IKN DAN KETIMPANGAN PENGUASAAN LAHAN

Oleh Muhammad Arman
Direktur Advokasi Hukum dan HAM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

 

Pada tanggal 26 Agustus 2019, Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Pemindahan IKN dari Jakarta sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Bahkan jauh sebelum wacana pemindahan IKN pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1960-an, sejarah mencatat setidaknya telah terjadi dua kali pemindahan IKN dari Jakarta yakni ke Ibu Kota Yogyakarta dan Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Pemindahan IKN pada saat itu dilakukan karena adanya kegentingan akan keamanan bangsa karena perang merebut kemerdekaan.

 

Lalu apa alasan kegentingan pemindahan IKN saat ini? Setidaknya terdapat empat alasan yang mengemuka yaitu: Pertama, untuk mengurai kepadatan penduduk yang terkonsentrasi di Pulau Jawa; Kedua, pemerataan ekonomi, Ketiga, krisis ketersediaan air bersih di Jawa, dan Keempat, ketersediaan lahan (konversi lahan).

 

Sekilas alasan pemindahan IKN ke Kalimantan Timur sangat masuk akal dan tidak akan menimbulkan masalah. Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil bahkan menyatakan telah tersedia lahan seluas 180 hektar sebagai lokasi pusat pemerintahan IKN yang telah ditunjuk, artinya dari sisi kesiapan lahan untuk pembangunan infrastruktur IKN sudah memenuhi syarat penunjukan Kalimantan Timur sebagai IKN baru.

 

Konflik Lahan

 

Pembangunan dan konflik berbasis lahan adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Hasil pertemuan dua tahunan IMF dan Bank Dunia (1980), menghasilkan suatu kesimpulan yang sangat menarik bahwa pembangunan berarti sama dengan penghancuran tananan sosial, ekonomi dan budaya sekaligus. Pembangunan yang tidak diawali dengan kebijakan yang berkeadilan akan menjelma menjadi sumber konflik, kantong-kantong pengangguran, kemiskinan, korupsi dan kerusakan lingkungan.

 

Eskalasi konflik lahan dan sumber daya alam di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir terus mengalami peningkatan. Konsorsium Pembaruan Agraria (2015-2018)

mencatat telah terjadi 1.769 letusan konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat, petani, dan masyarakat perdesaan. Peningkatan konflik agraria yang terjadi setiap tahunnya mencapai 13 – 15%. Data YLBHI (2018) menunjukkan telah terjadi 300 kasus konflik agraria struktural di 16 provinsi dengan luasan lahan 488.407,77 hektar. Konflik ini disebabkan penerbitan izin-izin konsesi di atas tanah masyarakat oleh pemerintah untuk proyek pembangunan infrastruktur dan penerbitan izin-izin konsesi perusahaan.

 

Kekeliruan pengelolaan sumber agraria dan sumber daya alam (SDA) diatas sesungguhnya telah lama disadari oleh pemerintah dan dikoreksi melalui TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan SDA. Sayangnya hampir dua dekade penerbitan TAP MPR ini tidak dilaksanakan secara sungguh- sungguh oleh pemerintah. Akibatnya konflik berbasis lahan dan SDA tidak hanya merugikan masyarakat tetapi juga berimplikasi pada kerusakan ekologis dan kerugian negara (Studi GNPSDA KPK; 2012).

 

Secara khusus wilayah yang ditunjuk sebagai lokasi IKN pun tidak luput dari konflik lahan karena adanya klaim hak yang berbeda dan tumpang tindih perijinan. AMAN (2019), mencatat sedikitnya terdapat 13 (tiga belas) wilayah adat di Kabupaten Penajam Paser Utara yang akan menjadi lokasi IKN. Selain itu telah terdapat izin konsesi perkebunan skala besar seluas 30 ribu hektar yang tumpang tindih dengan wilayah masyarakat adat. Konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan hingga saat ini belum ada penyelesaiannya. Artinya dengan masuknya wilayah tersebut sebagai pusat pembangunan infrastruktur IKN akan mempertajam konflik yang masih berlangsung.

 

Penataan Regulasi

 

Kajian Tim harmonisasi (2018), di sektor Undang-undang SDA dan lingkungan hidup (SDA-LH) terhadap duapuluh enam UU sektoral menunjukkan bahwa kerangka hukum positif SDA-LH hanya dominan pada pemenuhan prinsip kepastian hukum dan negara kesatuan, tetapi paling lemah dalam menjabarkan prinsip keadilan sosial.

