Kriminalisasi Masyarakat Adat di Indonesia; Strategi Negara dan Perusahaan Merampas Wilayah Adat

Oleh: Syamsul Alam Agus, S.H.

 

Kriminalisasi masyarakat adat adalah sebuah fenomena yang menimbulkan kekhawatiran dalam masyarakat. Masyarakat adat, yang secara historis telah tinggal di wilayah tertentu selama berabad-abad, sering kali menghadapi tantangan besar dalam menjaga hak-hak mereka terhadap tanah, sumber daya alam, ritual dan budaya mereka.

 

Kriminalisasi masyarakat adat merujuk pada situasi di mana kegiatan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat adat dianggap sebagai tindakan kriminal oleh aparat negara. Hal ini sering kali terjadi karena adanya konflik kepentingan antara masyarakat adat dengan pemerintah, perusahaan, atau individu lain yang berusaha mengakses sumber daya alam yang terletak di wilayah adat.

 

Salah satu contoh kriminalisasi masyarakat adat adalah penegakan hukum terhadap kegiatan perburuan, pengumpulan hasil hutan, atau praktik pertanian tradisional yang dilakukan oleh masyarakat adat. Padahal, kegiatan-kegiatan tersebut telah menjadi bagian integral dari kehidupan dan budaya mereka selama berabad-abad. Penegakan hukum destruktif yang didukung dengan peraturan dan kebijakan yang tidak adil kepada masyarakat adat atas kegiatannya sering kali mengakibatkan penangkapan, penahanan, penyiksaan hingga vonis pengadilan terhadap anggota masyarakat adat.

 

Kriminalisasi masyarakat adat sering terjadi karena konteks perjuangan mereka untuk mempertahankan hak atas tanah adat mereka. Banyak masyarakat adat yang menghadapi ancaman pengusiran atau kehilangan akses terhadap tanah mereka akibat dari klaim oleh pihak ketiga, baik itu pemerintah, perusahaan, atau individu. Upaya masyarakat adat untuk melindungi wilayah adat mereka sering kali dianggap sebagai tindakan melawan hukum, dan pihak berwenang menggunakan aparat hukum untuk menghentikan atau menghukum mereka.

 

Kriminalisasi masyarakat adat tidak hanya mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga berdampak pada keberlanjutan budaya dan tradisi mereka. Masyarakat adat memiliki pengetahuan dan praktik yang berharga terkait pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan pemeliharaan lingkungan. Namun, dengan kriminalisasi yang terus menerus terhadap kegiatan tradisional mereka, pengetahuan ini terancam punah dan berdampak pada keberlanjutan lingkungan dan keanekaragaman hayati.

 

Penting untuk mencatat bahwa perlindungan hak masyarakat adat diakui secara internasional. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat menyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak atas tanah, sumber daya alam, dan budaya mereka sendiri. Negara-negara juga diwajibkan untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak tersebut.

 

Kriminalisasi terhadap masyarakat adat memiliki dampak yang luas dan serius terhadap kehidupan mereka. Berikut ini adalah beberapa dampak umum yang dapat timbul akibat kriminalisasi terhadap masyarakat adat:

 

  1. Kehilangan Akses terhadap Tanah Adat: Kriminalisasi sering kali berarti pengusiran atau pembatasan akses masyarakat adat terhadap tanah adat mereka. Tanah adat adalah inti dari identitas, budaya, dan cara hidup masyarakat adat. Ketika mereka kehilangan hak akses terhadap tanah ini, mereka juga kehilangan mata pencaharian, sumber kehidupan, dan hubungan spiritual mereka dengan lingkungan sekitar.
  2. Kerusakan Budaya dan Identitas: Kriminalisasi mengancam keberlanjutan budaya dan identitas masyarakat adat. Banyak praktik dan tradisi mereka terkait dengan penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan pemeliharaan lingkungan. Dengan larangan atau penindakan terhadap kegiatan tradisional, pengetahuan dan praktik ini dapat terancam punah. Selain itu, pemisahan dari tanah adat juga dapat menyebabkan kehilangan ikatan sosial dan kehilangan identitas budaya yang kuat.
  3. Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Kriminalisasi masyarakat adat sering kali melibatkan pelanggaran hak asasi manusia. Mereka dapat menghadapi kekerasan fisik, penahanan sewenang-wenang, intimidasi, atau ancaman terhadap keselamatan mereka. Tindakan semacam itu melanggar hak mereka untuk hidup dengan aman, bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi, dan hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul.
  4. Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan: Kriminalisasi masyarakat adat mencerminkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam sistem hukum. Masyarakat adat sering kali tidak memiliki akses yang memadai terhadap sistem peradilan, dan mereka dapat dianggap bersalah secara sepihak tanpa proses yang adil. Selain itu, kekuatan dan sumber daya yang dimiliki oleh pihak berwenang yang mendukung kriminalisasi seringkali lebih besar daripada yang dimiliki oleh masyarakat adat, sehingga menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan.
  5. Penurunan Kesejahteraan Sosial dan Ekonomi: Kriminalisasi dapat menghancurkan ekonomi masyarakat adat. Ketika mereka dilarang atau dihentikan dalam melakukan kegiatan tradisional mereka, sumber pendapatan mereka berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Ini dapat menyebabkan kemiskinan, kelaparan, dan penurunan kesejahteraan sosial di antara masyarakat adat.

