Gugatan TUN PMH Penguasa: DPR dan Pemerintah Kembali Mangkir Dari Sidang

Press Release

 

Jakarta (16/11/2023) – Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Penguasa, dalam hal ini DPR dan Presiden RI, yang dilayangkan oleh Masyarakat Adat, telah masuk dalam tahapan sidang persiapan (dismissal process) kedua. Namun, kembali pihak tergugat tidak menghadiri sidang persiapan tersebut. Mereka digugat oleh Masyarakat Adat melalui kuasa hukumnya, yakni Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), karena RUU Masyarakat Hukum Adat tersebut tak kunjung selesai dalam kurun lebih dari 15 tahun. Padahal, sejak tahun 2020 lalu,  persiapan RUU di tingkat I telah selesai tapi tak kunjung menjadi RUU Inisiatif DPR. Akibatnya, Masyarakat Adat sering menjadi objek kriminalisasi dan kehilangan ruang hidup mereka. Tidak ada perlindungan dan pengakuan yang cukup terhadap mereka. Terbukti, menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) rentang 5 tahun kebelakang, 301 kasus menimpa Masyarakat Adat. PPMAN sendiri, selama Januari – Oktober 2023 telah menangani 33 kasus di mana 12 kasus terkait kriminalisasi dan perampasan lahan.

 

“Tampaknya pihak Tergugat yaitu Penguasa tidak merasa penting memperhatikan Masyarakat Adat. Komitmen membentuk payung hukum, Undang-Undang untuk Masyarakat Adat cuma janji kosong rejim penguasa,” ungkap Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pengurus PPMAN.

 

Menurut Pasal 63 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986  tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang  Perubahan atas Undang-Undang  Nomor 5 tahun 1986 tentang  Peradilan Tata Usaha Negara, kehadiran pihak Tergugat dibutuhkan dalam sidang persiapan guna melengkapi data dan memberi penjelasan agar gugatan Penggugat dapat lebih lengkap.

 

“Sehingga dapat diterjemahkan bahwa ketidakhadiran kembali pihak Tergugat dalam sidang ini adalah bentuk kesengajaan dalam menghalang-halangi Masyarakat Adat menuntut hak dasar mereka untuk diakui, dilindungi dan dihormati,” jelasnya lebih lanjut.

 

DPR dan Presiden RI digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur oleh AMAN, Masyarakat Adat Ngkiong Manggarai, Tobelo Dalam Halmahera, dan Osing Banyuwangi.

 

“Sebagai warga negara wajib untuk terus mengingatkan Pemerintah agar memenuhi kewajiban konstitusionalnya, terlebih kewajiban melindungi segenap rakyat Indonesia, tanpa terkecuali” pungkasnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi :

 

Syamsul Alam Agus, S.H – 0811.8889.083

 

Fatiatulo Lazira, S.H – 0812.1387.776

RUU Masyarakat Adat Tak Kunjung Disahkan, Masyarakat Adat Gugat DPR RI dan Presiden

SIARAN PERS Untuk segera diberitakan
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)

 

Jakarta (25/10/2023) – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendaftarkan gugatan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Presiden Republik Indonesia ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, pada 25 Oktober 2023. Gugatan tersebut berdasarkan pada perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).

 

Gugatan tersebut diajukan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang tidak kunjung dibahas oleh DPR dan Presiden RI. Meskipun RUU Masyarakat Adat telah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas Prioritas) DPR RI. RUU tersebut mandeg dan tidak pernah naik ke tingkat II (Paripurna) untuk menjadi RUU inisiatif DPR yang kemudian dibahas bersama Pemerintah.

 

“Sejak 2009, RUU Masyarakat Adat berproses tanpa ada kepastian. Situasi tersebut yang mendorong perwakilan kelompok Masyarakat Adat mengajukan gugatan,” ujar Syamsul Alam Agus, Ketua Badan Pelaksana Nasional Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Alam menjelaskan, pihak penggugat sebanyak sepuluh orang, satu mewakili organisasi Masyarakat Adat, yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Sementara tujuh di antara penggugat ada di dalam penjara yang diduga mengalami kriminalisasi.

 

“Ini menjadi poin penting. Karena tidak adanya UU perlindungan dan pengakuan Masyarakat Adat, mereka menjadi rentan mengalami kriminalisasi,” tegasnya.

 

Adapun pihak Penggugat yakni Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Adat Kasepuhan Karang Lebak Banten, Masyarakat Adat Ngkiong Manggarai Timur, Masyarakat Adat Osing Banyuwangi, dan Masyarakat Adat Tobelo Dalam Halmahera Maluku Utara.

 

 

Pendaftaran gugatan terhadap DPR dan Presiden RI telah diterima oleh PTUN dengan nomor perkara 542/G/TF/2023/PTUN Jakarta.

 

“Melalui gugatan ini kami ingin mengingatkan kepada pemerintah bahwa tanpa adanya payung hukum nasional yang secara khusus mengatur Masyarakat Adat, maka konflik di level komunitas Masyarakat Adat ke depan berpotensi semakin tinggi. Kami berharap pemerintah serius sehingga data kasus tidak sekedar menjadi angka statistik,” sambung Fatiatulo Lazira S.H, salah seorang tim kuasa hukum dari PPMAN.

 

Pembentukan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat sebagaimana amanat Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, merupakan kewajiban konstitusional DPR dan Presiden sebagai penyelenggara negara. Ketiadaan payung hukum khusus mengatur Masyarakat Adat membawa sejumlah konsekuensi negatif terhadap mereka, antara lain ancaman kriminalisasi atas akses pengelolaan hutan, hilangnya wilayah adat, bahkan lebih jauh, hilangnya eksistensi dan identitas adat itu sendiri.

