46 Guru Besar dan Dosen di Indonesia Dukung Perjuangan Masyarakat Adat

Perjuangan masyarakat adat terus disuarakan. Bahkan, 46 guru besar dan dosen yang bergabung dengan Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia juga menyatakan diri sebagai sahabat pengadilan (Amicus Curiae) untuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) selaku penggugat dalam perkara di PTUN Jakarta.

Seperti yang dikutip dalam antara, Hal ini diperkuat ketika Ketua Bidang Advokasi APHA Indonesia Yamin, S.S., S.H., M.Hum., M.H. menyerahkan amicus curiae ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Kamis, Ketua Umum APHA Indonesia Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum menjelaskan bahwa guru besar dan dosen mendukung AMAN menggugat Presiden RI dan DPR RI.

Amicus curiae dalam register Perkara Nomor 542/G/TF/2023/PTUN.JKT,” kata Prof. Laksanto yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) ketika dikonfirmasi dari Semarang.

Pada kesempatan itu, Prof. Laksanto menyampaikan petitum penggugat yang memohon kepada majelis hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo menjatuhkan putusan dengan amar mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya.

Selain itu, menyatakan batal atau tidak sah tindakan administrasi pemerintahan Tergugat I dan Tergugat II yang tidak menindaklanjuti Surat Nomor 019/PPMAN/VII/2023 tertanggal 24 Juli 2023 perihal Permohonan Pembentukan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat.

Dalam petitum itu, penggugat memohon kepada majelis hakim mewajibkan Tergugat I dan Tergugat II untuk melakukan tindakan administrasi pemerintahan berupa menindaklanjuti Surat Nomor 019/PPMAN/VII/2023, kemudian menghukum Tergugat I dan Tergugat II membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini.

Sejumlah guru besar selain Prof. Laksanto yang menyatakan diri sebagai sahabat sahabat pengadilan untuk AMAN, antara lain: Prof. Dr. Dominikus Rato, S.H., M.Si.; Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum.; Prof. Dr. Sri Warjiyati,S.H., M.H.; Prof. Dr. Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.,C.M.C.; Prof. Dr. M. Syamsuddin, S.H., M. Hum.; Prof. Asmah; Prof. Dr. Yayan Sopyan, S.H., M.A., M.H.; dan Prof. Dr. Roberth K.R. Hammar.

Selain itu, Dr. Rina Yulianti, S.H., M.H. (Sekjen APHA Indonesia); Yamin, S.S., S.H., M.Hum., M.H.; Emanuel Raja Damaitu, S.H., M.H.; Dr. Ruliah, S.H., M.H.; Nur Aida, S.H, M.H., M.Si.; Dr. Marthen B. Salinding, S.H., M.H.; Dr. George Frans wanma; dan Dr. Ummu Salamah, S.H. M.A.


Sumber:

https://m.antaranews.com/amp/berita/4043790/46-guru-besar-dan-dosen-nyatakan-sebagai-amicus-curiae-untuk-aman

RILIS: Masyarakat Adat Menggugat Kewajiban Konstitusional Negara Melalui Jalan Pengadilan

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) beserta delapan orang anggota komunitas Masyarakat Adat yakni komunitas Masyarakat Adat Ngkiong di Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur; Masyarakat Adat Osing di Banyuwangi, Masyarakat Adat O’Hangana Manyawa (Tobelo Dalam) di Maluku Utara, sebagai Penggugat dalam Perkara No. 542/G/TF/2023/PTUN-JKT. Menyerahkan Kesimpulan di PTUN Jakartapada Kamis, 25 April 2024.

 

“Setelah proses pembuktian di persidangan selesai, maka penyerahan Kesimpulan adalah agenda terakhir sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan. Kami dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) sebagai kuasa hukum Para Penggugat telah mengajukan bukti-bukti di persidangan untuk menguatkan dalil-dalil gugatan, di antaranya 45 bukti surat, 6 orang saksi fakta, dan 3 orang ahli,” kata Syamsul Alam Agus, S.H., Ketua Badan Pelaksana PPMAN.

