Jakarta – Dalam upaya memperjuangkan hak-hak masyarakat adat di Indonesia, perwakilan dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) melakukan kunjungan ke Direktorat Bina Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat di Kementerian Kebudayaan. Pertemuan ini bertujuan untuk membahas kerjasama strategis dalam rangka pemenuhan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat yang telah lama terpinggirkan.
Perwakilan PPMAN, yang dipimpin oleh Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus, disambut hangat oleh Direktur Bina Kepercayaan dan Masyarakat Adat, Sjamsul Hadi, S.H., M.H., beserta jajaran pejabat kementerian. Dalam pertemuan tersebut, Alam menegaskan pentingnya sinergi para pihak untuk memastikan hak-hak konstitusional masyarakat adat terpenuhi. “Kami berharap kunjungan ini menjadi langkah yang konkret dalam membangun kebijakan yang inklusif dan berkelanjutan bagi masyarakat adat,” ujarnya.
Sjamsul Hadi menyambut baik inisiatif tersebut dan menegaskan komitmen kementerian untuk mendukung masyarakat adat dalam berbagai aspek, termasuk pengakuan hak atas tanah adat, pelestarian budaya, serta akses terhadap pendidikan adat dan layanan advokasi. “Kami percaya bahwa kolaborasi ini akan memperkuat upaya pemerintah dalam melindungi dan mempromosikan hak-hak masyarakat adat,” kata Sjamsul Hadi.
Dalam diskusi yang berlangsung, kedua belah pihak menyepakati beberapa langkah strategis, seperti optimalisasi tim kerja advokasi bersama untuk mengkaji kebijakan yang lebih adil bagi masyarakat adat, penyusunan program pelatihan dan pemberdayaan, serta peningkatan partisipasi masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan.
Selain itu, Syamsul Alam Agus juga menekankan pentingnya pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat dan praktik tradisional yang telah menjadi bagian integral dari identitas masyarakat adat. “Kami ingin memastikan bahwa budaya dan tradisi masyarakat adat tidak hanya diakui, tetapi juga dilindungi dan dihormati oleh semua pihak,” tambahnya.
Kunjungan ini diakhiri dengan kesepakatan kedua belah pihak untuk melanjutkan Perjanjian Kerja Sama (PKS) sebagai simbol komitmen bersama untuk terus bekerja sama dalam memajukan hak-hak masyarakat adat di Indonesia. PPMAN dan Direktorat Bina Kepercayaan terhadap TYME dan Masyarakat Adat optimis bahwa dengan kolaborasi yang kuat, masa depan yang lebih baik dan adil bagi masyarakat adat dapat terwujud.
Dengan harapan yang tinggi, perwakilan PPMAN kembali mengabarkan kepada komunitas masyarakat adat diseluruh nusantara, membawa kabar baik tentang langkah-langkah yang akan diambil untuk memastikan bahwa masyarakat adat di Indonesia dapat hidup dengan hak-hak yang diakui, dilindungi dan dihormati di negara republik Indonesia.
Tegakkan Konstitusi: Pulihkan hak-hak Masyarakat Adat, Sahkan UU Masyarakat Adat!
Satu dekade rezim Joko Widodo (Jokowi) meninggalkan warisan dosa-dosa kepada Masyarakat Adat. Rezim ini telah berkhianat kepada UUD 1945, ingkar pada janji politiknya dan gagal melindungi rakyat. Tak ada itikad baik yang ditunjukkan oleh pemerintah untuk kepentingan dan keberpihakan Masyarakat Adat. Bahkan sebagian besar kebijakan pemerintah justru berorientasi pada perluasan dan penguatan sektor bisnis, kekuasaan telah digunakan sedemikian rupa guna melanggengkan kepentingan oligarki.
Masalah di atas dibuktikan dengan adanya berbagai produk hukum seperti revisi UU Minerba, UU CK, UU IKN, pengesahan UU KUHP. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut didesain dan disahkan sengaja untuk menyangkal keberadaan lebih dari 40 juta Masyarakat Adat beserta hak-hak konstitusionalnya (AMAN, 2023). Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum yang berwatak merampas dan menindas masyarakat adat. Ini tercermin dari kebijakan pengakuan hukum masyarakat adat dan wilayah adatnya yang rumit, berbelit dan sektoral. Dalam banyak kasus bahkan hendak memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dengan Masyarakat Adat, mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari target pemerintah. Artinya Presiden Joko Widodo dan Kabinetnya memang tidak memiliki kemauan politik yang tulus untuk mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak konstitusional Masyarakat Adat.
Karena arah pembangunan ekonomi dan kebijakan dikendalikan pemodal, dimana DPR sendiri sebagai pembentuk undang-undang selama ini telah dikontrol para pengusaha. Saat ini sukar dipisahkan mana perwakilan rakyat dengan perwakilan korporat, sebab 55% anggota DPR adalah pengusaha dimana 26% diantaranya pengusaha skala besar (Marepus Corner, 2023). Hal ini berdampak pada cepatnya pembentukan hukum dan kebijakan yang melegalkan monopoli sumber agraria dan kekayaan alam lainnya demi pengusaha.
Satu dekade pemerintahan Jokowi adalah wujud dari absolutisme kekuasaan, yang ditandai dengan menguatnya kekuasaan eksekutif, melemahnya fungsi legislatif, dan hilangnya oposisi. Kita sedang menghadapi fakta politik dimana kekuasaan berlangsung tanpa adanya interupsi. Dampaknya segala hal yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah diabaikan atau bahkan ditolak dengan berbagai modus politik penaklukan. Akhirnya satu dekade Pemerintahan Joko Widodo telah memicu krisis multidimensi, mulai dari krisis politik, sosial, ekologi, agraria hingga krisis hukum.
Berikut ini kejahatan rezim pemerintahan Jokowi sepanjang tahun 2014-2024 kepada Masyarakat Adat:
Pertama, Rezim Jokowi secara terang-terangan membegal RUU Masyarakat Adat yang menjadi harapan bagi seluruh Masyarakat Adat di nusantara. Dengan menolak pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat, artinya Presiden Joko Widodo sengaja membiarkan masyarakat adat hidup tanpa jaminan hukum demi pengakuan, perlindungan, pemenuhan hak konstitusional masyarakat adatnya. Selain itu janji politik Enam NAWACITA Jokowi terkait Masyarakat Adat bahkan tidak diingat sama sekali.
Sebaliknya, demi pengusaha dan elit politik, Presiden Joko Widodo memaksakan pembentukan dan pengesahan UU CILAKA. Padahal ratusan ribu Mahasiswa, Masyarakat Adat, Buruh, Petani, Nelayan dan Perempuan di Republik ini turun ke jalan menolak hal tersebut. Pengesahan UU CILAKA yang penuh kecacatan ini disahkan dengan diam-diam, mengindahkan seluruh penolakan rakyat. Isinya bahkan menghidupkan pasal-pasal bermasalah yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.
Kedua, Perampasan wilayah adat demi memindahkan Ibu Kota Nusantara (IKN) ke Kab. Penajam Paser Utara (PPU) dan Kab. Kutai Kartanegara (Kukar). IKN yang dibangun hanya atas keinginan pribadi Joko Widodo dan segelintir pengusaha ini merenggut hak partisipasi penuh dan efektif dari Masyarakat Adat yang akan terdampak langsung. Bahkan, Penetapan lokasi IKN pada Agustus 2019, dilakukan tanpa persetujuan pemilik wilayah adat, bahkan di lapangan terdapat banyak konflik agraria yang tidak pernah diselesaikan pemerintah.
Penetapan lokasi IKN secara ugal-ugalan juga diikuti dengan pengesahan UU IKN yang hanya memakan waktu singkat, praktis hanya dibahas dalam waktu 17 hari saja. Tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) juga serupa. Kajian yang dipublikasikan pemerintah justru merupakan KLHS cepat. KLHS ini adalah kajian yang dibuat setelah ibu kota ditetapkan di Kalimantan Timur, bukan kajian yang melatarbelakangi mengapa Kalimantan Timur dan bukan wilayah lain yang dipilih sebagai lokasi IKN.
Sebanyak 51 Komunitas Masyarakat Adat yang tersebar di kab. Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) hingga saat ini mengalami ketidakjelasan nasib dan masa depannya karena tidak adanya jaminan hukum pengakuan dan perlindungan hak-hak atas wilayah adat yang telah mereka tempati secara turun-menurun. Bahkan seluruh wilayah adat Komunitas Masyarakat Adat Balik Sepaku di Kab. Penajam Paser Utara seluas 40.087,61 hektar secara keseluruhan masuk dalam wilayah pembangunan IKN. Hal ini mendudukkan Masyarakat Adat Balik Sepaku sebagai Komunitas Masyarakat Adat yang terancam punah akibat pembangunan IKN (AMAN, 2022). Sebaliknya para pengusaha diberikan keistimewaan oleh negara untuk merampas dan memonopoli tanah-tanah Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Perempuan dan Peladang tradisional di IKN melalui pemberian 190 tahun untuk HGU dan 160 tahun untuk HGB.
Ketiga, Perampasan tanah terjadi sangat cepat selama pemerintahan Joko Widodo, AMAN mencatat terdapat 687 konflik agraria di wilayah adat seluas 11,07 Juta Hektar (AMAN, 2024). Korban akibat perampasan wilayah adat ini lebih dari 925 warga Masyarakat Adat yang dikriminalisasi, 60 orang Masyarakat Adat direpresi dan tidak sedikit yang harus meninggal dunia. Kejahatan pemerintahan Joko Widodo juga dialami kelompok Petani, Buruh Tani, Nelayan dan Perempuan. Dalam 10 tahun terakhir terjadi 2.939 konflik agraria, tanah-tanah rakyat seluas 6,30 juta hektar dirampas demi dijadikan pusat bisnis pengusaha (KPA, 2023). Celakanya penanganan konflik agraria semacam ini masih bersifat represif, akhirnya 1.054 orang yang mempertahankan hak atas tanah dan lingkungannya dikriminalisasi oleh Kepolisian (WALHI, 2024).
Konflik agraria di atas juga dampak dari pengingkaran pemerintahan Joko Widodo terhadap TAP MPR No.IX tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA. Pemerintah yang ditugaskan untuk peraturan perundangan-undangan yang mendiskriminasi Masyarakat Adat, Petani, peladang, perempuan, dan nelayan, menyusun kebijakan untuk penyelesaian konflik, melakukan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan di sektor SDA yang berkeadilan bagi Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Peladang, Perempuan dan kelompok marginal lainnya.
Keempat, menyesatkan pengakuan wilayah adat melalui perhutanan sosial. Meskipun tujuan perhutanan sosial untuk memberikan akses kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan. Tetapi secara nilai dan prinsip perhutanan sosial tidak dapat disetarakan dengan pengakuan penuh atas wilayah adat. Sebab hutan adat merupakan hutan dengan status hutan hak milik Masyarakat Adat berada di dalam wilayah adat, sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan MK.35 Tahun 2012.
Lebih dari itu, perhutanan sosial justru digunakan Kementerian LHK untuk merampas wilayah adat seluas 240 ribu hektar dengan alasan telah dijadikan lokasi perhutanan sosial (AMAN, 2021). Lebih parah lagi perampasan tanah-tanah rakyat atas nama perhutanan sosial di Jawa, kini 1,1 juta hektar tanah, kampung dan desa diklaim sepihak oleh Menteri LHK sebagai kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK). Perhutanan sosial (HD, HKm, HTR, Hutan Desa, Hutan Kemitraan) merupakan skema perizinan, yang menjadikan masyarakat adat, petani, buruh tani, nelayan sebagai penyewa tanah kepada Kementerian LHK, sekaligus mengakui klaim ilegal kawasan hutan.
Kementerian LHK yang menempatkan pengakuan hutan adat melalui perhutanan sosial justru menyebabkan diskriminasi dan mempersulit pengembalian serta pengakuan hak Masyarakat Adat terutama hutan. Belum lagi masalah tumpang tindih aturan perhutanan sosial dan pengakuan hutan adat di dalam wilayah adat. Dalam Pasal 29A dan 29B UU CK, status perhutanan sosial diperkuat dari Peraturan menteri menjadi selevel Undang-Undang. Sementara UU CK tidak mengubah Pasal 67 UU Kehutanan yang mensyaratkan pengakuan Masyarakat Adat dengan Peraturan Daerah (Perda).