 

AMAN mencatat selama 5 tahun belakang, terjadi 301 kasus perampasan wilayah adat. PPMAN juga mendata selama Januari hingga September 2023 telah terjadi 12 kasus kriminalisasi yang terkait dengan konflik pengakuan atas pengelolaan wilayah adat.

 

Pendaftaran gugatan TUN terkait perbuatan melawan hukum yang dilayangkan Masyarakat Adat mempertimbangkan banyak hal, salah satunya adalah momentum tahun politik 2024. Dalam konteks kontestasi pemilu, isu Masyarakat Adat kerap dijadikan bahan kampanye. Namun, setelah calon tersebut berkuasa, isu tersebut redup dan tak tersentuh.

 

 

Dampak Tidak Disahkannya RUU Masyarakat Adat

 

RUU Masyarakat Hukum Adat telah selesai diharmonisasi tetapi tidak pernah berlanjut untuk ditetapkan. Berkali-kali pula AMAN dan perwakilan Masyarakat Adat lainnya terus mengingatkan agar pembahasan dilanjutkan sehingga tersedianya kepastian hukum.

 

Rukka Sombolingi, Sekjen AMAN mengatakan bahwa pihaknya telah mengirimkan permohonan resmi untuk pembahasan RUU Masyarakat Adat, tepatnya pada 31 Juli 2023 ke DPR RI dan 1 Agustus 2023 ke presiden, tapi hingga saat ini tidak ada tanggapan dari para pembuat kebijakan.

 

“Karena tidak ada tanggapan, maka hari ini kami mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta,” ungkapnya.

 

Lebih lanjut, Rukka mengatakan bahwa RUU Masyarakat Adat yang tak kunjung disahkan, menujukan bahwa DPR dan pemerintah tidak bersungguh-sungguh untuk memberikan pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat.

 

Ia mencontohkan berbagai berdampak buruk bagi Masyarakat Adat di tingkat tapak akibat dari tidak adanya paying hukum nasional yang melindungi Masyarakat Adat. Misalnya, tentang mitigasi perubahan iklim dan transisi energi.

 

“Bendungan, PLTA, geothermal, dll, saat ini semua dibangun dengan merampas wilayah adat. Hutan-hutan terbaik yang selama ini dijaga oleh Masyarakat Adat, diklaim oleh pemerintah dalam urusan perdagangan karbon,” ujarnya.

 

Hal lain yang ia contohkan adalah Kawasan hutan lindung, konservasi, taman nasional, tambang, telah merugikan Masyarakat Adat karena diusir dari kampung halamannya, bahkan dikriminalisasi.

 

“Orang Tobelo Dalam yang mengalami stigma, bahkan dipenjara seumur hidup. Mikael Ane dihukum 1,5 tahun penjara karena hidup di wilayah adatnya yang diklaim oleh pemerintah sebagai kawasan hutan taman wisata alam. Ini dampak buruk dan membuat Masyarakat Adat rentan karena tidak adanya perlindungan dan kepastian hukum,” pungkasnya.

 

Narahubung
Syamsul Alam Agus, S.H – Ketua Badan Pelaksana PPMAN (0811-8889-083)
Fati Lazira, S.H – Kuasa Hukum Masyarakat Adat (0812-1387-776)

PERNYATAAN SIKAP ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN) DAN PERHIMPUNAN PEMBELA MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (PPMAN) ATAS TINDAKAN BRUTAL POLISI MENEMBAKI KOMUNITAS MASYARAKAT ADAT BANGKAL KABUPATEN SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Bogor, 7 Oktober 2023

 

Hari ini kembali kita menyaksikan brutalitas aparat kepolisian dalam melakukan penanganan konflik ketika Komunitas Masyarakat Adat berhadapan dengan perusahaan. 1 (satu) nyawa melayang dan 2 (dua) lainnya terluka akibat peluru senjata pihak kepolisian. Puluhan orang lainnya turut ditangkap. Untuk menjawab tuntutan Masyarakat Adat atas lahan plasma yang puluhan tahun tak juga diberikan oleh PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) I, sebuah entitas bisnis milik Best Group, Polisi tak segan menembaki Masyarakat Adat yang seharusnya mereka lindungi.

 

Pihak Kepolisian telah mengetahui bahwa konflik antara Masyarakat Adat dan perusahaan adalah akumulasi sikap perusahaan yang tidak tunduk pada sebuah proses perjanjian. Pihak Kepolisian juga mengetahui bahwa Masyarakat Adat Bangkal di Seruyan mayoritas merupakan Masyarakat Adat Dayak Temuan dan Kuhin. Akan tetapi, sepertinya pihak kepolisian lebih berpihak ke perusahaan, bukan menjadi pihak netral dalam melakukan pengamanan. Pihak Kepolisian diduga melanggar hak asasi manusia serta peraturan kepolisian terutama yang terkait prosedur penembakan, penanganan konflik sosial dan pedoman penanganan unjuk rasa.

