PERLAWANAN MIKAEL ANE, MASYARAKAT ADAT GENDANG NGKIONG, DALAM MENCARI KEADILAN ATAS KRIMINALISASI DIRINYA BERLANJUT KE TINGKAT BANDING

SIARAN PERS

 

Ruteng (22/09/2023) – Mikael Ane (57 Tahun), seorang tokoh Masyarakat Adat Ngkiong, secara resmi telah mengajukan upaya hukum Banding ke Pengadilan Tinggi Kupang. Upaya hukum tersebut dikarenakan dirinya mengalami kriminalisasi atas tuduhan menduduki wilayah hutan Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng tanpa ijin sehingga dilaporkan oleh pihak pengelola. Padahal sejauh apa yang dipahami oleh Mikael Ane sendiri dan didukung oleh keterangan baik saksi maupun saksi ahli, lahan tersebut merupakan lahan miliknya yang diperoleh turun-temurun.

 

Berdasarkan overlay peta wilayah, terungkap bahwa wilayah kelola TWA Ruteng bersinggungan langsung dengan wilayah kelola Gendang Ngkiong, termasuk milik Mikael Ane.

 

Pada pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri Ruteng, Mikael Ane dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan dan denda Rp. 300 (tiga ratus) juta subsidair 6 bulan penjara.

 

Tidak hanya itu, rumah Mikael Ane juga dirampas oleh Negara untuk dihancurkan. Dirinya di dakwa dengan dakwaan pertama Pasal 36 angka 19 Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Jo Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kemudian, dakwaan kedua menggunakan Pasal 40 ayat (2) Jo Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Memori Banding Mikael Ane telah diterima oleh Panitera PN Ruteng pada tanggal 21 September 2023 dengan Nomor Akta 34/Akta Pid.B/LH/2023/PN Rtg.

 

“Perlawanan Mikael Ane merupakan perjuangan seluruh Masyarakat Adat Manggarai pada khususnya. Mengapa? Apa yang dialami oleh Mikael Ane dipastikan juga akan dialami oleh semua Masyarakat Adat yang wilayah adat mereka di klaim secara sepihak oleh Negara. Bagaimana mungkin seseorang yang telah mendiami sebuah wilayah kelola jauh sebelum Negara lahir kemudian dirinya di pidana?” ungkap Maximilianus Herson Loi, S.H, salah seorang Penasehat Hukum Mikael Ane yang berasal dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

 

Alasan Mikael Ane melakukan upaya hukum Banding tidak bukan ialah agar Negara sadar bahwa menjadi tugas dan kewajiban Negara sesuai amanat UUD Tahun 1945 untuk memberikan perlindungan serta pengakuan kepada Masyarakat Adat secara substantif, bukan hanya melihat bukti administratif. Karena penerapan hukum tidak hanya bicara tentang apa yang tertulis, tetapi juga melihat apa yang telah berlaku dan menjadi kebiasaan di dalam kehidupan masyarakat.

 

Lebih lanjut, pasal-pasal yang dituduhkan kepada Mikael Ane merupakan pasal-pasal yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Oleh karenanya demi kepastian hukum dalam upaya pemenuhan rasa keadilan di masyarakat, kekeliruan Hakim tingkat pertama perlu dikoreksi oleh tingkat yang lebih tinggi.

 

“Bukankah tujuan hukum adalah memberikan kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi setiap warga negara? Klien kami diakui sebagai Masyarakat Adat, tetapi tidak diakui hak-haknya. Pasal-pasal dakwaan sudah dicabut dan tidak berlaku ditambah dengan Majelis Hakim PN Ruteng di dalam pertimbangannya sangat sempit, memakai konstruksi hukum kaca mata kuda, tidak melihat realitas sehingga dalam penerapan hukum menjadi keliru,” paparnya lebih lanjut.

 

Penasehat Hukum Mikael Ane lainnya, Ermelina Singereta, S.H, M.H, memberikan penekanan penting mengapa upaya hukum Banding harus dilakukan selain menggunakan alasan-alasan yuridis. Ermelina melihat bahwa upaya kliennya dapat menjadi langkah positif bagi edukasi publik dan aparat hukum terkait isu Masyarakat Adat. Dimensi hak ekonomi, politik, sosial dan budaya Masyarakat Adat belum menjadi pusat pengembangan hukum di Indonesia.

 

“Isu Masyarakat Adat hanya muncul di permukaan, sepintas diakui sebagai bahan justifikasi atau rasionalisasi aturan hukum. Tapi dari aspek substansi, Masyarakat Adat dipersulit dalam memperoleh perlindungan dan pengakuan dari negara. Keterlambatan negara dalam menjalankan kewajibannya berbuah kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang mengelola lahan mereka sendiri,” jelasnya.

 

Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebutkan telah terjadi 301 kasus konflik wilayah adat selama 2019-2023. Kemudian, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menyebutkan hingga Agustus 2023 masih ada sekitar 23,17 juta Hektare wilayah adat yang belum mendapat pengakuan dari Pemerintah Daerah. PPMAN sendiri mencatat dari 27 kasus yang terjadi rentang waktu Januari hingga Juni 2023, 11 kasus diantara terkait dengan persoalan pengelolaan wilayah dan sumber daya.

 

“Fakta dan data yang tersedia sering tidak menjadi sumber rujukan, terutama oleh aparat penegak hukum dalam melihat kesulitan yang dialami oleh Masyarakat Adat. Aktivitas Mikael Ane mengelola lahannya sendiri bukanlah sebuah tindakan melawan hukum akan tetapi sebuah langkah pemenuhan hak dasar yang justru dilindungi oleh hukum,” ucapnya.

 

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

 

Ermelina Singereta, S.H, M.H (0812.1339.904)

Marselinus Suliman, S.H (0823.3630.0460)

Maximilianus Herson Loi, S.H (0812.3831.7885)

Previous
Next

Berita & Artikel Terbaru

Form Konsultasi

Member of

tes-removebg-preview
Jl. Parakan Salak Desa No.1, Kemang, Kec. Kemang, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat 16310