Kelima, Menghidupkan praktik kolonialisme baru melalui klaim Hak Pengelolaan (HPL). Sumber tanah HPL yang diatur dalam PP 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, dapat berasal dari tanah yang belum bersertifikat bahkan Tanah Ulayat sebagai Tanah Negara. Akibat kekacauan berpikiran ini, Kementerian ATR/BPN yang mengesahkan Permen ATR/BPN 14/2024 tentang tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat (Hukum) Adat. Aturan sebagai dasar penerbitan HPL di atas tanah ulayat ini memperparah pengaturan Hak Menguasai dari Negara (HMN) dan kewenangan/hak ulayat.
Padahal Konstitusi dan UUPA jelas mengatur bahwa Masyarakat Adat memiliki hak dan kewenangan penuh pengaturan tanah-tanah di atas tanah ulayatnya masing-masing, sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD 194, Pasal 2 UUPA dan Putusan MK 35. Dengan penerbitan sertifikat HPL terhadap tanah ulayat dan wilayah adat tanpa kehendak murni masyarakat adat, maka semakin mudah pengusaha menguasai dan memperjual belikan tanah dan wilayah adat dalam pasar tanah liberal.
Keenam, Pemerintahan Jokowi mengeluarkan solusi palsu untuk mengatasi krisis iklim melalui pasar karbon. Paket kebijakan untuk mengatasi krisis iklim tersebut tercermin di dalam dokumen RPJMN 2020-2024, perdagangan karbon menjadi salah-satu program prioritas pemerintah Indonesia. Untuk mewujudkan hal tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengintegrasikan izin lingkungan dan perizinan berusaha di sektor kehutanan, pertambangan, perkebunan, dan sektor lain dengan cara memberikan kemudahan kepada pelaku usaha untuk secara langsung mendapatkan wewenang pengelolaan karbon/emisi dari aktivitas bisnisnya. Hal yang sama tercermin dalam politik hukum UU Cipta Kerja.
Pemerintah sama sekali tidak menjadikan Masyarakat Adat dan komunitas lokal sebagai aktor utama dalam upaya mengatasi krisis iklim. Berbagai kebijakan yang dilahirkan seperti Perpres No.98/2021, UU No.7/2021 tentang Harmonisasi Perpajakan, dan peraturan turunan lainya justru digunakan untuk memberikan impunitas bagi korporasi perusak alam dan lingkungan hidup untuk merampas ruang hidup Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Peladang, Perempuan dan kelompok marginal lainnya. Padahal sepanjang tahun 2013-2017, hutan alam Indonesia hilang seluas 23,5 juta hektar justru disebabkan karena berbagai konsesi perizinan, seperti pertambangan, perkebunan, izin usaha kehutanan, dan infrastruktur (FWI, 2019). Masyarakat yang akan menjadi korban krisis iklim mencapai 104 juta penduduk yang tinggal di kawasan pesisir Indonesia (WALHI, 2024).
Ketujuh, menjalankan solusi palsu penyelamatan lingkungan. Pemerintahan Jokowi masih mengutamakan bahan bakar energi fosil sebagai sumber pembangkit listrik. Industri pertambangan bahkan diberikan karpet merah melalui revisi UU Minerba. Seluas 1.919.708 Hektar wilayah adat yang menjadi ruang hidup Masyarakat Adat dirampas untuk konsesi pertambangan (AMAN, 2019).
Di tengah wacana transisi energi pasca penandatanganan perjanjian Paris 2015, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No.112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Kebijakan di atas adalah satu dari banyaknya kebijakan yang digunakan pengusaha untuk mengekspansi bisnis dan menginvasi tanah-tanah rakyat untuk dijadikan proyek strategis nasional (PSN) seperti PLTU batubara, ekstraksi dan hilirisasi nikel, biodiesel, bioetanol dll. Akhirnya gagasan FOLU Indonesia hanya menjadi kesempatan untuk semakin memperkuat bisnis pengusaha dengan kedok kebijakan hijau.
Bukan hanya PLTU batubara Captive yang dibangun demi menyokong bisnis energi, tetapi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) skala besar seperti di Poso, juga dibangun untuk menjaga pasokan listrik industri tambang terutama pemurnian tambang. Kawasan Industri Hijau dengan total mencapai 30.000 hektar disiapkan sebagai pusat sektor industri yang bermuara pada hilirisasi barang-barang tambang, dengan klaim sebagai kawasan penopang IKN. Kawasan “industri hijau” tidak lebih dari sekadar jargon, sebab kawasan industri ini dibangun diatas ekstraksi dan pembakaran fosil.
Proyek geothermal di Komunitas Masyarakat Adat Poco Leok Kab. Manggarai NTT dan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) dengan bahan bakar kayu oleh Medco Group telah membongkar area cukup luas hutan alam Papua untuk membangun perkebunan HTI, secara nyata merampas dan melanggar hak-hak Masyarakat Adat Poco Leok di NTT dan Orang Marind di Merauke Papua.
Berbagai fakta mengenai transisi energi yang diperbincangkan dan diimplementasikan saat ini tidak lebih dari tipu muslihat para pemodal untuk tetap terus mengekstraksi fosil untuk menopang industrialisasi. Transisi energi, Zero emisi, netral karbon, dekarbonisasi hanyalah kata kunci bisnis yang dipakai untuk mengekstraksi sebesar-besarnya fosil dan melepaskan emisi guna tetap bisa menghidupi industry bisnis energi itu sendiri. Energi diletakkan dalam bingkai bisnis, sehingga apa yang disebut dengan energi hijau, energi yang adil, sesungguhnya tidak akan pernah ada.
Kedelapan, memperkuat ancaman perampasan wilayah adat melalui klaim kawasan konservasi. Alih-alih menata ulang kawasan konservasi yang selama ini banyak berkonflik dengan Masyarakat Adat. UU No. 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) yang ditetapkan pada tanggal 9 Juli 2024, justru semakin memperkuat sentralisasi penunjukan dan penetapan kawasan konservasi secara sepihak oleh negara. Masyarakat Adat tidak diberikan ruang untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif di dalam menentukan kawasan konservasi berdasarkan hukum adat dan pengetahuan tradisional yang telah mereka praktikkan selama ini. Padahal bagi Masyarakat Adat praktik konservasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari landscape kehidupannya.
Bahkan di dalam UU KSDAHE yang baru, disebutkan bahwa areal preservasi, yaitu areal di luar KSA, KPA, dan kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (KKPWP2K). Penambahan kriteria kawasan atau areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap orang pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanahnya apabila tidak bersedia melakukan kegiatan KSDAHE. Kebijakan ecofascism ini adalah ancaman nyata yang sewaktu- waktu dapat menggusur Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Peladang dari wilayah tempat mereka tinggal. Situasi ini memposisikan Masyarakat Adat, petani, nelayan dan peladang sebagai kelompok yang rentan dihadapkan dengan tindakan kekerasan dan kriminalisasi atas nama konservasi.
Kesembilan, memperkuat kontrol pengusaha atas kekayaan alam Indonesia melalui Food Estate dan Bank Tanah. Akibat kejahatan pemerintahan Joko Widodo yang mengeluarkan UU CILAKA, para elit politik dan pengusaha dijamin oleh hukum untuk menguasai tanah. Sebagai lembaga yang dilahirkan dari desakan pemodal, Bank Tanah sudah pasti akan menjamin penyediaan tanah untuk mendukung peningkatan ekonomi dan investasi sekaligus memberi jaminan perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah. Melalui Bank Tanah 7,4 juta hektar tanah rakyat yang berasal dari bekas HGU akan dikuasai Bank tanah sebelum dijual kembali kepada pemodal.
Nasib serupa masyarakat adat di berbagai daerah yang menghadapi perampasan tanah demi pembangunan industri pangan atau food estate. Bukannya memperkuat masyarakat adat, nelayan dan petani sebagai produsen pangan yang utama, Presiden Joko Widodo memilih pengusaha menggantikan kewajiban tersebut. Kini tanah dan pangan semakin di komoditisasi, dilengkapi berbagai perangkat hukum yang tidak berpihak pada Petani, Buruh Tani, Masyarakat Adat, Nelayan, dan Perempuan. Bank Tanah dan food estate sama-sama melemahkan agenda Reforma Agraria sekaligus menjauhkan pengakuan penuh atas tanah dan wilayah adat.
Kesepuluh, Kooptasi hukum adat dalam hukum negara melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dihadirkan oleh Pemerintahan Jokowi untuk membuat eksekutif memiliki otoritas yang besar. Pendokumentasian hukum adat dalam KUHP pada dasarnya dapat dibaca sebagai bagian dari upaya “mengkooptasi” hukum adat dan akan berakibat pada: matinya karakter dinamis hukum adat; mencerabut hak asal-usul Masyarakat Adat untuk menjalankan peradilan adat yang telah dijalankan secara turun-temurun sebab kewenangan untuk menjalankan hukum adat bukan lagi milik Masyarakat Adat, tetapi sepenuhnya telah berada dalam otoritas negara.
Kesebelas, transisi kekuasaan dilakukan dengan cara-cara yang anti demokrasi. Keberpihakan Presiden Jokowi pada pemilihan Presiden 2024 memberikan sinyal yang sangat kuat untuk melanggengkan kekuasaannya dengan berkolaborasi dengan pemodal- pemodal besar yang akan bekerja untuk menerus merampas wilayah adat di berbagai sektor dengan kedok proyek strategis nasional. Tak hanya itu, era Presiden Jokowi yang dilahirkan dari proses demokrasi justru merusak demokrasi. Hal tersebut dapat dilihat pada upayanya melakukan nepotisme secara terang-terangan, menggerakkan aparatur negara untuk kepentingan pribadi, melemahkan kewenangan KPK, mengintervensi kewenangan lembaga peradilan hingga berpihak pada oligarki dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat.
Pada Selasa, 1 Oktober 2024, para wakil rakyat yang dihasilkan dari proses Pemilu 2024 resmi ditetapkan sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Menurut data Indonesian Parliamentary Center (IPC) (2024) komposisi keanggotaan DPR RI periode 2024 – 2029 sebagian besarnya masih di dominasi oleh incumbent yakni dari total 580 kursi anggota parlemen, 327 diantaranya adalah incumbent. Serta menurut temuan IPC terdapat 11,6% anggota DPR terpilih yang terafiliasi dengan dinasti politik dan 16,9% nya adalah pengusaha. DPR memiliki peran strategis dalam pembentukan hukum, anggaran pembangunan dan mengawasi kinerja pemerintah. Oleh karena itu, kami menolak segala bentuk penyalahgunaan wewenang atau kolusi yang dapat merusak kepercayaan rakyat.
Berdasarkan pandangan di atas kami Gerakan Rakyat Kawal Masyarakat Adat (GERAK MASA) menuntut pertanggungjawaban Presiden Jokowi terhadap pelanggaran hak-hak konstitusional Masyarakat Adat. Kami juga mendesak kepada pemerintahan Presiden Prabowo-Gibran agar dalam masa pemerintahannya lebih tegas dan konsisten dalam mengakui, melindungi, dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat, dengan mengambil tindakan nyata sebagai berikut:
Mendesak Pemerintah Prabowo-Gibran agar mengesahkan RUU Masyarakat Adat dalam 100 hari pertama pemerintahannya. UU ini akan menjadi landasan hukum yang kuat untuk mengakui dan melindungi hak-hak kami, serta memberikan kepastian hukum atas wilayah adat yang selama ini diabaikan.
Mempercepat pengakuan hak atas wilayah adat, penyelesaian konflik agraria yang selama ini tersandera di meja Kabinet Presiden Joko Widodo, sekaligus menghentikan seluruh perampasan tanah untuk pembangunan PSN, bisnis pengusaha dan kebijakan pro pemodal asing lainnya di atas wilayah adat.
Mendesak agar Presiden Prabowo berani mencabut UU Cipta Kerja, UU KSDAHE, UU Minerba, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang mendiskriminasi Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Buruh, perempuan, dan kelompok marginal lainnya
Mendesak Presiden Prabowo untuk memulihkan Kedaulatan Bangsa Indonesia atas tanah dan kekayaan alamnya serta mewujudkan kesejahteraan dengan menjalankan Reforma Agraria yang sejati sesuai mandat Konstitusi, TAP MPR No.IX Tahun 2001 dan UUPA 1960.
