Pengakuan dan Perlindungan HAM bagi Masyarakat Adat

Oleh : Efrial Ruliandi Silalahi
(Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara)

 Gambaran Umum Masyarakat Adat

Secara konstitusional dalam Pasal 18B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan mengenai perlindungan terhadap masyarakat adat dan hak tradisionalnya. Faktanya, hingga kini belum ada undang-undang yang dapat difungsikan sebagai instrumen perlindungan masyarakat adat dalam akar permasalahan penggusuran lahan.

 

Masyarakat adat tidak bisa serta merta menggantikan tanah adatnya dengan sejumlah uang maupun properti lainnya karena memiliki hubungan spiritual dengan tanah kelahirannya. Dapat disimpulkan bahwa kompensasi yang layak harus mempertimbangkan pada nilai-nilai luhur bukan hanya sekedar nilai pasar tanah.

 

Harus dipahami bahwa masyarakat adat tidak bisa dengan mudah pindah begitu saja atau menjual tanah mereka seperti berdagang pada umumnya, hal ini karena memiliki pola hidup yang berbeda. Masyarakat adat sangat bergantung pada alam dan tradisi leluhurnya. Maka penting untuk menyamakan pemahaman bersama bahwa masyarakat adat yang sudah ada sejak dulu sebelum negara terbentuk. Masyarakat adat memiliki hubungan spiritual dengan tanahnya yang tidak bisa terukur dengan nilai material, sehingga negara harus memperhatikan hal tersebut saat membuat sebuah kebijakan, terutama yang berkaitan dengan pemindahan ibu kota.

 

Oleh karena itu pentingnya untuk mengadopsi standar internasional dalam perlindungan hak-hak masyarakat adat. Indonesia sebagai negara yang ikut menandatangani United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People (UNDRIP) tentunya merujuk pada dua prinsip UNDRIP yang menjamin hak-hak masyarakat adat.

 

Pertama, prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) yaitu menuntut masyarakat adat diberikan informasi lengkap dan dimintai persetujuannya sebelum proyek yang mempengaruhi wilayahnya dilaksanakan. Maka penting peran negara untuk melakukan konsultasi yang mendalam dengan masyarakat adat serta memastikan adanya persetujuan tanpa paksaan. Kedua, prinsip partisipatif dalam proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Seharusnya masyarakat adat dilibatkan secara langsung dalam segala macam aktivitas pembangunan.

 

Pembangunan IKN masuk dalam proyek strategis nasional (PSN). Lokasi IKN bukanlah sebidang tanah kosong yang tidak bertuan, namun memiliki keterkaitan dengan beragam hal. Pertama, kawasan ini masih berstatus Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) yang merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan, dikelola atau dipertahankan sebagai hutan atas dasar kondisi dan potensi berbagai sumberdayanya. Sehingga membuat keberadaan masyarakat setempat khawatir kalau mereka sangat rentan untuk direlokasi. Kedua, keberadaan masyarakat adat di sekitar kawasan IKN yang sudah turun-temurun mempertahankan eksistensinya. Masyarakat adat menggantungkan hidupnya pada alam dan bermukim dengan menempati tanah berstatus hak ulayat (tanah adat).

 

Penguasaan dan pemilikan tanah dalam masyarakat adat pada umumnya, selain dikenal adanya tanah hak milik yang bersifat individual juga dikenal adanya tanah milik bersama (komunal) yang lazim disebut sebagai hak ulayat atas tanah. Hak ulayat ini berupa lahan pertanian, perkebunan, padang penggembalaan, pemakaman, kolam, sungai, dan hutan seisinya.[1]

 

Masyarakat Adat dan Konflik Agraria

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria sangat jelas meminta pemerintah mencegah praktik monopoli swasta. Bila hak guna usaha diberikan 190 tahun dan hak guna bangunan 160 tahun, pertanyaannya kapan petani, nelayan dan masyarakat adat bisa memiliki akses terhadap tanah? Jadi jelas bahwa regulasi hak atas tanah pada UU IKN bertentangan dengan reforma agraria sejati yang hendak dicapai lewat UU Pokok Agraria 1960. Tujuan dari reforma agraria itu sendiri adalah untuk merombak struktur pemicu ketimpangan lahan. Kalau diberikan izin selama ratusan tahun berarti semangat dari UUPA ini telah mati.

 

Sebelum IKN diumumkan, lahan menjadi masalah yang rumit dan kompleks bagi masyarakat adat. Masalah mendasar adalah adanya tumpang tindih kepemilikan tanah yang marak terjadi di kawasan IKN. Tumpang tindih kepemilikan lahan di IKN cukup rumit, yakni antara perusahaan, transmigran, dan komunitas adat.

