Proses Hukum Janggal: Keluarga Korban Pembunuhan Desa Bangkal Mengadu Ke Lembaga Negara Indonesia

Jakarta – Perwakilan Keluarga Korban Pembunuhan Warga Desa Bangkal terus melakukan upaya untuk mencari keadilan bagi korban di Negara ini. Walaupun sebelumnya laporan mereka ditolak oleh Bareskrim Mabes Polri mereka tidak mengendurkan  semangatnya. Mereka mendatangi  sejumlah Lembaga Negara yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM), Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia (Kompolnas) dan Ombudsman Republik Indonesia untuk menuntut keadilan atas kasus penembakan yang diduga kuat dilakukan oleh Brimob Polda Kalteng yang menyebabkan kematian Almarhum Gijik dan luka berat yang dialami Sdr Taufik. Hingga kini kasus pengungkapan kasus penembakan tersebut tidak jelas dan anehnya justru warga yang dipanggil Kepolisian Polda Kalteng dengan pasal-pasal yang diduga akan mengkriminalisasi warga. (10/11/2023)

 

Keluarga korban berharap kepada keempat Lembaga negara ini menjalankan fungsi serta kewenangannya khususnya berkaitan dengan penegakan hukum dan HAM kasus pembunuhan yang ada di Desa Bangkal. Adapun harapan dari keluarga korban terhadap keempat Lembaga negara ini adalah sebagai berikut:

 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pihak keluarga korban dan saksi meminta adanya perlindungan bagi warga Desa Bangkal yang menjadi bagian peristiwa pada tanggal 07 Oktober 2023. Posisi pihak keluarga korban dan para saksi dalam keadaan kebingungan serta ketakutan. Kebingungan warga soal penegakan hukum bagi pelaku pembunuhan yang tak kunjung di proses. Warga juga mengalami ketakutan karena adanya intimidasi berupa pemanggilan dari Kepolisian. Pemanggilan tersebut berkenaan dengan perbuatan melawan aparat yang sedang bertugas. Keluarga dan warga takut akan upaya kriminalisasi dari pihak tertentu. Pada pertemuan dengan pihak Komnas Ham warga ditemui oleh Komisioner yang juga ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro.

 

Lembaga Saksi dan Korban (LPSK), diharapkan  dapat memberikan perlindungan kepada pihak keluarga korban dan menjawab kebutuhan pemulihan korban dan keluarganya. Permohonan warga pun telah disampaikan langsung kepada pihak LPSK.

 

Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia (Kompolnas), diminta oleh pihak keluarga korban untuk melakukan pengawasan dan memberikan rekomendasi terkait proses hukum yang berjalan agar imparsial dan adil meskipun diduga pelakunya adalah anggota kepolisian dan jangan sampai justru mengkriminalkan korban.

 

Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal saat di Kompolnas
Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal saat di Kompolnas

 

Ombudsman Republik Indonesia, warga Desa Bangkal melaporkan dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah dan Mabes Polri karena tidak memberikan pelayanan publik secara baik kepada warga. Hal ini terkait brutalitas aparat dalam pengamanan aksi warga, Penggunaan kekuatan aparat kepolisian yang berlebihan (excessive use of force) dan penolakan laporan pembunuhan oleh keluarga korban di Kepolisian tanpa alasan yang sah.

 

Kami dari Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal menilai bahwa kasus pembunuhan warga Desa Bangkal merupakan cerminan buruknya jaminan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan  hak asasi manusia oleh aparat penegak hukum di Republik ini. Pelanggaran-pelanggaran yang dipertontonkan oleh aparat hukum dengan cara melawan hukum terkesan sengaja dilanggengkan dengan diberikan impunitas. Tentu hal ini akan semakin memperburuk citra  Indonesia yang mengaku sebagai Negara hukum.

 

Kita ketahui bahwa Lembaga Negara seperti Komnas Ham, LPSK dan Kompolnas telah mengikuti proses kasus penembakan warga Desa Bangkal dan Lembaga ini telah melakukan investigasi lapangan. Di tengah ketidakpastian akan proses penegakan hukum yang berjalan, kami masih menaruh secercah harapan kepada lembaga-lembaga negara ini. Semoga harapan kami tidak berujung kepada ketidakpercayaan dan pembiaran terhadap praktik kesewenang-wenangan dan pelanggaran HAM oleh aparat negara dan Korporasi yang dilindungi oleh Aparat kepolisian.

 

Kasus Bangkal yang dilatarbelakangi oleh konflik agraria, memperpanjang daftar kekerasaan aparat penegak hukum kepada warga yang sedang mempertahankan haknya. Kasus Bangkal juga mempertebal pemahaman kita soal ketidakmampuan negara melindungi rakyatnya. Situasi seperti ini menyadarkan bahwa kekuatan kolektif rakyatlah yang dapat menyelamatkannya dari ketidakadilan dan perampasan ruang hidup. Rakyat harus bersatu sebagaimana Masyarakat Adat Laman Kinipan yang terus melawan dan mempertahankan wilayah adat mereka, Masyarakat Rempang dan masyarakat lainnya.