 

Alam menjelaskan, bahwa bukti-bukti surat dan saksi-saksi fakta yang diajukan di persidangan mengkonfirmasi akibat ketiadaan UU Tentang Masyarakat Hukum Adat, Para Penggugat mengalami kerugian faktual dan potensial, di antaranya: kriminalisasi, penggusuran dan perampasan wilayah adat, kehilangan identitas, dan keterancaman punah. Sementara itu, 3  orang ahli memiliki pendapat yang sama dan sejalan dengan Putusan No. 35/PUU-X/2012 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tanggal 6 Mei 2013 (“Putusan MK 35/2012”), bahwa Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat adalah perintah konstitusi melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945.

 

Ia juga menuturkan bahwa beberapa Peraturan Daerah (Perda) Tentang Masyarakat Adat tidak menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi Masyarakat Adat.

 

“Pertama, Perda Tentang Masyarakat Adat bukan perintah konstitusi. Yang diperintahkan konstitusi adalah pembentukan undang-undang tersendiri tentang pengakuan dan penghormatan Masyarakat Adat. Kedua, perda-perda tersebut tidak mampu menjamin kepastian hukum bagi Masyarakat Adat sesuai Putusan MK 35/2012 sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman. Ketiga, perda tentang Masyarakat Adat tidak memberikan kepastian hukum. Hal ini terbukti dimana masih maraknya penggusuran wilayah adat kriminalisasi Masyarakat, seperti yang dialami Mikael Ane sebagai Penggugat II dalam perkara ini, padahal di daerahnya telah ada Perda Tentang Masyarakat Adat, ” jelas Alam.

 

Menurut Alam, berdasarkan fakta sebagaimana pula terungkap di persidangan, pembentukan UU Tentang Masyarakat Adat adalah kebutuhan mendesak yang tidak dapat ditunda-tunda lagi seperti yang selama ini terjadi.

 

Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, menuturkan bahwa gugatan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Tergugat I) dan Presiden Republik Indonesia (Tergugat II), diajukan karena berbagai upaya advokasi yang telah ditempuh selama ini tersumbat, sementara kerugian yang dialami Masyarakat Adat terus berlangsung.

 

“Organisasi AMAN sejak berdiri pada tahun 1999 melalui Kongres Masyarakat Adat Nusantara I, telah melakukan berbagai upaya advokasi untuk mendorong pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat melalui berbagai regulasi nasional, termasuk mendorong pembentukan Undang-Undang Masyarakat Adat. Namun, karena tidak kunjung ada itikad baik negara, maka pengadilan menjadi ruang untuk mendidik DPR dan Presiden tentang kewajiban-kewajiban hukum mereka dalam penyelenggara negara,” tegas Rukka.

 

Sementara itu, Fatiatulo Lazira, S.H., selaku Koordinator Tim Hukum menyatakan bahwa yang menjadi objek gugatan dalam perkara ini adalah tindakan administratif pemerintahan, dalam hal ini DPR dan Presiden yang bersikap abai atau diam terhadap permohonan Para Penggugat untuk membentuk Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat.

 

“RUU Tentang Masyarakat Adat telah beberapa kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) maupun Proglegnas Prioritas sejak tahun 2004 sampai dengan saat ini, namun tidak kunjung dibentuk. Karena penundaan berlarut tersebut, maka Para Penggugat mengajukan Surat Permohonan No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023, perihal: Permohonan Pembentukan UU Tentang Masyarakat Hukum Adat, kepada DPR dan Presiden sebagai penyelenggara yang secara atributf berwenang membentuk undang-undang, namun surat tersebut diabaikan. Sikap abai atau diam (by ommission) atas permohonan Para Penggugat itu merupakan tindakan administratif pemerintahan yang melanggar hukum dan dapat digugat di PTUN,” jelasnya.

 

Fati menegaskan bahwa Sikap abai atau diam penyelenggara negara bertentangan dengan fungsi pelayanan (service) sebagai salah satu fungsi administrasi pemerintahan.

 

“Kami berharap, majelis hakim menjalankan fungsinya sebagai ruang bagi para pencari keadilan demi tegaknya hukum dan keadilan sekaligus sarana kontrol atas penyelenggaraan fungsi penyelenggara negara. Pengadilan harus menjadi ruang untuk menyelesaikan aspirasi warga masyarakat yang tersumbat akibat fungsi penyelenggara negara tidak berjalan efektif dan menimbukan kerugian. Oleh karenanya, kami memilih judul Kesimpulan ‘Masyarakat Adat Menggugat Kewajiban Konstitusional Negara Melalui Jalan Pengadilan,” tutur Fati.