 

Menyikapi brutalitas aparat kepolisian terhadap masyarakat sehingga menyebabkan 1 orang anggota Komunitas Masyarakat Adat meninggal dunia dan 2 lainnya terluka , Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyatakan beberapa hal sebagai berikut:

 

  1. Mengecam keras tindakan brutal (excessive power) aparat Kepolisian dalam melakukan penanganan konflik sosial dan unjuk rasa yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Bangkal, Seruyan, Kalimantan Tengah dengan melakukan penembakan dan penangkapan;
  2. Mengecam tindakan aparat Kepolisian melakukan pemblokiran akses keluar masuk kampung dan Desa Bangkal. Tindakan yang kami nilai telah melanggar konstitusi dan hak asasi manusia terutama hak dasar Masyarakat Adat atas akses ekonomi, sosial, politik dan budaya.
  3. Mendesak pihak Kepolisian membebaskan sejumlah Masyarakat Adat yang ditangkap ketika berunjuk rasa memprotes perusahaan;
  4. Mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk memberikan dan memenuhi hak-hak hukum Masyarakat Adat di Desa Bangkal, baik yang tertembak dan juga yang ditahan;
  5. Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar memerintahkan penarikan pasukan pengamanan perusahaan dan mengedepankan upaya dialog bersama semua pemangku kepentingan di Desa Bangkalan, Seruyan;
  6. Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar melakukan penyidikan terhadap pelaku penembakan di Desa Bangkal serta menonaktifkan Kapolres Seruyan dan Kapolda Kalteng sebagai pertanggung jawaban komando wilayah (command responsibility) sehingga terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia;
  7. Mendorong Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) membentuk Tim Pencari Fakta Independen agar melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Komunitas Adat Bangkal Seruyan sehingga hasil tersebut dapat digunakan sebagai bahan proses yudisial sebagai bentuk upaya selanjutnya;
  8. Mendesak agar dilakukan uji balistik oleh pihak independen agar peristiwa penembakan terhadap Komunitas Masyarakat Adat Bangkal dapat dijelaskan secara objektif
  9. Demikian pernyataan sikap ini disampaikan, agar menjadi masukan dan perhatian bagi Kepolisian Republik Indonesia dalam melakukan penanganan konflik di Komunitas Adat Bangkal, Seruyan, Kalimantan Tengah.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

 

Erasmus Cahyadi, S.H – Deputi II Sekjen AMAN bidang Politik dan Hukum (0812-8428-0644)
Syamsul Alam Agus, S.H – Ketua Badan Pelaksana PPMAN (0811-8889-083)

DI PERSIDANGAN KRIMINALISASI MASYARAKAT ADAT NGKIONG, AHLI NILAI JPU TIDAK UPDATE PASAL PERUNDANG-UNDANGAN

Ruteng (21/8/2023) – Babak lanjutan persidangan di Pengadilan Negeri Ruteng, dengan terdakwa Mikael Ane, seorang tokoh Masyarakat Adat Gendang Ngkiong, yang di dakwa menduduki kawasan hutan, menghadirkan 2 Ahli untuk dimintai keterangannya. Para ahli tersebut adalah Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Ahli hukum pidana, Dr. Ahmad Sofian, S.H, M.H.

 

Agenda sidang Perkara dengan nomor 34/Pid.B/LH/2023/PN.Rtg tersebut ditujukan untuk mendengarkan keterangan ahli dan pandangan keilmuannya agar ditemukan kebenaran hukum tidak hanya formil namun juga materiil.

 

Dr. Ahmad Sofian, S.H, M.H., saat memberikan Keterangan sebagai Ahli Hukum Pidana
Dr. Ahmad Sofian, S.H, M.H., saat memberikan Keterangan sebagai Ahli Hukum Pidana

 

Di dalam persidangan tersebut, ketika ditanya oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ahmad Sofian sebagai ahli menyatakan bahwa JPU tidak memperhatikan dan update (mengikuti perkembangan) perubahan aturan perundang-undangan. Ahli tidak mau menjawab pertanyaan JPU karena apa yang ditanyakan sudah tidak berlaku lagi.

 

“Bagaimana saya menjawab rumusan unsur pasal yang sudah tidak berlaku lagi?” tegas Ahmad Sofian.

 

Di hadapan persidangan, JPU mendakwa Mikael Ane melakukan perbuatan sebagaimana di maksud dalam Pasal 78 ayat 2 UU 41/1999 tentang Kehutanan. Sedangankan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112, maka ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

Pasal 78 ayat 2 UU 41/1999 tentang Kehutanan, yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima Miliar Rupiah).”

 

Ahli juga menyampaikan pendapat terkait rumusan dakwaan kedua, yaitu Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengenaan pasal tersebut dikarenakan dalam dakwaan Mikael Ane dituduh melakukan aktivitas di dalam wilayah Taman Wisata Alam Ruteng.

 

“Pasal ini merupakan delik materiil yang mesti dibuktikan secara ilmu pengetahuan mengenai dampak kerusakan ekosistem sebagai akibat dari perbuatan terdakwa,” jelasnya lebih lanjut.

 

Bunyi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah “setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam”.

 

Sementara itu, pendamping hukum dari Mikael Ane, Maximilianus Herson Loi, S.H, memandang bahwa keterangan ahli pada hari ini menguatkan argumentasi hukum eksepsi yang sempat dilayangkan sebelum pemeriksaan saksi dan ahli. Oleh karenya, maka klien mereka layak untuk dilepaskan berdasarkan hukum.

 

“Selama persidangan berlangsung JPU tidak membuktikan delik materilnya yang sesuai dengan rumusan pasal dalam Dakwaan Kedua. Yang ada pembuktiannya Hanyar berdasarkan Keterangan Saksi Fakta yang sebenarnya bertolakbelakang dengan rumusan delik yang dimaksud dalam pasal tersebut ( psl 33 ayat 3 UU.No.5/1990 ttg Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya)”, paparnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi pendamping hukum Bapak Mikael Ane:

 

1. Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904
2. Herson, S.H – 0812-3831-7885

 

***

SEKJEND AMAN NILAI LAMBANNYA RESPON NEGARA TERHADAP PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT MENJADI SUMBER KRIMINALISASI MIKAEL ANE

Ruteng (21/8/2023) – Babak lanjutan persidangan di Pengadilan Negeri Ruteng, dengan terdakwa Mikael Ane, seorang tokoh Masyarakat Adat Gendang Ngkiong, yang di dakwa menduduki kawasan hutan, menghadirkan 2 Ahli untuk dimintai keterangannya. Salah satu Ahli yang didatangkan tim pendamping hukum Mikael Ane adalah Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

 

Rukka Sombolinggi, menyampaikan pengantar pendapat ahlinya, menekankan bahwa banyak konflik yang menimpa Masyarakat Adat disebabkan karena adanya perbedaan perspektif atas penguasaan lahan, dimana perbedaan tersebut tidak setara, sehingga yang satu cenderung represif. Padahal, baik aturan internasional dan hukum nasional juga memberikan pengakuan atas kehadiran Masyarakat Adat.