 

Pengaturannya tidak banyak menyediakan norma-norma yang berkaitan dengan distribusi, perlindungan masyarakat marjinal, dan pemulihan hak. Sementara prinsip keberlanjutan dan demokrasi, presentase pemenuhannya di bawah 50%, sangat jauh dari standar pemenuhan prinsip keadilan sosial dan hak asasi manusia.

 

Sejalan dengan itu, Kenichi Ohmae (1991) telah mengingatkan bahwa jika SDA merupakan sumber utama kekayaan negara, maka hal utama yang perlu diperhatikan adalah bahwa kehadiran investasi untuk pembangunan tidak boleh melanggar hak asasi manusia setiap warga negaranya. Pembangunan harus berprinsip teguh pada pemenuhan hak asasi manusia dan memenuhi rasa keadilan setiap kelompok masyarakat.

 

Dengan demikian tanpa penataan regulasi yang berkeadilan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia serta pelaksanaan yang konsisten, kehadiran IKN dan pembangunan infrastruktur yang mengikutinya tidak hanya akan menimbulkan konflik dan ketimpangan penguasaan lahan, tetapi justru akan menciptakan neraka-neraka baru diatas tanah surga di Bumi Borneo.

Permohonan Uji Materiil Terhadap Perpres 98/2021

 

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional atau Perpres 98/2021 yang mengatur tentang pasar karbon.

 

Ketentuan tersebut dipandang sebagai upaya mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia untuk pengendalian perubahan iklim. Namun, Perpres itu justru menunjukkan ketidakadilan negara melalui pengamputasian peran dan kedudukan Masyarakat Adat dalam pengelolaan karbon, di mana Masyarakat Adat tidak diakui sebagai subjek penyelenggara yang memilki hak atas karbon.

 

Padahal, Prinsip 22 dalam Rio Declaration on Environment and Development (Deklarasi Rio) menegaskan bahwa Masyarakat Adat mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan karena pengetahuan dan praktik tradisionalnya. Wilayah adat memiliki kontribusi langsung dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Hal tersebut dapat dilihat dari praktik tradisional yang dilakukan oleh Masyarakat Adat di Kasepuhan Cibarani dan Karang di Kabupaten Lebak, Banten, misalnya. Keduanya memiliki luas wilayah adat berupa hutan adat masing-masing sekitar 490 hektar dan 462 hektar.

 

Di sana, hutan adat memiliki fungsi spiritualitas, sosial-budaya, jasa lingkungan, konservasi, dan ekonomi yang telah dirawat oleh Masyarakat Adatsecara turun-temurun dari generasi ke generasi. Dan pengakuan atas hal itu telah dinyatakanMahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 35/PUU-X/2012.

 

Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi pernah menegaskan bahwa sebagian besar biodiversitas yang berada dalam kondisi baik di muka bumi ini, terdapat di dalam wilayah adat.

 

“Di tengah penghancuran(terhadap Masyarakat Adat dan wilayah adatnya), kita masih menyelamatkan 80 persenkeanekaragaman hayati di dunia,” ujar Rukka yang percaya bahwa krisis iklim salah satunya disebabkan karena tindakan yang berasal dari cara pandang yang menghancurkan alam dan bersikap tidak adil pada sesama. Menurutnya, solusi untuk keluar dari krisis, tak akan terjadi jika kita tidak mengubah cara kita menempatkan dan memandang Masyarakat Adat yang telah menjaga
keanekaragaman hayati yang tersisa.

 

Sementara itu, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) – organisasi sayap AMAN berbentuk perkumpulan yang keanggotaannya terdiri dari advokat dan/atau ahli hukum yang peduli dan berkomitmen pada kerja pembelaan dan pemajuan Masyarakat Adat – menilai Perpres 98/2022 bertentangan dengan asas keadilan, keterbukaan, dan partisipasi karena tidak memiliki keberpihakan dan tidak melibatkan Masyarakat Adat dalam prosesnya.

 

Selain itu, Perpres tersebut juga bertentangan dengan konstitusi dan sejumlah Undang-Undang (UU) terkait dengan tata kelola karbon, terutama dalam hal “hak menguasai negara” dan “dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” PPMAN mengingatkan bahwa pemerintah seharusnya menghormati, mendorong, dan mempertimbangkan tanggung jawabnya terhadap Masyarakat Adat dalam aksi menangani perubahan iklim seperti yang diutarakan melalui UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim.