Mendesak pemerintah Prabowo-Gibran untuk menjamin perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat dan Pembela Masyarakat Adat yang memperjuangkan hak atas wilayah adatnya. Pemerintahan Prabowo harus menegakkan supremasi hukum tanpa berpihak pada kepentingan modal atau korporasi besar semata.
Mendesak Pemerintahan Prabowo-Gibran untuk memastikan partisipasi secara penuh dan efektif Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Perempuan dan kelompok masyarakat lainnya dalam setiap pengambilan keputusan yang akan berdampak langsung pada Masyarakat Adat, petani, nelayan, perempuan dan kelompok masyarakat lainnya.
Mendesak pemerintahan Prabowo Gibran untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup dan penegakan hukum terhadap korporasi penjahat lingkungan dan pelanggar hak asasi manusia.
Meminta kepada Pemerintahan Prabowo untuk mendukung upaya pelestarian budaya, dan memberikan akses pendidikan yang sesuai dengan kearifan lokal. Pendidikan yang menghargai bahasa, nilai, dan pengetahuan lokal akan memperkuat identitas kami dan memastikan keberlanjutan kebudayaan adat di tengah arus globalisasi. Bukan sekedar simbolisasi dengan penggunaan pakaian adat dalam acara-acara kenegaraan
Demikian pernyataan sikap politik kami Masyarakat adat di seluruh nusantara, panjang umur perjuangan. Tegakkan Konstitusi: Pulihkan hak-hak Masyarakat Adat, Sahkan UU Masyarakat Adat!
Jakarta, 11 Oktober 2024 Hormat Kami,
Rukka Sombolinggi Koordinator Umum
Juru bicara:
Rukka Sombolinggi (Sekjend AMAN)
Eustobio (Deputi Sekjen AMAN Urusan Organisasi)
Erasmus Cahyadi (Deputi Sekjen AMAN Urusan Politik)
Penanggung Jawab Komunikasi Media:
Titi Pangestu (Direktur Infokom AMAN) – 081317897062
Gerakan Rakyat Kawal Masyarakat Adat (GERAK MASA)
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
Oleh : Efrial Ruliandi Silalahi (Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara)
Gambaran Umum Masyarakat Adat
Secara konstitusional dalam Pasal 18B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan mengenai perlindungan terhadap masyarakat adat dan hak tradisionalnya. Faktanya, hingga kini belum ada undang-undang yang dapat difungsikan sebagai instrumen perlindungan masyarakat adat dalam akar permasalahan penggusuran lahan.
Masyarakat adat tidak bisa serta merta menggantikan tanah adatnya dengan sejumlah uang maupun properti lainnya karena memiliki hubungan spiritual dengan tanah kelahirannya. Dapat disimpulkan bahwa kompensasi yang layak harus mempertimbangkan pada nilai-nilai luhur bukan hanya sekedar nilai pasar tanah.
Harus dipahami bahwa masyarakat adat tidak bisa dengan mudah pindah begitu saja atau menjual tanah mereka seperti berdagang pada umumnya, hal ini karena memiliki pola hidup yang berbeda. Masyarakat adat sangat bergantung pada alam dan tradisi leluhurnya. Maka penting untuk menyamakan pemahaman bersama bahwa masyarakat adat yang sudah ada sejak dulu sebelum negara terbentuk. Masyarakat adat memiliki hubungan spiritual dengan tanahnya yang tidak bisa terukur dengan nilai material, sehingga negara harus memperhatikan hal tersebut saat membuat sebuah kebijakan, terutama yang berkaitan dengan pemindahan ibu kota.
Oleh karena itu pentingnya untuk mengadopsi standar internasional dalam perlindungan hak-hak masyarakat adat. Indonesia sebagai negara yang ikut menandatangani United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People (UNDRIP) tentunya merujuk pada dua prinsip UNDRIP yang menjamin hak-hak masyarakat adat.
Pertama, prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) yaitu menuntut masyarakat adat diberikan informasi lengkap dan dimintai persetujuannya sebelum proyek yang mempengaruhi wilayahnya dilaksanakan. Maka penting peran negara untuk melakukan konsultasi yang mendalam dengan masyarakat adat serta memastikan adanya persetujuan tanpa paksaan. Kedua, prinsip partisipatif dalam proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Seharusnya masyarakat adat dilibatkan secara langsung dalam segala macam aktivitas pembangunan.
Pembangunan IKN masuk dalam proyek strategis nasional (PSN). Lokasi IKN bukanlah sebidang tanah kosong yang tidak bertuan, namun memiliki keterkaitan dengan beragam hal. Pertama, kawasan ini masih berstatus Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) yang merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan, dikelola atau dipertahankan sebagai hutan atas dasar kondisi dan potensi berbagai sumberdayanya. Sehingga membuat keberadaan masyarakat setempat khawatir kalau mereka sangat rentan untuk direlokasi. Kedua, keberadaan masyarakat adat di sekitar kawasan IKN yang sudah turun-temurun mempertahankan eksistensinya. Masyarakat adat menggantungkan hidupnya pada alam dan bermukim dengan menempati tanah berstatus hak ulayat (tanah adat).
Penguasaan dan pemilikan tanah dalam masyarakat adat pada umumnya, selain dikenal adanya tanah hak milik yang bersifat individual juga dikenal adanya tanah milik bersama (komunal) yang lazim disebut sebagai hak ulayat atas tanah. Hak ulayat ini berupa lahan pertanian, perkebunan, padang penggembalaan, pemakaman, kolam, sungai, dan hutan seisinya.[1]
Masyarakat Adat dan Konflik Agraria
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria sangat jelas meminta pemerintah mencegah praktik monopoli swasta. Bila hak guna usaha diberikan 190 tahun dan hak guna bangunan 160 tahun, pertanyaannya kapan petani, nelayan dan masyarakat adat bisa memiliki akses terhadap tanah? Jadi jelas bahwa regulasi hak atas tanah pada UU IKN bertentangan dengan reforma agraria sejati yang hendak dicapai lewat UU Pokok Agraria 1960. Tujuan dari reforma agraria itu sendiri adalah untuk merombak struktur pemicu ketimpangan lahan. Kalau diberikan izin selama ratusan tahun berarti semangat dari UUPA ini telah mati.
Sebelum IKN diumumkan, lahan menjadi masalah yang rumit dan kompleks bagi masyarakat adat. Masalah mendasar adalah adanya tumpang tindih kepemilikan tanah yang marak terjadi di kawasan IKN. Tumpang tindih kepemilikan lahan di IKN cukup rumit, yakni antara perusahaan, transmigran, dan komunitas adat.
Konflik agraria yang terjadi dari dulu hingga saat ini menggambarkan kontestasi sumber daya berupa lahan/tanah. Tanah menjadi sumber daya lokal yang diperebutkan oleh berbagai aktor. Kontestasi sumber daya lokal ini menjadi isu global yang mana salah satu unsur yang sangat vital adalah aspek lingkungan.[2]
Konflik agraria yang berlangsung di IKN menggambarkan dua tesis penting yakni terjadinya degradasi dan marginalisasi.[3] Konflik agraria menyebabkan terjadinya degradasi ekologis. Pada waktu bersamaan, pembangunan IKN mengakibatkan terjadinya marjinalisasi masyarakat adat dari tanah leluhurnya. Kemudian, terjadi secara bersamaan melalui adanya transisi menuju eksploitasi berlebihan sumber daya alam di IKN yang menjadi sandaran pemodal sebagai respon terhadap intervensi pembangunan negara dan/atau peningkatan integrasi di pasar regional dan global.
Konflik agraria terjadi karena adanya tumpang tindih penggunaan lahan antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan. Secara umum konflik agraria di Indonesia terjadi antara masyarakat dengan pemegang izin lahan. Di era reformasi konflik agraria di Indonesia semakin meningkat jumlahnya.[4] Perusahaan menjadi aktor yang sangat hegemonik dalam perbutan sumberdaya. Sudah dipastikan akan dimenangkan oleh perusahaan karena secara legal formal mengantongi izin operasi dalam bentuk kontrak karya. Sedangkan masyarakat adat tidak memiliki izin yang dikeluarkan pemerintah setempat. Kekalahan ini ditandai dengan tersingkirnya mereka dari area-area yang selama ini menjadi tempat sumber menghasilkan.[5] Dari catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), selama lima tahun terakhir (2017-2022) terdapat 30 konflik agraria dengan luas lahan hingga 64.707 ha akibat masalah tumpang tindih tanah.[6]
Bila kita ditelurusi, konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan sudah terjadi sejak tahun 1971.[7] Perusahaan menggunakan hukum formal sebagai alat untuk meredam gejolak di masyarakat dengan alasan mengganggu kerja perusahaan. Cara ini tidak efektif karena tidak menemukan solusi terbaik bagi kedua pihak yang bersengketa. Cara perusahaan memperoleh lahan dengan membenturkan masyarakat dengan aparat sehingga menyebabkan konflik semakin berkembang. Sehingga konflik vertikal masyarakat dengan perusahaan sudah berkembang menjadi konflik horizontal.
Menjadi semakin rumit karena masyarakat adat sama sekali tidak mempunyai bukti penguasaan tanah, karena pada masa lalu kebijakan dan pelayanan administrasi masih sangat terbatas. Masyarakat adat mencoba mengajukan permohonan atas dokumentasi kepemilikan tanah selama bertahun-tahun, namun selalu ditolak. Tanah tersebut dikategorikan sebagai area kehutanan yang dibudidayakan, menempatkan area tersebut di bawah kontrol Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang juga telah membagi sebagian besar area tersebut kepada perusahaan agribisnis.
Saat negara kembali memastikan secara sepihak bahwa lahan tersebut milik negara melalui hukum dan peraturan lain, masyarakat adat tidak berdaya. Batas-batas alam yang menjadi penanda wilayah adat dulu sudah hilang dengan adanya operasi perusahaan. Bila kita lihat 2019 lalu, terjadi tumpang tindih lahan di kawasan IKN. Tumpang tindih tersebut menyebabkan sengketa lahan dan konflik di 13 komunitas masyarakat adat. Akibat dari tumpang tindih tersebut, masyarakat adat di lokasi kawasan IKN menghadapi ketidakpastian hukum. Kerangka hukum yang ada saat ini tidak bisa digunakan dalam mengatasi masalah kepastian tenurial masyarakat adat setempat. Pada saat yang sama, masyarakat adat kehilangan tanahnya serta kehilangan pekerjaan tradisional mereka yang melibatkan hutan, sawah, kebun, sungai dan laut.
Suku Paser terlibat persengketaan dengan pemegang kekuasaan. Lahan yang mereka gunakan untuk berladang dan bermukim diserobot untuk pembangunan perkebunan. Serangkaian tindakan penolakan atau perlawanan kecil dilakukan masyarakat lokal ketika itu, namun mereka harus mengalah dan menerima kenyataan bahwa lahan dan sumber penghidupannya telah hilang. Politik Orde Baru tidak memungkinkan masyarakat lokal untuk menang. Konflik yang pernah terjadi merupakan memory collective yang tidak mudah dilupakan dan menghasilkan kekecewaan serta ketidakpercayaan berkepanjangan kepada pemegang kekuasaan. Ketika era reformasi terjadi rangkaian aksi kolektif untuk menuntut pengembalian lahan masyarakat. Aksi pendudukan lahan perkebunan besar oleh masyarakat lokal dan proses negosiasi berhasil mengembalikan sebagian lahan. Hingga sekarag, persoalan terkait tuntutan pengembalian lahan oleh masyarakat masih belum selesai.[8]
Pentingnya Melibatkan Masyarakat Adat
Suku Paser Balik merupakan penduduk asli kawasan IKN di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Suku Paser Balik memiliki sekitar 5000-6000 hektar lahan nenek moyang yang belum mendapatkan sertifikat kepemilikan. Lahan tersebut sebagai satu-satunya penopang hidup, sehingga dapat dibayangkan bila hutan mereka habis, maka semua mata pencaharian juga akan habis.
Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Juni 2023 bahwa progres konstruksi IKN tahap 1 mencapai 29,45 persen. Seluruh proyek IKN tahap 1 ditargetkan selesai pada 2024, upacara peringatan kemerdekaan 2024 digelar di IKN. Tentunya di tengah proyek infrastruktur IKN, terdapat banyak persoalan menyangkut masyarakat adat yang belum selesai.