 

“Perkara ini sesungguhnya berkaitan erat dengan tema penghormatan, perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan hak Masyarakat Adat sebagaimana diatur di dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945. Akar perkara ini adalah competing claim, adanya 2 klaim terhadap satu wilayah yang sama. Bapak Mikael Ane memang tidak merasa bersalah karena mengelola wilayah yang secara turun temurun diwariskan dari leluhur untuk dimanfaatkan,” jelas Sekjend AMAN membuka keterangannya.

 

Rukka Sombolinggi (Sekjend AMAN) Saat Memberikan Keterangan Sebagai Ahli dalam Sidang Bapak Mikael Ane
Rukka Sombolinggi (Sekjend AMAN) Saat Memberikan Keterangan Sebagai Ahli dalam Sidang Bapak Mikael Ane

 

Dinamika isu Masyarakat Adat di level internasional tidak diikuti secara cepat juga di level nasional. Perkembangan hukum nasional seolah-olah mempunyai sifat paradoks (saling bertentangan) memandang status Masyarakat Adat di Indonesia. Dalam Konstitusi diakui, akan tetapi bentuk pengakuan membutuhkan proses berbelit serta lama, sehingga tidak menjawab kebutuhan perlindungan dan pengakuan atas Masyarakat Adat yang telah ada jauh sebelum negara terbentuk.

 

“Doktrin hak menguasai negara telah berkali-kali dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi. Contohnya melalui putusan MK No. 35/PUU-X/2012, yang secara ringkas menyimpulkan bahwa penguasaan negara atas hutan di wilayah adat adalah bertentangan dengan UUD 1945. Pengakuan kepada Masyarakat Adat berbelit-belit dan politis karena melalui Peraturan Daerah (Perda),” ujarnya.

 

Pada kesimpulan akhirnya, Rukka Sombolinggi menegaskan bahwa kasus yang menimpa Mikael Ane seharusnya tidak terjadi apabila Negara dalam hal ini Pemerintah beserta seluruh aparaturnya memahami konsep dan aspek hukum terhadap Masyarakat Adat. Kelambanan Negara merespon kebutuhan atas perlindungan dan pengakuan terhadap Masyarakat Adat berpengaruh kepada rendahnya penghormatan kepada Masyarakat Adat. Kekeliruan tersebut semestinya di sadari dan dihentikan. Ia memohon Mikael Ane dilepaskan.

 

“Pengabaian yang tercermin dari kelambanan negara dalam menjalankan kewajiban konstitusi ini tidak boleh ditimpakan kepada Bapak Mikael Ane. Oleh karena itu alangkah bijaksana apabila Majelis Hakim yang mulia melepaskan Bapak Mikael Ane dari seluruh tuntutan,” tutupnya.

 

Sementara itu, pendamping hukum dari Mikael Ane, Maximilianus Herson Loi, S.H, memandang bahwa keterangan ahli pada hari ini menguatkan argumentasi hukum eksepsi yang sempat dilayangkan sebelum pemeriksaan saksi dan ahli. Oleh karenya, maka klien mereka layak untuk dilepaskan berdasarkan hukum.

 

“Selama persidangan berlangsung JPU tidak membuktikan delik materiilnya yang sesuai dengan rumusan pasal dalam Dakwaan Kedua. Yang ada pembuktiannya Hanya berdasarkan Keterangan Saksi Fakta yang sebenarnya bertolak belakang dengan rumusan delik yang dimaksud dalam pasal tersebut ( psl 33 ayat 3 UU.No.5/1990 ttg Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya)”, paparnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi pendamping hukum Bapak Mikael Ane:

 

1. Ermelina Singereta, S.H, M.H – 0812-1339-904
2. Herson, S.H – 0812-3831-7885

 

***

PERADI PERGERAKAN JAKSEL: PERAYAAN HIMAS ADALAH MOMENTUM NEGARA UNTUK SEGERA MENGOPERASIONALKAN PENGAKUAN MASYARAKAT ADAT

Press Release

 

Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara (Peradi Pergerakan) Jakarta Selatan, mengucapkan selamat atas peraya’an Hari Masyarakat Adat Internasional Sedunia (HIMAS) pada tanggal 9 Agustus 2023 yang digelar di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

 

Fatiatulo Lazira, S.H., Ketua DPC Peradi Pergerakan Jaksel, berharap perayaan HIMAS dapat terus memperkuat posisi masyarakat adat dalam bingkai hukum positif Indonesia, mengingat selama ini praktik pelanggaran hak-hak masyarakat adat masih terus terjadi. Kriminalisasi, penggusuran dan perampasan wilayah adat sehingga berakibat pada hilangnya ruang hidup adalah fenomena yang terus mengancam dan membayang-bayangi kehidupan masyarakat adat.

 

“Meskipun eksistensi hukum masyarakat adat telah diakui dalam berbagai instrumen hukum internasional maupun hukum nasional, namun kekosongan hukum secara operasional – teknis tentang pengakuan masyarakat adat menjadi ancaman setiap waktu. Oleh karenanya, Peradi Pergerakan Jaksel mendorong agar Rancangan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat segera disahkan sebagai wujud komitmen negara terhadap pelaksanaan Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang menyatakan: negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”, jelas pria berprofesi Advokat itu.