 

Akan tetapi, muatan materi Perpres 98/2021 tidak mengatur secara jelas dan tegas pelibatan Masyarakat Adat dalam penyelenggaraan nilai ekonomi karbon. Maka, pada hari ini, 28 September 2022, PPMAN mengajukan pendaftaran permohonan uji materiil terhadap Perpres 98/2021.

 

Fatiatulo Lazira, S.H. – 0812-1387-776

POLRI yang Presisi Melalui Penghormatan dan Perlindungan HAM bagi Masyarakat Adat

 

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendukung program Polri Presisi – prediktif, responsibilitas, transparansi, berkeadilan dengan merekomendasikan agenda strategis mewujudkan keadilan dan penghormatan hak asasi manusia dalam penanganan kasus terhadap masyarakat adat. Sejumlah langkah maju perlu diperkuat, sementara berbagai tantangan di tingkat substansi/kebijakan, struktur dan budaya di kepolisian dalam penanganan kasus kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum membutuhkan langkah perbaikan/koreksi.

 

UUD 1945 memberikan mandat khusus kepada Institusi Kepolisian sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Sesuai Pasal 4 UU No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian, dalam mewujudkan tujuannya Polri wajib menjunjung tinggi HAM.

 

Sebagai hasil reformasi, melalui Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 Polri dipisahkan dari institusi TNI, reformasi kelembagaan ini dipertegas melalui UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Paradigma aparat negara seharusnya menjaga berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta kewajiban perlindungan dan pengayoman, semangat penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.

 

Untuk memastikan implementasi penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia bagi pimpinan dan anggota Kepolisian Republik Indonesia, pimpinan Polri telah menerbitkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahkan dalam Perkap tersebut menegaskan pengakuan institusi Polri atas keberadaan masyarakat adat dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Budaya Lokal yang dimaksudnya dalam Peraturan Polri ini adalah adat, tradisi, kebiasaan atau tata nilai yang masih kuat dianut oleh masyarakat setempat dalam rangka memelihara keamanan, ketertiban dan ketenteraman di lingkungan warga masyarakat setempat.

 

Penyikapan kepolisian pada penanganan kasus-kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum merupakan penentu awal akses masyarakat adat pada keadilan. Sikap proaktif pimpinan polri dalam mengusut kasus kekerasan terhadap masyarakat adat yang melibatkan anggota Polri perlu diapresiasi. PPMAN mencatat, pada 2022 ini, misalnya, Divisi Propam dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri telah menindaklanjuti pengaduan PPMAN terkait dugaan pelanggaran disiplin dan kekerasan yang dilakukan oleh anggota dan pimpinan kepolisian di Polres Nagekeo, Nusa Tenggara Timur dalam rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Waduk Mbay/Lambo.

 

Di tengah kemajuan ini, dari bulan Januari hingga Juni 2022, PPMAN masih menerima pengaduan yang terkait anggota kepolisian sebagai pelaku tindak kekerasan, melakukan kriminalisasi terhadap pembela dan masyarakat adat yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari perampasan oleh industri ekstraktif disektor perkebunan dan pertambangan, maupun polri dianggap menghambat langkah korban memperjuangkan keadilan.

 

Dari 16 (enam belas) kasus yang didalami, terdapat 4 kasus di mana polisi dilaporkan melakukan kriminalisasi kepada pembela masyarakat adat. 4 kasus tersebut dialami oleh advokat pembela masyarakat adat yang tengah melakukan pendampingan kepada masyarakat adat tana’ai di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Ia dilaporkan karena memperjuangkan hak masyarakat adat yang berhadapan dengan perusahaan pemilik SKP HGU.

 

Kriminaliasasi juga dialami oleh Kepala Desa Kinipan di Kalimantan Tengah yang berjuang bersama masyarakat adat Kinipan dalam mempertahankan wilayah adatnya yang dirampas oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kriminalisasi yang dialami oleh Willem Hengky (Kepala Desa Kinipan) telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Palangkaraya, Willem tidak terbukti bersalah dari seluruh dakwaan dan pengadilan memerintahkan Willem Hengki segera dibebaskan dari tahanan. Kasus kriminalisasi lainnya dialami oleh masyarakat adat di Natumingka, Tano Batak, Sumatera Utara yang berhadapan dengan PT. Toba Pulp Lestari (PT.TPL). Di awal tahun 2022 Kepolisian juga melakukan penangkapan terhadap 3 (tiga) orang Masyarakat Adat Kaili Tado di Kabupaten Pasang Kayu, Sulawesi Barat yang mepertahankan wilayah adatnya dari perampasan lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Mamuang.

