Pengesahan UU No. 1/2023 Tentang Kita Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat pengaturan terhadap perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang hidup sebagai tindak pidana, menuai pro dan kontra. Pengaturan ini dinilai cukup akomodatif sekaligus mengkonfirmasi eksistensi hukum adat, namun pada sa’at yang bersamaan dinilai mereduksi nilai-nilai yang hidup dan berkembang (living law) ke dalam sistem hukum yang normatif – positivistik.
“Pengaturan ini juga tidak serta-merta dapat dimaknai sebagai bentuk pengakuan terhadap komunitas masyarakat adat tertentu. Apalagi pada faktanya, paradigma penegakan hukum terhadap pengakuan masyarakat adat, masih diletakkan pada pengakuan secara legal administratif dalam bentuk peraturan daerah dan/atau keputusan administratif. Padahal konstitusi telah mengamanatkan pembentukan UU Tentang Masyarakat Adat melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
“Ketiadaan UU Tentang Masyarakat Adat turut memperumit konsep living law dalam KUHP sebagai tindak pidana dalam kaitannya dengan masyarakat adat yang selalu menjadi korban kriminalisasi, penggusuran, perampasan wilayah adat dan ruang hidup lainnya”, kata Syamsul Alam Agus, Ketua Umum Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).
Pria yang juga sedang mengadvokasi beberapa komunitas masyarakat adat itu bersama beberapa pengacara yang terhimpun dalam PPMAN, menuturkan bahwa per 1 Januari s/d 30 Juni 2023, PPMAN telah menangani sejumlah 27 (dua puluh tujuh) kasus masyarakat adat, dengan rincian: 11 (sebelas) kasus terkait perampasan lahan masyarakat adat, 10 (sepuluh) kasus terkait kriminalisasi masyarakat adat, 2 (dua) kasus kekerasan terhadap perempuan, 2 (dua) kasus lainnya terkait dengan pengrusakan aset.
“Pendekatan hukum terhadap kasus-kasus sebagaimana tersebut, tidak akomodatif terhadap hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat juga, bahkan penegak hukum tak jarang menegasikan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat dengan hukum nasional”, kritiknya.
Ancaman Bagi Kelompok Minoritas
Menurut Alam, pengaturan living law sebagai tindak pidana juga bertentangan dengan asas legalitas dalam hukum pidana.
“Dalam asas legalitas terkandung makna, bahwa hukum harus tertulis (lexs cripta), hukum harus jelas / tidak ambigu (lex certa), tidak boleh ditafsirkan secara analogi (lex stricta) dan tidak boleh diberlakukan surut (lex praevia). Rumusan Pasal 12 ayat (2) KUHP baru ini mengandung ketidakpastian hukum dan berpotensi melanggar hak asasi manusia, sebab hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) masih banyak yang tidak tertulis dan plural, karenanya dapat digunakan sebagai alat kriminalisasi terhadap setiap orang yang distigma menyimpang atau berbeda dengan kelompok masyarakat pada umumnya, utamanya kelompok minoritas”, jelasnya.
Untuk diketahui, UU No. 1/2023 Tentang Kita Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disahkan dan mencabut Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam Pasal 12 ayat (2) KUHP yang baru, mengatur: “Untuk dinyatakan sebagai Tindak Pidana, suatu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan perundang-undangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”.
***