Mengenal O’Hongana Manyawa di Hutan Halmahera yang ‘Dikepung’ Tambang Nikel

Oleh:
Faris Bobero
Peneliti, Jurnalis

Hutan tidak sekadar sumber makanan, di sana, tempat bersemayam leluhur—menjaga hutan berarti menjaga asal dan untuk kelangsungan hidup Komunitas Adat O’Hongana Manyawa (Tobelo Dalam) subetnis Tobelo. Orang luar menyibut Suku Togutil, pada tiap masyarakat adat yang hidup di belatara Halmahera bagian utara, tengah, hingga timur.

 

Kata “Tugutil” sebenarnya adalah sebutan yang dikemukakan oleh peneliti asal Belanda, J. Platenkamp, untuk Suku Tobelo yang hidup di belantara Halmahera. Platenkamp sendiri memang dikenal sebagai salah satu orang asing yang tertarik meneliti komunitas Tugutil.

 

“Platenkamp pernah tinggal lama di kompleks Dufa-Dufa, Tobelo, Halmahera Utara. Ia lama menelusuri di Kampung Kusuri hingga Iga Labi-Labi,” ungkap Sosiolog Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Syaiful Madjid, ketika ditemui di rumahnya di Jati, Ternate, Maluku Utara, Jumat (5/4).

 

Peneliti Suku Tobelo ini bilang, kata Tugutil sebenarnya ada dalam Bahasa Tobelo, yakni O’Tau Gutili atau rumah obat.

 

Syaiful, dalam penelitiannya, juga mengidentifikasi Suku Tobelo dengan menyebutkan Tobelo Dalam dan Tobelo Luar. Tobelo Dalam, dalam penyebutan orang Tobelo sendiri, yakni O’Hongana Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di dalam hutan), sedangkan Tobelo Luar, yakni O’Hoberera Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di luar hutan).

 

“Saya tidak suka dengar orang bilang Suku Togutil primitif. Mereka, Tugutil juga punya makna soal kehidupan. Punya sistem nilai dan kepercayaan,” ungkap Syaiful, yang masa kecilnya berada di Dodaga, Halmahera Timur, tempat masyarakat Tobelo Dalam atau O’Hongana Manyawa bermukim.

 

Dalam adat Tobelo, setiap kelahiran bayi perempuan dirayakan dengan lima bibit pohon, sedangkan bayi laki-laki ditandai dengan 10 bibit pohon. “Lelaki Tobelo bertanggung jawab dalam mencari nafkah, sehingga mereka harus menanam pohon lebih banyak. Tradisi ini menjadi contoh bagaimana manusia hidup harmoni dengan alam sekitar,” ujarnya.

 

Komunitas O’Hongana Manyawa mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari dengan cara berburu, meramu, berladang-berpindah, dan mencari ikan atau kombinasi dari cara-cara tersebut. Pemenuhan kebutuhan komunitas ini masih bersifat subsisten, karena mereka hidup selaras dengan kondisi alam sekitarnya sesuai dengan nilai-nilai kearifan lingkungan.

 

Pengetahuan dan kepercayaan mereka pada kesatuan hutan itu menjadi kekuatan yang dapat memengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan dalam kehidupan sehari-hari komunitas ini.

 

“Dalam alam pemahaman mereka tentang bagaimana memperlakukan hutan merupakan jaminan bagi ketahanan pangan mereka, hutan tidak hanya merupakan sumber daya ekonomi, tetapi telah menjadi suatu kosmos di mana aspek-aspek religi, sistem pertanian dan perburuan, serta aspek kebudayaan yang lain berinteraksi membangun suatu kehidupan yang utuh,” jelas Syaiful.

 

Hal ini sangat berkaitan dengan pemaknaan kosmologi sosial komunitas O’Hongana Manyawa yang membagi lingkungan ekologi hutan ke dalam satu kesatuan (kesatuan rumah, kesatuan pemukiman, dan kesatuan hutan).

 

Konseptualisasi diri dan lingkungan O’Hongana Manyawa yang tertuang dalam tradisi lisan Wawango (hidup) dan Lilingiri (cari) menjadi acuan untuk menginterpretasi kehidupannya di lingkungan hutan, begitu juga perilaku sosial komunitas O’Hongana Manyawa dalam mengelola hasil hutan erat kaitannya dengan sistem nilai yang terdapat dalam tradisi lisan yang mengatur sikap dan pola tindakan dari komunitas O’Hongana Manyawa dalam melindungi hutan di kesatuan hutan masing-masing.

 

Bagi O’Hongana Manyawa pada umumnya, nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Wowango ditempatkan untuk kepentingan komunitas O’Hongana Manyawa pada masa akan datang (masa depan), dalam arti: setiap warga komunitas dituntut untuk menjaga dan melestarikan hutan beserta isinya untuk kelangsungan kehidupan anak cucu mereka.

 

Sementara itu, nilai yang ada di dalam tradisi Lilingiri, yakni berisi aturan-aturan yang menentukan sikap dan perilaku O’Hongana Manyawa dalam pemenuhan kebutuhan meramu dan berburu di dalam kehidupan mereka di hutan.

 

“Bagi orang O’Hingana Manyawa, anak yang sudah sudah bisa berburu, memasang jerat, adalah mereka yang sudah bisa mengidentifikasi masa depan dan bertahan hidup,” katanya

 

Penyebaran Suku Tobelo

“Asal mula mereka itu dari Telaga Lina di Halmahera Bagian Utara, kemudian menyebar ke hutan-hutan di Halmahera, seperti Halmahera Tengah dan Halmahera Timur,” ungkap Syaiful Madjid.

 

Syaiful bilang, Suku Tobelo Dalam terbagi menjadi empat, yakni Modole (mendiami Halmahera Timur-Halmahera Tengah), Boeng (mendiami Halmahera Utara, Halmahera Timur-Halmahera Tengah), Pagu (Halmahera Utara), dan Hoku.

 

Terkhusus Hoku, sub suku ini disebut juga Canga atau orang Tobelo yang berada di pesisir. Sub suku ini, menurut Syaiful, dinyatakan punah. “Kemungkinan besar, suku yang berada di Naulu, Maluku, yang biasa dibilang Halefuru adalah orang Hoku, sebab, ada sebagian dialek yang mirip dengan Bahasa Tobelo,” ungkapnya.

 

Dalam catatan-catatan penelitian sejarah menyebutkan, daratan Halmahera bagian utara hingga tengah banyak dihuni oleh Suku Tobelo yang asal muasalnya dari Telaga Lina. Mereka adalah kelompok etnis paling banyak yang tersebar di Maluku Utara.

 

Telaga Lina menjadi ‘rumah’ awal peradaban Suku Tobelo membangun kampung atau wilayah yang disebut hoana.

 

Leirissa dalam disertasinya tentang Masyarakat Halmahera dan Raja Jailolo: Studi tentang Sejarah Masyarakat Maluku Utara menyebutkan, sejak pindah ke pesisir, masyarakat Tobelo terbagi menjadi empat hoana, dan ketika mereka pindah ke Distrik Kau (sekarang Kao, Halmahera Utara), terbentuk lagi empat hoana.

 

Solidaritas setiap hoana tergantung pada cikal-bakal pemujaan yang dilakukan dalam tempat pemujaan bersama yang disebut O Halu.

 

Syaiful menyayangkan soal pemberitaan beberapa media yang cenderung menyudutkan O’Hongana Manyawa. Beberapa media bahkan menyebutkan suku ini belum beradab, primitif, kelaparan di hutan, dan sebagainya. Padahal, O’Hongana Manyawa punya sistem kepercayaan dan sistem nilai.

 

Hasil penelitian, ada 21 Mata Rumah O’Hongana Manyawa di daratan Halmahera. Satu Mata Rumah terdiri dari 4 sampai 5 Kepala Keluarga. Wilayah Hidup mereka kini berada di Taman Nasional dan paling banyak wilayah hidup mereka dikuasai oleh Izin pertambangan Nikel dari PT IWIP PT WBN dan subkontraktor lainnya. Akibat dari itu, tidak sedikit yang terusir dari hutan, tempat mereka tinggal.

 

Jauh sebelum adanya Taman Nasional, bahkan sebelum Indonesia merdeka, O’Hongana Manyawa sudah punya pengetahun mengelolah wilayah hidup mereka di hutan. Pembagian wilayah itu disebut dengan O’Tau Moi atau Satuan Rumah, yang dihuni oleh satu Mata Rumah atau satu kelompok terdiri dari 4 sampai 5 Kepala Keluarga.