 

Menurutnya, Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional pengakuan dan penghormatan masyarakat adat, seharusnya dioperasionalkan dalam sebuah undang-undang operasional teknis sesuai amanat konstitusi tersebut.

 

“Sejauh pengamatan kami, ketiadaan peraturan operasional teknis pengakuan dan penghormatan masyarakat adat telah berdampak pada hilangnya hak masyarakat adat untuk membela diri ketika berhadapan dengan hukum. Apalagi pada kenyataanya, tolak ukur keberadaan masyarakat adat atau pengakuan kedudukan hukumnya (legal standing) ketika berhadapan dengan hukum masih diletakkan pada persyaratan administratif negara, misalnya harus ada peraturan daerah atau penetapan tentang masyarakat adat. Praktik ini justru akan mendelegitimasi posisi masyarakat adat sebagai subyek hukum”, ujar Fati.

 

Oleh karena itu, lanjut Fati, pembentukan UU Tentang Masyarakat Adat adalah keniscayaan sebagai manifestasi pelaksanaan Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 dan tanggungjawab negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia.

 

***

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) memberikan Layanan Bantuan Hukum bagi Masyarakat Adat di kegiatan HIMAS

Serangkaian dengan perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Nusantara (HIMAS) pada 09 Agustus 2023, PPMAN yang merupakan organisasi sayap dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah menginisiasi klinik hukum yang di agendakan di laksanakan pada 08 Agustus 2023 hingga 09 Agustus 2023 di Ke’Te Kesu, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan.

 

Tujuan Klinik Hukum yang dibuka oleh PPMAN memiliki maksud untuk mendekatkan akses bantuan hukum kepada Masyarakat Adat yang selama ini sangat jauh dan sulit untuk mengakses keadilan. Bukan hanya karena lokasi atau tempat tinggal mereka saja yang jauh dari kota, akan tetapi juga karena jauhnya informasi serta pengetahuan mereka terkait hukum yang berlaku di Indonesia. Namun Masyarakat Adat acap kali mendapatkan ancaman, kriminalisasi, bahkan diintimidasi karena upaya mereka dalam mempertahankan wilayah adatnya.

 

Merujuk pada Catatan Tahun 2022 yang dipublikasikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan bahwa sejak AMAN berdiri hingga 2022 dengan jumlah anggota sebanyak 2.449 komunitas adat. Dari jumlah anggota tersebut, terdapat 161 produk hukum daerah, penetapan hutan adat oleh pemerintah sejumlah 105 dengan total luasan 148.488 hektar paska putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.

 

Akan tetapi dari jumlah komunitas adat anggota AMAN, terjadi perampasan wilayah adat melalui program pertanahan nasional dengan dengan skema perhutanan sosial (HKM, Hutan Desa, HTR, Kemitraan) berjumlah 2.400 hektar yang artinya masih ada 2,71 Juta hektar wilayah adat yang hingga saat ini belum memiliki produk hukum daerah dan penetapan hutan adat oleh pemerintah.

 

Masyarakat Adat yang komunitasnya masuk menjadi anggota AMAN juga teridentifikasi menempati wilayah adat di pesisir dan pulau-pulau kecil sejumlah 559 komunitas adat dan 22 di antaranya telah mendapatkan penetapan oleh Kementerian Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

 

Masyarakat Adat saat Konsultasi Hukum mengunjungi Klinik Hukum PPMAN
Masyarakat Adat saat Konsultasi Hukum dan mengunjungi Klinik Hukum PPMAN

 

Tercatat 301 perampasan wilayah adat dengan luasan 8,5 Juta hektar yang mana 672 orang Masyarakat Adat menjadi korban pengkriminalisasian, yang mana di Tahun 2022 terdapat 19 kasus perampasan wilayah adat dengan luas 600 ribu hektar. Berdasarkan data yang disampaikan dalam CATAHU AMAN di atas, konflik yang Masyarakat Adat hadapi bukan hanya dalam bentuk Pidana dan Perdata saja, akan tetapi mereka juga rentan berhadapan dengan masalah hukum karena minimnya pengetahuan mereka terhadap dampak dari terbitnya suatu produk hukum. Persoalan ini dipandang penting oleh ketua PPMAN, Syamsul Alam Agus dalam memandang urgensi pembukaan klinik hukum.

 

“Mengingat bahwa Masyarakat Adat merupakan kelompok rentan dengan resiko akan pelanggaran HAM yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok rentan lainnya, ini dikarenakan Masyarakat Adat selalu menjadi korban eksploitasi sumber daya alam, di mana tempat terjadinya eksploitasi sumber daya alam tersebut berada di wilayah adat, disini ada kepentingan dari negara dan pemilik modal atas wilayah adat.” Ungkap Syamsul Alam Agus.

 

Lebih lanjut, Alam yang merupakan sapaan dari Syamsul Alam Agus menambahkan bahwa “hampir semua kasus Masyarakat Adat memiliki kerentanan untuk menjadi korban dan mendapatkan tindakan kriminalisasi atas perjuangan Masyarakat Adat dalam mendapatkan hak-haknya”.

 

Negara dan pemilik modal merampas tanah milik Masyarakat Adat dan tindakan ini merupakan salah satu cerminan dari pengabaian negara untuk melindungi masyarakat adat. Selain itu pemilik modal juga memiliki kekuasaan dan juga kerjasama dengan negara untuk merampas, menggusur, mengeskplorasi dan mengeksploitasi tanah masyarakat adat.