 

Konflik agraria yang terjadi dari dulu hingga saat ini menggambarkan kontestasi sumber daya berupa lahan/tanah. Tanah menjadi sumber daya lokal yang diperebutkan oleh berbagai aktor. Kontestasi sumber daya lokal ini menjadi isu global yang mana salah satu unsur yang sangat vital adalah aspek lingkungan.[2]

 

Konflik agraria yang berlangsung di IKN menggambarkan dua tesis penting yakni terjadinya degradasi dan marginalisasi.[3] Konflik agraria menyebabkan terjadinya degradasi ekologis. Pada waktu bersamaan, pembangunan IKN mengakibatkan terjadinya marjinalisasi masyarakat adat dari tanah leluhurnya. Kemudian, terjadi secara bersamaan melalui adanya transisi menuju eksploitasi berlebihan sumber daya alam di IKN yang menjadi sandaran pemodal sebagai respon terhadap intervensi pembangunan negara dan/atau peningkatan integrasi di pasar regional dan global.

 

Konflik agraria terjadi karena adanya tumpang tindih penggunaan lahan antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan. Secara umum konflik agraria di Indonesia terjadi antara masyarakat dengan pemegang izin lahan. Di era reformasi konflik agraria di Indonesia semakin meningkat jumlahnya.[4] Perusahaan menjadi aktor yang sangat hegemonik dalam perbutan sumberdaya. Sudah dipastikan akan dimenangkan oleh perusahaan karena secara legal formal mengantongi izin operasi dalam bentuk kontrak karya. Sedangkan masyarakat adat tidak memiliki izin yang dikeluarkan pemerintah setempat. Kekalahan ini ditandai dengan tersingkirnya mereka dari area-area yang selama ini menjadi tempat sumber menghasilkan.[5] Dari catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), selama lima tahun terakhir (2017-2022) terdapat 30 konflik agraria dengan luas lahan hingga 64.707 ha akibat masalah tumpang tindih tanah.[6]

 

Bila kita ditelurusi, konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan sudah terjadi sejak tahun 1971.[7] Perusahaan menggunakan hukum formal sebagai alat untuk meredam gejolak di masyarakat dengan alasan mengganggu kerja perusahaan. Cara ini tidak efektif karena tidak menemukan solusi terbaik bagi kedua pihak yang bersengketa. Cara perusahaan memperoleh lahan dengan membenturkan masyarakat dengan aparat sehingga menyebabkan konflik semakin berkembang. Sehingga konflik vertikal masyarakat dengan perusahaan sudah berkembang menjadi konflik horizontal.

 

Menjadi semakin rumit karena masyarakat adat sama sekali tidak mempunyai bukti penguasaan tanah, karena pada masa lalu kebijakan dan pelayanan administrasi masih sangat terbatas. Masyarakat adat mencoba mengajukan permohonan atas dokumentasi kepemilikan tanah selama bertahun-tahun, namun selalu ditolak. Tanah tersebut dikategorikan sebagai area kehutanan yang dibudidayakan, menempatkan area tersebut di bawah kontrol Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang juga telah membagi sebagian besar area tersebut kepada perusahaan agribisnis.

 

Saat negara kembali memastikan secara sepihak bahwa lahan tersebut milik negara melalui hukum dan peraturan lain, masyarakat adat tidak berdaya. Batas-batas alam yang menjadi penanda wilayah adat dulu sudah hilang dengan adanya operasi perusahaan. Bila kita lihat 2019 lalu, terjadi tumpang tindih lahan di kawasan IKN. Tumpang tindih tersebut menyebabkan sengketa lahan dan konflik di 13 komunitas masyarakat adat. Akibat dari tumpang tindih tersebut, masyarakat adat di lokasi kawasan IKN menghadapi ketidakpastian hukum. Kerangka hukum yang ada saat ini tidak bisa digunakan dalam mengatasi masalah kepastian tenurial masyarakat adat setempat. Pada saat yang sama, masyarakat adat kehilangan tanahnya serta kehilangan pekerjaan tradisional mereka yang melibatkan hutan, sawah, kebun, sungai dan laut.