 

Kedua, disebut O’Gogere atau Satuan Pemukiman, tempat berkumpul, yang dihuni sekitar lima sampai tujuh kelompok. Lokasi Satuan Pemukiman ini berada di Tofu, Akejira, Halmahera Timur.

Ketiga adalah Satuan Hutan yang terbagi menjadi tiga yakni:

  • Manga Wowango: Hutan tempat bersemayamnya roh leluhur atau hutan lindung).
  • Pongana: Hutan Primer atau hutan industri, dan
  • Raki Ma’Amoko: Dusun raja, kebun besar, sumber pangan. Di dalamnya terdapat pohon sagu, langsat, dan lainnya.

 

Wilayah ini nyaris hilang dengan adanya izin Usaha pertambangan Nikel secara besar-besaran di hutan Halmahera yakni Halmaha Timur dan Halmahera Tengah.

 

O’Hongana Manyawa punya sistem sosial. Ada penyebutan Dimono (Orang yang Dituakan/Pemimpin) bukan Kepala Suku. Penyebutan Kepala Suku terhadap Dimono adalah penyebutan orang luar.

 

Orientasi nilai Komunitas O’Hongana Manyawa dalam kehidupan sehari-hari yang mana sangat bertalian dengan keberadaan mereka di alam hutan, proses kehidupan komunitas ini menyatuh dengan apa yang berada di lingkungan mereka. Alam pengetahuan mereka, hutan bukan hanya sebagai lingkungan tempat tinggal dan tempat mendapatkan bahan makanan, tetapi lebih jauh lagi dianggap sebagai sumber kehidupan (disebut Manga Wowango) dan sekaligus muara bagi eksistensi dalam perkembangan kehidupan komunitas O’Hongana Manyawa, dalam hutan mereka dilahirkan, hidup dan meninggal serta kemudian mengikuti kehidupan anak cucu mereka.

 

Orientasi nilai yang masih dipertahankan oleh Komunitas O’Hongana Manyawa di Hutan ini, sumber kehidupan (manga wowango) di dalam hutan menurut anggapan komunitas O’Hongana Manyawa tidak akan habis sampai ke anak-cucu mereka, oleh karena itu menjaga hutan sama dengan menjaga keluarga mereka. Bagi Komunitas O’Hongana Manyawa, “Hutan ini milik kami” ( Na Tangomi Mia Fongana).

 

Bagi komunitas O’Hongana Manyawa, kehidupan manusia di hutan tidak akan lepas dengan ruh-ruh leluhur yang tetap berada di lingkungan kehidupan sekitar mereka. Dengan memelihara dan melestarikan hutan maka dengan sendiri menghormati sekaligus memuja ruh-ruh orang yang telah meninggal terutama ruh para leluhur mereka oleh karena itu pada daerah-daerah tertentu, Dalam kehidupan komunitas O’Hongana Manyawa membatasi ikatan kesatuan hidup setempat menurut batas wilayah dalam bentuk kesatuan hutan (O’Hangana Moi) diperuntuk untuk daerah jelajah setiap kesatuan rumah yang berada di hutan tersebut.

 

Penentuan suatu kewilayahan kesatuan hutan memang sulit (bagi orang luar) menentukan batas-batas yang secara nyata. Namun di balik itu, bagi komunitas O’Hongana Manyawa dalam kesatuan hutan mereka memiliki tanda-tanda khusus yang harus dihormati dan ditaati sebagai batas wilayah larangan (Madodongu).

 

Salah satu wilayah hutan yang dianggap sakral bagi Komunitas O’Hongana Manyawa berada di wilayah Mein, bagian timur Kontrak Karya PT WBN dan daerah hutan Aruku Mangaili Sigi-Sigi Sebelah barat Akejira dalam wilayah Kontrak Karya PT WBN. Bagi Komunitas O’Hongana Manyawa yang berada dalam wilayah itu berkewajiban untuk dan merawat dan melestarikan hutan itu untuk kelangsungan hidup komuntas tersebut.  Leluhur O’Hongana Manyawa bersemayam di daerah tesebut. Daerah Mein dan Aruku Mangaili hampir semua kelompok O’Hongona Manyawa yang ada di hutan ini sering mengunjungi daerah ini sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur mereka (O’Gomanga Jou Madutu).

 

Stigma Negatif dan Perampasan Ruang Hidup O’Hongana Manyawa

Sejak dulu, O’Hongana Manyawa mendapat stikma sebagai pembunuh. Sementara O’Hoberera Manyawa, di masa kolonial, ada yang disebut sebagai Canga. Pemerintah kolonial menganggap Canga adalah Perempak–bajak laut. Lalu dihabisi oleh Kolonial.

Stigma juga dibangun oleh beberapa media di luar Maluku Utara, termasuk media arus utama, yang sebenarnya tidak masuk–turun langsung mengunjungi O’Hongana Manyawa lalu membuat  berita yang menyudutkan suku O’Hongana Manyawa.

 

Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik Pasal 8 menyebutkan Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Begitu juga diatur dalam Peraturan Dewan Pers nomor: 02/PERATURAN-DP/XI/2022 Tentang Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman.

Salah satu tangkapan layar dari berita Metro TV, yang menyudutkan Suku O’Hongana Manyawa dan menyebut Suku ini primitif
Salah satu tangkapan layar dari berita Metro TV, yang menyudutkan Suku O’Hongana Manyawa. Seakan O’Hongana Manyawa tidak beradap.

Sungguh, narasi yang dibangun oleh media tertentu ini, dapat mencelakai atau membuat O’Hongana Manyawa akan kehilangan ruang hidup, karena tidak diakui sebagai Suku yang mempertahankan tradisi. Lalu, membuat izin pertambangan leluasa masuk pada hutan adat.

Lihat saja Pasal 18B ayat (2): Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Sebab itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) punya pekerjaan rumah yang perli diseriusi; terkait masyrakat adat yang terancam punah karena kehilangan tanah juga ‘dibunuh’ lewat narasi pemberitaan yang sepihak.

***

Tahun 2011, saya ke Dodaga, Tukur-Tukur, dan Titipa, wilayah pemukiman O’Hongana Manyawa. Di permukiman atau reseltlement, ada program dari pemerintah melalui Kementerian Sosial menyebut Program Tuna Budaya. Suku saya ini dianggap tidak berbudaya.

 

O’Hongana Manyawa pun menjadi sasaran tuduhan jika terjadi pembunuhan di hutan Halmahera. Kini, 6 orang masyarakat adat O’Hongana Manyawa di Taukur-Tukur dan Dodaga mendekam di penjara. Sebelumnya mereka divonis hukuman mati.

 

Tahun itu juga saya melihat banyak problem yang dihadapi O’Hongana Manyawa, di sana. Di belakang kampung ada pembangunan Irigasi. Kampung nyaris terancam banjir. Warga Dodaga Juga berkebun di Hutan. Tahun itu, ada beberapa perempuan adat, dilarang masuk ke hutan. Mereka dicegat oleh pihak Dinas Kehutanan dengan alasan bahwa itu hutan lindung yang tidak bisa dimasuki orang.

 

Hutan di Wilayah Tukur-Tukur Dodaga juga sering menjadi lokasi penanaman pohon dari program ANTAM, program reboisasi.

 

Pada Selasa, 28 April 2023, saya berkunjung ke Kelompok Maratana, Turaji, dan Hidete bersama Istrinya, di wilayah Halmahera Timur. Di Hutan mereka, saya masuk melalui jalur  PT.WANA KENCANA MINERAL, salah satu perusahaan nikel di sana. kurang lebih 24 km jalan kaki hingga sampai ke kelompok Maratana. Mereka sangat khawatir dengan keberadaan orang luar. Sebab, sebagian kelompok mereka pernah diracuni oleh orang luar, yang ingin mengambil wilayah mereka. Termasuk Suami Maratana Diracuni.

 

Maratana kini sudah keluar hutan dan tinggal sementara di perkampungan di desa Saolat. Salah satu warga menampung Maratana, membuat bivak kecil di samping rumah mereka untuk ditinggali Maratana. Sebab, Maratana tidak bisa tinggal di dalam rumah yang berdinding. Maratana keluar hutan karena wilayah hidupnya terancam akan diambil oleh perusahaan. Namun, ia tetap merindukan pulang ke hutan tempat ia hidup dan mati di sana.

 

Kasus lainnya, tidak sedikit orang luar, atau orang pesisir penjelajah hutan, masuk ke dalam melakukan pengkaplingan lahan O’Hongana Manyawa untuk dijual ke perusahaan. Akibatnya, banyak terjadi kasus pembunuhan di hutan Halmahera.