 

“Tindakan perampasan, penggusuran, eskplorasi dan eksploitasi tersebut merupakan tindakan yang telah melanggar sejumlah Undang-Undang, Undang-Undang Dasar dan prinsip-prinsip hak asasi manusia, Prinsip Free end Prior Informed Consent (FPIC) dan berbagai prinsip konvensi yang lainnya.” Tambah Alam

 

“Mengingat beragamnya masalah hukum yang yang terjadi dan menimpa Masyarakat Adat, maka Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) akan membuka klinik hukum yang mana juga satu rangkaian kegiatan perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat (HIMAS) dilaksanakan. Hal ini dilakukan guna mengakomodasi pendampingan dan pembelaan terhadap hak-hak Masyarakat Adat dalam proses kemudahan akses dan layanan bantuan hukum. Selain itu, komunitas masyarakat adat bisa mendapatkan akses keadilan.” Tutupnya.

 

***

Perkuat Masyarakat Adat, AMAN dan PPMAN Gelar Pelatihan Paralegal di Kaltara

Nunukan, 27 Juni 2023 – Masyarakat Adat di Indonesia mengalami banyak peristiwa yang mengancam eksistensi mereka. Selain ancaman kehilangan ruang hidup wilayah adat, Masyarakat Adat juga rentan menghadapi kriminalisasi ketika berusaha melindungi wilayahnya, seperti wilayah kelola hutan adat.

 

Kebijakan Pemerintah terkait eksploitasi terhadap sumber daya alam menjadi faktor utama bagi keberlangsungan hidup Masyarakat Adat. Dibutuhkan kesiapan agar Masyarakat Adat mampu menjawab tantangan dan mendapatkan pengakuan atas keberadaannya sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 Pasal 28B ayat (2).

 

Karenanya, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengadakan Pelatihan Paralegal bagi Masyarakat Adat di Kalimantan Utara, yan berlangsung pada 24 – 28 Juni 2023. Bertempat di Desa Nainsid, Kecamatan Lumbis, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, pelatihan paralegal tersebut di ikuti oleh perwakilan 7 komunitas Masyarakat Adat ditambah 2 perwakilan pengurus AMAN Daerah.

 

“Advokasi dan pemahaman aspek hukum merupakan faktor penting bagi kita (Masyarakat Adat) mempertanyakan dan mempertahankan hak kita sebagai Masyarakat Adat yang telah ada jauh sebelum negara itu sendiri ada,” ujar Sinung Karto, Kepala Divisi Penanganan Kasus AMAN ketika menyampaikan materi pelatihan dengan topik Advokasi.

 

Antusiasme tinggi peserta selama pelatihan berlangsung ditunjukkan melalui diskusi dan pertanyaan-pertanyaan seputar hukum praktis dan substansi materi di setiap sesi. Peserta juga aktif menceritakan kasus-kasus yang terjadi pada komunitas mereka.

 

“Pelatihan seperti ini sangat baik untuk kami, jika bisa terus ada pelatihan-pelatihan serupa agar pengetahuan kami bisa meningkat dan berguna untuk menjaga komunitas kami,” ungkap Gusti Rendi, perwakilan Masyarakat Adat dari Komunitas Dayak Lumbis Ogong.

 

Melalui pelatihan paralegal ini, diharapkan akan lahir aktor-aktor pembela dan pendamping Masyarakat Adat, khususnya di Kalimantan Utara, sehingga memperkuat posisi serta pengakuan Masyarakat Adat di Indonesia.

 

“Semoga dengan pelatihan paralegal ini semakin meningkatkan kemampuan komunitas Masyarakat Adat khususnya di Kaltara sehingga mampu memperjuangkan hak-haknya yang selama ini mengalami ketidakadilan dan dapat memperjuangkan tanah-tanah mereka yang berada dalam penguasaan perusahaan dan negara,” tutup Agatha Anida, salah seorang pemateri pelatihan  dan juga Advokat Publik dari PPMAN.

Atas Nama Proyek Strategis Nasional, 9 Orang Masyarakat Adat Poco Leok Menjadi Korban Kekerasan

Poco Leok, Manggarai, NTT, 26 Juni 2023

 

Perluasan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Satar Mese, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, memakan korban dari komunitas Masyarakat Adat. Sebelumnya, Masyarakat Adat Poco Leok yang berasal dari 10 gendang (komunitas wilayah adat) di lembah Gunung Poco Leok secara tegas menyatakan sikap menolak pengembangan PLTP Ulumbu di wilayah adat mereka. Beberapa kali upaya paksa pemasangan patok (pilar) dari PLN mengalami kegagalan. Namun, pada Rabu (21/6) lalu, dengan didukung ratusan personil aparat keamanan dari TNI dan Polres Manggarai, upaya pemasangan patok berhasil dilakukan. Tapi, upaya ini juga menghasilkan korban di sisi Masyarakat Adat.

 

“9 orang Masyarakat Adat Pocoleok mengalami kekerasan, dengan 5 orang luka fisik hingga di rawat sementara di Puskesmas Ponggeok Dan RSUD, lalu ada 4 orang perempuan adat mengalami pelecehan seksual. Itu belum termasuk puluhan orang yang pingsan saat peristiwa bentrok kemarin. Saya sendiri yang menolong dan membawa ke Puskesmas,” ungkap seorang Pemuda Adat Poco Leok yang tidak ingin namanya disebutkan, mengingat keamanan situasi di lokasi.

 

Tindakan kekerasan aparat pengamanan di lapangan dipandang sebuah kewajaran dengan mengatasnamakan proyek strategis nasional. Seolah-olah, Negara dalam hal ini PLN menutup mata atas sikap penolakan dan hanya melihat dukungan. Di pihak lainnya, kewajiban Negara atas pemenuhan pengakuan atas keberadaan Masyarakat Adat belum terlaksana dengan baik.