Masyarakat adat di kawasan IKN merasa tidak dilibatkan dalam pemindahan IKN. Hal ini menunjukkan minimnya partisipasi masyarakat adat di Paser. Naskah Akademik yang menjadi dasar penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) IKN, dengan jelas menyebutkan keberadaan masyarakat adat. Setidaknya ada tujuh suku asli yang disebutkan dalam naskah akademik tersebut. Namun, ketika diterjemahkan ke dalam RUU justru malah hilang. Bahkan dalam UU IKN sama sekali tidak menyebutkan masyarakat adat, padahal mereka merupakan salah satu yang paling terdampak.[9] Naskah akademik berfungsi sebagai quality control dari RUU tersebut sehingga menjadi hilang nilainya.
Dalam implementasinya di lapangan, proses Pembangunan IKN juga tidak melibatkan partisipasi masyarakat adat. Seharusnya mereka perlu diajak bicara dalam konteks yang disebut sebagai partisipasi penuh dan efektif. Proses ini sebenarnya telah diatur dalam berbagai instrument hukum.
Perihal yang kedua bahwa masyarakat adat tersebut tidak pernah diberikan kesempatan sejak awal untuk menyatakan setuju atau tidaknya terkait dengan pembangunan disana. Secara sepihak seolah-olah mengasumsikan bahwa tanah dimana IKN akan dibangun merupakan lahan kosong yang tidak berpenghuni. Berdasarkan peta indikatif yang disusun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tahun 2022, ada sekitar 51 komunitas masyarakat adat yang akan terdampak IKN. Sebanyak 17 komunitas yang ada di Penajam Paser Utara dan 34 komunitas di Kutai Kertanegara.
Pada tahun 2014-2016 Komnas HAM telah melakukan penelitian nasional terkait masyarakat adat berisi rekomendasi dan pengakuan bagi masyarakat adat, termasuk di Kalimantan. Namun pupus karena sejak diselesaikannya laporan tersebut tidak terimplementasi dengan baik. Faktanya bahwa masyarakat adat masih mengalami permasalahan bahkan pembiaran oleh pemangku kepentingan yang memiliki wewenang. Ketika belum diakui sebagai subjek hukum, sebagai sebuah komunitas, sebagai bagian dari masyarakat maka berdampak pada tidak diakui kepemilikannya, wilayah adatnya bahkan hutan adatnya.
Lebih dari 2.500 komunitas adat di seluruh Indonesia yang membutuhkan pengakuan dari negara menurut catatan Komnas HAM. Terdapat dua sudut pandang yang berbeda dalam melihat persoalan ini. Pertama, dari kacamata masyarakat adat tentu adanya keresahan karena merasa terintimidasi karena belum adanya pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Kedua, dilain pihak bahwa seluruh proses pembagunan IKN, tertuang dalam masterplan yang telah berisi data komprehensif termasuk mengenai penguasaan lahan.
Aturan hukum yang ada saat ini belum sepenuhnya mendukung masyarakat adat, terutama dalam konteks IKN. Undang-Undang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, termasuk IKN memang mengharuskan pemilik tanah untuk melepaskan hak mereka demi pembangunan dan untuk kepentingan umum. Walaupun UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menyediakan kerangka kerja untuk pengambilalihan tanah, tetap saja masyarakat adat sering kali berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.
Jaminan terhadap Masyarakat Adat
Dalam tulisan ini penulis hendak menegaskan bahwa masyarakat adat itu ada, tetapi situasi hukum formal saat ini menempatkan masyarakat adat dalam posisi yang lemah khususnya dalam konteks pertanahan.
Konflik agraria akibat tumpang tindih hutan konsesi dengan tanah adat merupakan permasalahan klasik sejak dulu. Pengabaian hak atas wilayah adat akan melahirkan ketimpangan penguasaan sumberdaya dan ketimpangan alat produksi. Akar permasalahannya terletak pada tidak adanya perlindungan tanah adat dan jaminan hak-hak konstitusional masyarakat adat terhadap tanah komunal. Sumber konflik pada umumnya terkait dengan hak masyarakat atas tanah. Hal tersebut harus dipenuhi agar proses pembangunan mendapatkan dukungan dari warga negara.
Negara harus menjamin hak-hak masyarakat adat dalam mempertahankan pola hidup (tradisi) yang diwarisi secara turun-temurun. Pemenuhan tersebut haruslah merujuk pada International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) sebagai instrumen hukum internasional dan Pasal 18B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai mandat konstitusi.
Proses pembangunan IKN yang sudah berjalan seharusnya tidak memarjinalkan masyarakat adat dan harusnya bersifat inklusif. Negara harus memastikan bahwa permasalahan ini tidak merugikan masyarakat adat dengan membuat regulasi secara komprehensif, spesifik dan tepat sasaran, dengan cara memfasilitasi dan mendukung perwakilan dari masyarakat adat dan koalisi masyarakat sipil lainnya untuk merancang undang-undang masyarakat adat.
Tidak kalah penting adalah baik dalam bentuk undang-undang atau peraturan pemerintah, yang menjamin bahwa pembangunan IKN tidak mengorbankan masyarakat marjinal, termasuk di dalamnya masyarakat adat. Pentingnya pemahaman pembuat kebijakan dalam memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia dalam merancang peraturan.
— Sumber bacaan:
[1] Lestari, R., & Sukisno, D. 2021. Kajian Hak Ulayat Di Kabupaten Kampar Dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan Dan Hukum Adat. (Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 28(1), 94–114. https://doi.org/10.20885/iustum.vol28.iss1.art5).
[2] Dietz, Ton. 1996. Pengakuan Hak atas Sumber Daya Alam: Kontur Geografi Lingkungan Politik. Yogyakarta; Pustaka Pelajar-Insist Press.
[3] Robbin, Paul (2004). Political Ecology: Critical Introduction to Geography. Oxford; Blackwell Publishing.
[4] Mutolib, Abdul, Yonariza, Mahdi, Ismono, Hanung. 2015. Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat (Studi Kasus Pada Masyarakat Suku Melayu di Kesatuan Pemangkuan Hutan Dharmasraya, Sumatera Barat), (Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, pp. 213-225).
[5] Haboddin, Muhtar. 2011. Masyarakat Adat Melawan Perusahaan: Kasus Di Kalimantan Barat. (Jurnal Governance, Vol. 2, No. 1, November 2011, pp. 25-41).
[6] Validnews.com. 2022. KPA: Lahan IKN Nusantara Tak Seharunya Milik Negara. Validnews.com., 14 Maret 2022. Diakses di https://www.validnews.id/nasional/kpa-lahan-ikn-nusantara-tak-seluruhnya-milik-negara.
[7] Anggoro, Purwadi Wahyu. 2018. Kearifan Lokal Berbasis Transendental: Kasus Sengketa Lahan Adat Kutai Barat, Kalimantan Timur, dalam Hukum Transendental Pengembangan dan Penegakan Hukum di Indonesia. (Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta). Genta Publishing; Yogyakarta, 2018.
[8] Wartiharjono, Sukapti. 2017. Potensi Konflik dan Pembentukan Modal Sosial: Belajar dari Sebuah Desa Transmigran di Kalimantan Timur. (Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Vol. 30, No. 2, tahun 2017, hal. 84-93).
[9] Aman.or.id. 2022. Masyarakat Adat Diabaikan, UU IKN Melanggar Hak Konstitusional Warga. Aman.or.id., 26 April 2022. Diakses di https://www.aman.or.id/news/read/masyarakat-adat-diabaikan-uu-ikn-melanggar-hak-konstitusional-warga.
Hutan tidak sekadar sumber makanan, di sana, tempat bersemayam leluhur—menjaga hutan berarti menjaga asal dan untuk kelangsungan hidup Komunitas Adat O’Hongana Manyawa (Tobelo Dalam) subetnis Tobelo. Orang luar menyibut Suku Togutil, pada tiap masyarakat adat yang hidup di belatara Halmahera bagian utara, tengah, hingga timur.
Kata “Tugutil” sebenarnya adalah sebutan yang dikemukakan oleh peneliti asal Belanda, J. Platenkamp, untuk Suku Tobelo yang hidup di belantara Halmahera. Platenkamp sendiri memang dikenal sebagai salah satu orang asing yang tertarik meneliti komunitas Tugutil.
“Platenkamp pernah tinggal lama di kompleks Dufa-Dufa, Tobelo, Halmahera Utara. Ia lama menelusuri di Kampung Kusuri hingga Iga Labi-Labi,” ungkap Sosiolog Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Syaiful Madjid, ketika ditemui di rumahnya di Jati, Ternate, Maluku Utara, Jumat (5/4).
Peneliti Suku Tobelo ini bilang, kata Tugutil sebenarnya ada dalam Bahasa Tobelo, yakni O’Tau Gutili atau rumah obat.
Syaiful, dalam penelitiannya, juga mengidentifikasi Suku Tobelo dengan menyebutkan Tobelo Dalam dan Tobelo Luar. Tobelo Dalam, dalam penyebutan orang Tobelo sendiri, yakni O’Hongana Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di dalam hutan), sedangkan Tobelo Luar, yakni O’Hoberera Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di luar hutan).
“Saya tidak suka dengar orang bilang Suku Togutil primitif. Mereka, Tugutil juga punya makna soal kehidupan. Punya sistem nilai dan kepercayaan,” ungkap Syaiful, yang masa kecilnya berada di Dodaga, Halmahera Timur, tempat masyarakat Tobelo Dalam atau O’Hongana Manyawa bermukim.
Dalam adat Tobelo, setiap kelahiran bayi perempuan dirayakan dengan lima bibit pohon, sedangkan bayi laki-laki ditandai dengan 10 bibit pohon. “Lelaki Tobelo bertanggung jawab dalam mencari nafkah, sehingga mereka harus menanam pohon lebih banyak. Tradisi ini menjadi contoh bagaimana manusia hidup harmoni dengan alam sekitar,” ujarnya.
Komunitas O’Hongana Manyawa mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari dengan cara berburu, meramu, berladang-berpindah, dan mencari ikan atau kombinasi dari cara-cara tersebut. Pemenuhan kebutuhan komunitas ini masih bersifat subsisten, karena mereka hidup selaras dengan kondisi alam sekitarnya sesuai dengan nilai-nilai kearifan lingkungan.
Pengetahuan dan kepercayaan mereka pada kesatuan hutan itu menjadi kekuatan yang dapat memengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan dalam kehidupan sehari-hari komunitas ini.
“Dalam alam pemahaman mereka tentang bagaimana memperlakukan hutan merupakan jaminan bagi ketahanan pangan mereka, hutan tidak hanya merupakan sumber daya ekonomi, tetapi telah menjadi suatu kosmos di mana aspek-aspek religi, sistem pertanian dan perburuan, serta aspek kebudayaan yang lain berinteraksi membangun suatu kehidupan yang utuh,” jelas Syaiful.
Hal ini sangat berkaitan dengan pemaknaan kosmologi sosial komunitas O’Hongana Manyawa yang membagi lingkungan ekologi hutan ke dalam satu kesatuan (kesatuan rumah, kesatuan pemukiman, dan kesatuan hutan).
Konseptualisasi diri dan lingkungan O’Hongana Manyawa yang tertuang dalam tradisi lisan Wawango (hidup) dan Lilingiri (cari) menjadi acuan untuk menginterpretasi kehidupannya di lingkungan hutan, begitu juga perilaku sosial komunitas O’Hongana Manyawa dalam mengelola hasil hutan erat kaitannya dengan sistem nilai yang terdapat dalam tradisi lisan yang mengatur sikap dan pola tindakan dari komunitas O’Hongana Manyawa dalam melindungi hutan di kesatuan hutan masing-masing.
Bagi O’Hongana Manyawa pada umumnya, nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Wowango ditempatkan untuk kepentingan komunitas O’Hongana Manyawa pada masa akan datang (masa depan), dalam arti: setiap warga komunitas dituntut untuk menjaga dan melestarikan hutan beserta isinya untuk kelangsungan kehidupan anak cucu mereka.
Sementara itu, nilai yang ada di dalam tradisi Lilingiri, yakni berisi aturan-aturan yang menentukan sikap dan perilaku O’Hongana Manyawa dalam pemenuhan kebutuhan meramu dan berburu di dalam kehidupan mereka di hutan.
“Bagi orang O’Hingana Manyawa, anak yang sudah sudah bisa berburu, memasang jerat, adalah mereka yang sudah bisa mengidentifikasi masa depan dan bertahan hidup,” katanya
Penyebaran Suku Tobelo
“Asal mula mereka itu dari Telaga Lina di Halmahera Bagian Utara, kemudian menyebar ke hutan-hutan di Halmahera, seperti Halmahera Tengah dan Halmahera Timur,” ungkap Syaiful Madjid.