 

Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal

 

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia), PW AMAN Kalteng, WALHI Kalteng, PROGRESS, Yayasan Betang Borneo Indonesia (YBBI),  Save Our Borneo (SOB), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Greenpeace Indonesia, Sawit Watch, LBH Palangkaraya, dan LBH Genta Keadilan.

 

***

MASYARAKAT ADAT POCO LEOK LAPOR KOMNAS HAM KARENA ALAMI KRIMINALISASI OLEH KEPOLISIAN RESOR MANGGARAI

Jakarta, 20 Oktober 2023 – Adanya Tindakan Kekerasan, kesewenangan, ancaman dan intimidasi yang telah dilakukan oleh anggota Kepolisian Polres Manggarai, Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) terhadap Masyarakat Adat Poco Leok.

 

Tindakan intimidasi dan kriminalisasi yang telah dilakukan oleh Kepolisian Polres Manggarai merupakan tindakan pelanggaran hukum sebagaimana mandat dari Undang-undang Dasar 1945 yang terdapat pada Pasal 28 D ayat 1 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

 

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 3 ayat (3) “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Pasal 5 ayat (3) “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”. Hal ini merupakan pengingkaran terhadap fungsi kepolisian dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada Masyarakat sebagaimana amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 

Polres Manggarai telah melayangkan surat panggilan terhadap Masyarakat Adat Poco Leok terkait dengan dugaan tindak pidana dengan sengaja menghalangi atau merintangi Pembangunan Pengusahaan Panas Bumi dan/atau barang siapa dengan kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah yang terletak di Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai sebagaimana dimamksud dalam Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi.

 

Masyarakat Adat Poco Leok tidak mengetahui alasan Kepolisian Polres Manggarai melakukan pemanggilan tersebut. Masyarakat Adat menilai bahwa pemanggilan tersebut sangat tidak beralasan.

 

“Jika ada orang yang masuk ke wilayah tempat tinggal kami dan kami tidak kenal apalagi tahu tujuannya, wajar jika kami mempertahankan tanah tempat tinggal kami, kami tidak melakukan apapun, hanya mempertahankan tanah yang menjadi milik kami yang telah diwariskan oleh leluhur kami” ujar salah seorang warga yang enggan di sebut namanya dengan alasan keamanan dirinya.

 

Pemanggilan terhadap Masyarakat Adat Poco Leok tersebut merupakan tindakan kesewenang-wenangan Polres Manggarai dengan menggunakan kekuasaannya. Ini MERUPAKAN KRIMINALISASI TERHADAP MASYARAKAT ADAT POCO LEOK untuk membungkam perjuangan masyarakat adat Poco Leok dalam mempertahankan wilayah adatnya.

 

Menyoroti masalah ini, KOALISI ADVOKASI POCO LEOK menyampaikan bahwa tindakan Kepolisian Resort (Polres) Manggarai yang melakukan Kekerasan, kesewenangan, ancaman dan intimidasi merupakan tindakan pelanggaran hukum. Untuk ini Koalisi Advokasi Poco Leok mengambil langkah hukum atas sikap dan tindakan dari Kepolisian Polres Manggarai.

 

Koalisi Advokasi Poco Leok telah mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk melaporkan tindakan Kepolisian Polres Manggarai yang telah melakukan kekerasan, kesewenangan, ancaman dan intimidasi terhadap Masyarakat Adat Poco Leok dengan melakukan pemanggilan dan meminta keterangan.

 

Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN,) Syamsul Alam Agus menyampaikan bahwa tindakan intimidasi, tekanan dan ancaman dengan cara memanggil Masyarakat Adat yang memiliki hak penuh atas tanah ulayatnya dan wilayah yang berpotensi terkena dampak dari rencana pembagunan geotermal telah melanggar Pasal 11 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang pelaksanaan Peraturan Kapolri nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 

“Pihak Kepolisian tidak memahami konteks persoalan Masyarakat Adat, melihat aturan hanya dari sisi sempit. Pihak Kepolisian sebaiknya menggali terlebih dahulu perihal konsep kepemilikan tanah komunal atau Ulayat dan Hak Asasi yang telah dijamin oleh undang-undang semisal Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan UU HAM. Peraturan Kapolri (Perkap) juga mengadopsi konsep HAM tersebut”, jelasnya.

 

Syamsul Alam Agus juga menambahkan, bahwa seharusnya Kepolisan Polres Manggarai memberikan perlindungan kepada Masyarakat Adat yang memiliki kerentanan, karena tanahnya diambil oleh orang tanpa persetujuan dari Masyarakat Adat. Namun kehadiran pihak Kepolisian tidak melindungi masyarakat tapi melindungi orang-orang atau perusahaan yang datang merusak tanah Masyarakat Adat.