 

Seperti kasus tahun pembunuhan di daerah Waci, di Halmahera Timur pada tahun 2014. Korban adalah pencari gaharu. Namun, yang dituduh membunuh adalah Bokum dan Nuhu, Suku Tobelo Dalam, O’Hongana Manyawa yang mendiami hutan Akejira, Wilayah Konsesi PT WBN dan PT IWIP. Mereka lalu divonus 15 tahun penjara. Nuhu pun meninggal dunia akibat sakit yang diderita karena ada benturan keras di dada Nuhu. pada tahun 2019 di rutan di dan dikebumikan di Ternate.

 

Bokum dibebaskan pada Januari 2022. Saat keluar, saya orang yang menjemput Bokum, tidak sedikit orang lain juga datang mau ambil Bokum untuk minta tanda tangan jual beli tanah wilayah Bokum. Sementara Bokum tidak bida baca tulis.

Tahun 2023 hingga tapatnya 2024 ini, saya sering mengunjungi keluarga Bokum di Hutan Akejira, Halmahera Tengah. Bokum dan keluarganya trauma, dan tidak akan berani keluar jauh dari daerah hutan maupun Ternate tempat ia dipenjara.


Sumber referensi:

Mengenal Orang Togutil yang Hidup di Hutan Halmahera (Bagian 1)
Menengok Kehidupan Suku Tobelo di Belantara Halmahera

Orang Tobelo, Benteng Terakhir Hutan Halmahera

 

Keterangan Ahli Tertulis Dalam Sengketa di PTUN Jakarta No. 542/G/TF/2023/PTUN-Jkt

Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., CCMs., Advokat
Universitas Atma Jaya Yogyakarta

              Yang Mulia Majelis Hakim Pemeriksa sengketa TUN No. 542/G/TF/2023/PTUN-Jkt di PTUN Jakarta, Para Penggugat dan para Kuasa Hukum para Penggugat, Kuasa Hukum DPR dan Kuasa Hukum Presiden/Pemerintah.  Perkenankan saya menyampaikan usulan/masukan sehubungan dengan pemeriksaan sengketa tata usaha negara ini berikut ini.

Pertama, Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang diajukan oleh para penggugat melalui para kuasa hukumnya pada hakikatnya merupakan gugatan yang berisi tuntutan terhadap “sikap diam/abai” pejabat pemerintahan dalam melaksanakan kewenangan yang ada padanya untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan, yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan, dapat dikualifikasi sebagai tindakan berupa tidak melakukan perbuatan konkret (by omission) atau dalam Bahasa Latin disebut sebagai passivum inesse actionem (tindakan faktual pasif) yang dilakukan oleh badan atau pejabat administrasi pemerintahan dalam perspektif Pasal 4 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Perbuatan melanggar hukum tersebut terjadi karena sikap diam/abai terhadap permohonan yang diajukan oleh AMAN dkk., yang pernah mengajukan Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023, perihal: Permohonan Pembentukan UU Tentang Masyarakat Hukum Adat, kepada DPR dan Presiden. Tindak lanjut atas permohonan tersebut sebenarnya merupakan kewajiban dari DPR dan Presiden berdasarkan kewenangan konstitusional yang diatribusikan oleh Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 UUD Negara RI Tahun 1945 yang memberikan kewenangan kepada DPR dan Presiden untuk melakukan tindakan faktual dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat adat yang salah satunya adalah melalui tindakan pengaturan oleh negara (moderantibus actionem civitatis) untuk membentuk undang-undang yang berkaitan dengan kewajiban konstitusional negara guna melaksanakan Pasal 18 B ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa: “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Hal itu berarti konstitusi secara eksplisit memerintahkan DPR dan Presiden sebagai pihak yang berwenang melakukan tindakan faktual untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat antara lain dengan membentuk undang-undang untuk membentuk UU Tentang Masyarakat Hukum Adat.

 

Kedua, tindakan perlindungan oleh negara (status praesidio mensurae) terhadap hak-hak rakyat in casu masyarakat adat seharusnya berupa: tindakan pengaturan (regulatory actio), tindakan memberikan jaminan atas hak-hak masyarakat adat (actio cavendi iura populorum indigenarum), tindakan memenuhi kebutuhan masyarakat adat (actus ad usus necessarios in communitatibus indigenae) dan tindakan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran atas hak-hak masyarakat adat (lex cogendi si est violatio iurium populorum indigenarum).  Keseluruhan rangkaian tindakan perlindungan terhadap masyarakat adat tersebut saling terkait/tak terpisahkan yang berada dalam lingkup fungsi pemerintahan (munera imperium). Jika gugatan dari para penggugat tersebut dikaitkan dengan hukum positif,  Pasal 3 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017 telah mengatur secara limitatif kriteria permohonan yang dapat diajukan melalui mekanisme fiktif positif/permohonan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan untuk mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan, yaitu: a. Permohonan dalam lingkup kewenangan badan dan/atau pejabat pemerintahan; b. Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan; c. Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan yang belum pernah ditetapkan dan/atau dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan; dan d. Permohonan untuk kepentingan Termohon secara langsung. Tindakan faktual pasif yang dipersoalkan dalam gugatan penggugat adalah tindakan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat yang terdiri dari rangkaian tindakan yang saling terkait sebagaimana telah disampakan di atas yang terdiri diekspresikan dalam bentuk serangkaian tindakan untuk melaksanakan kewajiban vide Pasal 18 B ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 dan menindaklanjuti permohonan yang diajukan oleh AMAN dkk., yang pernah mengajukan Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023. Dalam hal ini isu hukumnya bukan semata-mata hanya soal pembentukan UU Perlindungan Masyarakat Adat, tetapi pada hakikatnya (in essentia) adalah tindakan untuk memberikan perlindungan (opus providere tutelam) bagi masyarakat adat.

Ketiga,  Rancangan Undang-Undang Tentang Masyarakat Hukum Adat telah beberapa kali masuk dalam Proglegnas, termasuk ke dalam Prolegnas Priotas, sebagai berikut: a) Prolegnas Periode 2005-2009, dengan judul “RUU tentang Hak-Hak Masyarakat Adat”, dengan nomor urut 101; RUU tentang Pengakuan dan Penghormatan Masyarakat Adat dan Tradisinya, dengan nomor urut 273, berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 01/DPR-RI/III/2004-2005 Tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005-2009; b) Prolegnas Periode 2009-2014, dengan judul “RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat” dengan nomor urut 161.  Pada tahun 2013, RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas 2014, dengan nomor urut 26. c) Prolegnas Periode 2015-2019, dengan judul “RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat”, dengan nomor urut 42. Pada tahun 2017, RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas, dengan nomor urut 45. d) Prolegnas Periode 2020-2024, dengan judul “RUU tentang Masyarakat Hukum Adat, dengan nomor urut 160. Pada tahun 2020, RUU tentang Masyarakat Hukum Adat ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas, dengan nomor urut 22. RUU yang beberapa kali dimasukkan ke dalam Prolegnas dan tak kunjung diselesaikan selain telah melanggar prinsip anggaran berbasis kinerja  (performance based budgeting) sebagaiman diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU APBN karena perencanaan yang kunjung direalisasikan dengan dibentuk dan disahkannya UU terkait, juga tindakan perencanaan (consilio opus) yang tak kunjung diselesaikan serta melampaui batas tahun anggaran tahunan (one year budgeting) itu juga melanggar asas kepastian hukum (principium certitudinis legalis) dalam lingkup Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.

Keempat,  DPR dan Presiden sesungguhnya telah diwajibkan oleh UUD Negara RI Tahun 1945 untuk membentuk UU Tentang Masyarakat Hukum Adat, namun dengan perencanaan yang tidak pasti, mendiamkan permohonan untuk melaksanakan kewajiban tersebut (Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023) dan serangkaian tindakan yang menunjukkan sikap abai (indifferens habitus)  dan tindakan penundaan berlarut (mora actio) yang dilakukan DPR dan Presiden telah mengakibatkan pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Hukum Adat terkatung-katung/tidak jelas (exilii), sehingga berdampak pada ketidakpastian hukum (legalis dubitationem). Tidak ada perlindungan hukum terhadap masyarakat adat in casu Para Penggugat yang mengalami kerugian yang nyata mulai dari praktik penggusuran perampasan wilayah adat, kriminalisasi Masyarakat Adat dan hilangnya identitas Para Penggugat sebagai Masyarakat Adat di Indonesia yang dikemukakan secara lengkap dalam fakta-fakta hukum gugatan para penggugat perlu ditempatkan dalam konteks tindakan faktual pasif yang menimbulkan kerugian terhadap hak-hak masyarakat adat vide Pasal 18 B jo Pasal 28I ayat (3) dan (4) UUD Negara RI 1945 ((3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan  perkembangan zaman dan peradaban. (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan  hak  asasi  manusia  adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah) serta Pasal 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 6 ayat (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah; dan Pasal 6 ayat (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman).