 

Dampak-dampak ini tidak hanya dialami oleh masyarakat adat itu sendiri, tetapi juga pada keberlanjutan lingkungan, keanekaragaman hayati, dan keberagaman budaya yang penting bagi kehidupan kita secara keseluruhan.

 

Untuk mengatasi kriminalisasi yang terjadi pada masyarakat adat, perlu adanya upaya yang komprehensif dari pemerintah, masyarakat sipil, dan lembaga internasional. Meningkatkan kesadaran tentang hak-hak masyarakat adat adalah langkah penting dalam melawan kriminalisasi yang mereka hadapi. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran tersebut:Pendidikan dan Kampanye: Pendidikan merupakan kunci untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang hak-hak masyarakat adat. Kampanye informasi dan pendidikan harus dilakukan di sekolah-sekolah, universitas, dan masyarakat umum untuk memperkenalkan pentingnya hak-hak masyarakat adat serta tantangan yang mereka hadapi.

 

  1. Media dan Komunikasi: Media memainkan peran penting dalam membentuk opini publik. Melalui media cetak, elektronik, dan sosial, informasi tentang kriminalisasi masyarakat adat dapat disebarkan dengan lebih luas. Organisasi masyarakat sipil dan kelompok advokasi dapat menggunakan media untuk memperkenalkan kasus-kasus konkret, menceritakan kisah-kisah sukses, dan memperkuat narasi tentang pentingnya melindungi hak-hak masyarakat adat.
  2. Pelibatan Masyarakat Adat: Masyarakat adat harus secara aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak pada hak-hak mereka. Mereka harus diberi kesempatan untuk berbicara dan berpartisipasi dalam forum-forum publik, perundingan, dan proses legislasi yang berkaitan dengan tanah adat dan sumber daya alam. Ini memungkinkan mereka untuk mengadvokasi hak-hak mereka secara langsung dan memperkuat kesadaran tentang pentingnya hak-hak masyarakat adat.
  3. Pelatihan Hukum: Pelatihan hukum yang ditujukan kepada masyarakat adat dan advokat pembela mereka adalah kunci untuk memberdayakan mereka dalam memahami sistem hukum dan hak-hak mereka. Mereka perlu memahami mekanisme perlindungan hukum yang ada, seperti peraturan daerah, nasional dan internasional yang melindungi hak-hak masyarakat adat. Pelatihan ini dapat membantu mereka memperkuat argumen hukum mereka, bekerja sama dengan pengacara, dan melibatkan lembaga hukum untuk melawan kriminalisasi.
  4. Solidaritas dan Jaringan: Masyarakat adat harus bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, LSM, dan lembaga internasional yang peduli terhadap hak-hak mereka. Dengan membangun jaringan yang kuat, masyarakat adat dapat saling mendukung dan berbagi pengalaman, strategi, dan sumber daya untuk melawan kriminalisasi. Solidaritas lintas kelompok dan dukungan dari masyarakat umum juga dapat membantu meningkatkan kesadaran dan memperkuat advokasi.

 

Meningkatkan kesadaran tentang hak-hak masyarakat adat bukanlah upaya sekali jalan. Ini adalah proses berkelanjutan yang membutuhkan kolaborasi, advokasi yang kuat, dan pendekatan holistik untuk mencapai perubahan yang signifikan dalam melawan kriminalisasi masyarakat adat.

 

***

 

Penulis adalah Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

PPMAN MENGECAM SEGALA BENTUK TINDAK KEKERASAN & PENANGKAPAN OLEH APARAT KEPOLISIAN TERHADAP MASYARAKAT ADAT DI BERBAGAI DAERAH

Oleh Apriadi Gunawan

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengecam tindak kekerasan aparat kepolisian yang menangkap secara paksa sejumlah Masyarakat Adat di berbagai daerah.