 

“Konsep perlindungan itu kepada yang lemah, bukan kepada yang berkuasa dan kuat. Jangan di balik konsepnya,” tegasnya.

 

Sementara itu, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, mengatakan bahwa sejak awal rencana pembangunan geotermal di Poco Leok telah mendapat penolakan terkait rencana Pembangunan pembangkit listrik Geothermal (PLTP Ulumbu) di Poco Leok. namun Pemerintah tetap tidak menghiraukan penolakan tersebut dan malah mengerahkan Kepolisian untuk melakukan tindakan represif dan intimidasi terhadap Masyarakat Adat Poco Leok.

 

“Atas nama Proyek Strategis Nasional yang dibuat tanpa konsultasi terlebih dahulu, rakyat kecil rentan terusir dari wilayah mereka seperti yang dialami oleh Masyarakat Adat Poco Leok”, ujar Melky.

 

Erasmus Cahyadi, Deputi II Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menambahkan bahwa Koalisi melakukan pengaduan ke Komnas HAM agar Komnas HAM segera memberikan perlindungan kepada Masyarakat Adat Poco Leok dan memantau atas tindakan represif dan intimidasi yang telah dilakukan oleh Kepolisian Polres Manggarai, Erasmus Cahyadi juga mengharapkan Komnas HAM memberikan rekomendasi kepada Polres Manggarai agar menghentikan kriminalisasi kepada Masyarakat Adat Poco Leok.

 

Pria kelahiran Poco Leok ini juga menambahkan meminta kepada Komnas HAM untuk turun ke Poco Leok untuk bertemu dengan masyarakat dan menerima secara langsung pengaduan, serta meninjau lokasi pembangunan pembangkit listrik Geothermal (PLTP Ulumbu) di Poco Leok.

 

“Kunjungan Komnas HAM ke Poco Leok menjadi krusial tidak hanya bagi masyarakat akan tetapi juga bagi Komnas HAM menggali fakta sesungguhnya atas apa yang terjadi di lapangan,” jelas Erasmus.

 

Dihubungi melalui telephone, Komisioner Komnas HAM Bapak Hari Kurniawan, menyampaikan bahwa Komnas HAM akan melakukan rapat bersama untuk mengambil keputusan terkait dengan pengaduan dari Koalisi Advokasi Poco Leok, dan juga Komnas HAM akan segera memberikan perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat Poco Leok.

 

Kedepannya, Koalisi Advokasi Poco Leok akan terus melakukan pengaduan ke berbagai lembaga negara atas tindakan dan sikap Kepolisian yang tidak berpihak pada masyarakat dan juga akan meminta dukungan dari berbagai pihak baik nasional maupun internasional terkait dengan masalah yang menimpa Masyarakat Adat Poco Leok khususnya terkait dengan pembangunan Geotermal.

 

KOALISI ADVOKASI POCO LEOK

 

1. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
2. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
3. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
4. Trend Asia
5. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
6. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makasar
7. JPIC OFM
8. Justice, Peace and Integrity of Creation- Societas Verbi Divini (JPIC-SVD)
9. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur,
10. SUNSPIRIT for justice and peace is a civil society organization working in the area of social justice and peace in Indonesia.
11. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Labuan Bajo

 

Narahubung:
1. Ermelina Singereta (08121339904)
2. Muh. Jamil (082165470477)

Lawan Kriminalisasi PT. Mega Haltim Mineral, Masyarakat Adat Tobelo Boeng Laporkan Ke Komnas HAM

Minamin (5/6/2023) – Masyarakat Adat Tobelo Boeng Desa Minamin yang mengalami intimidasi dan potensi kriminalisasi atas laporan pihak PT Mega Haltim Mineral (MHM) ke Polsek Wasile Selatan melaporkan kasusnya kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM). Disaksikan oleh warga dan Kepala Adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke, Novenia Ambuea (36 thn) salah seorang perwakilan Masyarakat Adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin diterima laporannya oleh 2 orang Komisioner Komnas HAM secara langsung melalui media komunikasi Zoom.

 

Novenia menyampaikan keresahan ruang hidup yang semakin sempit serta tekanan yang dialami oleh warga paska MHM masuk ke wilayah Desa Minamin.

 

“Keberadaan kami sudah ada sebelum perusahaan ada. Sekarang mereka masuk tanpa ijin, ketika kami tolak, mereka laporkan kami ke polisi. Apa Negara ini sudah tidak mengakui kami lagi, Masyarakat Adat?”, ungkap Nove ketika diminta Komisioner Komnas HAM menceritakan latar belakang kasus yang dihadapinya.