Syaiful bilang, Suku Tobelo Dalam terbagi menjadi empat, yakni Modole (mendiami Halmahera Timur-Halmahera Tengah), Boeng (mendiami Halmahera Utara, Halmahera Timur-Halmahera Tengah), Pagu (Halmahera Utara), dan Hoku.
Terkhusus Hoku, sub suku ini disebut juga Canga atau orang Tobelo yang berada di pesisir. Sub suku ini, menurut Syaiful, dinyatakan punah. “Kemungkinan besar, suku yang berada di Naulu, Maluku, yang biasa dibilang Halefuru adalah orang Hoku, sebab, ada sebagian dialek yang mirip dengan Bahasa Tobelo,” ungkapnya.
Dalam catatan-catatan penelitian sejarah menyebutkan, daratan Halmahera bagian utara hingga tengah banyak dihuni oleh Suku Tobelo yang asal muasalnya dari Telaga Lina. Mereka adalah kelompok etnis paling banyak yang tersebar di Maluku Utara.
Telaga Lina menjadi ‘rumah’ awal peradaban Suku Tobelo membangun kampung atau wilayah yang disebut hoana.
Leirissa dalam disertasinya tentang Masyarakat Halmahera dan Raja Jailolo: Studi tentang Sejarah Masyarakat Maluku Utara menyebutkan, sejak pindah ke pesisir, masyarakat Tobelo terbagi menjadi empat hoana, dan ketika mereka pindah ke Distrik Kau (sekarang Kao, Halmahera Utara), terbentuk lagi empat hoana.
Solidaritas setiap hoana tergantung pada cikal-bakal pemujaan yang dilakukan dalam tempat pemujaan bersama yang disebut O Halu.
Syaiful menyayangkan soal pemberitaan beberapa media yang cenderung menyudutkan O’Hongana Manyawa. Beberapa media bahkan menyebutkan suku ini belum beradab, primitif, kelaparan di hutan, dan sebagainya. Padahal, O’Hongana Manyawa punya sistem kepercayaan dan sistem nilai.
Hasil penelitian, ada 21 Mata Rumah O’Hongana Manyawa di daratan Halmahera. Satu Mata Rumah terdiri dari 4 sampai 5 Kepala Keluarga. Wilayah Hidup mereka kini berada di Taman Nasional dan paling banyak wilayah hidup mereka dikuasai oleh Izin pertambangan Nikel dari PT IWIP PT WBN dan subkontraktor lainnya. Akibat dari itu, tidak sedikit yang terusir dari hutan, tempat mereka tinggal.
Jauh sebelum adanya Taman Nasional, bahkan sebelum Indonesia merdeka, O’Hongana Manyawa sudah punya pengetahun mengelolah wilayah hidup mereka di hutan. Pembagian wilayah itu disebut dengan O’Tau Moi atau Satuan Rumah, yang dihuni oleh satu Mata Rumah atau satu kelompok terdiri dari 4 sampai 5 Kepala Keluarga.
Kedua, disebut O’Gogere atau Satuan Pemukiman, tempat berkumpul, yang dihuni sekitar lima sampai tujuh kelompok. Lokasi Satuan Pemukiman ini berada di Tofu, Akejira, Halmahera Timur.
Ketiga adalah Satuan Hutan yang terbagi menjadi tiga yakni:
Manga Wowango: Hutan tempat bersemayamnya roh leluhur atau hutan lindung).
Pongana: Hutan Primer atau hutan industri, dan
Raki Ma’Amoko: Dusun raja, kebun besar, sumber pangan. Di dalamnya terdapat pohon sagu, langsat, dan lainnya.
Wilayah ini nyaris hilang dengan adanya izin Usaha pertambangan Nikel secara besar-besaran di hutan Halmahera yakni Halmaha Timur dan Halmahera Tengah.
O’Hongana Manyawa punya sistem sosial. Ada penyebutan Dimono (Orang yang Dituakan/Pemimpin) bukan Kepala Suku. Penyebutan Kepala Suku terhadap Dimono adalah penyebutan orang luar.
Orientasi nilai Komunitas O’Hongana Manyawa dalam kehidupan sehari-hari yang mana sangat bertalian dengan keberadaan mereka di alam hutan, proses kehidupan komunitas ini menyatuh dengan apa yang berada di lingkungan mereka. Alam pengetahuan mereka, hutan bukan hanya sebagai lingkungan tempat tinggal dan tempat mendapatkan bahan makanan, tetapi lebih jauh lagi dianggap sebagai sumber kehidupan (disebut Manga Wowango) dan sekaligus muara bagi eksistensi dalam perkembangan kehidupan komunitas O’Hongana Manyawa, dalam hutan mereka dilahirkan, hidup dan meninggal serta kemudian mengikuti kehidupan anak cucu mereka.
Orientasi nilai yang masih dipertahankan oleh Komunitas O’Hongana Manyawa di Hutan ini, sumber kehidupan (manga wowango) di dalam hutan menurut anggapan komunitas O’Hongana Manyawa tidak akan habis sampai ke anak-cucu mereka, oleh karena itu menjaga hutan sama dengan menjaga keluarga mereka. Bagi Komunitas O’Hongana Manyawa, “Hutan ini milik kami” ( Na Tangomi Mia Fongana).
Bagi komunitas O’Hongana Manyawa, kehidupan manusia di hutan tidak akan lepas dengan ruh-ruh leluhur yang tetap berada di lingkungan kehidupan sekitar mereka. Dengan memelihara dan melestarikan hutan maka dengan sendiri menghormati sekaligus memuja ruh-ruh orang yang telah meninggal terutama ruh para leluhur mereka oleh karena itu pada daerah-daerah tertentu, Dalam kehidupan komunitas O’Hongana Manyawa membatasi ikatan kesatuan hidup setempat menurut batas wilayah dalam bentuk kesatuan hutan (O’Hangana Moi) diperuntuk untuk daerah jelajah setiap kesatuan rumah yang berada di hutan tersebut.
Penentuan suatu kewilayahan kesatuan hutan memang sulit (bagi orang luar) menentukan batas-batas yang secara nyata. Namun di balik itu, bagi komunitas O’Hongana Manyawa dalam kesatuan hutan mereka memiliki tanda-tanda khusus yang harus dihormati dan ditaati sebagai batas wilayah larangan (Madodongu).
Salah satu wilayah hutan yang dianggap sakral bagi Komunitas O’Hongana Manyawa berada di wilayah Mein, bagian timur Kontrak Karya PT WBN dan daerah hutan Aruku Mangaili Sigi-Sigi Sebelah barat Akejira dalam wilayah Kontrak Karya PT WBN. Bagi Komunitas O’Hongana Manyawa yang berada dalam wilayah itu berkewajiban untuk dan merawat dan melestarikan hutan itu untuk kelangsungan hidup komuntas tersebut. Leluhur O’Hongana Manyawa bersemayam di daerah tesebut. Daerah Mein dan Aruku Mangaili hampir semua kelompok O’Hongona Manyawa yang ada di hutan ini sering mengunjungi daerah ini sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur mereka (O’Gomanga Jou Madutu).
Stigma Negatif dan Perampasan Ruang Hidup O’Hongana Manyawa
Sejak dulu, O’Hongana Manyawa mendapat stikma sebagai pembunuh. Sementara O’Hoberera Manyawa, di masa kolonial, ada yang disebut sebagai Canga. Pemerintah kolonial menganggap Canga adalah Perempak–bajak laut. Lalu dihabisi oleh Kolonial.
Stigma juga dibangun oleh beberapa media di luar Maluku Utara, termasuk media arus utama, yang sebenarnya tidak masuk–turun langsung mengunjungi O’Hongana Manyawa lalu membuat berita yang menyudutkan suku O’Hongana Manyawa.
Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik Pasal 8 menyebutkan Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Begitu juga diatur dalam Peraturan Dewan Pers nomor: 02/PERATURAN-DP/XI/2022 Tentang Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman.
Salah satu tangkapan layar dari berita Metro TV, yang menyudutkan Suku O’Hongana Manyawa dan menyebut Suku ini primitifSalah satu tangkapan layar dari berita Metro TV, yang menyudutkan Suku O’Hongana Manyawa. Seakan O’Hongana Manyawa tidak beradap.
Sungguh, narasi yang dibangun oleh media tertentu ini, dapat mencelakai atau membuat O’Hongana Manyawa akan kehilangan ruang hidup, karena tidak diakui sebagai Suku yang mempertahankan tradisi. Lalu, membuat izin pertambangan leluasa masuk pada hutan adat.
Lihat saja Pasal 18B ayat (2): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Sebab itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) punya pekerjaan rumah yang perli diseriusi; terkait masyrakat adat yang terancam punah karena kehilangan tanah juga ‘dibunuh’ lewat narasi pemberitaan yang sepihak.
***
Tahun 2011, saya ke Dodaga, Tukur-Tukur, dan Titipa, wilayah pemukiman O’Hongana Manyawa. Di permukiman atau reseltlement, ada program dari pemerintah melalui Kementerian Sosial menyebut Program Tuna Budaya. Suku saya ini dianggap tidak berbudaya.
O’Hongana Manyawa pun menjadi sasaran tuduhan jika terjadi pembunuhan di hutan Halmahera. Kini, 6 orang masyarakat adat O’Hongana Manyawa di Taukur-Tukur dan Dodaga mendekam di penjara. Sebelumnya mereka divonis hukuman mati.
Tahun itu juga saya melihat banyak problem yang dihadapi O’Hongana Manyawa, di sana. Di belakang kampung ada pembangunan Irigasi. Kampung nyaris terancam banjir. Warga Dodaga Juga berkebun di Hutan. Tahun itu, ada beberapa perempuan adat, dilarang masuk ke hutan. Mereka dicegat oleh pihak Dinas Kehutanan dengan alasan bahwa itu hutan lindung yang tidak bisa dimasuki orang.
Hutan di Wilayah Tukur-Tukur Dodaga juga sering menjadi lokasi penanaman pohon dari program ANTAM, program reboisasi.
Pada Selasa, 28 April 2023, saya berkunjung ke Kelompok Maratana, Turaji, dan Hidete bersama Istrinya, di wilayah Halmahera Timur. Di Hutan mereka, saya masuk melalui jalur PT.WANA KENCANA MINERAL, salah satu perusahaan nikel di sana. kurang lebih 24 km jalan kaki hingga sampai ke kelompok Maratana. Mereka sangat khawatir dengan keberadaan orang luar. Sebab, sebagian kelompok mereka pernah diracuni oleh orang luar, yang ingin mengambil wilayah mereka. Termasuk Suami Maratana Diracuni.
Maratana kini sudah keluar hutan dan tinggal sementara di perkampungan di desa Saolat. Salah satu warga menampung Maratana, membuat bivak kecil di samping rumah mereka untuk ditinggali Maratana. Sebab, Maratana tidak bisa tinggal di dalam rumah yang berdinding. Maratana keluar hutan karena wilayah hidupnya terancam akan diambil oleh perusahaan. Namun, ia tetap merindukan pulang ke hutan tempat ia hidup dan mati di sana.
Kasus lainnya, tidak sedikit orang luar, atau orang pesisir penjelajah hutan, masuk ke dalam melakukan pengkaplingan lahan O’Hongana Manyawa untuk dijual ke perusahaan. Akibatnya, banyak terjadi kasus pembunuhan di hutan Halmahera.
Seperti kasus tahun pembunuhan di daerah Waci, di Halmahera Timur pada tahun 2014. Korban adalah pencari gaharu. Namun, yang dituduh membunuh adalah Bokum dan Nuhu, Suku Tobelo Dalam, O’Hongana Manyawa yang mendiami hutan Akejira, Wilayah Konsesi PT WBN dan PT IWIP. Mereka lalu divonus 15 tahun penjara. Nuhu pun meninggal dunia akibat sakit yang diderita karena ada benturan keras di dada Nuhu. pada tahun 2019 di rutan di dan dikebumikan di Ternate.
Bokum dibebaskan pada Januari 2022. Saat keluar, saya orang yang menjemput Bokum, tidak sedikit orang lain juga datang mau ambil Bokum untuk minta tanda tangan jual beli tanah wilayah Bokum. Sementara Bokum tidak bida baca tulis.