 

Demikian, keterangan yang merupakan usulan/masukan bagi pertimbangan Majelis Hakim pemeriksa sengketa TUN No. No. 542/G/TF/2023/PTUN-Jkt jika berkenan dipertimbangkan. Atas kebijaksanaan Majelis Hakim yang memberikan kesempatan menyampaikan masukan/usulan ini, saya menghaturkan terima sebesar-besarnya.

 

Jakarta, 21 Maret 2024

Hormat saya,

 

(Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., CCMs., Advokat)

Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

 

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) memberikan Layanan Bantuan Hukum bagi Masyarakat Adat di kegiatan HIMAS

Serangkaian dengan perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Nusantara (HIMAS) pada 09 Agustus 2023, PPMAN yang merupakan organisasi sayap dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah menginisiasi klinik hukum yang di agendakan di laksanakan pada 08 Agustus 2023 hingga 09 Agustus 2023 di Ke’Te Kesu, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan.

 

Tujuan Klinik Hukum yang dibuka oleh PPMAN memiliki maksud untuk mendekatkan akses bantuan hukum kepada Masyarakat Adat yang selama ini sangat jauh dan sulit untuk mengakses keadilan. Bukan hanya karena lokasi atau tempat tinggal mereka saja yang jauh dari kota, akan tetapi juga karena jauhnya informasi serta pengetahuan mereka terkait hukum yang berlaku di Indonesia. Namun Masyarakat Adat acap kali mendapatkan ancaman, kriminalisasi, bahkan diintimidasi karena upaya mereka dalam mempertahankan wilayah adatnya.

 

Merujuk pada Catatan Tahun 2022 yang dipublikasikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan bahwa sejak AMAN berdiri hingga 2022 dengan jumlah anggota sebanyak 2.449 komunitas adat. Dari jumlah anggota tersebut, terdapat 161 produk hukum daerah, penetapan hutan adat oleh pemerintah sejumlah 105 dengan total luasan 148.488 hektar paska putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.

 

Akan tetapi dari jumlah komunitas adat anggota AMAN, terjadi perampasan wilayah adat melalui program pertanahan nasional dengan dengan skema perhutanan sosial (HKM, Hutan Desa, HTR, Kemitraan) berjumlah 2.400 hektar yang artinya masih ada 2,71 Juta hektar wilayah adat yang hingga saat ini belum memiliki produk hukum daerah dan penetapan hutan adat oleh pemerintah.

 

Masyarakat Adat yang komunitasnya masuk menjadi anggota AMAN juga teridentifikasi menempati wilayah adat di pesisir dan pulau-pulau kecil sejumlah 559 komunitas adat dan 22 di antaranya telah mendapatkan penetapan oleh Kementerian Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

 

Masyarakat Adat saat Konsultasi Hukum mengunjungi Klinik Hukum PPMAN
Masyarakat Adat saat Konsultasi Hukum dan mengunjungi Klinik Hukum PPMAN

 

Tercatat 301 perampasan wilayah adat dengan luasan 8,5 Juta hektar yang mana 672 orang Masyarakat Adat menjadi korban pengkriminalisasian, yang mana di Tahun 2022 terdapat 19 kasus perampasan wilayah adat dengan luas 600 ribu hektar. Berdasarkan data yang disampaikan dalam CATAHU AMAN di atas, konflik yang Masyarakat Adat hadapi bukan hanya dalam bentuk Pidana dan Perdata saja, akan tetapi mereka juga rentan berhadapan dengan masalah hukum karena minimnya pengetahuan mereka terhadap dampak dari terbitnya suatu produk hukum. Persoalan ini dipandang penting oleh ketua PPMAN, Syamsul Alam Agus dalam memandang urgensi pembukaan klinik hukum.

 

“Mengingat bahwa Masyarakat Adat merupakan kelompok rentan dengan resiko akan pelanggaran HAM yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok rentan lainnya, ini dikarenakan Masyarakat Adat selalu menjadi korban eksploitasi sumber daya alam, di mana tempat terjadinya eksploitasi sumber daya alam tersebut berada di wilayah adat, disini ada kepentingan dari negara dan pemilik modal atas wilayah adat.” Ungkap Syamsul Alam Agus.

 

Lebih lanjut, Alam yang merupakan sapaan dari Syamsul Alam Agus menambahkan bahwa “hampir semua kasus Masyarakat Adat memiliki kerentanan untuk menjadi korban dan mendapatkan tindakan kriminalisasi atas perjuangan Masyarakat Adat dalam mendapatkan hak-haknya”.

 

Negara dan pemilik modal merampas tanah milik Masyarakat Adat dan tindakan ini merupakan salah satu cerminan dari pengabaian negara untuk melindungi masyarakat adat. Selain itu pemilik modal juga memiliki kekuasaan dan juga kerjasama dengan negara untuk merampas, menggusur, mengeskplorasi dan mengeksploitasi tanah masyarakat adat.

 

“Tindakan perampasan, penggusuran, eskplorasi dan eksploitasi tersebut merupakan tindakan yang telah melanggar sejumlah Undang-Undang, Undang-Undang Dasar dan prinsip-prinsip hak asasi manusia, Prinsip Free end Prior Informed Consent (FPIC) dan berbagai prinsip konvensi yang lainnya.” Tambah Alam

 

“Mengingat beragamnya masalah hukum yang yang terjadi dan menimpa Masyarakat Adat, maka Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) akan membuka klinik hukum yang mana juga satu rangkaian kegiatan perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat (HIMAS) dilaksanakan. Hal ini dilakukan guna mengakomodasi pendampingan dan pembelaan terhadap hak-hak Masyarakat Adat dalam proses kemudahan akses dan layanan bantuan hukum. Selain itu, komunitas masyarakat adat bisa mendapatkan akses keadilan.” Tutupnya.

 

***

Kriminalisasi Masyarakat Adat di Indonesia; Strategi Negara dan Perusahaan Merampas Wilayah Adat

Oleh: Syamsul Alam Agus, S.H.

 

Kriminalisasi masyarakat adat adalah sebuah fenomena yang menimbulkan kekhawatiran dalam masyarakat. Masyarakat adat, yang secara historis telah tinggal di wilayah tertentu selama berabad-abad, sering kali menghadapi tantangan besar dalam menjaga hak-hak mereka terhadap tanah, sumber daya alam, ritual dan budaya mereka.

 

Kriminalisasi masyarakat adat merujuk pada situasi di mana kegiatan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat adat dianggap sebagai tindakan kriminal oleh aparat negara. Hal ini sering kali terjadi karena adanya konflik kepentingan antara masyarakat adat dengan pemerintah, perusahaan, atau individu lain yang berusaha mengakses sumber daya alam yang terletak di wilayah adat.

 

Salah satu contoh kriminalisasi masyarakat adat adalah penegakan hukum terhadap kegiatan perburuan, pengumpulan hasil hutan, atau praktik pertanian tradisional yang dilakukan oleh masyarakat adat. Padahal, kegiatan-kegiatan tersebut telah menjadi bagian integral dari kehidupan dan budaya mereka selama berabad-abad. Penegakan hukum destruktif yang didukung dengan peraturan dan kebijakan yang tidak adil kepada masyarakat adat atas kegiatannya sering kali mengakibatkan penangkapan, penahanan, penyiksaan hingga vonis pengadilan terhadap anggota masyarakat adat.

 

Kriminalisasi masyarakat adat sering terjadi karena konteks perjuangan mereka untuk mempertahankan hak atas tanah adat mereka. Banyak masyarakat adat yang menghadapi ancaman pengusiran atau kehilangan akses terhadap tanah mereka akibat dari klaim oleh pihak ketiga, baik itu pemerintah, perusahaan, atau individu. Upaya masyarakat adat untuk melindungi wilayah adat mereka sering kali dianggap sebagai tindakan melawan hukum, dan pihak berwenang menggunakan aparat hukum untuk menghentikan atau menghukum mereka.

 

Kriminalisasi masyarakat adat tidak hanya mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga berdampak pada keberlanjutan budaya dan tradisi mereka. Masyarakat adat memiliki pengetahuan dan praktik yang berharga terkait pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan pemeliharaan lingkungan. Namun, dengan kriminalisasi yang terus menerus terhadap kegiatan tradisional mereka, pengetahuan ini terancam punah dan berdampak pada keberlanjutan lingkungan dan keanekaragaman hayati.