 

Dalam data yang diterima sedikitnya ada 17 orang Masyarakat Adat yang ditangkap polisi dalam sepekan ini. Mereka adalah dua orang Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, yaitu Alen Baikole dan Samuel serta 15 orang Masyarakat Adat dari Kampung Dingin, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, yaitu Prans, Maring, Priska, Andi, Ayes, Fitra, Riko, Ilham, Uban, Misen, Rio, Ferdinan Salvino, Sastiano Kesek, Dominikus, dan Ferdy.

 

Ketua Badan Pelaksana PPMAN Syamsul Alam Agus menyebut bahwa mereka telah menerima pengaduan mengenai penangkapan dan penyiksaan yang dialami oleh 17 orang Masyarakat Adat tersebut.

 

Di Tobelo Dalam, kasus penangkapan dan penyiksaan terhadap Alen Baikole dan Samuel,  diduga erat terhubung dengan pembatasan atas upaya enam orang Masyarakat Adat yang ingin menggunakan hak hukumnya dalam membela dan membuktikan skenario “peradilan sesat” yang membuat mereka dipenjara seumur hidup dan mendekam 20 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Ternate.

 

Ketua Badan Pelaksana PPMAN yang biasa dipanggil Alam menerangkan kalau kedua korban ditangkap dan mengalami penyiksaan saat proses interogasi kepolisian, sementara anggota keluarga dibatasi aksesnya untuk bertemu. Kemudian, korban juga dibatasi haknya untuk mendapatkan layanan bantuan hukum pengacara sesuai dengan pilihan dan keputusan korban.

 

“Upaya sistematis (atas) kriminalisasi ini merupakan cara kepolisian membungkam suara penolakan Masyarakat Adat atas pembangunan yang merusak wilayah adat mereka,” kata Alam pada Senin (27/3/2023).

 

Penangkapan Masyarakat Adat Tobelo Dalam

 

Alam menerangkan bahwa pada 22 Maret 2023, pihak kepolisian di Halmahera Timur, kembali menangkap dan menahan seorang Masyarakat Adat bernama Alen Baikole dari Suku Togutil, Tobelo Dalam, Maluku Utara. Alen ditangkap di tempat kerjanya di Subaim pada pagi hari.

 

Alam menyatakan, berdasarkan informasi yang dihimpun PPMAN di lokasi, diduga Alen telah mengalami penyiksaan saat penangkapan dan interogasi oleh pihak kepolisian di Halmahera Timur.

 

“Ada luka memar di wajah Alen, diduga akibat pukulan saat dilakukan interogasi. Alen juga mengeluhkan sakit di bagian dada dan seluruh badannya karena ditendang,” ungkap Alam sembari menambahkan informasi kedua tangan Alen dalam kondisi terikat di kursi saat dilakukan interogasi.

 

Selanjutnya, Alen Baikole ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pelaku pembunuhan yang diduga terjadi pada 29 Oktober 2022 di Kebun Semilo, Desa Gotowasi, Kecamatan Maba Selatan, Halmahera Timur. Alen ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Maret 2023.

 

Alam mengatakan, tuduhan atas kasus pembunuhan yang dilakukan Alen, coba dipaksakan lewat istrinya. Penyidik Polres Halmahera Timur menekan dan memaksa istri Alen yang berinisial Y untuk mengakui bahwa Alen benar telah melakukan pembunuhan pada 29 Oktober 2022. Namun, Y berusaha meyakinkan penyidik bahwa suaminya Alen tidak pernah melakukan pembunuhan karena pada waktu peristiwa disebutkan, Alen sedang bersamanya.

 

“Ironisnya, dengan nada mengancam akan memenjarakan Y selama 7 tahun, anggota kepolisian tetap memaksa Y untuk membenarkan tuduhannya,” ujarnya.

 

Selain menangkap Alen, petugas polisi di Polres Halmahera Timur juga menangkap seorang Masyarakat Adat bernama Samuel. Penangkapan Samuel dilakukan polisi sehari sebelum Alen ditetapkan sebagai tersangka. Samuel ditahan penyidik Polres Halmahera Timur pada 21 Maret 2023. Samuel diduga mendapat tekanan dalam proses pengambilan keterangan.

 

“Penangkapan kedua anggota Masyarakat Adat Tobelo Dalam ini dilakukan polisi saat mereka sedang berjuang mempertahankan wilayah adatnya dari ekspansi modal dan pembangunan di wilayah Masyarakat Adat Tobelo Dalam yang masif,” ungkap Alam.

 

Dikatakan Alam, kasus kriminalisasi yang dilakukan polisi terhadap Masyarakat Adat Tobelo Dalam, bukan yang pertama.

