Siaran Pers Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua
Persidangan lanjutan perkara gugatan perusahaan sawit terhadap KLHK yang menyangkut nasib hutan adat suku Awyu hampir sampai di babak terakhir. Setelah Suku Awyu diterima Hakim sebagai tergugat intervensi dalam gugatan korporasi PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kini kuasa hukum masyarakat suku Awyu menghadirkan pakar hukum lingkungan dari Fakultas Hukum UGM, Totok Dwi Diantoro, sebagai saksi ahli di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (01/08/2023).
Merujuk situs informasi penelusuran perkara (SIPP) PTUN Jakarta, Gugatan PT Megakarya Jaya Raya teregistrasi dengan nomor perkara 82/G/2023/PTUN.JKT itu mempersoalkan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1150/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2022 tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan Atas Nama PT Megakarya Jaya Raya di Kabupaten Boven Digoel.
Gugatan PT Kartika Cipta Pratama teregistrasi dengan nomor perkara 82/G/2023/PTUN.JKT. Obyek gugatan dalam perkara ini yakni Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1157/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2022 tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan Atas Nama PT Kartika Cipta Pratama di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.
“KLHK berwenangan melakukan penyelenggaran kehutanan dalam beberapa bentuk, salah satunya penetapan kawasan, pelepasan dan evaluasi kehutanan, termasuk melakukan penertiban dan penataan pemegang pelepasan kawasan hutan. Kewenangan tersebut dilakukan dengan asas tanggung jawab negara,” terang Totok Dwi Diantoro.
Sebanyak 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat telah dibuka oleh PT MJR dan PT KCP tersebut, tapi ada 65.415 hektare hutan hujan yang masih bisa diselamatkan. Greenpeace International menggunakan metodologishining light on the shadows untuk menelusuri PT MJR dan PT KCP. Ini adalah sebuah metodologi untuk mengungkap struktur dan hubungan korporasi dengan grup-grup perusahaan.
Lewat metodologi itu, ditemukan cukup bukti bahwa PT MJR dan PT KCP, yang konsesinya berdampingan,diduga pernah terkait dan mungkin masih terkait ke Hayel Saeed Anam Group dan para penerima manfaatnya–anggota keluarga Hayel Saeed.
“Proses dan mekanisme pelepasan kawasan hutan yang selama ini dilakukan KLHK ini merupakan hal yang paling penting untuk ditegaskan dan diselesaikan. Kasus ini membuktikan bahwa mekanisme penetapan dan pelepasan kawasan hutan menjadi landasan dalam kepastian hukum bagi banyak pihak. Selain itu, Ahli menegaskan bahwa mekanisme yang dilakukan oleh KLHK ini bukan merupakan bagian Pencabutan, melainkan Evaluasi sehingga perlu tindaklanjut yang jelas dan konkret.” ucap Bimantara Adjie, perwakilan Perkumpulan HuMa.
“Penertiban yang dilakukan KLHK ini penting untuk memproteksi hutan dari pemegang izin yang tidak punya itikad baik dalam mengelola hutan, yang harusnya hak atas hutan tersebut dikembalikan ke masyarakat adat khususnya suku Awyu sebagai pemilik wilayah adat yang merupakan ruang hidup dan warisan secara turun temurun dari leluhur mereka. Sudah rahasia umum bahwasannya hutan papua adalah benteng terakhir yang menjadi penopang dari terjadinya krisis iklim bukan hanya di Indonesia saja tetapi juga krisis iklim Dunia yang semakin hari semakin parah, maka hutan tersebut harus dijaga dan dipertahankan keberadaannya” terang Fatiatulo Lazira, S.H. Koordinator PPMAN Region Jawa sekaligus kuasa hukum Suku Awyu.
Persidangan selanjutnya diadakan pada 8 Agustus 2023 dengan agenda mendengar saksi ahli dari Tergugat dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, LBH Papua, Walhi Papua, Eknas Walhi, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia
Kontak Media:
Hero Aprila, PPMAN, +62 852-6336-5091
Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, +62 812-8729-6684
Bimantara Adjie, Perkumpulan HuMa , +62821-3638-6740
Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia, +62 812-8776-9880
***