 

Berdasarkan pengaduan dan permohonan bantuan hukum yang diterima oleh Kantor Hukum Masyarakat Adat Nusantara di 7 (tujuh) Region, kemudian ditindaklanjuti melalui proses pendampingan hukum. Berdasarkan kasus-kasus tersebut PPMAN mengidentifikasi 9 (sembilan) pola pelanggaran yang dilakukan oleh polri terhadap masyarakat adat, yaitu: (1) Kriminalisasi dan Minimnya Akuntabilitas Penetapan Status Tersangka, (2) Penundaan Proses (undue delay), (3) Mengejar Pengakuan Tersangka, (4) Penangkapan Sewenang-Wenang, (5) Penahanan Sewenang- Wenang, (6) Permasalahan Akuntabilitas Penahanan, (7) Hak Penasihat Hukum yang Dibatasi, (8) Penyiksaan dan impunitas bagi pelaku (9) Pembunuhan di luar proses hukum (extra-judicial killing).

 

Sementara itu, menurut catatan Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM), berdasarkan jumlah aduan periode 1 Januari – 7 Juni 2022, Polri merupakan instansi yang paling banyak diadukan terkait pelanggaran HAM di komunitas masyarakat adat setelah pihak koorporasi dan pemerintah daerah. Dalam laporan tersebut, Komnas HAM menguraikan tindakan lainnya yang dialami masyarakat adat terkait dengan kekerasan oleh aparat, kriminalisasi dan diskriminasi penanganan laporan oleh polisi, dan permasalahan penetapan status tersangka pemimpin adat.

 

Meski perhatian Kepolisian terus meningkat pada isu akuntabilitas internal, kasus-kasus di atas menunjukkan masih adanya tantangan di lapis kebijakan/subtansi, struktur dan kultur hukum di tubuh kepolisian. Saat ini, juga belum ada rujukan kebijakan khusus di kepolisian tentang penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum dalam posisi sebagai korban, saksi maupun tersangka. Padahal, kebijakan ini akan menguatkan akses keadilan mengingat telah ada Peraturan Kapolri (PERKAP) No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 6 huruf (G) yang tegas menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas-tugasnya Kepolisian Republik Indonesia harus menghormati dan melindungi Hak Masyarakat Adat. Meningkatnya pelanggaran yang dialami oleh masyakat adat menunjukkan inkosistensi polri dalam mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak- hak khusus masyarakat adat.

 

Kebijakan khusus di kepolisian ini dibutuhkan mengingat tidaklah mudah mengubah persepsi individual aparat kepolisian mengenai masyarakat adat. Apalagi, program-program pendidikan untuk menguatkan perspektif keadilan dan ketrampilan penanganan kasus kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat masih terbatas.

 

Untuk mendukung terwujudnya POLRI Presisi melalui optimalisasi pemenuhan hak asasi manusia dalam penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum, PPMAN merekomendasikan kepada Kepolisian RI, yaitu:

 

  1. Pentingnya memperkuat pemahaman setiap anggota polri untuk menghormati hak-hak khusus masyarakat adat sebagaimana yang tertuang dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang hak masyarakat adat dalam implementasi tugas dan fungsi kepolisian;
  2. Pentingnya pimpinan polri membentuk satu kebijakan presisi untuk menjadi pedoman penanganan kasus masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum;
  3. Pimpinan polri harus segera memastikan langkah pencegahan dan penanganan setiap anggota polri dalam situasi konflik sumber daya alam dimana proyek pembangunan stragis nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta yang mengancam keberadaan masyarakat adat;
  4. Perlu segera adanya reformasi Kepolisian baik di dalam fungsi penegakan hukum dan fungsi menjaga ketertiban. Termasuk didalamnya perbaikan kultur dan penegakan hukum terhadap anggota polri yang melakukan tindak pidana didalam menjalankan tugasnya;
  5. Memastikan langkah pencegahan dan penanganan kasus kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, yang juga mencakup upaya pemulihan bagi korban.

 

Oleh:

Syamsul Alam Agus SH, Ketua PPMAN