Siaran Pers
Jakarta, 31 Oktober 2024 — Pada hari ini, Transformasi untuk Keadilan (TuK INDONESIA), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), dan WALHI Kalimantan Tengah meluncurkan laporan penelitian berjudul “Di Balik Tragedi Berdarah Bangkal Seruyan: Di Negeri Kami ‘Sawit Lebih Mahal dari Nyawa Manusia’” yang mengungkap sisi kelam dari konflik agraria akibat ekspansi industri kelapa sawit di Bangkal Seruyan, Kalimantan Tengah. Laporan ini juga telah diserahkan kepada Komnas HAM pada 30 Oktober 2024.
Laporan penelitian ini menemukan sejumlah fakta pada konflik antara warga Desa Bangkal dengan PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP). Pertama, terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap masyarakat adat dan kelestarian lingkungan, sesuai dengan rekomendasi Komnas HAM tertanggal 16 April 2024 yang mencakup kasus penembakan warga dan tidak diberikannya plasma kepada masyarakat. Kedua, ada dugaan bisnis keamanan yang melibatkan kepolisian di Kalimantan Tengah yang mengakibatkan penembakan warga. Ketiga, pengabaian hak warga untuk mendapatkan perkebunan yang dijamin oleh negara lewat undang-undang. Keempat, Best Agro International diduga terlibat dalam bisnis gelap, tanpa informasi resmi struktur pembiayaan atau rantai pasok perusahaan.
Bayu Herinata, Direktur WALHI Kalimantan Tengah menegaskan bahwa praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab berdampak buruk terhadap kelestarian lingkungan dan kehidupan masyarakat di desa-desa sekitar areal usaha. “Kami mengharapkan pemerintah dan pihak terkait untuk segera menindaklanjuti dugaan pelanggaran ini dan memperketat pengawasan terhadap perusahaan yang beroperasi di kawasan-kawasan penting bagi lingkungan,” tegas Bayu.
Lebih jauh, Bayu menjelaskan bahwa PT HMBP diduga terlibat dalam pelanggaran kehutanan, termasuk cacat administrasi dalam perizinan dan operasi di kawasan hutan yang seharusnya dilindungi. Berdasarkan SK Menteri LHK No. SK.196/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2023, perusahaan ini terdaftar sebagai yang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin yang sah dan telah membuka lahan ilegal seluas 4.769,52 hektar, termasuk di Hutan Produksi dan Hutan Produksi Konversi. Kegiatan PT HMBP juga menjangkau bibir Danau Sembuluh dan sempadan sungai, di mana limbah dari perkebunan berkontribusi terhadap pencemaran air, menurunkan kualitas air yang menjadi sumber air bersih dan penghidupan masyarakat setempat, seperti nelayan dan pengelola keramba ikan.
Bayu menekankan pentingnya tindakan tegas dari pemerintah, khususnya pemerintah daerah, untuk mengevaluasi izin operasional PT HMBP. “Kami berharap pihak berwenang dapat segera memberikan perhatian dan solusi atas persoalan ini demi keadilan dan keberlanjutan bagi masyarakat dan lingkungan di Kalimantan Tengah,” tuturnya.
Dalam investigasi yang dilakukan koalisi, ditemukan adanya surat perintah dari Polda Kalimantan Tengah pada 2020 yang menetapkan tugas pengamanan di wilayah operasi PT HMBP, termasuk lampiran pembayaran yang harus dipenuhi oleh pihak perusahaan kepada aparat. Ditemukan pula bukti pengarahan pasukan dengan jumlah yang sangat besar, yakni 440 personel hanya untuk menghadapi aksi protes warga yang menuntut hak mereka. Fakta tersebut menjadi satu gambaran nyata adanya dugaan bisnis pengamanan oleh pihak Aparat Penegak Hukum yang dilegalisasikan dengan mengesampingkan asas dan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Surti Handayani, Staf Bidang Kerjasama Advokasi Internasional dan Respon Kedaruratan PPMAN menjelaskan bahwa bisnis dan HAM tidak pernah bisa memberikan jaminan penuh terhadap Hak asasi dari Masyarakat Adat khususnya di Bangkal-Seruyan dan Indonesia pada umumnya. “Dengan adanya tragedi yang mengakibatkan kematian Gijik menunjukkan bahwa kelancaran bisnis lebih penting daripada nyawa masyarakat dan itu nampak nyata dengan dugaan adanya kelindan antara perusahaan dengan institusi negara khususnya Aparatur Penegak Hukum,” tegas Surti.
Masifnya ekspansi kelapa sawit di Kalimantan Tengah tidak terlepas dari peran besar lembaga jasa keuangan dalam memberikan pembiayaan. Berdasarkan penelusuran TuK INDONESIA, para taipan sawit yang beroperasi di Kalimantan Tengah telah menerima fasilitas pembiayaan signifikan, termasuk dari Bank Negara Indonesia (BNI). “Dalam periode 2016 hingga Juni 2024, total kredit yang disalurkan kepada para taipan sawit mencapai USD 11,07 miliar atau sekitar Rp 157,8 triliun. Salah satu penerima diduga adalah Winarno Tjajadi, pengendali PT HMBP/Best Agro Group, yang juga terhubung dengan BNI sebagai pemegang saham individu yang nilainya terus meningkat,” jelas Linda Rosalina, Direktur TuK INDONESIA.
Lebih lanjut, Linda menyoroti kurangnya perhatian terhadap transparansi publik dari BNI. “Saat kami mengajukan permohonan informasi kepada BNI terkait aliran pembiayaan ini, TuK INDONESIA mengalami hambatan besar dalam mendapatkan respons yang transparan dan akuntabel. Proses permohonan informasi kami tidak diproses sesuai aturan dan bahkan sempat hilang dalam sistem BNI.”
Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu meningkatkan pengawasan, memberikan sanksi terhadap bank yang tidak memenuhi standar keberlanjutan, serta memastikan transparansi dan tanggung jawab dalam pelaporan dampak sosial-lingkungan dari pembiayaan. “Transparansi ini krusial untuk mencegah pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan yang didukung secara tidak langsung oleh pembiayaan dari lembaga jasa keuangan termasuk bank,” jelas Linda.
Dengan diluncurkannya laporan ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman publik dan mendorong pemangku kepentingan untuk melakukan reformasi menyeluruh di sektor kelapa sawit, mulai dari penguatan regulasi, pengakuan hak masyarakat adat, hingga penerapan praktik bisnis yang beretika dan berkelanjutan.
Dokumentasi dan laporan dapat diakses melalui tautan berikut:
Tautan Dokumentasi Konferensi Pers; Tautan Siaran Langsung; Tautan Laporan Penelitian;
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
TuK INDONESIA : Icanna (08788 444 6640); PPMAN : Surti (0853 3562 8126); WALHI Kalteng: Bayu (0822 5511 5115);