SIARAN PERS, Pendeta dari Bobo dan Wooi Galang Dukungan Nasional Tolak Tambang di Pulau Obi

Jakarta, 2 Oktober 2025 — Para pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) Klasis Pulau-Pulau Obi, di Jemaat GPM Desa Bobo (Kecamatan Obi Selatan) dan Desa Wooi (Kecamatan Obi Timur), Halmahera Selatan, Maluku Utara, menggalang dukungan nasional untuk menghentikan rencana dan aktivitas tambang di Pulau Obi. Dukungan disampaikan oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), DPD RI Perwakilan Maluku Utara, serta jejaring masyarakat sipil di Jakarta: YLBHI, WALHI, Trend Asia, JATAM, PPMAN, Greenpeace Indonesia, FWI, dan JKLPK. Perwakilan komunitas mendatangi Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan untuk menyerahkan keberatan resmi dan mendesak penghentian rencana tambang. Audiensi juga sempat dilakukan dengan staf Direktorat Jenderal Planologi, Kementerian Kehutanan.

 

Warga Desa Bobo menolak aktivitas tambang nikel PT Intim Mining Sentosa (IMS) yang memiliki konsesi seluas 3.185 hektare dan operasi PT Karya Tambang Sentosa (KTS). Mereka menilai operasi perusahaan telah memicu sengketa batas administrasi dengan Desa Fluk, meningkatkan kecurigaan antar warga, dan memperbesar risiko konflik horizontal. Dari sisi ekologi, warga merasakan peningkatan banjir disertai hantaman kayu dari area hutan yang dibuka. Dari sisi sosial-ekonomi, ancaman hilangnya mata pencaharian nelayan, pekebun padi, kelapa, cengkeh, dan pala kian nyata. Warga juga menegaskan penolakan sejak proses AMDAL lebih dari satu dekade lalu dan menilai prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) tidak dijalankan.

 

Sementara itu, warga Desa Wooi juga menegaskan penolakan kolektif terhadap rencana tambang pasir besi PT Bela Sarana Permai yang mengantongi konsesi seluas 4.290 hektar di Wooi. Meskipun Kepala Desa, BPD dan suara penuh seluruh masyarakat Desa Wooi menolak perusahaan ini, proses perizinan masih terus berlanjut. Informasi akhir yang didapatkan bahwa PT Bela Sarana Permai telah mengantongi IUP Operasi Produksi hingga 2038. Kondisi ini menambah ketidakpastian atas masa depan penghidupan yang bergantung pada laut, ladang, dan hasil hutan, di tengah keterbatasan akses layanan dasar yang seharusnya menjadi kewajiban negara.

 

Pdt. Mersye Pattipuluhu, Pendeta Desa Bobo, mendesak pemerintah segera mengambil langkah tegas dan nyata untuk menghentikan aktivitas tambang di Desa Bobo. “Suara kami sederhana, hentikan tambang yang merusak persaudaraan antar desa dan mengancam ruang hidup kami. Pemerintah harus hadir melindungi, bukan membiarkan konflik tumbuh bersama ekspansi tambang,” kata dia.

 

Serupa, Pdt. Silwanus Lasera mendesak pemerintah segera menghentikan rencana penambangan besi PT Bela Sarana Permai, perusahaan milik Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda, di Desa Wooi. “Warga Wooi sejak awal menolak. Karena itu, kami menuntut pemerintah segera mencabut izin pertambangan PT Bela Sarana Permai dan selalu melibatkan warga dalam setiap keputusan yang menyangkut masa depan kampung kami. Hak kami atas lingkungan yang baik dan sehat tidak dapat dinegosiasikan,” ujarnya.

 

Laut, daratan, dan wilayah hutan bagi orang Obi bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan bagian dari identitas. Perusakan besar-besaran oleh perusahaan tambang berarti kehilangan segalanya, termasuk kehidupan. Selama bertahun-tahun, masyarakat Desa Wooi dan Bobo hidup dari sumber daya alam setempat. Dengan kearifan yang dimiliki, mereka tahu bagaimana mengelola, merawat, dan menjaga alam bagi kehidupan lintas generasi. Namun, kehadiran perusahaan di dua desa ini berpotensi memicu konflik horizontal di antara “orang-orang basudara”. “Karena itu, kami berharap perusahaan dan pemerintah memiliki hati dan kemauan untuk menghentikan aktivitas serta mencabut IUP, bukan sebaliknya turut menikmati konflik di tengah masyarakat yang sedang bertumbuh.

 

Selain itu, kami berharap Pemerintah Daerah memberikan pertimbangan teknis mengenai kondisi sosio-kultural masyarakat kepada pemerintah pusat cq. kementerian terkait. Kami juga mendesak pemerintah pusat untuk mencabut IUP PT IMS dan KTS dari Desa Bobo, serta PT Bela Sarana Permai dari Desa Wooi, sesuai kewenangannya,” tutup Pdt. Esrom Lakoruhut, Ketua Klasis GPM Pulau-Pulau Obi yang lahir dan besar di Desa Wooi.

 

Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mendukung penuh penolakan warga yang disampaikan oleh kedua pendeta. Sekretaris Umum PGI Pdt. Darwin Dermawan mengatakan hingga kini PGI memiliki sikap tegas untuk menolak izin usaha pertambangan bagi lembaga keagamaan. “PGI berdiri bersama jemaat di seluruh Indonesia yang masih gigih mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman tambang, untuk mempertahankan hak atas kehidupannya.”

 

Sejalan dengan suara PGI, Graal Taliawo, DPD Provinsi Maluku Utara, mendukung perjuangan warga Bobo dan Wooi. Ia kemudian menghubungkan warga kepada pejabat ESDM dan Biro Planologi Kementerian Kehutanan. “Supaya warga bisa menyampaikan keberatan langsung pada mereka,” katanya.