 

Suku Paser terlibat persengketaan dengan pemegang kekuasaan. Lahan yang mereka gunakan untuk berladang dan bermukim diserobot untuk pembangunan perkebunan. Serangkaian tindakan penolakan atau perlawanan kecil dilakukan masyarakat lokal ketika itu, namun mereka harus mengalah dan menerima kenyataan bahwa lahan dan sumber penghidupannya telah hilang. Politik Orde Baru tidak memungkinkan masyarakat lokal untuk menang. Konflik yang pernah terjadi merupakan memory collective yang tidak mudah dilupakan dan menghasilkan kekecewaan serta ketidakpercayaan berkepanjangan kepada pemegang kekuasaan. Ketika era reformasi terjadi rangkaian aksi kolektif untuk menuntut pengembalian lahan masyarakat. Aksi pendudukan lahan perkebunan besar  oleh masyarakat lokal dan proses negosiasi berhasil mengembalikan sebagian lahan. Hingga sekarag, persoalan terkait tuntutan pengembalian lahan oleh masyarakat masih belum selesai.[8]

 

Pentingnya Melibatkan Masyarakat Adat

Suku Paser Balik merupakan penduduk asli kawasan IKN di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Suku Paser Balik memiliki sekitar 5000-6000 hektar lahan nenek moyang yang belum mendapatkan sertifikat kepemilikan. Lahan tersebut sebagai satu-satunya penopang hidup, sehingga dapat dibayangkan bila hutan mereka habis, maka semua mata pencaharian juga akan habis.

 

Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Juni 2023 bahwa progres konstruksi IKN tahap 1 mencapai 29,45 persen. Seluruh proyek IKN tahap 1 ditargetkan selesai pada 2024, upacara peringatan kemerdekaan 2024 digelar di IKN. Tentunya di tengah proyek infrastruktur IKN, terdapat banyak persoalan menyangkut masyarakat adat yang belum selesai.

 

Masyarakat adat di kawasan IKN merasa tidak dilibatkan dalam pemindahan IKN. Hal ini menunjukkan minimnya partisipasi masyarakat adat di Paser. Naskah Akademik yang menjadi dasar penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) IKN, dengan jelas menyebutkan keberadaan masyarakat adat. Setidaknya ada tujuh suku asli yang disebutkan dalam naskah akademik tersebut. Namun, ketika diterjemahkan ke dalam RUU justru malah hilang. Bahkan dalam UU IKN sama sekali tidak menyebutkan masyarakat adat, padahal mereka merupakan salah satu yang paling terdampak.[9] Naskah akademik berfungsi sebagai quality control dari RUU tersebut  sehingga menjadi hilang nilainya.

 

Dalam implementasinya di lapangan, proses Pembangunan IKN juga tidak melibatkan partisipasi masyarakat adat. Seharusnya mereka perlu diajak bicara dalam konteks yang disebut sebagai partisipasi penuh dan efektif. Proses ini sebenarnya telah diatur dalam berbagai instrument hukum.

 

Perihal yang kedua bahwa masyarakat adat tersebut tidak pernah diberikan kesempatan sejak awal untuk menyatakan setuju atau tidaknya terkait dengan pembangunan disana. Secara sepihak seolah-olah mengasumsikan bahwa tanah dimana IKN akan dibangun merupakan lahan kosong yang tidak berpenghuni. Berdasarkan peta indikatif yang disusun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tahun 2022, ada sekitar 51 komunitas masyarakat adat yang akan terdampak IKN. Sebanyak 17 komunitas yang ada di Penajam Paser Utara dan 34 komunitas di Kutai Kertanegara.

 

Pada tahun 2014-2016 Komnas HAM telah melakukan penelitian nasional terkait masyarakat adat berisi rekomendasi dan pengakuan bagi masyarakat adat, termasuk di Kalimantan. Namun pupus karena sejak diselesaikannya laporan tersebut tidak terimplementasi dengan baik. Faktanya bahwa masyarakat adat masih mengalami permasalahan bahkan pembiaran oleh pemangku kepentingan yang memiliki wewenang. Ketika belum diakui sebagai subjek hukum, sebagai sebuah komunitas, sebagai bagian dari masyarakat maka berdampak pada tidak diakui kepemilikannya, wilayah adatnya bahkan hutan adatnya.

 

Lebih dari 2.500 komunitas adat di seluruh Indonesia yang membutuhkan pengakuan dari negara menurut catatan Komnas HAM. Terdapat dua sudut pandang yang berbeda dalam melihat persoalan ini. Pertama, dari kacamata masyarakat adat tentu adanya keresahan karena merasa terintimidasi karena belum adanya pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Kedua, dilain pihak bahwa seluruh proses pembagunan IKN, tertuang dalam masterplan yang telah berisi data komprehensif termasuk mengenai penguasaan lahan.

 

Aturan hukum yang ada saat ini belum sepenuhnya mendukung masyarakat adat, terutama dalam konteks IKN. Undang-Undang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, termasuk IKN memang mengharuskan pemilik tanah untuk melepaskan hak mereka demi pembangunan dan untuk kepentingan umum. Walaupun UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menyediakan kerangka kerja untuk pengambilalihan tanah, tetap saja masyarakat adat sering kali berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.