Tahun 2023 hingga tapatnya 2024 ini, saya sering mengunjungi keluarga Bokum di Hutan Akejira, Halmahera Tengah. Bokum dan keluarganya trauma, dan tidak akan berani keluar jauh dari daerah hutan maupun Ternate tempat ia dipenjara.
Oleh: Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., CCMs., Advokat Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Yang Mulia Majelis Hakim Pemeriksa sengketa TUN No. 542/G/TF/2023/PTUN-Jkt di PTUN Jakarta, Para Penggugat dan para Kuasa Hukum para Penggugat, Kuasa Hukum DPR dan Kuasa Hukum Presiden/Pemerintah. Perkenankan saya menyampaikan usulan/masukan sehubungan dengan pemeriksaan sengketa tata usaha negara ini berikut ini.
Pertama, Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang diajukan oleh para penggugat melalui para kuasa hukumnya pada hakikatnya merupakan gugatan yang berisi tuntutan terhadap “sikap diam/abai” pejabat pemerintahan dalam melaksanakan kewenangan yang ada padanya untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan, yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan, dapat dikualifikasi sebagai tindakan berupa tidak melakukan perbuatan konkret (by omission) atau dalam Bahasa Latin disebut sebagai passivum inesse actionem (tindakan faktual pasif) yang dilakukan oleh badan atau pejabat administrasi pemerintahan dalam perspektif Pasal 4 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Perbuatan melanggar hukum tersebut terjadi karena sikap diam/abai terhadap permohonan yang diajukan oleh AMAN dkk., yang pernah mengajukan Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023, perihal: Permohonan Pembentukan UU Tentang Masyarakat Hukum Adat, kepada DPR dan Presiden. Tindak lanjut atas permohonan tersebut sebenarnya merupakan kewajiban dari DPR dan Presiden berdasarkan kewenangan konstitusional yang diatribusikan oleh Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 UUD Negara RI Tahun 1945 yang memberikan kewenangan kepada DPR dan Presiden untuk melakukan tindakan faktual dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat adat yang salah satunya adalah melalui tindakan pengaturan oleh negara (moderantibus actionem civitatis) untuk membentuk undang-undang yang berkaitan dengan kewajiban konstitusional negara guna melaksanakan Pasal 18 B ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa: “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Hal itu berarti konstitusi secara eksplisit memerintahkan DPR dan Presiden sebagai pihak yang berwenang melakukan tindakan faktual untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat antara lain dengan membentuk undang-undang untuk membentuk UU Tentang Masyarakat Hukum Adat.
Kedua, tindakan perlindungan oleh negara (status praesidio mensurae) terhadap hak-hak rakyat in casu masyarakat adat seharusnya berupa: tindakan pengaturan (regulatory actio), tindakan memberikan jaminan atas hak-hak masyarakat adat (actio cavendi iura populorum indigenarum), tindakan memenuhi kebutuhan masyarakat adat (actus ad usus necessarios in communitatibus indigenae) dan tindakan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran atas hak-hak masyarakat adat (lex cogendi si est violatio iurium populorum indigenarum). Keseluruhan rangkaian tindakan perlindungan terhadap masyarakat adat tersebut saling terkait/tak terpisahkan yang berada dalam lingkup fungsi pemerintahan (munera imperium). Jika gugatan dari para penggugat tersebut dikaitkan dengan hukum positif, Pasal 3 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017 telah mengatur secara limitatif kriteria permohonan yang dapat diajukan melalui mekanisme fiktif positif/permohonan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan untuk mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan, yaitu: a. Permohonan dalam lingkup kewenangan badan dan/atau pejabat pemerintahan; b. Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan; c. Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan yang belum pernah ditetapkan dan/atau dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan; dan d. Permohonan untuk kepentingan Termohon secara langsung. Tindakan faktual pasif yang dipersoalkan dalam gugatan penggugat adalah tindakan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat yang terdiri dari rangkaian tindakan yang saling terkait sebagaimana telah disampakan di atas yang terdiri diekspresikan dalam bentuk serangkaian tindakan untuk melaksanakan kewajiban vide Pasal 18 B ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 dan menindaklanjuti permohonan yang diajukan oleh AMAN dkk., yang pernah mengajukan Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023. Dalam hal ini isu hukumnya bukan semata-mata hanya soal pembentukan UU Perlindungan Masyarakat Adat, tetapi pada hakikatnya (in essentia) adalah tindakan untuk memberikan perlindungan (opus providere tutelam) bagi masyarakat adat.
Ketiga, Rancangan Undang-Undang Tentang Masyarakat Hukum Adat telah beberapa kali masuk dalam Proglegnas, termasuk ke dalam Prolegnas Priotas, sebagai berikut: a) Prolegnas Periode 2005-2009, dengan judul “RUU tentang Hak-Hak Masyarakat Adat”, dengan nomor urut 101; RUU tentang Pengakuan dan Penghormatan Masyarakat Adat dan Tradisinya, dengan nomor urut 273, berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 01/DPR-RI/III/2004-2005 Tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005-2009; b) Prolegnas Periode 2009-2014, dengan judul “RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat” dengan nomor urut 161. Pada tahun 2013, RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas 2014, dengan nomor urut 26. c) Prolegnas Periode 2015-2019, dengan judul “RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat”, dengan nomor urut 42. Pada tahun 2017, RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas, dengan nomor urut 45. d) Prolegnas Periode 2020-2024, dengan judul “RUU tentang Masyarakat Hukum Adat, dengan nomor urut 160. Pada tahun 2020, RUU tentang Masyarakat Hukum Adat ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas, dengan nomor urut 22. RUU yang beberapa kali dimasukkan ke dalam Prolegnas dan tak kunjung diselesaikan selain telah melanggar prinsip anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) sebagaiman diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU APBN karena perencanaan yang kunjung direalisasikan dengan dibentuk dan disahkannya UU terkait, juga tindakan perencanaan (consilio opus) yang tak kunjung diselesaikan serta melampaui batas tahun anggaran tahunan (one year budgeting) itu juga melanggar asas kepastian hukum (principium certitudinis legalis) dalam lingkup Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Keempat, DPR dan Presiden sesungguhnya telah diwajibkan oleh UUD Negara RI Tahun 1945 untuk membentuk UU Tentang Masyarakat Hukum Adat, namun dengan perencanaan yang tidak pasti, mendiamkan permohonan untuk melaksanakan kewajiban tersebut (Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023) dan serangkaian tindakan yang menunjukkan sikap abai (indifferens habitus) dan tindakan penundaan berlarut (mora actio) yang dilakukan DPR dan Presiden telah mengakibatkan pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Hukum Adat terkatung-katung/tidak jelas (exilii), sehingga berdampak pada ketidakpastian hukum (legalis dubitationem). Tidak ada perlindungan hukum terhadap masyarakat adat in casu Para Penggugat yang mengalami kerugian yang nyata mulai dari praktik penggusuran perampasan wilayah adat, kriminalisasi Masyarakat Adat dan hilangnya identitas Para Penggugat sebagai Masyarakat Adat di Indonesia yang dikemukakan secara lengkap dalam fakta-fakta hukum gugatan para penggugat perlu ditempatkan dalam konteks tindakan faktual pasif yang menimbulkan kerugian terhadap hak-hak masyarakat adat vide Pasal 18 B jo Pasal 28I ayat (3) dan (4) UUD Negara RI 1945 ((3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah) serta Pasal 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 6 ayat (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah; dan Pasal 6 ayat (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman).
Demikian, keterangan yang merupakan usulan/masukan bagi pertimbangan Majelis Hakim pemeriksa sengketa TUN No. No. 542/G/TF/2023/PTUN-Jkt jika berkenan dipertimbangkan. Atas kebijaksanaan Majelis Hakim yang memberikan kesempatan menyampaikan masukan/usulan ini, saya menghaturkan terima sebesar-besarnya.
Jakarta, 21 Maret 2024
Hormat saya,
(Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., CCMs., Advokat)
Serangkaian dengan perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Nusantara (HIMAS) pada 09 Agustus 2023, PPMAN yang merupakan organisasi sayap dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah menginisiasi klinik hukum yang di agendakan di laksanakan pada 08 Agustus 2023 hingga 09 Agustus 2023 di Ke’Te Kesu, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan.
Tujuan Klinik Hukum yang dibuka oleh PPMAN memiliki maksud untuk mendekatkan akses bantuan hukum kepada Masyarakat Adat yang selama ini sangat jauh dan sulit untuk mengakses keadilan. Bukan hanya karena lokasi atau tempat tinggal mereka saja yang jauh dari kota, akan tetapi juga karena jauhnya informasi serta pengetahuan mereka terkait hukum yang berlaku di Indonesia. Namun Masyarakat Adat acap kali mendapatkan ancaman, kriminalisasi, bahkan diintimidasi karena upaya mereka dalam mempertahankan wilayah adatnya.
Merujuk pada Catatan Tahun 2022 yang dipublikasikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan bahwa sejak AMAN berdiri hingga 2022 dengan jumlah anggota sebanyak 2.449 komunitas adat. Dari jumlah anggota tersebut, terdapat 161 produk hukum daerah, penetapan hutan adat oleh pemerintah sejumlah 105 dengan total luasan 148.488 hektar paska putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.
Akan tetapi dari jumlah komunitas adat anggota AMAN, terjadi perampasan wilayah adat melalui program pertanahan nasional dengan dengan skema perhutanan sosial (HKM, Hutan Desa, HTR, Kemitraan) berjumlah 2.400 hektar yang artinya masih ada 2,71 Juta hektar wilayah adat yang hingga saat ini belum memiliki produk hukum daerah dan penetapan hutan adat oleh pemerintah.
Masyarakat Adat yang komunitasnya masuk menjadi anggota AMAN juga teridentifikasi menempati wilayah adat di pesisir dan pulau-pulau kecil sejumlah 559 komunitas adat dan 22 di antaranya telah mendapatkan penetapan oleh Kementerian Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Masyarakat Adat saat Konsultasi Hukum dan mengunjungi Klinik Hukum PPMAN
Tercatat 301 perampasan wilayah adat dengan luasan 8,5 Juta hektar yang mana 672 orang Masyarakat Adat menjadi korban pengkriminalisasian, yang mana di Tahun 2022 terdapat 19 kasus perampasan wilayah adat dengan luas 600 ribu hektar. Berdasarkan data yang disampaikan dalam CATAHU AMAN di atas, konflik yang Masyarakat Adat hadapi bukan hanya dalam bentuk Pidana dan Perdata saja, akan tetapi mereka juga rentan berhadapan dengan masalah hukum karena minimnya pengetahuan mereka terhadap dampak dari terbitnya suatu produk hukum. Persoalan ini dipandang penting oleh ketua PPMAN, Syamsul Alam Agus dalam memandang urgensi pembukaan klinik hukum.
“Mengingat bahwa Masyarakat Adat merupakan kelompok rentan dengan resiko akan pelanggaran HAM yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok rentan lainnya, ini dikarenakan Masyarakat Adat selalu menjadi korban eksploitasi sumber daya alam, di mana tempat terjadinya eksploitasi sumber daya alam tersebut berada di wilayah adat, disini ada kepentingan dari negara dan pemilik modal atas wilayah adat.” Ungkap Syamsul Alam Agus.
Lebih lanjut, Alam yang merupakan sapaan dari Syamsul Alam Agus menambahkan bahwa “hampir semua kasus Masyarakat Adat memiliki kerentanan untuk menjadi korban dan mendapatkan tindakan kriminalisasi atas perjuangan Masyarakat Adat dalam mendapatkan hak-haknya”.
Negara dan pemilik modal merampas tanah milik Masyarakat Adat dan tindakan ini merupakan salah satu cerminan dari pengabaian negara untuk melindungi masyarakat adat. Selain itu pemilik modal juga memiliki kekuasaan dan juga kerjasama dengan negara untuk merampas, menggusur, mengeskplorasi dan mengeksploitasi tanah masyarakat adat.