 

Penting untuk mencatat bahwa perlindungan hak masyarakat adat diakui secara internasional. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat menyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak atas tanah, sumber daya alam, dan budaya mereka sendiri. Negara-negara juga diwajibkan untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak tersebut.

 

Kriminalisasi terhadap masyarakat adat memiliki dampak yang luas dan serius terhadap kehidupan mereka. Berikut ini adalah beberapa dampak umum yang dapat timbul akibat kriminalisasi terhadap masyarakat adat:

 

  1. Kehilangan Akses terhadap Tanah Adat: Kriminalisasi sering kali berarti pengusiran atau pembatasan akses masyarakat adat terhadap tanah adat mereka. Tanah adat adalah inti dari identitas, budaya, dan cara hidup masyarakat adat. Ketika mereka kehilangan hak akses terhadap tanah ini, mereka juga kehilangan mata pencaharian, sumber kehidupan, dan hubungan spiritual mereka dengan lingkungan sekitar.
  2. Kerusakan Budaya dan Identitas: Kriminalisasi mengancam keberlanjutan budaya dan identitas masyarakat adat. Banyak praktik dan tradisi mereka terkait dengan penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan pemeliharaan lingkungan. Dengan larangan atau penindakan terhadap kegiatan tradisional, pengetahuan dan praktik ini dapat terancam punah. Selain itu, pemisahan dari tanah adat juga dapat menyebabkan kehilangan ikatan sosial dan kehilangan identitas budaya yang kuat.
  3. Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Kriminalisasi masyarakat adat sering kali melibatkan pelanggaran hak asasi manusia. Mereka dapat menghadapi kekerasan fisik, penahanan sewenang-wenang, intimidasi, atau ancaman terhadap keselamatan mereka. Tindakan semacam itu melanggar hak mereka untuk hidup dengan aman, bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi, dan hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul.
  4. Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan: Kriminalisasi masyarakat adat mencerminkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam sistem hukum. Masyarakat adat sering kali tidak memiliki akses yang memadai terhadap sistem peradilan, dan mereka dapat dianggap bersalah secara sepihak tanpa proses yang adil. Selain itu, kekuatan dan sumber daya yang dimiliki oleh pihak berwenang yang mendukung kriminalisasi seringkali lebih besar daripada yang dimiliki oleh masyarakat adat, sehingga menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan.
  5. Penurunan Kesejahteraan Sosial dan Ekonomi: Kriminalisasi dapat menghancurkan ekonomi masyarakat adat. Ketika mereka dilarang atau dihentikan dalam melakukan kegiatan tradisional mereka, sumber pendapatan mereka berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Ini dapat menyebabkan kemiskinan, kelaparan, dan penurunan kesejahteraan sosial di antara masyarakat adat.

 

Dampak-dampak ini tidak hanya dialami oleh masyarakat adat itu sendiri, tetapi juga pada keberlanjutan lingkungan, keanekaragaman hayati, dan keberagaman budaya yang penting bagi kehidupan kita secara keseluruhan.

 

Untuk mengatasi kriminalisasi yang terjadi pada masyarakat adat, perlu adanya upaya yang komprehensif dari pemerintah, masyarakat sipil, dan lembaga internasional. Meningkatkan kesadaran tentang hak-hak masyarakat adat adalah langkah penting dalam melawan kriminalisasi yang mereka hadapi. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran tersebut:Pendidikan dan Kampanye: Pendidikan merupakan kunci untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang hak-hak masyarakat adat. Kampanye informasi dan pendidikan harus dilakukan di sekolah-sekolah, universitas, dan masyarakat umum untuk memperkenalkan pentingnya hak-hak masyarakat adat serta tantangan yang mereka hadapi.

 

  1. Media dan Komunikasi: Media memainkan peran penting dalam membentuk opini publik. Melalui media cetak, elektronik, dan sosial, informasi tentang kriminalisasi masyarakat adat dapat disebarkan dengan lebih luas. Organisasi masyarakat sipil dan kelompok advokasi dapat menggunakan media untuk memperkenalkan kasus-kasus konkret, menceritakan kisah-kisah sukses, dan memperkuat narasi tentang pentingnya melindungi hak-hak masyarakat adat.
  2. Pelibatan Masyarakat Adat: Masyarakat adat harus secara aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak pada hak-hak mereka. Mereka harus diberi kesempatan untuk berbicara dan berpartisipasi dalam forum-forum publik, perundingan, dan proses legislasi yang berkaitan dengan tanah adat dan sumber daya alam. Ini memungkinkan mereka untuk mengadvokasi hak-hak mereka secara langsung dan memperkuat kesadaran tentang pentingnya hak-hak masyarakat adat.
  3. Pelatihan Hukum: Pelatihan hukum yang ditujukan kepada masyarakat adat dan advokat pembela mereka adalah kunci untuk memberdayakan mereka dalam memahami sistem hukum dan hak-hak mereka. Mereka perlu memahami mekanisme perlindungan hukum yang ada, seperti peraturan daerah, nasional dan internasional yang melindungi hak-hak masyarakat adat. Pelatihan ini dapat membantu mereka memperkuat argumen hukum mereka, bekerja sama dengan pengacara, dan melibatkan lembaga hukum untuk melawan kriminalisasi.
  4. Solidaritas dan Jaringan: Masyarakat adat harus bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, LSM, dan lembaga internasional yang peduli terhadap hak-hak mereka. Dengan membangun jaringan yang kuat, masyarakat adat dapat saling mendukung dan berbagi pengalaman, strategi, dan sumber daya untuk melawan kriminalisasi. Solidaritas lintas kelompok dan dukungan dari masyarakat umum juga dapat membantu meningkatkan kesadaran dan memperkuat advokasi.

 

Meningkatkan kesadaran tentang hak-hak masyarakat adat bukanlah upaya sekali jalan. Ini adalah proses berkelanjutan yang membutuhkan kolaborasi, advokasi yang kuat, dan pendekatan holistik untuk mencapai perubahan yang signifikan dalam melawan kriminalisasi masyarakat adat.

 

***

 

Penulis adalah Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

MENYOAL TAFSIR HAKIM PRAPERADILAN DALAM PENGUJIAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA (Studi Kasus: Putusan Nomor 1/Pid.Pra/2023/PN.Sos)

Oleh : Fatiatulo Lazira, S.H

 

Menilik sejarahnya, hakikat keberadaan pranata praperadilan adalah untuk mencegah terjadinya tindakan-tindakan penyalahgunaan wewenang yang berpotensi melanggar hak-hak asasi manusia, secara khusus hak asasi seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Secara sederhana, praperadilan dapat dimaknai sebagai sarana pengawasan secara horizontal terhadap tindakan-tindakan upaya paksa yang dilakukan penegak hukum terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana.

 

Pasal 77 UU No. 8/1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), telah mengatur secara limitatif ruang lingkup atau objek praperadilan, yakni wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus, tentang : a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

 

Pada perkembangannya, objek praperadilan mengalami perluasan, baik dari sisi praktik penegakan hukum maupun regulasi. Dari sisi praktik penegakan hukum, perluasan objek praperadilan dapat ditemui dalam Putusan No. 04/Pid.Pra/2015/PN.Jkt.Sel., tertanggal 16 Februari 2015, dalam Perkara Budi Gunawan selaku pemohon praperadilan melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku termohon praperadilan. H. SARPIN RIZALDI, S.H., M.H., selaku hakim praperadilan dalam perkara tersebut menyatakan dalam pertimbangan hukumnya, pada pokoknya bahwa: “Pemohon bukanlah subyek hukum pelaku Tipikor yang menjadi kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tipikor, sehingga proses penyidikan yang dilakukan KPK tidak sah. Dengan demikian pula penetapan status Pemohon sebagai Tersangka, tidak sah“. Artinya, penetapan status tersangka seseorang merupakan objek praperadilan.

 

Sementara itu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 Tentang UU No. 8/1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), juga menafsirkan bahwa, objek praperadilan tidak hanya yang telah ditentukan oleh Pasal 77 KUHAP, yaitu: a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Tetapi juga termasuk “penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”. Dalam pertimbangan hukumnya, pada paragraph [3.16], MK secara eksplisit menyatakan bahwa, KUHAP tidak memiliki chek and balance system atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak mengenal mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak menerapkan prinsip pengecualian (exclusionary) atas alat bukti yang diperoleh secara tidak sah seperti di Amerika Serikat. Lebih lanjut, MK kemudian mengutip Paul Roberts dan Adrian Zuckerman. Menurutnya, ada 3 (tiga) prinsip yang mendasari perlunya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti, yaitu: Pertama, rights protection by the state. Hak tersebut lahir karena terkadang upaya dari penyelidik atau penyidik dalam menemukan alat bukti dilakukan dengan melanggar hak asasi calon tersangka atau tersangka.

