yang telah dimiliki, dikuasai dan dikelola secara turun temurun. Tanah yang menjadi objek sengketa adalah tanah ulayat, tambah Herson.

 

Sementara Muhamad Maulana, salah satu tim hukum yang juga hadir dalam persidangan ini menganggap pertanyaan dari Jaksa Penuntut Umum terkesan mendiskreditkan kepemilikan wilayah adat dengan melontarkan pernyataan bahwa masyarakat tidak punya sertipikat tanah. Mao menambahkan bahwa pertanyaan dan pernyataan Jaksa Penuntut Umum menunjukan ketidakpahaman Aparat Penegak Hukum tentang Masyarakat Adat, dimana Masyarakat Adat tidak harus memiliki surat-surat sebagai bukti kepemilikan atas tanah ulayatnya. Ketiadaan sertifikat tanah yang dimiliki oleh Masyarakat Adat tidak berarti hilangnya hak asal-usul atas wilayah adatnya. Hal ini sesuai dengan konstitusi dan UUPA yang menegaskan bahwa hukum adat merupakan sumber hukum agraria nasional. Dengan demikian pemilikan tanah ulayat adalah sah secara hukum berdasarkan UUPA.

 

Marselinus Suliman tim hukum lainnya juga menyampaikan, saksi yang meringankan hari ini memberikan keterangan mengenai kebiasaan Masyarakat Adat yang menjalankan ritual kepada leluhur, ucapan syukur, adanya makam leluhur, pohon yang hidupnya puluhan tahun.

 

Fakta yang terurai di persidangan menunjukan bahwa Masyarakat Adat tinggal di wilayah ulayatnya yang diwariskan secara turun temurun. Saksi-saksi tidak mengetahui bahwa tanah Ulayat mereka telah diambil alih secara sepihak oleh negara sebagai kawasan TWA.

 

Fakta persidangan hari ini menjelaskan bahwa selain rumah terdakwa, ada juga rumah main yang berada di lokasi sengketa.

 

Selain itu kami juga atas sikap dan tindakan Jaksa yang sampai saat ini tidak memberikan berkas perkara secara lengkap kepada kami, dan kami melaporkan tindakan dan sikap ketidakprofesionalan Jaksa Penuntut Umum kepada Komisi Kejaksaan, Tegas pria yang biasa disapa Marsel.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi narahubung berikut ini:

 

Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904
Herson, S.H. 081238317885