 

Selain mendesak pemerintah, para pendeta dan jejaring juga bersurat kepada lembaga-lembaga keuangan untuk menghentikan pendanaan proyek yang mengancam ruang hidup warga. Pada Rabu, 1 Oktober 2025, surat tersebut diberikan langsung kepada Bank Mandiri dan Bank DBS yang mendanai Harita Group. Jejak Harita Group di Desa Bobo terlacak melalui rencana ekspansi PT KTS yang merupakan perusahaan patungan PT IMS dengan PT Trimegah Bangun Persada (Harita Group), dan PT Banyu Bumi Makmur.

 

Kerusakan di Pulau Obi akibat penambangan dan smelter nikel yang dikuasai Harita Group sudah banyak diekspos media-media dan peneliti dalam dan luar negeri. Mulai kandungan logam berat di tubuh ikan yang menghancurkan sistem reproduksi mereka hingga air yang mengandung kromium heksavalen (Cr VI) yang ditutupi Harita dan dibongkar OCCRP beberapa bulan lalu.

 

Kepala Simpul dan Jaringan JATAM Imam Shofwan mengatakan kekhawatiran warga Bobo dan Wooi sangat beralasan karena mereka tak mau dijadikan tumbal selanjutnya. Ia merujuk pada pengusiran paksa warga Desa Kawasi ke Eco Village yang dilakukan Harita. “Bukannya menghentikan kehancuran dan memulihkan seluruh daya rusak yang sudah ditimbulkan di Kawasi, Harita malah melakukan ekspansi ke desa tetangga,” kata dia.

 

Staf Advokasi dan Jaringan JKLPK, Trisna Harahap, menyatakan bahwa perjuangan masyarakat lokal di Kampung Bobo dan Wooi adalah upaya mempertahankan bobarene sebagai ruang hidup, hongana sebagai sumber subsisten, raki sebagai penopang keberlanjutan dan pengetahuan tentang laut yang diwariskan secara turun temurun. Inilah benteng identitas lokal yang tidak dapat ditukar dengan industri tambang.

 

Syamsul Alam, Ketua Umum Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara juga menegaskan penguasaan dan pengambilalihan tanah serta sumber daya alam tanpa persetujuan masyarakat lokal di Bobo dan Wooi, Maluku Utara merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Ia mengatakan praktik tambang terbukti menimbulkan deforestasi, pencemaran, serta mengganggu ekosistem yang menjadi basis kehidupan masyarakat lokal.

 

Dampak tersebut tidak hanya merusak keberlanjutan lingkungan, tetapi juga mengancam generasi mendatang. “Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi masyarakat adat, bukan malah memberi karpet merah bagi korporasi tambang. Kebijakan dan izin yang dikeluarkan tanpa penghormatan pada hak masyarakat adat adalah bentuk pelanggaran kewajiban negara,” ujarnya.

 

Sementara itu, Rere Christanto, Manajer Kampanye Tambang dan Energi WALHI mengatakan, “Kehadiran tambang di Desa Bobo dan Wooi adalah cerminan dari krisis tata kelola sumber daya alam yang mengabaikan hak masyarakat atas ruang hidupnya. Proses perizinan yang berjalan tanpa partisipasi publik, serta pengabaian terhadap penolakan masyarakat, menunjukkan bahwa negara lebih berpihak pada kepentingan korporasi daripada keselamatan warga. WALHI bersama rakyat dan jejaring masyarakat sipil, menegaskan bahwa advokasi lingkungan bukan sekadar isu teknis, melainkan perjuangan mempertahankan kehidupan. Kami mendesak agar seluruh proses perizinan ditinjau ulang dan suara masyarakat ditempatkan sebagai pusat dalam pengambilan keputusan.”

 

Senada dengan itu, Arko Tarigan, Juru Kampanye Mineral Kritis Trend Asia, menegaskan bahwa situasi di Obi mencerminkan pola eksploitasi yang lebih luas di Indonesia. “Negara seakan tidak menjamin bagaimana kehidupan masyarakat di Pulau Obi bebas dari pertambangan, masalah kesehatan, kerusakan lingkungan, pencemaran terus menghantui. Hal ini tercermin seperti apa yang terjadi di Pulau Obi IWIP serta pulau kecil di Kabaena, bagaimana warga di lingkar tambang dan smelter dalam industri nikel ini terpapar zat kimia berbahaya. Indonesia akan menjadi korban ganda dari semua eksploitasi yang ugal-ugalan ini.”

 

Koalisi Masyarakat Sipil di Jakarta, yang terdiri dari YLBHI, WALHI, Trend Asia, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Greenpeace Indonesia, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Forest Watch Indonesia (FWI), dan Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia (JKLPK) mendesak pemerintah untuk menghentikan seluruh operasi dan rencana penambangan di pulau-pulau kecil yang merenggut penghidupan warga dan merusak lingkungan; mencabut izin tambang yang diterbitkan tanpa persetujuan masyarakat adat, termasuk di Bobo dan Wooi; melakukan audit menyeluruh yang transparan dan bebas konflik kepentingan; memulihkan lingkungan serta penghidupan; menindak tegas pelanggaran; dan memastikan pemenuhan hak-hak dasar warga serta penguatan penghidupan berkelanjutan yang memuliakan kearifan lokal.

 

Narahubung:

Gereja Protestan Maluku (GPM) Klasis Pulau-Pulau Obi
Pdt. Esrom Lokoruhut – +62 822-3956-1521

 

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Imam Shofwan – +62 813-9235-2986

 

DOKUMENTASI;

https://drive.google.com/drive/folders/1HWQ8alWss06Q6xw6N26-SLc3GenYt6iR?usp=sharing