 

Dalam rangka mengembalikan atau mempertahankan hak yang sudah dilanggar maka diperlukan suatu mekanisme pengujian perolehan alat bukti untuk mengetahui dan memastikan apakah alat bukti tersebut sudah benar-benar diambil secara sah. Kedua, deterrence (disciplining the police). Pengesampingan atau pengecualian alat bukti yang diambil atau diperoleh secara tidak sah, akan mencegah/ menghalangi para penyidik maupun penuntut umum mengulangi kembali kesalahan mereka di masa mendatang. Apabila hakim secara rutin mengecualikan/ mengesampingkan alat bukti yang didapat secara tidak sah tersebut, maka hal itu menjadi pesan yang sangat jelas kepada aparat penegak hukum bahwa tidak ada manfaat yang bisa diambil dari melanggar hukum, kemudian motivasi dari aparat penegak hukum untuk melanggar hukum akan menurun drastis. Ketiga, the legitimacy of the verdict. Dalam proses acara pidana diperlukan suatu sistem yang dapat dipercaya sehingga masyarakat yakin terhadap sistem hukum atau sistem peradilannya. Apabila hakim sudah terbiasa memaklumi aparat penyidik dan penuntut umum dalam menyajikan alat bukti yang didapat secara tidak sah, maka sistem hukum tersebut akan diragukan legitimasinya dan masyarakat akan segera mengurangi rasa hormatnya (Paul Roberts and Adrian Zuckerman, Criminal Evidence (New York: Oxford University Press Inc, reprinted 2008) hal. 149-159).

 

Semangat Pengujian Penetapan Status Tersangka

 

Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Frasa “bukti permulaan” tersebut, harus dimaknai sesuai Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, yakni minimal 2 (dua) alat bukti yang sah sesuai Pasal 184 KUHAP, antara lain: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa.

 

Pertimbangan hukum hakim praperadilan dalam Putusan Nomor 1/Pid.Pra/2023/PN.Sos., pada Pengadilan Negeri Soasio, dalam menilai keabsahan penetapan status tersangka, menunjukkan kegagalan tafsir kaitannya dengan Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014. Dalam pertimbangan hukumnya, hakim praperadilan menyatakan, bahwa:

 

Menimbang, bahwa terlebih dahulu perlu disamakan persepsi tentang materi permohonan praperadilan yang diajukan Pemohon, apakah permohonan tentang sah tidaknya penetapan Tersangka atas nama Pemohon yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon, mengingat praperadilan tidak memeriksa tentang materi perkara dan tiada proses tanpa prosedur, sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) dan ayat 4 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2016 yang menyebutkan Pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara, Persidangan perkara Praperadilan dipimpin oleh Hakim Tunggal karena sifat pemeriksaannya yang tergolong singkat dan pembuktiannya yang hanya memeriksa aspek formil, tidak sama sekali memeriksa aspek materiil.

 

“Bahwa pengertian Tersangka sebagaimana dalam Pasal 1 angka 14 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUU-XII/2014, bahwa “Frasa bukti permulaan” harus dimaknai dua alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), oleh sebab itu maka setiap orang yang akan ditetapkan sebagai Tersangka harus ada 2 (dua) alat bukti yang sah;Menimbang bahwa hakim menilai proses penetapan tersangka atas nama Para Pemohon telah sesuai dengan hukum acara yang berlaku dalam perkara aquo Termohon menggunakan Alat bukti saksi dan surat sebagaimana Bukti T-4 sampai dengan T-10 sehingga menurut Hakim sudah memenuhi ketentuan Pasal 184 KUHAP oleh karena itu Petitum Angka 4 (empat) Para Pemohon sudah sepatutnya ditolak;

 

Melalui pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 1/Pid.Pra/2023/PN.Sos., tersebut, dapat disimpulkan bahwa hakim praperadilan, hanya menilai keterpenuhan alat bukti secara kuantitas, yakni minimal 2 (dua) alat bukti sebagai dasar penetapan status tersangka, tanpa menguji keabsahan peroleh alat bukti yang terindikasi sarat pelanggaran hukum dan hak asasi manusia sebagaimana dikemukakan dalam materi permohonan praperadilan. Hakim praperadilan tampak mengabaikan semangat, yang menjadi alasan pengujian mengapa penetapan status tersangka termasuk objek peradilan sebagaimana termaktub dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, bahwa tidak terdapat pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat menguji keabasahan penetapan status tersangka bilamana penetapan status tersangka tersebut mengandung kekeliruan.

 

Pengujian penetapan status terangka melalui pranata praperadilan adalah semangat perlindungan hak asasi manusia dari tindakan sewenang-wenang penegak hukum. Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, mengandung semangat bahwa penilaian terhadap keterpenuhan alat bukti tidak semata-mata keterpenuhan alat bukti secara kuantitas, yakni minimal 2 (dua) alat bukti, tetapi juga harus diuji bagaimana alat bukti itu diperoleh, apakah sudah memenuhi syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan serta menghormati hak asasi manusia atau tidak.

 

Penulis menilai, bahwa pertimbangan hukum hakim praperadilan dalam Putusan Nomor 1/Pid.Pra/2023/PN.Sos., belum mengandung semangat pengujian status penetapan tersangka sebagaimana dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, karena hanya menilai ketepernuhan alat bukti secara formalitas tanpa menguji bagaimana alat bukti tersebut diperoleh. Oleh karena itu, penting bagi Mahkmah Agung sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelengaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, termasuk praperadilan, untuk menegaskan kembali pemaknaan semangat pengujian penetapan status tersangka melalui pranata praperadilan

 

***

 

Penulis adalah Founder “FATI LAZIRA Law Firm” dan Koordinator Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Region Jawa

Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam Laporkan Dugaan Kekerasan Polisi di Haltim ke Komnas HAM

Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Tobelo Dalam resmi mendaftarkan permohonan pra Peradilan ke Pengadilan Negeri Kelas II Soasio, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Rabu (5/4).

 

Permohonan pra Peradilan dengan nomor 1/Pid.Pra/2023/PN.Sos itu ditujukan kepada Polres Halmahera Timur sebagai Termohon.

 

 

Sebelumnya, anggota Polres Haltim selaku Termohon menangkap dan menahan dua orang Masyarakat Adat Suku Togutil Tobelo Dalam bernama Alen Baikole dan Samuel Baikole.

 

Alen diamankan di tempat kerjanya, lingkungan SP3 Desa Subaim. Sedangkan Samuel di rumahnya, Dusun II Smean, Kecamatan Buli, Haltim.

 

PPMAN dan LBH Marimoi yang tergabung dalam Tim advokasi menilai, langkah Polres Haltim tidak sesuai prosedur hukum.

 

Bahkan, proses penggeledahan atau penyitaan dinilai keliru dan bertentangan dengan ketentuan serta undang-undang yang berlaku.

 

Ketua PPMAN, Syamsul Alam Agus, menilai tindak pidana yang disangkakan kepada para Pemohon adanya rekayasa yang seharusnya tidak dapat disangkakan.

 

“Langkah penangkapan, penahanan, hingga penetapan tersangka sarat pelanggaran HAM,” ucap Ketua PPMAN yang akrab dipanggil Alam

 

Menurutnya, dari banyaknya temuan pelanggaran itulah yang menjadi dasar tim advokasi mengajukan permohonan pra Peradilan.

 

Bagi Alam, praktik penegakkan hukum dan profesionalisme polisi sangat penting dalam menjalankan tugas dan fungsinya

 

“Tentu berdasarkan undang-undang, dan ini sebagai salah satu langkah korektif bagi Termohon dalam menjalankan tugasnya,” tandasnya.

 

Ketua Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Maharani Caroline, mengatakan dalam penangkapan, Termohon tidak memiliki surat penangkapan.

 

“Padahal KUHAP mengatur bahwa penangkapan tanpa surat perintah hanya dapat dilakukan saat seseorang tertangkap tangan,” jelasnya.

 

Di samping itu, sambung Maharani, Temohon menangkap para Pemohon disertai tindakan kekerasan. “Agar Pemohon mengakui perbuatannya,” katanya.

 

Selain itu, tindakan Termohon melakukan penyitaan telah melanggar aturan dalam KUHAP. Sebab, langkah penyitaan harus mendapat izin dari pengadilan.

 

“Tindakan Termohon menyita sebuah handphone milik Alen Baikole merupakan tindakan yang telah melanggar aturan KUHAP,” jelasnya.

