Oleh Apriadi Gunawan
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) meminta majelis hakim untuk membebaskan 12 mahasiswa yang tengah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Palopo, Sulawesi Selatan karena telah menjadi korban penegakan hukum yang tidak adil usai mendemo dugaan korupsi dalam tubuh Kejaksaan Negeri Palopo.
PPMAN menilai bahwa betapa pun tajamnya pedang keadilan, ia seharusnya tidak memenggal kepala orang yang tidak bersalah, apalagi mahasiswa yang sedang menyoroti penegakan hukum atas dugaan tindak pidana korupsi.
Mohammad Maulana, penasihat hukum PPMAN, menyatakan kalau para mahasiswa yang saat ini diadili di PN Palopo merupakan korban penegakan hukum yang sarat dengan serentetan pelanggaran hak. Menurutnya, tidak ada alasan untuk menghukum mereka.
“Di persidangan, tidak ada satu pun fakta yang mengonfirmasi bahwa terdapat perbuatan yang melanggar hukum. Ini bukti bahwa para mahasiswa tidak bersalah, (sehingga mereka) seharusnya dibebaskan,” kata Maulana kepada wartawan pada Senin (13/2/2023).
Ia menyatakan, pada sidang putusan yang akan dijadwalkan tanggal 21 Februari 2023, pihaknya berharap majelis hakim dapat memberikan keadilan bagi para terdakwa yang notabene masih berstatus sebagai mahasiswa.
“Kami berharap majelis hakim membebaskan para mahasiswa,” kata Maulana.
Kejanggalan pada Fakta Persidangan
Maulana menyatakan bahwa semua fakta persidangan telah diabaikan oleh kejaksaan. Menurutnya, para mahasiswa telah memberikan potret baik atas dukungan pada semangat pemberantasan korupsi. Namun, jaksa penuntut umum justru memperlihatkan hal yang sebaliknya dalam perkara tersebut. Dengan menarasikan aksi demonstrasi sebagai kekerasan, tegas Maulana, jaksa menuntut 12 orang terdakwa mahasiswa dengan hukuman 3-7 tahun.
“Tuntutan jaksa ini memperlihatkan semangat anti-demokrasi dan anti-kritik dalam kasus ini,” ungkapnya.
Atas tuntutan yang mengada-ada itu, penasihat hukum terdakwa telah mengajukan nota pembelaan atau pledoi terhadap surat tuntutan jaksa penuntut umum. Maulana menyebut bahwa pledoi yang mereka soroti bukan hanya tentang tuntutan yang terlalu tinggi, tapi fakta yang ditutupi.
Ia menyebut dalam persidangan bahwa ada dua hal yang selama penyidikan dan penuntutan yang tampaknya sengaja disembunyikan. Pertama, terkait CCTV yang tidak pernah diperlihatkan secara transparan.
“Ini aneh,” tandasnya.
Kedua, terkait dengan pemeriksaan konstruksi pagar rubuh yang menimpa dua satpam kejaksaan, di mana satu di antaranya meninggal. Maulana menyatakan kalau beberapa saksi yang dihadirkan jaksa di persidangan, menerangkan bahwa interval robohya pagar, adalah kurang dari dua menit. Kalau pun ada aktivitas dorong mendorong pagar yang membuat pagar roboh dalam waktu secepat itu, maka bisa saja menimbulkan pertanyaan pada kualitas pagar yang dibangun pada dua minggu sebelum insiden bertanggal 21 Juli 2022 tersebut.
Maulana juga memaparkan adanya berbagai pengkambinghitaman terhadap para terdakwa di hadapan persidangan, mulai dari skenario laporan yang dibuat bukan oleh pelapor, namun pihak kepolisian; BAP yang bertentangan dengan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum; CCTV yang disembunyikan; dan penghindaran pemeriksaan terhadap proyek pembangunan pagar.
Maulana menyatakan bahwa sebelum insiden yang berujung pada tewasnya Abdul Azis itu, Kejaksaan Negeri Palopo seharusnya membuka ruang dialog dalam menyambut aksi demontrasi mahasiswa. Menurutnya, insiden tersebut terjadi akibat keengganan untuk membuka ruang dialog, sehingga terkesan menutupi proses tindak lanjut atas penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang dipersoalkan mahasiswa.
“Saat aksi mahasiswa, Kejaksaan Negeri Palopo justru menutup akses dengan memerintahkan (petugas) security untuk menutup pagar, yang seketika membuat rubuh pagar,” katanya.
Maulana menerangkan, alih-alih menunjukkan tanggung jawab terhadap insiden kecelakaan tersebut, melalui serangkaian upaya tersistematis dalam rangkaian penyidikan dan penuntutan, Kejaksaan Negeri Palopo justru terkesan menunjukkan serangkaian upaya untuk menutup ruang pada tanggung jawab. Sebaliknya, mereka malah mengkambinghitamkan para mahasiswa atas insiden robohnya pagar. Padahal, insiden tersebut seharusnya dipandang sebagai momen penting dalam membuka borok pengerjaan proyek pembangunan pagar kantor yang sebelumnya juga telah dipersoalkan oleh publik terkait indikasi dugaan korupsi dalam tubuh Kejaksaan Negeri Palopo.
Akar Masalah
Maulana menerangkan bahwa permasalahan yang menyeret 12 mahasiswa ke pengadilan itu, berawal dari aksi protes di depan kantor Kejaksaan Negeri Kota Palopo pada 21 Juli 2022. Aksi mahasiswa dilakukan dalam rangka menuntut penuntasan sejumlah kasus dugaan korupsi yang ditangani Kejaksaan Negeri Palopo, seperti dugaan korupsi SPPD fiktif DPRD Palopo, dugaan korupasi pembangunan Puskesmas Sendan, dugaan korupsi terkait keterlibatan Dinas Pendidikan bersama oknum Kejaksaan Negeri Palopo. Namun, demo mahasiswa itu berujung kriminalisasi terhadap mahasiswa dan memakan korban dua orang satpam yang tertimpa gerbang yang roboh tersebut, satu di antaranya meninggal dunia.
***