 

Jaminan terhadap Masyarakat Adat

Dalam tulisan ini penulis hendak menegaskan bahwa masyarakat adat itu ada, tetapi situasi hukum formal saat ini menempatkan masyarakat adat dalam posisi yang lemah khususnya dalam konteks pertanahan.

 

Konflik agraria akibat tumpang tindih hutan konsesi dengan tanah adat merupakan permasalahan klasik sejak dulu. Pengabaian hak atas wilayah adat akan melahirkan ketimpangan penguasaan sumberdaya dan ketimpangan alat produksi. Akar permasalahannya terletak pada tidak adanya perlindungan tanah adat dan jaminan hak-hak konstitusional masyarakat adat terhadap tanah komunal. Sumber konflik pada umumnya terkait dengan hak masyarakat atas tanah. Hal tersebut harus dipenuhi agar proses pembangunan mendapatkan dukungan dari warga negara.

 

Negara harus menjamin hak-hak masyarakat adat dalam mempertahankan pola hidup (tradisi) yang diwarisi secara turun-temurun. Pemenuhan tersebut haruslah merujuk pada International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) sebagai instrumen hukum internasional dan Pasal 18B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai mandat konstitusi.

 

Proses pembangunan IKN yang sudah berjalan seharusnya tidak memarjinalkan masyarakat adat dan harusnya bersifat inklusif. Negara harus memastikan bahwa permasalahan ini tidak merugikan masyarakat adat dengan membuat regulasi secara komprehensif, spesifik dan tepat sasaran, dengan cara memfasilitasi dan mendukung perwakilan dari masyarakat adat dan koalisi masyarakat sipil lainnya untuk merancang undang-undang masyarakat adat.

 

Tidak kalah penting adalah baik dalam bentuk undang-undang atau peraturan pemerintah, yang menjamin bahwa pembangunan IKN tidak mengorbankan masyarakat marjinal, termasuk di dalamnya masyarakat adat. Pentingnya pemahaman pembuat kebijakan dalam memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia dalam merancang peraturan.


Sumber bacaan:

[1] Lestari, R., & Sukisno, D. 2021. Kajian Hak Ulayat Di Kabupaten Kampar Dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan Dan Hukum Adat. (Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 28(1), 94–114. https://doi.org/10.20885/iustum.vol28.iss1.art5).

[2] Dietz, Ton. 1996. Pengakuan Hak atas Sumber Daya Alam: Kontur Geografi Lingkungan Politik. Yogyakarta; Pustaka Pelajar-Insist Press.

[3] Robbin, Paul (2004). Political Ecology: Critical Introduction to Geography. Oxford; Blackwell Publishing.

[4] Mutolib, Abdul, Yonariza, Mahdi, Ismono, Hanung. 2015. Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat (Studi Kasus Pada Masyarakat Suku Melayu di Kesatuan Pemangkuan Hutan Dharmasraya, Sumatera Barat), (Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, pp. 213-225).

[5] Haboddin, Muhtar. 2011. Masyarakat Adat Melawan Perusahaan: Kasus Di Kalimantan Barat. (Jurnal Governance, Vol. 2, No. 1, November 2011, pp. 25-41).

[6] Validnews.com. 2022. KPA: Lahan IKN Nusantara Tak Seharunya Milik Negara. Validnews.com., 14 Maret 2022. Diakses di https://www.validnews.id/nasional/kpa-lahan-ikn-nusantara-tak-seluruhnya-milik-negara.

[7] Anggoro, Purwadi Wahyu. 2018. Kearifan Lokal Berbasis Transendental: Kasus Sengketa Lahan Adat Kutai Barat, Kalimantan Timur, dalam Hukum Transendental Pengembangan dan Penegakan Hukum di Indonesia. (Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta). Genta Publishing; Yogyakarta, 2018.

[8] Wartiharjono, Sukapti. 2017. Potensi Konflik dan Pembentukan Modal Sosial: Belajar dari Sebuah Desa Transmigran di Kalimantan Timur. (Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Vol. 30, No. 2, tahun 2017, hal. 84-93).

[9] Aman.or.id. 2022. Masyarakat Adat Diabaikan, UU IKN Melanggar Hak Konstitusional Warga. Aman.or.id., 26 April 2022. Diakses di https://www.aman.or.id/news/read/masyarakat-adat-diabaikan-uu-ikn-melanggar-hak-konstitusional-warga.

Previous
Next

Berita & Artikel Terbaru

Form Konsultasi

Member of

tes-removebg-preview
Jl. Parakan Salak Desa No.1, Kemang, Kec. Kemang, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat 16310