 

***

IKN DAN KETIMPANGAN PENGUASAAN LAHAN

Oleh Muhammad Arman
Direktur Advokasi Hukum dan HAM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

 

Pada tanggal 26 Agustus 2019, Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Pemindahan IKN dari Jakarta sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Bahkan jauh sebelum wacana pemindahan IKN pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1960-an, sejarah mencatat setidaknya telah terjadi dua kali pemindahan IKN dari Jakarta yakni ke Ibu Kota Yogyakarta dan Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Pemindahan IKN pada saat itu dilakukan karena adanya kegentingan akan keamanan bangsa karena perang merebut kemerdekaan.

 

Lalu apa alasan kegentingan pemindahan IKN saat ini? Setidaknya terdapat empat alasan yang mengemuka yaitu: Pertama, untuk mengurai kepadatan penduduk yang terkonsentrasi di Pulau Jawa; Kedua, pemerataan ekonomi, Ketiga, krisis ketersediaan air bersih di Jawa, dan Keempat, ketersediaan lahan (konversi lahan).

 

Sekilas alasan pemindahan IKN ke Kalimantan Timur sangat masuk akal dan tidak akan menimbulkan masalah. Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil bahkan menyatakan telah tersedia lahan seluas 180 hektar sebagai lokasi pusat pemerintahan IKN yang telah ditunjuk, artinya dari sisi kesiapan lahan untuk pembangunan infrastruktur IKN sudah memenuhi syarat penunjukan Kalimantan Timur sebagai IKN baru.

 

Konflik Lahan

 

Pembangunan dan konflik berbasis lahan adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Hasil pertemuan dua tahunan IMF dan Bank Dunia (1980), menghasilkan suatu kesimpulan yang sangat menarik bahwa pembangunan berarti sama dengan penghancuran tananan sosial, ekonomi dan budaya sekaligus. Pembangunan yang tidak diawali dengan kebijakan yang berkeadilan akan menjelma menjadi sumber konflik, kantong-kantong pengangguran, kemiskinan, korupsi dan kerusakan lingkungan.

 

Eskalasi konflik lahan dan sumber daya alam di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir terus mengalami peningkatan. Konsorsium Pembaruan Agraria (2015-2018)

mencatat telah terjadi 1.769 letusan konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat, petani, dan masyarakat perdesaan. Peningkatan konflik agraria yang terjadi setiap tahunnya mencapai 13 – 15%. Data YLBHI (2018) menunjukkan telah terjadi 300 kasus konflik agraria struktural di 16 provinsi dengan luasan lahan 488.407,77 hektar. Konflik ini disebabkan penerbitan izin-izin konsesi di atas tanah masyarakat oleh pemerintah untuk proyek pembangunan infrastruktur dan penerbitan izin-izin konsesi perusahaan.

 

Kekeliruan pengelolaan sumber agraria dan sumber daya alam (SDA) diatas sesungguhnya telah lama disadari oleh pemerintah dan dikoreksi melalui TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan SDA. Sayangnya hampir dua dekade penerbitan TAP MPR ini tidak dilaksanakan secara sungguh- sungguh oleh pemerintah. Akibatnya konflik berbasis lahan dan SDA tidak hanya merugikan masyarakat tetapi juga berimplikasi pada kerusakan ekologis dan kerugian negara (Studi GNPSDA KPK; 2012).

 

Secara khusus wilayah yang ditunjuk sebagai lokasi IKN pun tidak luput dari konflik lahan karena adanya klaim hak yang berbeda dan tumpang tindih perijinan. AMAN (2019), mencatat sedikitnya terdapat 13 (tiga belas) wilayah adat di Kabupaten Penajam Paser Utara yang akan menjadi lokasi IKN. Selain itu telah terdapat izin konsesi perkebunan skala besar seluas 30 ribu hektar yang tumpang tindih dengan wilayah masyarakat adat. Konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan hingga saat ini belum ada penyelesaiannya. Artinya dengan masuknya wilayah tersebut sebagai pusat pembangunan infrastruktur IKN akan mempertajam konflik yang masih berlangsung.

 

Penataan Regulasi

 

Kajian Tim harmonisasi (2018), di sektor Undang-undang SDA dan lingkungan hidup (SDA-LH) terhadap duapuluh enam UU sektoral menunjukkan bahwa kerangka hukum positif SDA-LH hanya dominan pada pemenuhan prinsip kepastian hukum dan negara kesatuan, tetapi paling lemah dalam menjabarkan prinsip keadilan sosial.

 

Pengaturannya tidak banyak menyediakan norma-norma yang berkaitan dengan distribusi, perlindungan masyarakat marjinal, dan pemulihan hak. Sementara prinsip keberlanjutan dan demokrasi, presentase pemenuhannya di bawah 50%, sangat jauh dari standar pemenuhan prinsip keadilan sosial dan hak asasi manusia.

 

Sejalan dengan itu, Kenichi Ohmae (1991) telah mengingatkan bahwa jika SDA merupakan sumber utama kekayaan negara, maka hal utama yang perlu diperhatikan adalah bahwa kehadiran investasi untuk pembangunan tidak boleh melanggar hak asasi manusia setiap warga negaranya. Pembangunan harus berprinsip teguh pada pemenuhan hak asasi manusia dan memenuhi rasa keadilan setiap kelompok masyarakat.

 

Dengan demikian tanpa penataan regulasi yang berkeadilan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia serta pelaksanaan yang konsisten, kehadiran IKN dan pembangunan infrastruktur yang mengikutinya tidak hanya akan menimbulkan konflik dan ketimpangan penguasaan lahan, tetapi justru akan menciptakan neraka-neraka baru diatas tanah surga di Bumi Borneo.

Permohonan Uji Materiil Terhadap Perpres 98/2021

 

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional atau Perpres 98/2021 yang mengatur tentang pasar karbon.

 

Ketentuan tersebut dipandang sebagai upaya mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia untuk pengendalian perubahan iklim. Namun, Perpres itu justru menunjukkan ketidakadilan negara melalui pengamputasian peran dan kedudukan Masyarakat Adat dalam pengelolaan karbon, di mana Masyarakat Adat tidak diakui sebagai subjek penyelenggara yang memilki hak atas karbon.

 

Padahal, Prinsip 22 dalam Rio Declaration on Environment and Development (Deklarasi Rio) menegaskan bahwa Masyarakat Adat mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan karena pengetahuan dan praktik tradisionalnya. Wilayah adat memiliki kontribusi langsung dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Hal tersebut dapat dilihat dari praktik tradisional yang dilakukan oleh Masyarakat Adat di Kasepuhan Cibarani dan Karang di Kabupaten Lebak, Banten, misalnya. Keduanya memiliki luas wilayah adat berupa hutan adat masing-masing sekitar 490 hektar dan 462 hektar.

 

Di sana, hutan adat memiliki fungsi spiritualitas, sosial-budaya, jasa lingkungan, konservasi, dan ekonomi yang telah dirawat oleh Masyarakat Adatsecara turun-temurun dari generasi ke generasi. Dan pengakuan atas hal itu telah dinyatakanMahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 35/PUU-X/2012.

 

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi pernah menegaskan bahwa sebagian besar biodiversitas yang berada dalam kondisi baik di muka bumi ini, terdapat di dalam wilayah adat.

 

“Di tengah penghancuran(terhadap Masyarakat Adat dan wilayah adatnya), kita masih menyelamatkan 80 persenkeanekaragaman hayati di dunia,” ujar Rukka yang percaya bahwa krisis iklim salah satunya disebabkan karena tindakan yang berasal dari cara pandang yang menghancurkan alam dan bersikap tidak adil pada sesama. Menurutnya, solusi untuk keluar dari krisis, tak akan terjadi jika kita tidak mengubah cara kita menempatkan dan memandang Masyarakat Adat yang telah menjaga
keanekaragaman hayati yang tersisa.

 

Sementara itu, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) – organisasi sayap AMAN berbentuk perkumpulan yang keanggotaannya terdiri dari advokat dan/atau ahli hukum yang peduli dan berkomitmen pada kerja pembelaan dan pemajuan Masyarakat Adat – menilai Perpres 98/2022 bertentangan dengan asas keadilan, keterbukaan, dan partisipasi karena tidak memiliki keberpihakan dan tidak melibatkan Masyarakat Adat dalam prosesnya.

 

Selain itu, Perpres tersebut juga bertentangan dengan konstitusi dan sejumlah Undang-Undang (UU) terkait dengan tata kelola karbon, terutama dalam hal “hak menguasai negara” dan “dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” PPMAN mengingatkan bahwa pemerintah seharusnya menghormati, mendorong, dan mempertimbangkan tanggung jawabnya terhadap Masyarakat Adat dalam aksi menangani perubahan iklim seperti yang diutarakan melalui UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim.