 

“Peristiwa kekerasan di Poco Leok dapat dipandang sebagai bentuk pembiaran, lebih tepatnya, sikap tutup mata Pemerintah Jokowi atas keberadaan Masyarakat Adat di Poco Leok. Semua hal yang menyangkut Masyarakat Adat selalu dari pendekatan formil, bukan fakta eksistensi,” jelas Ermelina Singereta, S.H, M.H, Kepala Divisi Advokasi Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Menyikapi peristiwa kekerasan yang dialami oleh Masyarakat Adat Poco Leok, PPMAN akan melakukan upaya hukum yang diperlukan agar kepentingan masyarakat diperhatikan secara serius oleh Pemerintah dan atau pihak perusahaan. Kemudian, upaya hukum juga ditujukan agar aparat penegak hukum tidak sekedar menjadi aparat pengamanan perusahaan.

 

“Dugaan kami, Polres Manggarai memahami latar belakang penolakan Masyarakat Adat Poco Leok karena ini (sikap penolakan) telah ada sejak tahun 2019 lalu. Terlepas pro dan kontra di masyarakat, Polisi adalah milik setiap orang, bukan hanya perusahaan. Upaya hukum atas peristiwa ini sedang kami analisis secara serius,” ungkap Ermelina.

Perlu diketahui, PPMAN merupakan organisasi sayap dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). PPMAN memiliki mandat kerja melakukan pendampingan hukum dan pemajuan hak masyarakat adat di seluruh Nusantara.

 

Untuk informasi lebih lanjut terkait Masyarakat Adat Poco Leok dapat menghubungi:

Ermelina Singereta, S.H, M.H : 0812-1339-904

 

***

PPMAN MENGECAM SEGALA BENTUK TINDAK KEKERASAN & PENANGKAPAN OLEH APARAT KEPOLISIAN TERHADAP MASYARAKAT ADAT DI BERBAGAI DAERAH

Oleh Apriadi Gunawan

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengecam tindak kekerasan aparat kepolisian yang menangkap secara paksa sejumlah Masyarakat Adat di berbagai daerah.

 

Dalam data yang diterima sedikitnya ada 17 orang Masyarakat Adat yang ditangkap polisi dalam sepekan ini. Mereka adalah dua orang Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, yaitu Alen Baikole dan Samuel serta 15 orang Masyarakat Adat dari Kampung Dingin, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, yaitu Prans, Maring, Priska, Andi, Ayes, Fitra, Riko, Ilham, Uban, Misen, Rio, Ferdinan Salvino, Sastiano Kesek, Dominikus, dan Ferdy.

 

Ketua Badan Pelaksana PPMAN Syamsul Alam Agus menyebut bahwa mereka telah menerima pengaduan mengenai penangkapan dan penyiksaan yang dialami oleh 17 orang Masyarakat Adat tersebut.

 

Di Tobelo Dalam, kasus penangkapan dan penyiksaan terhadap Alen Baikole dan Samuel,  diduga erat terhubung dengan pembatasan atas upaya enam orang Masyarakat Adat yang ingin menggunakan hak hukumnya dalam membela dan membuktikan skenario “peradilan sesat” yang membuat mereka dipenjara seumur hidup dan mendekam 20 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Ternate.

 

Ketua Badan Pelaksana PPMAN yang biasa dipanggil Alam menerangkan kalau kedua korban ditangkap dan mengalami penyiksaan saat proses interogasi kepolisian, sementara anggota keluarga dibatasi aksesnya untuk bertemu. Kemudian, korban juga dibatasi haknya untuk mendapatkan layanan bantuan hukum pengacara sesuai dengan pilihan dan keputusan korban.

 

“Upaya sistematis (atas) kriminalisasi ini merupakan cara kepolisian membungkam suara penolakan Masyarakat Adat atas pembangunan yang merusak wilayah adat mereka,” kata Alam pada Senin (27/3/2023).

 

Penangkapan Masyarakat Adat Tobelo Dalam

 

Alam menerangkan bahwa pada 22 Maret 2023, pihak kepolisian di Halmahera Timur, kembali menangkap dan menahan seorang Masyarakat Adat bernama Alen Baikole dari Suku Togutil, Tobelo Dalam, Maluku Utara. Alen ditangkap di tempat kerjanya di Subaim pada pagi hari.

 

Alam menyatakan, berdasarkan informasi yang dihimpun PPMAN di lokasi, diduga Alen telah mengalami penyiksaan saat penangkapan dan interogasi oleh pihak kepolisian di Halmahera Timur.

 

“Ada luka memar di wajah Alen, diduga akibat pukulan saat dilakukan interogasi. Alen juga mengeluhkan sakit di bagian dada dan seluruh badannya karena ditendang,” ungkap Alam sembari menambahkan informasi kedua tangan Alen dalam kondisi terikat di kursi saat dilakukan interogasi.

 

Selanjutnya, Alen Baikole ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pelaku pembunuhan yang diduga terjadi pada 29 Oktober 2022 di Kebun Semilo, Desa Gotowasi, Kecamatan Maba Selatan, Halmahera Timur. Alen ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Maret 2023.

 

Alam mengatakan, tuduhan atas kasus pembunuhan yang dilakukan Alen, coba dipaksakan lewat istrinya. Penyidik Polres Halmahera Timur menekan dan memaksa istri Alen yang berinisial Y untuk mengakui bahwa Alen benar telah melakukan pembunuhan pada 29 Oktober 2022. Namun, Y berusaha meyakinkan penyidik bahwa suaminya Alen tidak pernah melakukan pembunuhan karena pada waktu peristiwa disebutkan, Alen sedang bersamanya.