 

Sebelumnya pada 29 Maret 2019, Masyarakat Adat Tobelo yang bernama Habel Lilinger alias Hambiki alias Niklas Dilingir, Hago Baikole alias Hago, Rinto Tojouw alias Rinto, Toduba Hakaru alias Toduba, Awo Gihali alias Awo, dan Saptu Tojou alias Saptu ditangkap polisi atas tuduhan telah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana.

 

Keenam Masyarakat Adat tersebut bekerja sebagai petani dan pemburu. Mereka berdomisili di Desa Dodaga, Kecamatan Wasile Timur, Halmahera Timur.

 

Pada 30 Maret 2020, Pengadilan Negeri Soasio menjatuhkan hukuman bervariasi kepada enam Masyarakat Adat Tobelo Dalam. Habel Lilinger alias Hambiki alias Niklas Dilinger dan Hago Baikole alias Hago dipidana penjara seumur hidup, Toduba Hakaru alias Toduba dan Saptu Tojou alias Saptu dipidana penjara 20 tahun penjara, dan Rinto Tojou alias Rinto dan Awo Gihali alias Awo dipidana penjara selama 16 tahun.

 

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan banding atas putusan tersebut. Selang satu bulan pada 30 April 2020, Pengadilan Tinggi Maluku Utara memperberat pidana masing-masing terdakwa, di antaranya Habel Lilinger alias Hambiki alias Niklas Dilinger dan Hago Baikole alias Hago dengan pidana mati, Toduba Hakaru alias Toduba dan Saptu Tojou alias Saptu dengan pidana penjara seumur hidup, serta Rinto Tojouw dan Awo Gihali alias Awo dengan pidana penjara 20 tahun. Atas putusan Pengadilan Tinggi Maluku Utara itu, para terdakwa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

 

Alam menerangkan bahwa Alen Baikole yang kini ditangkap dan ditahan di Polres Halmahera Timur, diketahui memiliki fakta- fakta atas dugaaan “peradilan sesat” terhadap enam Masyarakat Adat Tobelo Dalam.

 

Menurutnya, penangkapan Alen Baikole dapat menjadi halangan bagi keenam terpidana dalam memperjuangkan keadilan melalui proses Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung. Sebaliknya, penangkapan Alen Baikole akan memberi ruang bagi kepolisian menutupi skenario kriminalisasi yang selama ini digunakan untuk membungkam suara kritis Masyarakat Adat di Tobelo Dalam atas pembangunan yang merusak lingkungan dan menghancurkan wilayah adat.

 

Saat ini, kata Alam, PPMAN dan Lembaga Bantuan Hukum Marimoi yang terhimpun sebagai Tim Pembela untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, akan memberi bantuan hukum kepada Alen Baikole serta enam terpidana lain.

 

“Mereka telah menjadi korban kriminalisasi anggota kepolisian yang pantas dibela untuk mendapatkan keadilan,” katanya.

 

Penangkapan Masyarakat Adat Kutai Barat

 

Sementara di Kutai Barat, aparat kepolisian melakukan penangkapan terhadap sejumlah Masyarakat Adat dari lokasi tambang batubara PT Energi Batu Hitam (EBH) di Kampung Dingin, Kecamatan Muara Lawa, Kabupaten Kutai Barat pada Sabtu (25/3/2023). Selain Masyarakat Adat, polisi juga menangkap seorang pengacara bernama Sastiano Kesek.

 

Alam menyatakan bahwa penangkapan anggota Masyarakat Adat beserta pengacaranya itu, berawal saat Sastiono merekam kedatangan puluhan anggota polisi ke sebuah tenda terpal yang didirikan warga. Peristwa itu disiarkan langsung melalui Facebook pada pukul 14.00 WITA.

 

Sekitar empat menit kemudian, anggota kepolisian mendatangi tenda warga. Mereka mengatakan bahwa mereka mendapat perintah untuk melaksanakan pembongkaran tenda warga.

 

Setelah itu, tidak diketahui pasti apa yang terjadi karena video mati. Lalu, sekitar pukul 16.00 WITA, beredar lagi video beberapa pria sudah berada dalam mobil yang diduga kendaraan dari kepolisian. Ada dua orang pria yang tangannya diborgol, sedangkan beberapa orang lainnya tidak diborgol.

 

Alam mengatakan bahwa mereka akan memberikan pendampingan hukum terhadap Masyarakat Adat yang ditangkap polisi. “Mereka korban kriminalisasi yang pantas untuk dibela dan mendapatkan keadilan,” kata Alam.

 

***