“Tindakan perampasan, penggusuran, eskplorasi dan eksploitasi tersebut merupakan tindakan yang telah melanggar sejumlah Undang-Undang, Undang-Undang Dasar dan prinsip-prinsip hak asasi manusia, Prinsip Free end Prior Informed Consent (FPIC) dan berbagai prinsip konvensi yang lainnya.” Tambah Alam
“Mengingat beragamnya masalah hukum yang yang terjadi dan menimpa Masyarakat Adat, maka Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) akan membuka klinik hukum yang mana juga satu rangkaian kegiatan perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat (HIMAS) dilaksanakan. Hal ini dilakukan guna mengakomodasi pendampingan dan pembelaan terhadap hak-hak Masyarakat Adat dalam proses kemudahan akses dan layanan bantuan hukum. Selain itu, komunitas masyarakat adat bisa mendapatkan akses keadilan.” Tutupnya.
Kriminalisasi masyarakat adat adalah sebuah fenomena yang menimbulkan kekhawatiran dalam masyarakat. Masyarakat adat, yang secara historis telah tinggal di wilayah tertentu selama berabad-abad, sering kali menghadapi tantangan besar dalam menjaga hak-hak mereka terhadap tanah, sumber daya alam, ritual dan budaya mereka.
Kriminalisasi masyarakat adat merujuk pada situasi di mana kegiatan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat adat dianggap sebagai tindakan kriminal oleh aparat negara. Hal ini sering kali terjadi karena adanya konflik kepentingan antara masyarakat adat dengan pemerintah, perusahaan, atau individu lain yang berusaha mengakses sumber daya alam yang terletak di wilayah adat.
Salah satu contoh kriminalisasi masyarakat adat adalah penegakan hukum terhadap kegiatan perburuan, pengumpulan hasil hutan, atau praktik pertanian tradisional yang dilakukan oleh masyarakat adat. Padahal, kegiatan-kegiatan tersebut telah menjadi bagian integral dari kehidupan dan budaya mereka selama berabad-abad. Penegakan hukum destruktif yang didukung dengan peraturan dan kebijakan yang tidak adil kepada masyarakat adat atas kegiatannya sering kali mengakibatkan penangkapan, penahanan, penyiksaan hingga vonis pengadilan terhadap anggota masyarakat adat.
Kriminalisasi masyarakat adat sering terjadi karena konteks perjuangan mereka untuk mempertahankan hak atas tanah adat mereka. Banyak masyarakat adat yang menghadapi ancaman pengusiran atau kehilangan akses terhadap tanah mereka akibat dari klaim oleh pihak ketiga, baik itu pemerintah, perusahaan, atau individu. Upaya masyarakat adat untuk melindungi wilayah adat mereka sering kali dianggap sebagai tindakan melawan hukum, dan pihak berwenang menggunakan aparat hukum untuk menghentikan atau menghukum mereka.
Kriminalisasi masyarakat adat tidak hanya mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga berdampak pada keberlanjutan budaya dan tradisi mereka. Masyarakat adat memiliki pengetahuan dan praktik yang berharga terkait pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan pemeliharaan lingkungan. Namun, dengan kriminalisasi yang terus menerus terhadap kegiatan tradisional mereka, pengetahuan ini terancam punah dan berdampak pada keberlanjutan lingkungan dan keanekaragaman hayati.
Penting untuk mencatat bahwa perlindungan hak masyarakat adat diakui secara internasional. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat menyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak atas tanah, sumber daya alam, dan budaya mereka sendiri. Negara-negara juga diwajibkan untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak tersebut.
Kriminalisasi terhadap masyarakat adat memiliki dampak yang luas dan serius terhadap kehidupan mereka. Berikut ini adalah beberapa dampak umum yang dapat timbul akibat kriminalisasi terhadap masyarakat adat:
Kehilangan Akses terhadap Tanah Adat: Kriminalisasi sering kali berarti pengusiran atau pembatasan akses masyarakat adat terhadap tanah adat mereka. Tanah adat adalah inti dari identitas, budaya, dan cara hidup masyarakat adat. Ketika mereka kehilangan hak akses terhadap tanah ini, mereka juga kehilangan mata pencaharian, sumber kehidupan, dan hubungan spiritual mereka dengan lingkungan sekitar.
Kerusakan Budaya dan Identitas: Kriminalisasi mengancam keberlanjutan budaya dan identitas masyarakat adat. Banyak praktik dan tradisi mereka terkait dengan penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan pemeliharaan lingkungan. Dengan larangan atau penindakan terhadap kegiatan tradisional, pengetahuan dan praktik ini dapat terancam punah. Selain itu, pemisahan dari tanah adat juga dapat menyebabkan kehilangan ikatan sosial dan kehilangan identitas budaya yang kuat.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Kriminalisasi masyarakat adat sering kali melibatkan pelanggaran hak asasi manusia. Mereka dapat menghadapi kekerasan fisik, penahanan sewenang-wenang, intimidasi, atau ancaman terhadap keselamatan mereka. Tindakan semacam itu melanggar hak mereka untuk hidup dengan aman, bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi, dan hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul.
Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan: Kriminalisasi masyarakat adat mencerminkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam sistem hukum. Masyarakat adat sering kali tidak memiliki akses yang memadai terhadap sistem peradilan, dan mereka dapat dianggap bersalah secara sepihak tanpa proses yang adil. Selain itu, kekuatan dan sumber daya yang dimiliki oleh pihak berwenang yang mendukung kriminalisasi seringkali lebih besar daripada yang dimiliki oleh masyarakat adat, sehingga menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan.
Penurunan Kesejahteraan Sosial dan Ekonomi: Kriminalisasi dapat menghancurkan ekonomi masyarakat adat. Ketika mereka dilarang atau dihentikan dalam melakukan kegiatan tradisional mereka, sumber pendapatan mereka berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Ini dapat menyebabkan kemiskinan, kelaparan, dan penurunan kesejahteraan sosial di antara masyarakat adat.
Dampak-dampak ini tidak hanya dialami oleh masyarakat adat itu sendiri, tetapi juga pada keberlanjutan lingkungan, keanekaragaman hayati, dan keberagaman budaya yang penting bagi kehidupan kita secara keseluruhan.
Untuk mengatasi kriminalisasi yang terjadi pada masyarakat adat, perlu adanya upaya yang komprehensif dari pemerintah, masyarakat sipil, dan lembaga internasional. Meningkatkan kesadaran tentang hak-hak masyarakat adat adalah langkah penting dalam melawan kriminalisasi yang mereka hadapi. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran tersebut:Pendidikan dan Kampanye: Pendidikan merupakan kunci untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang hak-hak masyarakat adat. Kampanye informasi dan pendidikan harus dilakukan di sekolah-sekolah, universitas, dan masyarakat umum untuk memperkenalkan pentingnya hak-hak masyarakat adat serta tantangan yang mereka hadapi.
Media dan Komunikasi: Media memainkan peran penting dalam membentuk opini publik. Melalui media cetak, elektronik, dan sosial, informasi tentang kriminalisasi masyarakat adat dapat disebarkan dengan lebih luas. Organisasi masyarakat sipil dan kelompok advokasi dapat menggunakan media untuk memperkenalkan kasus-kasus konkret, menceritakan kisah-kisah sukses, dan memperkuat narasi tentang pentingnya melindungi hak-hak masyarakat adat.
Pelibatan Masyarakat Adat: Masyarakat adat harus secara aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak pada hak-hak mereka. Mereka harus diberi kesempatan untuk berbicara dan berpartisipasi dalam forum-forum publik, perundingan, dan proses legislasi yang berkaitan dengan tanah adat dan sumber daya alam. Ini memungkinkan mereka untuk mengadvokasi hak-hak mereka secara langsung dan memperkuat kesadaran tentang pentingnya hak-hak masyarakat adat.
Pelatihan Hukum: Pelatihan hukum yang ditujukan kepada masyarakat adat dan advokat pembela mereka adalah kunci untuk memberdayakan mereka dalam memahami sistem hukum dan hak-hak mereka. Mereka perlu memahami mekanisme perlindungan hukum yang ada, seperti peraturan daerah, nasional dan internasional yang melindungi hak-hak masyarakat adat. Pelatihan ini dapat membantu mereka memperkuat argumen hukum mereka, bekerja sama dengan pengacara, dan melibatkan lembaga hukum untuk melawan kriminalisasi.
Solidaritas dan Jaringan: Masyarakat adat harus bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, LSM, dan lembaga internasional yang peduli terhadap hak-hak mereka. Dengan membangun jaringan yang kuat, masyarakat adat dapat saling mendukung dan berbagi pengalaman, strategi, dan sumber daya untuk melawan kriminalisasi. Solidaritas lintas kelompok dan dukungan dari masyarakat umum juga dapat membantu meningkatkan kesadaran dan memperkuat advokasi.
Meningkatkan kesadaran tentang hak-hak masyarakat adat bukanlah upaya sekali jalan. Ini adalah proses berkelanjutan yang membutuhkan kolaborasi, advokasi yang kuat, dan pendekatan holistik untuk mencapai perubahan yang signifikan dalam melawan kriminalisasi masyarakat adat.
***
Penulis adalah Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).
Menilik sejarahnya, hakikat keberadaan pranata praperadilan adalah untuk mencegah terjadinya tindakan-tindakan penyalahgunaan wewenang yang berpotensi melanggar hak-hak asasi manusia, secara khusus hak asasi seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Secara sederhana, praperadilan dapat dimaknai sebagai sarana pengawasan secara horizontal terhadap tindakan-tindakan upaya paksa yang dilakukan penegak hukum terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana.
Pasal 77 UU No. 8/1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), telah mengatur secara limitatif ruang lingkup atau objek praperadilan, yakni wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus, tentang : a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Pada perkembangannya, objek praperadilan mengalami perluasan, baik dari sisi praktik penegakan hukum maupun regulasi. Dari sisi praktik penegakan hukum, perluasan objek praperadilan dapat ditemui dalam Putusan No. 04/Pid.Pra/2015/PN.Jkt.Sel., tertanggal 16 Februari 2015, dalam Perkara Budi Gunawan selaku pemohon praperadilan melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku termohon praperadilan. H. SARPIN RIZALDI, S.H., M.H., selaku hakim praperadilan dalam perkara tersebut menyatakan dalam pertimbangan hukumnya, pada pokoknya bahwa: “Pemohon bukanlah subyek hukum pelaku Tipikor yang menjadi kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tipikor, sehingga proses penyidikan yang dilakukan KPK tidak sah. Dengan demikian pula penetapan status Pemohon sebagai Tersangka, tidak sah“. Artinya, penetapan status tersangka seseorang merupakan objek praperadilan.
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 Tentang UU No. 8/1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), juga menafsirkan bahwa, objek praperadilan tidak hanya yang telah ditentukan oleh Pasal 77 KUHAP, yaitu: a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Tetapi juga termasuk “penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”. Dalam pertimbangan hukumnya, pada paragraph [3.16], MK secara eksplisit menyatakan bahwa, KUHAP tidak memiliki chek and balance system atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak mengenal mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak menerapkan prinsip pengecualian (exclusionary) atas alat bukti yang diperoleh secara tidak sah seperti di Amerika Serikat. Lebih lanjut, MK kemudian mengutip Paul Roberts dan Adrian Zuckerman. Menurutnya, ada 3 (tiga) prinsip yang mendasari perlunya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti, yaitu: Pertama, rights protection by the state. Hak tersebut lahir karena terkadang upaya dari penyelidik atau penyidik dalam menemukan alat bukti dilakukan dengan melanggar hak asasi calon tersangka atau tersangka.
Dalam rangka mengembalikan atau mempertahankan hak yang sudah dilanggar maka diperlukan suatu mekanisme pengujian perolehan alat bukti untuk mengetahui dan memastikan apakah alat bukti tersebut sudah benar-benar diambil secara sah. Kedua, deterrence (disciplining the police). Pengesampingan atau pengecualian alat bukti yang diambil atau diperoleh secara tidak sah, akan mencegah/ menghalangi para penyidik maupun penuntut umum mengulangi kembali kesalahan mereka di masa mendatang. Apabila hakim secara rutin mengecualikan/ mengesampingkan alat bukti yang didapat secara tidak sah tersebut, maka hal itu menjadi pesan yang sangat jelas kepada aparat penegak hukum bahwa tidak ada manfaat yang bisa diambil dari melanggar hukum, kemudian motivasi dari aparat penegak hukum untuk melanggar hukum akan menurun drastis. Ketiga, the legitimacy of the verdict. Dalam proses acara pidana diperlukan suatu sistem yang dapat dipercaya sehingga masyarakat yakin terhadap sistem hukum atau sistem peradilannya. Apabila hakim sudah terbiasa memaklumi aparat penyidik dan penuntut umum dalam menyajikan alat bukti yang didapat secara tidak sah, maka sistem hukum tersebut akan diragukan legitimasinya dan masyarakat akan segera mengurangi rasa hormatnya (Paul Roberts and Adrian Zuckerman, Criminal Evidence (New York: Oxford University Press Inc, reprinted 2008) hal. 149-159).