 

Akan tetapi, muatan materi Perpres 98/2021 tidak mengatur secara jelas dan tegas pelibatan Masyarakat Adat dalam penyelenggaraan nilai ekonomi karbon. Maka, pada hari ini, 28 September 2022, PPMAN mengajukan pendaftaran permohonan uji materiil terhadap Perpres 98/2021.

 

Fatiatulo Lazira, S.H. – 0812-1387-776

POLRI yang Presisi Melalui Penghormatan dan Perlindungan HAM bagi Masyarakat Adat

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendukung program Polri Presisi – prediktif, responsibilitas, transparansi, berkeadilan dengan merekomendasikan agenda strategis mewujudkan keadilan dan penghormatan hak asasi manusia dalam penanganan kasus terhadap masyarakat adat. Sejumlah langkah maju perlu diperkuat, sementara berbagai tantangan di tingkat substansi/kebijakan, struktur dan budaya di kepolisian dalam penanganan kasus kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum membutuhkan langkah perbaikan/koreksi.

 

UUD 1945 memberikan mandat khusus kepada Institusi Kepolisian sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Sesuai Pasal 4 UU No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian, dalam mewujudkan tujuannya Polri wajib menjunjung tinggi HAM.

 

Sebagai hasil reformasi, melalui Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 Polri dipisahkan dari institusi TNI, reformasi kelembagaan ini dipertegas melalui UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Paradigma aparat negara seharusnya menjaga berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta kewajiban perlindungan dan pengayoman, semangat penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.

 

Untuk memastikan implementasi penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia bagi pimpinan dan anggota Kepolisian Republik Indonesia, pimpinan Polri telah menerbitkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahkan dalam Perkap tersebut menegaskan pengakuan institusi Polri atas keberadaan masyarakat adat dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Budaya Lokal yang dimaksudnya dalam Peraturan Polri ini adalah adat, tradisi, kebiasaan atau tata nilai yang masih kuat dianut oleh masyarakat setempat dalam rangka memelihara keamanan, ketertiban dan ketenteraman di lingkungan warga masyarakat setempat.

 

Penyikapan kepolisian pada penanganan kasus-kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum merupakan penentu awal akses masyarakat adat pada keadilan. Sikap proaktif pimpinan polri dalam mengusut kasus kekerasan terhadap masyarakat adat yang melibatkan anggota Polri perlu diapresiasi. PPMAN mencatat, pada 2022 ini, misalnya, Divisi Propam dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri telah menindaklanjuti pengaduan PPMAN terkait dugaan pelanggaran disiplin dan kekerasan yang dilakukan oleh anggota dan pimpinan kepolisian di Polres Nagekeo, Nusa Tenggara Timur dalam rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Waduk Mbay/Lambo.

 

Di tengah kemajuan ini, dari bulan Januari hingga Juni 2022, PPMAN masih menerima pengaduan yang terkait anggota kepolisian sebagai pelaku tindak kekerasan, melakukan kriminalisasi terhadap pembela dan masyarakat adat yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari perampasan oleh industri ekstraktif disektor perkebunan dan pertambangan, maupun polri dianggap menghambat langkah korban memperjuangkan keadilan.

 

Dari 16 (enam belas) kasus yang didalami, terdapat 4 kasus di mana polisi dilaporkan melakukan kriminalisasi kepada pembela masyarakat adat. 4 kasus tersebut dialami oleh advokat pembela masyarakat adat yang tengah melakukan pendampingan kepada masyarakat adat tana’ai di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Ia dilaporkan karena memperjuangkan hak masyarakat adat yang berhadapan dengan perusahaan pemilik SKP HGU.

 

Kriminaliasasi juga dialami oleh Kepala Desa Kinipan di Kalimantan Tengah yang berjuang bersama masyarakat adat Kinipan dalam mempertahankan wilayah adatnya yang dirampas oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kriminalisasi yang dialami oleh Willem Hengky (Kepala Desa Kinipan) telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Palangkaraya, Willem tidak terbukti bersalah dari seluruh dakwaan dan pengadilan memerintahkan Willem Hengki segera dibebaskan dari tahanan. Kasus kriminalisasi lainnya dialami oleh masyarakat adat di Natumingka, Tano Batak, Sumatera Utara yang berhadapan dengan PT. Toba Pulp Lestari (PT.TPL). Di awal tahun 2022 Kepolisian juga melakukan penangkapan terhadap 3 (tiga) orang Masyarakat Adat Kaili Tado di Kabupaten Pasang Kayu, Sulawesi Barat yang mepertahankan wilayah adatnya dari perampasan lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Mamuang.

 

Berdasarkan pengaduan dan permohonan bantuan hukum yang diterima oleh Kantor Hukum Masyarakat Adat Nusantara di 7 (tujuh) Region, kemudian ditindaklanjuti melalui proses pendampingan hukum. Berdasarkan kasus-kasus tersebut PPMAN mengidentifikasi 9 (sembilan) pola pelanggaran yang dilakukan oleh polri terhadap masyarakat adat, yaitu: (1) Kriminalisasi dan Minimnya Akuntabilitas Penetapan Status Tersangka, (2) Penundaan Proses (undue delay), (3) Mengejar Pengakuan Tersangka, (4) Penangkapan Sewenang-Wenang, (5) Penahanan Sewenang- Wenang, (6) Permasalahan Akuntabilitas Penahanan, (7) Hak Penasihat Hukum yang Dibatasi, (8) Penyiksaan dan impunitas bagi pelaku (9) Pembunuhan di luar proses hukum (extra-judicial killing).

 

Sementara itu, menurut catatan Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM), berdasarkan jumlah aduan periode 1 Januari – 7 Juni 2022, Polri merupakan instansi yang paling banyak diadukan terkait pelanggaran HAM di komunitas masyarakat adat setelah pihak koorporasi dan pemerintah daerah. Dalam laporan tersebut, Komnas HAM menguraikan tindakan lainnya yang dialami masyarakat adat terkait dengan kekerasan oleh aparat, kriminalisasi dan diskriminasi penanganan laporan oleh polisi, dan permasalahan penetapan status tersangka pemimpin adat.

 

Meski perhatian Kepolisian terus meningkat pada isu akuntabilitas internal, kasus-kasus di atas menunjukkan masih adanya tantangan di lapis kebijakan/subtansi, struktur dan kultur hukum di tubuh kepolisian. Saat ini, juga belum ada rujukan kebijakan khusus di kepolisian tentang penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum dalam posisi sebagai korban, saksi maupun tersangka. Padahal, kebijakan ini akan menguatkan akses keadilan mengingat telah ada Peraturan Kapolri (PERKAP) No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 6 huruf (G) yang tegas menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas-tugasnya Kepolisian Republik Indonesia harus menghormati dan melindungi Hak Masyarakat Adat. Meningkatnya pelanggaran yang dialami oleh masyakat adat menunjukkan inkosistensi polri dalam mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak- hak khusus masyarakat adat.

 

Kebijakan khusus di kepolisian ini dibutuhkan mengingat tidaklah mudah mengubah persepsi individual aparat kepolisian mengenai masyarakat adat. Apalagi, program-program pendidikan untuk menguatkan perspektif keadilan dan ketrampilan penanganan kasus kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat masih terbatas.

 

Untuk mendukung terwujudnya POLRI Presisi melalui optimalisasi pemenuhan hak asasi manusia dalam penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum, PPMAN merekomendasikan kepada Kepolisian RI, yaitu:

 

  1. Pentingnya memperkuat pemahaman setiap anggota polri untuk menghormati hak-hak khusus masyarakat adat sebagaimana yang tertuang dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang hak masyarakat adat dalam implementasi tugas dan fungsi kepolisian;
  2. Pentingnya pimpinan polri membentuk satu kebijakan presisi untuk menjadi pedoman penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum;
  3. Pimpinan polri harus segera memastikan langkah pencegahan dan penanganan setiap anggota polri dalam situasi konflik sumber daya alam dimana proyek pembangunan stragis nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta yang mengancam keberadaan masyarakat adat;
  4. Perlu segera adanya reformasi Kepolisian baik di dalam fungsi penegakan hukum dan fungsi menjaga ketertiban. Termasuk didalamnya perbaikan kultur dan penegakan hukum terhadap anggota polri yang melakukan tindak pidana didalam menjalankan tugasnya;
  5. Memastikan langkah pencegahan dan penanganan kasus kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, yang juga mencakup upaya pemulihan bagi korban.

 

Oleh:

Syamsul Alam Agus SH, Ketua PPMAN