 

Laporan Masyarakat Adat Tobelo Boeng Minamin difasilitasi oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) selaku pendamping hukum dari Masyarakat Adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin , sebagai pihak terlapor. Ketua PPMAN, Syamsul Alam Agus, menekankan bahwa pertemuan antara Masyarakat Adat dan Komnas HAM sangat penting agar Komnas HAM mendapatkan informasi langsung atas peristiwa hukum yang dialami oleh Masyarakat Adat.

 

“Kasus pelanggaran hak asasi manusia, khususnya apa yang dialami oleh Masyarakat Adat Tobelo Boeng, sangat baik bagi Komisioner Komnas HAM mendengar keterangan langsung dari warga. Saudari Nove jangan ragu menjelaskan peristiwa yang dialami kepada Komnas HAM,” ucap Syamsul Alam Agus kepada Novenia agar lebih dalam menceritakan peristiwa yang dialaminya.

 

MHM melaporkan Nove dan Yulius Dagali (53 Thn) ke Polsek Wasile Selatan akibat ada penolakan warga yang berujung pada pemblokiran jalan masuk perusahaan. MHM menggunakan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Adapun ancaman pasal tersebut adalah dipidana dengan hukuman kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta. Di pihak lainnya, MHM belum melakukan kewajibannya terhadap masyarakat sebelum melakukan aktivitasnya.

 

Komisioner Komnas HAM, Hari Kurniawan, S.H dan Anis Hidayah, S.H, M.H, dalam tanggapannya bahwa Komnas HAM menerima pelaporan dan akan dengan segera merespon pengaduan tersebut dan memerintahkan salah seorang analis Komnas HAM mengawal kasus ini serta mengumpulkan informasi lanjutan.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi tim kuasa hukum Masyarakat Adat Tobelo Boeng dari Perhimpunan Pembela Adat Nusantara (PPMAN):

 

– Hendra Kasim, S.H, M.H – 082344999986
– Syamsul Alam Agus, S.H – 08118889083 (Koordinator PPMAN)

Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam Laporkan Dugaan Kekerasan Polisi di Haltim ke Komnas HAM

Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Tobelo Dalam resmi mendaftarkan permohonan pra Peradilan ke Pengadilan Negeri Kelas II Soasio, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Rabu (5/4).

 

Permohonan pra Peradilan dengan nomor 1/Pid.Pra/2023/PN.Sos itu ditujukan kepada Polres Halmahera Timur sebagai Termohon.

 

 

Sebelumnya, anggota Polres Haltim selaku Termohon menangkap dan menahan dua orang Masyarakat Adat Suku Togutil Tobelo Dalam bernama Alen Baikole dan Samuel Baikole.

 

Alen diamankan di tempat kerjanya, lingkungan SP3 Desa Subaim. Sedangkan Samuel di rumahnya, Dusun II Smean, Kecamatan Buli, Haltim.

 

PPMAN dan LBH Marimoi yang tergabung dalam Tim advokasi menilai, langkah Polres Haltim tidak sesuai prosedur hukum.

 

Bahkan, proses penggeledahan atau penyitaan dinilai keliru dan bertentangan dengan ketentuan serta undang-undang yang berlaku.

 

Ketua PPMAN, Syamsul Alam Agus, menilai tindak pidana yang disangkakan kepada para Pemohon adanya rekayasa yang seharusnya tidak dapat disangkakan.

 

“Langkah penangkapan, penahanan, hingga penetapan tersangka sarat pelanggaran HAM,” ucap Ketua PPMAN yang akrab dipanggil Alam

 

Menurutnya, dari banyaknya temuan pelanggaran itulah yang menjadi dasar tim advokasi mengajukan permohonan pra Peradilan.

 

Bagi Alam, praktik penegakkan hukum dan profesionalisme polisi sangat penting dalam menjalankan tugas dan fungsinya

 

“Tentu berdasarkan undang-undang, dan ini sebagai salah satu langkah korektif bagi Termohon dalam menjalankan tugasnya,” tandasnya.

 

Ketua Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Maharani Caroline, mengatakan dalam penangkapan, Termohon tidak memiliki surat penangkapan.

 

“Padahal KUHAP mengatur bahwa penangkapan tanpa surat perintah hanya dapat dilakukan saat seseorang tertangkap tangan,” jelasnya.

 

Di samping itu, sambung Maharani, Temohon menangkap para Pemohon disertai tindakan kekerasan. “Agar Pemohon mengakui perbuatannya,” katanya.

 

Selain itu, tindakan Termohon melakukan penyitaan telah melanggar aturan dalam KUHAP. Sebab, langkah penyitaan harus mendapat izin dari pengadilan.

 

“Tindakan Termohon menyita sebuah handphone milik Alen Baikole merupakan tindakan yang telah melanggar aturan KUHAP,” jelasnya.

 

***