Semangat Pengujian Penetapan Status Tersangka
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Frasa “bukti permulaan” tersebut, harus dimaknai sesuai Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, yakni minimal 2 (dua) alat bukti yang sah sesuai Pasal 184 KUHAP, antara lain: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa.
Pertimbangan hukum hakim praperadilan dalam Putusan Nomor 1/Pid.Pra/2023/PN.Sos., pada Pengadilan Negeri Soasio, dalam menilai keabsahan penetapan status tersangka, menunjukkan kegagalan tafsir kaitannya dengan Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014. Dalam pertimbangan hukumnya, hakim praperadilan menyatakan, bahwa:
Menimbang, bahwa terlebih dahulu perlu disamakan persepsi tentang materi permohonan praperadilan yang diajukan Pemohon, apakah permohonan tentang sah tidaknya penetapan Tersangka atas nama Pemohon yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon, mengingat praperadilan tidak memeriksa tentang materi perkara dan tiada proses tanpa prosedur, sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) dan ayat 4 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2016 yang menyebutkan Pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara, Persidangan perkara Praperadilan dipimpin oleh Hakim Tunggal karena sifat pemeriksaannya yang tergolong singkat dan pembuktiannya yang hanya memeriksa aspek formil, tidak sama sekali memeriksa aspek materiil.
“Bahwa pengertian Tersangka sebagaimana dalam Pasal 1 angka 14 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUU-XII/2014, bahwa “Frasa bukti permulaan” harus dimaknai dua alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), oleh sebab itu maka setiap orang yang akan ditetapkan sebagai Tersangka harus ada 2 (dua) alat bukti yang sah;Menimbang bahwa hakim menilai proses penetapan tersangka atas nama Para Pemohon telah sesuai dengan hukum acara yang berlaku dalam perkara aquo Termohon menggunakan Alat bukti saksi dan surat sebagaimana Bukti T-4 sampai dengan T-10 sehingga menurut Hakim sudah memenuhi ketentuan Pasal 184 KUHAP oleh karena itu Petitum Angka 4 (empat) Para Pemohon sudah sepatutnya ditolak;
Melalui pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 1/Pid.Pra/2023/PN.Sos., tersebut, dapat disimpulkan bahwa hakim praperadilan, hanya menilai keterpenuhan alat bukti secara kuantitas, yakni minimal 2 (dua) alat bukti sebagai dasar penetapan status tersangka, tanpa menguji keabsahan peroleh alat bukti yang terindikasi sarat pelanggaran hukum dan hak asasi manusia sebagaimana dikemukakan dalam materi permohonan praperadilan. Hakim praperadilan tampak mengabaikan semangat, yang menjadi alasan pengujian mengapa penetapan status tersangka termasuk objek peradilan sebagaimana termaktub dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, bahwa tidak terdapat pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat menguji keabasahan penetapan status tersangka bilamana penetapan status tersangka tersebut mengandung kekeliruan.
Pengujian penetapan status terangka melalui pranata praperadilan adalah semangat perlindungan hak asasi manusia dari tindakan sewenang-wenang penegak hukum. Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, mengandung semangat bahwa penilaian terhadap keterpenuhan alat bukti tidak semata-mata keterpenuhan alat bukti secara kuantitas, yakni minimal 2 (dua) alat bukti, tetapi juga harus diuji bagaimana alat bukti itu diperoleh, apakah sudah memenuhi syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan serta menghormati hak asasi manusia atau tidak.
Penulis menilai, bahwa pertimbangan hukum hakim praperadilan dalam Putusan Nomor 1/Pid.Pra/2023/PN.Sos., belum mengandung semangat pengujian status penetapan tersangka sebagaimana dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, karena hanya menilai ketepernuhan alat bukti secara formalitas tanpa menguji bagaimana alat bukti tersebut diperoleh. Oleh karena itu, penting bagi Mahkmah Agung sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelengaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, termasuk praperadilan, untuk menegaskan kembali pemaknaan semangat pengujian penetapan status tersangka melalui pranata praperadilan
***
Penulis adalah Founder “FATI LAZIRA Law Firm” dan Koordinator Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Region Jawa
Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Tobelo Dalam resmi mendaftarkan permohonan pra Peradilan ke Pengadilan Negeri Kelas II Soasio, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Rabu (5/4).
Permohonan pra Peradilan dengan nomor 1/Pid.Pra/2023/PN.Sos itu ditujukan kepada Polres Halmahera Timur sebagai Termohon.
Sebelumnya, anggota Polres Haltim selaku Termohon menangkap dan menahan dua orang Masyarakat Adat Suku Togutil Tobelo Dalam bernama Alen Baikole dan Samuel Baikole.
Alen diamankan di tempat kerjanya, lingkungan SP3 Desa Subaim. Sedangkan Samuel di rumahnya, Dusun II Smean, Kecamatan Buli, Haltim.
PPMAN dan LBH Marimoi yang tergabung dalam Tim advokasi menilai, langkah Polres Haltim tidak sesuai prosedur hukum.
Bahkan, proses penggeledahan atau penyitaan dinilai keliru dan bertentangan dengan ketentuan serta undang-undang yang berlaku.
Ketua PPMAN, Syamsul Alam Agus, menilai tindak pidana yang disangkakan kepada para Pemohon adanya rekayasa yang seharusnya tidak dapat disangkakan.
“Langkah penangkapan, penahanan, hingga penetapan tersangka sarat pelanggaran HAM,” ucap Ketua PPMAN yang akrab dipanggil Alam
Menurutnya, dari banyaknya temuan pelanggaran itulah yang menjadi dasar tim advokasi mengajukan permohonan pra Peradilan.
Bagi Alam, praktik penegakkan hukum dan profesionalisme polisi sangat penting dalam menjalankan tugas dan fungsinya
“Tentu berdasarkan undang-undang, dan ini sebagai salah satu langkah korektif bagi Termohon dalam menjalankan tugasnya,” tandasnya.
Ketua Tim Advokasi untuk Keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam, Maharani Caroline, mengatakan dalam penangkapan, Termohon tidak memiliki surat penangkapan.
“Padahal KUHAP mengatur bahwa penangkapan tanpa surat perintah hanya dapat dilakukan saat seseorang tertangkap tangan,” jelasnya.
Di samping itu, sambung Maharani, Temohon menangkap para Pemohon disertai tindakan kekerasan. “Agar Pemohon mengakui perbuatannya,” katanya.
Selain itu, tindakan Termohon melakukan penyitaan telah melanggar aturan dalam KUHAP. Sebab, langkah penyitaan harus mendapat izin dari pengadilan.
“Tindakan Termohon menyita sebuah handphone milik Alen Baikole merupakan tindakan yang telah melanggar aturan KUHAP,” jelasnya.
Oleh Muhammad Arman Direktur Advokasi Hukum dan HAM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Pada tanggal 26 Agustus 2019, Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Pemindahan IKN dari Jakarta sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Bahkan jauh sebelum wacana pemindahan IKN pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1960-an, sejarah mencatat setidaknya telah terjadi dua kali pemindahan IKN dari Jakarta yakni ke Ibu Kota Yogyakarta dan Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Pemindahan IKN pada saat itu dilakukan karena adanya kegentingan akan keamanan bangsa karena perang merebut kemerdekaan.
Lalu apa alasan kegentingan pemindahan IKN saat ini? Setidaknya terdapat empat alasan yang mengemuka yaitu: Pertama, untuk mengurai kepadatan penduduk yang terkonsentrasi di Pulau Jawa; Kedua, pemerataan ekonomi, Ketiga, krisis ketersediaan air bersih di Jawa, dan Keempat, ketersediaan lahan (konversi lahan).
Sekilas alasan pemindahan IKN ke Kalimantan Timur sangat masuk akal dan tidak akan menimbulkan masalah. Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil bahkan menyatakan telah tersedia lahan seluas 180 hektar sebagai lokasi pusat pemerintahan IKN yang telah ditunjuk, artinya dari sisi kesiapan lahan untuk pembangunan infrastruktur IKN sudah memenuhi syarat penunjukan Kalimantan Timur sebagai IKN baru.
Konflik Lahan
Pembangunan dan konflik berbasis lahan adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Hasil pertemuan dua tahunan IMF dan Bank Dunia (1980), menghasilkan suatu kesimpulan yang sangat menarik bahwa pembangunan berarti sama dengan penghancuran tananan sosial, ekonomi dan budaya sekaligus. Pembangunan yang tidak diawali dengan kebijakan yang berkeadilan akan menjelma menjadi sumber konflik, kantong-kantong pengangguran, kemiskinan, korupsi dan kerusakan lingkungan.
Eskalasi konflik lahan dan sumber daya alam di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir terus mengalami peningkatan. Konsorsium Pembaruan Agraria (2015-2018)
mencatat telah terjadi 1.769 letusan konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat, petani, dan masyarakat perdesaan. Peningkatan konflik agraria yang terjadi setiap tahunnya mencapai 13 – 15%. Data YLBHI (2018) menunjukkan telah terjadi 300 kasus konflik agraria struktural di 16 provinsi dengan luasan lahan 488.407,77 hektar. Konflik ini disebabkan penerbitan izin-izin konsesi di atas tanah masyarakat oleh pemerintah untuk proyek pembangunan infrastruktur dan penerbitan izin-izin konsesi perusahaan.
Kekeliruan pengelolaan sumber agraria dan sumber daya alam (SDA) diatas sesungguhnya telah lama disadari oleh pemerintah dan dikoreksi melalui TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan SDA. Sayangnya hampir dua dekade penerbitan TAP MPR ini tidak dilaksanakan secara sungguh- sungguh oleh pemerintah. Akibatnya konflik berbasis lahan dan SDA tidak hanya merugikan masyarakat tetapi juga berimplikasi pada kerusakan ekologis dan kerugian negara (Studi GNPSDA KPK; 2012).
Secara khusus wilayah yang ditunjuk sebagai lokasi IKN pun tidak luput dari konflik lahan karena adanya klaim hak yang berbeda dan tumpang tindih perijinan. AMAN (2019), mencatat sedikitnya terdapat 13 (tiga belas) wilayah adat di Kabupaten Penajam Paser Utara yang akan menjadi lokasi IKN. Selain itu telah terdapat izin konsesi perkebunan skala besar seluas 30 ribu hektar yang tumpang tindih dengan wilayah masyarakat adat. Konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan hingga saat ini belum ada penyelesaiannya. Artinya dengan masuknya wilayah tersebut sebagai pusat pembangunan infrastruktur IKN akan mempertajam konflik yang masih berlangsung.
Penataan Regulasi
Kajian Tim harmonisasi (2018), di sektor Undang-undang SDA dan lingkungan hidup (SDA-LH) terhadap duapuluh enam UU sektoral menunjukkan bahwa kerangka hukum positif SDA-LH hanya dominan pada pemenuhan prinsip kepastian hukum dan negara kesatuan, tetapi paling lemah dalam menjabarkan prinsip keadilan sosial.
Pengaturannya tidak banyak menyediakan norma-norma yang berkaitan dengan distribusi, perlindungan masyarakat marjinal, dan pemulihan hak. Sementara prinsip keberlanjutan dan demokrasi, presentase pemenuhannya di bawah 50%, sangat jauh dari standar pemenuhan prinsip keadilan sosial dan hak asasi manusia.
Sejalan dengan itu, Kenichi Ohmae (1991) telah mengingatkan bahwa jika SDA merupakan sumber utama kekayaan negara, maka hal utama yang perlu diperhatikan adalah bahwa kehadiran investasi untuk pembangunan tidak boleh melanggar hak asasi manusia setiap warga negaranya. Pembangunan harus berprinsip teguh pada pemenuhan hak asasi manusia dan memenuhi rasa keadilan setiap kelompok masyarakat.
Dengan demikian tanpa penataan regulasi yang berkeadilan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia serta pelaksanaan yang konsisten, kehadiran IKN dan pembangunan infrastruktur yang mengikutinya tidak hanya akan menimbulkan konflik dan ketimpangan penguasaan lahan, tetapi justru akan menciptakan neraka-neraka baru diatas tanah surga di Bumi Borneo.