Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), sebuah organisasi sayap dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengecam keras tindakan represi dari pihak Kepolisian Resor Kabupaten Simalungun yang bersama-sama pihak keamanan PT. Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) terhadap komunitas keturunan Ompu Mamontang Laut Ambaritas (Lamtoras) di Sihaporas.
Penangkapan yang dapat didefinisikan sebagai penculikan tersebut mengakibatkan lima (5) orang ditahan, satu (1) orang terluka serius di kepala, dan dua (2) orang yaitu ibu dan anak mengalami luka ringan serta trauma. Total sementara, terdapat delapan (8) korban atas aksi brutal aparat kepolisian tersebut. Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus mengecam tindakan aparat keamanan tersebut dan tindakan tersebut sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM.
“Republik Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan juga CEDAW. Kita juga telah memiliki Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, ini adalah indikator pengakuan negara terhadap HAM. Belum lagi KUHAP khususnya Pasal 18 ayat (1) terkait prosedur penangkapan. Apa yang dilakukan Polres Simalungun kami nilai sebagai penculikan telah melanggar HAM dan aturan hukum yang berlaku,” kata Syamsul.
PPMAN menerima informasi dari Masyarakat Adat Sihaporas yang menyaksikan brutalitas Polres Simalungun tersebut yang menyebutkan bahwa penculikan terhadap anggota komunitas dilakukan pada dini hari, sekitar pukul 03.00 WIB, Senin, 22 Juli 2024.
Menurut informasi itu juga, sekitar 40-50 orang menyerbu lokasi mereka dengan mengendarai truk dan mobil pick up. Para korban ditendang, diseret, bahkan ada yang terluka kepalanya padahal tidak ada perlawanan dari para korban. Tidak ada penunjukkan surat ataupun upaya manusiawi yang ditunjukkan oleh aparat.
“Penangkapan model begini layak disebut sebagai penculikan. Pengerahan kekuatan berlebihan aparat ketika senyatanya tidak ada perlawanan dari korban menambah catatan buruk bagi kepolisian dalam melakukan tindakan,” urainya lebih lanjut.
Syamsul Alam menambahkan, potensi pelanggaran lainnya yang dilakukan oleh Polres Simalungun, yaitu ketidakpatuhan terhadap Peraturan Kepolisian Republik Indonesia (Perpolri) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara republlik Indonesia.
Perpolri tersebut secara jelas memberikan perintah agar setiap aparat kepolisian mentaati dan menghormati hak asasi manusia serta menjunjung prinsip-prinsip kesetaraan.
Kata Syamsul, perilaku buruk perusahaan TPL yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia di Sihaporas tersebut. Ia meminta Kementerian KLHK memberi tindakan keras terhadap TPL.
“Silakan Pak Kapolres membaca Pasal 7 Perpolri tersebut. Pengerahan kekuatan besar dapat dikategorikan sebagai excessive use of power, dimana aparat kepolisian telah mengerahkan kekuatan yang berlebihan dalam melakukan tindakannya terhadap masyarakat adat yang tidak bersenjata dan membahayakan aparat. Terhadap pelibatan perugas keamanan TPL dalam peristiwa ini menunjukkan bukti bahwa TPL adalah otak dari pelanggaran HAM ini. Olehnya tindakan tersebut harus diproses secara pidana. Khusus kepada kementerian LHK untuk mengevaluasi secara menyeluruh atas Surat Keputusan penunjukan wilayah konsesi TPL di sekitar Danau Toba. Keberdaan TPL tidak hanya berpotensi merusak lingkungan tapi juga dalam praktiknya telah memperburuk keberadaan dan masa depan Masyarakat Adat.,” tegasnya.
PPMAN secara serius akan memantau serta mengumpulkan bukti-bukti pendukung terkait tindakan brutal Polres Simalungun terhadap korban. Upaya lanjutan akan dilakukan agar tindakan serupa tidak berulang dan hukum harus dipastikan menjamin perlindungan ke pada masyarakat adat. PPMAN juga mendorong Kapolri dan Kapolda Sumut melakukan evaluasi menyeluruh atas tindakan anggota mereka. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komnas Perempuan juga didorong untuk melakukan investigasi menyeluruh di lapangan guna mencari fakta atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi.
“Kami minta Kapolri dan Kapolda melakukan evaluasi terhadap Kapolres dan jajarannya. Komnas HAM dan Komnas Perempuan juga kami minta untuk pro aktif melakukan tugasnya menemukan fakta atas pelanggaran hak asasi manusia, khususnya bagi Masyarakat Adat Lamtoras Sihaporas sebagaimana konstitusi memandatkannya,” ujarnya.
Lebih lanjut, dugaan pelanggaran HAM oleh anggota kepolisian terhadap Masyarakat Adat kerap terjadi. Oleh karenanya, pengungkapan fakta peristiwa pelanggaran sangat ditentukan oleh keterangan saksi-saksi yang menyaksikan fakta pelanggaran. Sehingga, PPMAN mendesak kepada LPSK untuk berperan aktif memberi perlindungan kepada saksi yang rentan terhadap peristiwa ini. Mengapa? Karena dalam praktiknya, aparat kepolisian kerap menggunakan cara-cara diluar hukum mengintimidasi dan memaksa saksi untuk mengubah keterangannya sehingga fakta menjadi bias.
“LPSK kami minta untuk juga aktif dan progresif dalam upaya melindungi keselamatan saksi dan korban,” tutupnya.
Konfllik lahan di areal konsesi PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) tidak kunjung selesai. Kasus kriminalisasi Sorbatua Siallagan yang saat ini masih dalam proses persidangan, merupakan bukti lain betapa TPL tidak menaati prinsip-prinsip hak asasi manusia dan Masyarakat Adat. Sayangnya, Kementerian KLHK sebagai pemberi konsesi belum menunjukkan tindakan serius terhadap TPL terkait cara buruk penanganan konflik yang dilakukan perusahaan tersebut selama ini.
___
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi kontak berikut ini:
Syamsul Alam Agus, S.H – Ketua Badan Pelaksana PPMAN (0811-8889-083