 

“Ironisnya, dengan nada mengancam akan memenjarakan Y selama 7 tahun, anggota kepolisian tetap memaksa Y untuk membenarkan tuduhannya,” ujarnya.

 

Selain menangkap Alen, petugas polisi di Polres Halmahera Timur juga menangkap seorang Masyarakat Adat bernama Samuel. Penangkapan Samuel dilakukan polisi sehari sebelum Alen ditetapkan sebagai tersangka. Samuel ditahan penyidik Polres Halmahera Timur pada 21 Maret 2023. Samuel diduga mendapat tekanan dalam proses pengambilan keterangan.

 

“Penangkapan kedua anggota Masyarakat Adat Tobelo Dalam ini dilakukan polisi saat mereka sedang berjuang mempertahankan wilayah adatnya dari ekspansi modal dan pembangunan di wilayah Masyarakat Adat Tobelo Dalam yang masif,” ungkap Alam.

 

Dikatakan Alam, kasus kriminalisasi yang dilakukan polisi terhadap Masyarakat Adat Tobelo Dalam, bukan yang pertama.

 

Sebelumnya pada 29 Maret 2019, Masyarakat Adat Tobelo yang bernama Habel Lilinger alias Hambiki alias Niklas Dilingir, Hago Baikole alias Hago, Rinto Tojouw alias Rinto, Toduba Hakaru alias Toduba, Awo Gihali alias Awo, dan Saptu Tojou alias Saptu ditangkap polisi atas tuduhan telah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana.

 

Keenam Masyarakat Adat tersebut bekerja sebagai petani dan pemburu. Mereka berdomisili di Desa Dodaga, Kecamatan Wasile Timur, Halmahera Timur.

 

Pada 30 Maret 2020, Pengadilan Negeri Soasio menjatuhkan hukuman bervariasi kepada enam Masyarakat Adat Tobelo Dalam. Habel Lilinger alias Hambiki alias Niklas Dilinger dan Hago Baikole alias Hago dipidana penjara seumur hidup, Toduba Hakaru alias Toduba dan Saptu Tojou alias Saptu dipidana penjara 20 tahun penjara, dan Rinto Tojou alias Rinto dan Awo Gihali alias Awo dipidana penjara selama 16 tahun.

 

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan banding atas putusan tersebut. Selang satu bulan pada 30 April 2020, Pengadilan Tinggi Maluku Utara memperberat pidana masing-masing terdakwa, di antaranya Habel Lilinger alias Hambiki alias Niklas Dilinger dan Hago Baikole alias Hago dengan pidana mati, Toduba Hakaru alias Toduba dan Saptu Tojou alias Saptu dengan pidana penjara seumur hidup, serta Rinto Tojouw dan Awo Gihali alias Awo dengan pidana penjara 20 tahun. Atas putusan Pengadilan Tinggi Maluku Utara itu, para terdakwa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

 

Alam menerangkan bahwa Alen Baikole yang kini ditangkap dan ditahan di Polres Halmahera Timur, diketahui memiliki fakta- fakta atas dugaaan “peradilan sesat” terhadap enam Masyarakat Adat Tobelo Dalam.

 

Menurutnya, penangkapan Alen Baikole dapat menjadi halangan bagi keenam terpidana dalam memperjuangkan keadilan melalui proses Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung. Sebaliknya, penangkapan Alen Baikole akan memberi ruang bagi kepolisian menutupi skenario kriminalisasi yang selama ini digunakan untuk membungkam suara kritis Masyarakat Adat di Tobelo Dalam atas pembangunan yang merusak lingkungan dan menghancurkan wilayah adat.

 

Saat ini, kata Alam, PPMAN dan Lembaga Bantuan Hukum Marimoi yang terhimpun sebagai Tim Pembela untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, akan memberi bantuan hukum kepada Alen Baikole serta enam terpidana lain.

 

“Mereka telah menjadi korban kriminalisasi anggota kepolisian yang pantas dibela untuk mendapatkan keadilan,” katanya.

 

Penangkapan Masyarakat Adat Kutai Barat

 

Sementara di Kutai Barat, aparat kepolisian melakukan penangkapan terhadap sejumlah Masyarakat Adat dari lokasi tambang batubara PT Energi Batu Hitam (EBH) di Kampung Dingin, Kecamatan Muara Lawa, Kabupaten Kutai Barat pada Sabtu (25/3/2023). Selain Masyarakat Adat, polisi juga menangkap seorang pengacara bernama Sastiano Kesek.

 

Alam menyatakan bahwa penangkapan anggota Masyarakat Adat beserta pengacaranya itu, berawal saat Sastiono merekam kedatangan puluhan anggota polisi ke sebuah tenda terpal yang didirikan warga. Peristwa itu disiarkan langsung melalui Facebook pada pukul 14.00 WITA.

 

Sekitar empat menit kemudian, anggota kepolisian mendatangi tenda warga. Mereka mengatakan bahwa mereka mendapat perintah untuk melaksanakan pembongkaran tenda warga.

 

Setelah itu, tidak diketahui pasti apa yang terjadi karena video mati. Lalu, sekitar pukul 16.00 WITA, beredar lagi video beberapa pria sudah berada dalam mobil yang diduga kendaraan dari kepolisian. Ada dua orang pria yang tangannya diborgol, sedangkan beberapa orang lainnya tidak diborgol.

 

Alam mengatakan bahwa mereka akan memberikan pendampingan hukum terhadap Masyarakat Adat yang ditangkap polisi. “Mereka korban kriminalisasi yang pantas untuk dibela dan mendapatkan keadilan,” kata Alam.

 

***